Tumgik
#wecanfightcorona
anggivish · 4 years
Text
In 2020,
Distance Means Love
Berada di kota baru, hanya bersama seorang suami, membuatku bersyukur. Tak kusangka jauh dari keluarga tidak lagi menjadi tangis buatku. Justru lebih lega.
Bukan, bukan soal kehidupan rumah tangga yang ingin dibangun berdua. Tapi soal pandemi yang berhasil mencuri segmen televisi setiap hari dalam satu tahun.
Keputusan untuk tetap bekerja menjadi dokter di rumah sakit kecil sudah kami timbang-timbang matang. Namun siapa sangka, beberapa bulan setelahnya rumah sakit itu menerima pasien BPJS (ya, sebelumnya tidak). Yang awalnya pasien hanya hitungan jari, sekarang membludak. Ruang isolasi covid19 pun, tidak usah ditanya, kosong beberapa jam lalu terisi lagi. Bahkan kalau penuh dan pasien datang terus, terpaksa pasien suspek covid19 ditempatkan di IGD. Bayangkan IGD! Bercampur baur dengan kita. Udah kayak bangsal covid19 baru.
Ikhtiar menjadi jalan menjemput takdir Allah. APD selalu dipakai, dengan masker N95 yang nempel banget di wajah dan membuat perih. Vitamin C diminum setiap hari, diikuti dengan minum air bergelas-gelas. Mandi di rumah sakit menjadi sebuah kewajiban, bahkan aku harus membeli pengering rambut baru.
Ditambah, hati yang selalu dijaga kebahagiaannya. Olehku sendiri, dan oleh suamiku. Komentar dan tingkah lakunya yang out of the box, selalu berhasil memadamkan api emosi setelah menghadapi berbagai peringai pasien: marah-marah, congkak, hingga suka mengaku-ngaku saudara pejabat.
Paling tidak kami masih muda, kami tidak punya riwayat penyakit berat, dan kami jauh dari keluarga. Alhamdulillah.
Kami benar-benar berdua di kota ini. Tidak ada ayah, ibu, kakek, nenek, om tante paman bibi yang mungkin saja lebih rentan. Usia mereka tak lagi muda, hipertensi diabetes membayangi. Aku sungguh berdoa mereka benar-benar aman, sehingga aku dengan leluasa keluar masuk rumah sakit.
Oh ya! Aku juga bersyukur ayahku sudah meninggal. (Hmm susah dipercaya aku mengatakannya.) Tapi andai kata beliau masih ada, dengan diabetes kronisnya itu, dan tugasnya sebagai polisi yang bertemu banyak orang, aku tidak sanggup membayangkan beliau diisolasi. Walaupun selalu tampak tegar, ayahku sebenarnya sering menangis diam-diam. Sssst, ini rahasia. Seperti apa beliau jika harus masuk ruang isolasi, tanpa pendampingan keluarga, terus kalau tiba-tiba perburukan? Aih, naudzubillah min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari bahaya wabah.
Awal pekan lalu Ibu berencana mengunjungiku. Sebenarnya aku benar-benar resah ingin menolak. Bagaimana tidak, angka positif provinsi ini juara satu se-Indonesia. Sedangkan aku, bahkan belum pernah mendapatkan jatah swab sekalipun, setelah merawat pasien-pasien suspek covid19. Tidak ada yang tahu apakah aku sudah terinfeksi atau belum.
Baru kali ini aku ingin jauh-jauh dari Ibu. Sedih sih, tapi sebaiknya memang jangan.
Tapi tiba-tiba kemarin Ibu meneleponku. Beliau bilang, "Nggak jadi deh ke tempatmu. Kondisinya lagi kayak gini." Itu membuatku lega.
Suamiku pun sebelas dua belas denganku. Awalnya dia ingin mengajakku pulang kampung akhir bulan ini. Tapi aku menolak dan berkata, "Kalau Mas bener-bener pengen, pulang aja gapapa, tapi aku nggak ikut."
Bukannya egois karena takut ketularan, justru aku memikirkan mereka. Aku tidak mau mereka bertemu aku. Lalu jika nadzubillah nya ada yang kena, terus berwacana "ah gara-gara si Anggi nih, nakes kan?"
Akhirnya suamiku memahami maksudku.
Begitulah. Hidup berdua disini. Kuharap aku dan keluargaku aman, terhindar dari covid19. Aamiin.
Semoga kamu, yang membaca ini, juga demikian. Tapi doaku ini akan menjadi omong kosong jika kamu sendiri tidak melakukan ikhtiarnya.
Tumblr media
Persiapan sebelum jaga, menempel wajah dengan plester supaya tidak lecet dan jerawatan kena N95. Berangkat jaga kini tanpa make up.
5 notes · View notes
Video
undefined
tumblr
A simple thank you video for all front liners. Stay safe you guys! 
Music by The Script performing Superheroes. (C) 2014 Sony Music Entertainment UK Limited
0 notes
anggivish · 4 years
Text
Confirmed Covid19
Jumat sore, grup keluarga digemparkan oleh berita hasil PCR Tante. Hmm... sebenarnya sudah kuduga dari beberapa hari sebelumnya. Beberapa anggota keluargaku meriyang secara bersamaan. Eh, benar saja Tante ketahuan positif duluan. Beliau memang perawat rawat inap di RS tipe C. Jadi sedikit saja ada gejala batuk plus hilang pembauan, teman-temannya akan segera menindak. Tante langsung pindahan ke Kamar Biru, kamar di lantai dua rumahnya yang berdinding biru dengan stiker Doraemon.
Aku tidak khawatir apakah aku ketularan atau tidak. Yah, aku sudah lama tidak pulang kampung. Ingat kan, di post sebelumnya aku bercerita bahwa aku hanya tinggal berdua dengan suami di kota kecil ini. Jaraknya sekitar 4 jam perjalanan ke kota tempat keluarga besarku tinggal.
Sore itu juga orang-orang serumah tante dijadwalkan periksa swab PCR. Ada Om, Mbah Putri, dan ketiga anaknya yang masih kelas 1 SMA, 4 SD, dan TK kecil. Dengan kondisi Om yang masih meriyang, beliau tidak sanggup menyetir sendiri. Si TK Kecil pun perlu pendampingan saat disogok hidungnya. Yah, ibunya kan sudah diisolasi di Kamar Biru.
Akhirnya ibuku yang terpilih untuk melaksanakan tugas mulia mengantar sekeluarga tante berangkan swab. Benar-benar tugas mulia yang mengandung risiko. Segera kami membuka rapat dadakan melalui whatsapp. Tujuannya adalah mencari cara agar Ibu bisa aman ketika mengantar mereka ke tempat swab. Utak atik utak atik, diputuskanlah. Mereka akan memesan dua taksi online untuk lima orang (dengan anggapan desain taksi online bersekat sudah cukup aman untu sopir) dan Ibu menyetir dengan mobil sendiri.
Saat itu, rasanya otak berusaha mencari jalan keluar. Syukurlah. Alhamdulillah. Rasanya tidak sampai sempat untuk merasa sedih atau panik. Terima kasih kepada pengetahuan kedokteran yang benar-benar membantu.
Hanya saja, malamnya aku sungguh kepikiran. Jika kita berdekatan dengan keluarga yang positif covid19, kita akan khawatir apakah kita yang menularkan atau apakah kita tertular. Tapi, jika keluarga kita justru di tempat jauh, ah sungguh kekhawatiran berada di level yang lain lagi.
"Aku Dapat Nomor!"
Keesokan harinya aku menelepon video dengan Ibu. Rasanya ingin tahu perkembangan berita tiap menitnya. Apakah mereka sudah swab? Bagaimana perjalanan ke tempat swab? Apakah ada yang demam?
Saat panggilan diangkat, tampak muka kecil lengkap dengan masker kecil pula, berwarna abu-abu dengan gambar jerapah di kiri bawah.
"Mbak Anggi! Aku dapet nomer!" teriak si TK dengan ceria. Ia menunjukkan tiket, lengkap dengan barcode dan nomor antrean swab.
Perasaanku langsung tidak karuan. Antara ironi bahwa si TK tidak tahu apa yang sedang terjadi, sehingga ia bisa ceria, atau kah malu karena seharusnya kita perlu tetap ceria.
"Wah... emangnya itu nomer apa?" tanyaku.
"Nomor swab~" jawab si TK, masih dengan nada ceria.
"Swab itu apa sih?" pancingku. Aku penasaran apakah ia sudah tahu bahwa hidungnya akan disogok sikat kecil.
"Emm... buat dites," katanya. Oh jadi dia belum tahu. Hahaha.
Aku sempat menyarankan Ibu untuk swab antigen setelah mengantar mereka pulang. Ibu setuju. Obrolan kami pun harus diakhiri karena sudah sampai nomor antreannya.
Tumblr media Tumblr media
Rumah Isolasi
Tidak seperti di kota kecil tempatku berada, di kota Ibu hasil swab PCR keluar lebih cepat. Pagi swab, sore keluar hasilnya.
Om dan Mbah Putri terkonfirmasi Covid19. Sementara itu, tiga krucil negatif. Rapat dadakan pun diadakan lagi.
Rumah Om menjadi rumah isolasi mandiri. Si SMA akan ke rumah Ibu. Si SD dan Si TK akan mengungsi di rumah nenek mereka yang lain.
Syukurnya, Mbah Putri tidak terlalu berkecil hati. Pun beliau tidak menampakkan gejala berat. Yah, orang tua memang riskan. Mbah Putri memang menjadi salah satu perhatianku.
Mbah Putri mempunyai riwayat darah tinggi. Di dalam ilmu penyakit, itu disebut komorbid atau kondisi yang memperberat. Sekali lagi alhamdulillah, karena Mbah Putri adalah tipe pasien patuh. Tekanan darahnya selalu terkontrol karena beliau rajin minum obat, rajin diet, tidur dengan pola teratur, serta rajin ikut Prolanis.
Hari Minggu pagi giliran Ibu dan adikku swab antigen. Memang sudah takdir, Ibu positif pula. Adik alhamdulillah negatif. Kembali rapat dadakan diadakan untuk mengatur bagaimana isolasi mandiri.
Kubilang, "Jadi satu aja di rumah Om." Beliau pun setuju, ketimbang harus isolasi di pusat isolasi kota.
Belum ada satu hari di rumah Om, Ibu sudah tidak kerasan dan ingin pulang. Dengan tegas kutolak keinginan itu. Di rumah kamar mandi hanya satu. "Emangnya Ibu pakai masker kalau pas mandi?" Ibu pun bisa mengerti.
Tumblr media Tumblr media
Kayak Camping
Setelah selesai semua utak atik labirin demi menghindari corona, aku baru bisa merasa sedih. Rasanya aku ingin pulang untuk membantu semua keperluan. Obat, vitamin, atau makanan. Atau sekedar menghibur anak-anak yang mengungsi. Namun, itu tidak mungkin. Malah semakin bahaya jika aku pulang, terlebih masih ada jadwal jaga.
Jadi aku menelepon Ibu sesering mungkin. "Gimana Bu? Udah pada sarapan?" tanyaku tadi pagi.
"Udah," jawabnya dari balik masker. "Ini kita malah kayak camping. Libur, nonton TV, masak-masak..."
Alhamdulillah kalau begitu. Semoga ini semua terlewati dengan aman dan lancar.
2 notes · View notes
anggivish · 5 years
Text
"Apa nggak setelah internsip saja?"
Begitu tanya ibuku dulu saat masa-masa ta'aruf menentukan tanggal pernikahan. Aku yang entah kenapa manteb menikah saat internsip, menolak ide itu. Sudah terlanjur ta'aruf sekarang lagipula. Ternyata calon suamiku juga keberatan jika ditunda hampir setahun lamanya.
Kini dimana internsip akan selesai beberapa minggu lagi, wabah ini meluas.
Yang nekat mengadakan resepsi pernikahan, bisa didatangi polisi.
Alhamdulillah aku sudah menikah.
November 2019.
Yang kemudian, pada bulan depannya, 2019-nCoV dilaporkan pertama di Wuhan.
Terima kasih sudah memberi aku kemantaban waktu itu ya Allah.
Buat yang sebenarnya akan menikah dalam waktu dekat ini. Bersabar ya. InsyaAllah akad tetep bisa jalan. Mungkin dari sabar itulah berkah tak terkira akan muncul.
10 notes · View notes
anggivish · 5 years
Text
Harga Seorang Internsip
“Apakah masker sudah ada Dok?”
“Belum.”
Tetapi saat temanku jaga dia menemukan berdus-dus masker tersimpan dalam laci.
Mungkin
Bagi mereka
Bila kita celaka
Tinggal cari saja internsip lain.
1 note · View note
anggivish · 5 years
Text
Late Night Self-Talk
Sebagai dokter, aku tahu keluargaku sangat mendukung aku untuk menghadapi wabah ini. Perhatian mereka, penyediaan APD dari mereka untukku, dan pastinya doa-doa yang selalu terselip. Tapi aku sungguh tidak mau menyelipkan kekhawatiran ini pada mereka, atau siapapun di dunia. Jadi aku tulis disini saja.
Sejujurnya aku masih percaya tak percaya berada di posisiku sekarang, di tengah pandemi ini. Pandemi. Sebuah kata yang cukup ngeri tapi jauh, pikirku saat kuliah dulu. Sekarang terasa begitu dekat.
Setiap penemuan atau kebijakan, harus langsung diikuti. Setiap orang-orang ngeyel, harus selalu diberi tahu sampai bosan. Mereka tidak melihat wabah ini sedekat itu.
Kami dokter, bisa saja punya pilihan untuk menghindar. Cuti, misalnya. Tapi setelah kupikir lagi, apa iya aku akan lari dan tidak mencoba menghadapi ini? Sementara, pasti ada jalan keluar kuyakin. Apakah aku bisa hanya menunggu sampai jalan keluar itu datang?
Dua dokter sudah meninggal hari ini. Apakah akan ada korban lagi? Sementara APD di seluruh muka bumi menghilang kurasa. Sejak Januari aku sudah tidak mendapatkan masker, jadi aku mengusahakan sendiri.
Sejujurnya aku takut. Tapi orang berani bukanlah orang yang tidak takut sama sekali. Orang berani adalah orang yang melawan ketakutannya.
Sejujurnya sempat terselip pertanyaan mengapa. Mengapa ini terjadi? Siapa yang memulai ini? Tapi wabah yang begitu besar ini, membuatku tak sempat untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Kita harus melawan virus ini.
Melawan? Aku bahkan tidak tahu apakah ini melawan atau menyemplungkan diri.
Tapi saat kupikirkan teman-temanku, orang-orang pemerintahan yang pusing dan bingung, dan keluargaku yang mungkin harus berjauhan dariku untuk sesaat, aku merasa tidak sendiri. Mengapa harus merasa takut sendiri? Semua orang berjuang dan tentu bukan aku yang berjuang paling berat. Mengapa aku harus ragu dan merana?
Tolong aku melewati ini ya Allah.
Tolong kami melewati ini.
Aku yakin bahwa pasti akan ada jalan keluar dari wabah ini. Dan saat itu, kami ingin meninggalkan jejak sebanyak-banyaknya untuk anak cucu kami bahwa ada pembelajaran. Aku tidak tahu ya Allah, apakah leluhur-leluhur kami berteriak dari alam kubur tentang petuah-petuah dan prediksi-prediksi mereka dulu. Maafkan kami ya Allah...
Dan dalam menuju jalan keluar itu ya Allah, pegang aku. Tahan aku untuk selalu di jalanMu. Bagaimana akhirnya nanti, aku ikut.
0 notes