Tumgik
#teguh esha
elizavitri · 4 years
Photo
Tumblr media
FROM ALI TOPAN ANAK JALANAN by TEGUH ESHA
“Percuma belajar sopan santun kalau yang mengajari juga tidak mau memakai sopan santun itu,” kata Ali Topan.
*
Bel sekolah berdentang. Jam pertama hari itu adalah jam yang paling tidak disukai oleh murid-murid, yaitu “pembinaan budi pekerti” oleh Ibu Dewi. Ali Topan memberi sebutan “pendidikan overacting” untuk jam pelajarannya
*
Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak kecil melihat boneka-boneka. Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata-mata datang dari pihak orangtua. Kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan.
*
Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kesejukan di dalam hati. Tapi orangtuanya menganggap justru sebagai badai yang memporak-porandakan segalanya. Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk memberontak, merebut haknya, seperti Ika.
*
“Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?” kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi, gaya teknokrat sama Ali Topan.

“Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini. Yang kucita-citakan adalah menjadi suami yang baik bagi istriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku kelak, kalau Tuhan mengizinkan lho,” sahut Ali Topan dengan irama tukang pantun.
***
This is a breakthrough teenage rebel novel from Indonesia, written in everyday language, the way real teenagers back then spoke, not in the formal, good and proper Indonesian language (bahasa Indonesia yang baik dan benar), the only form that is often said to be fitting for literature. Even today, Indonesian novels that use everyday language is often considered less seriously, deemed lower in quality—but I think it increases the novel’s value in realism (I also write the dialogues in my novel in everyday language.) At the time of its publication in 1977, this book must’ve been considered crass, rude, and was probably looked down upon by the literary elite, but it still managed be a cult hit and a movie, directed by the author himself. The use of everyday language can also be seen as a refusal to conform to state-sanctioned euphemism, propaganda, and forced politeness of language to cover up and avoid talking about corruption, government atrocities, race and interfaith relations, and anything real in life.
The story centers on Ali Topan and his friends—he is a somewhat idealized portrait of the male teenage rebel: handsome, very smart, defiant, with a troubled home life and a tender heart. Yet he is hardly a street kid (anak jalanan), he comes a from a blue-blooded dysfunctional family with housekeepers and drivers, but he distances himself from his them and prefers to hang out on the streets with his friends and speed all over town on his motorbike. His father spends all his free time with sex workers and his mother retaliates by dating young men his son’s age.
Ali Topan refuses to be blindly obedient and dutiful (berbakti) to his parents and teachers, as is expected of a son and a student. He shows other teenagers that to be defiant (durhaka) is the more moral choice when your parents and teachers abuse their authority and have done nothing to earn your respect. 
The novel is set in real locations, presenting a complex portrait of 1970s Jakarta, especially Melawai-Bulungan-Pasar Minggu-Kebayoran areas, sprinkled with glimpses into the country’s economic and political scape at the time: people’s fear of and admiration for the military; the vague yet pervasive feeling of surveillance on the streets and in schools; the creeping liberalism that places money as source of respect and encourages corruption, and that if you have the money you can basically hire the police as your own private security; and so on.
Ali Topan is in love with a girl named Anna Karenina, because she’s beautiful, because he needs someone to love, and because she’s sympathetic to him although he is considered bad by others. The author is not proud (gengsi) enough to make his main character an unconquerable boy immune to all feelings, even including a scene of Ali Topan being vulnerable and writing a romantic love letter to Anna. Through Anna he learns to be less selfish, putting her needs before his own.
Like Ali, Anna is a privileged girl with rich parents and a driver, who secretly lusts after her. Her parents limit her movements very much, because her older sister became pregnant outside of marriage by a Betawi boy, an ethnic group that is often looked down on by the aristocratic Javanese people. In the beginning Anna was docile, but after hanging out with Ali, Anna dares to defy her parents and even stands up for her sister.
Ali and his friends demand honesty, justice, and upright role models, while performing and perpetuating certain unfair attitudes. They constantly objectify girls and women and divide them into marriage material and not: cewek opletan vs cewek Mercy (girls who look like public buses vs. girls who look like Mercedez Bens). Ali doesn’t acknowledge or isn’t aware of the unfairness in calling his mother “jalang” (bitch) and his father “main perempuan” (playboy)—the former term positions women as immoral and the latter as object. When Ali’s older brother got their houseworker pregnant, the family ordered her to have an abortion; Ali then told her to run away and keep her pregnancy because aborting it would be shameful and a sin. Ali seemed convinced that he did the right thing, not realizing that he didn’t even ask the her what she needed or what she really wanted to do, or if her sexual relation with Ali’s brother was consensual or not.
Perhaps, though, the boys’ unfair attitudes can also be attributed to the lack of role models around them—the adults are too busy posturing with no humility, drunk with whatever small power they have and using it to their own benefit, and when they don’t get respected, they abuse that power even more to force respect out of others. (Although, we mainly see the parents and teachers as characters who fail at their roles and responsibilities, not as fully fleshed individuals with complex reasons for their behaviors.)
In the end, this is a story of friendship, love, and family—the nation’s young generation craving for something true and fair in a country that was becoming increasingly corrupt and unjust.
0 notes
rekayorekdotid · 3 years
Text
REKAYOREK.ID - Teguh Esha, pengarang novel terkenal “Ali Topan Anak Jalanan”, Senin siang (17/5), pukul 14.30 WIB dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan protokol Covid-19.
“Ayah memang terpapar Covid-19 “, kata Muhammad, putra sulung Teguh Esha ketika saya hubungi sore tadi.
Teguh Esha mengembuskan nafas terakhir Senin subuh pukul 05.30 WIB di RS Suyoto, Bintaro
0 notes
irwanpratubangsawan · 4 years
Text
ALI TOPAN ANAK JALANAN (1977)
ALI TOPAN ANAK JALANAN (1977)
Tumblr media
Novel Ali Topan Anak Jalanan: Kesandung Cinta merupakan novel karya Teguh Esha yang terbit pada tahun 1977. Tokoh Ali Topan muncul pertama kali dalam cerita bersambung karya Teguh Esha di majalah Stop tahun 1972. Setelah itu, Teguh Esha mengekranisasikan karya tersebut dalam bentuk film dengan judul “Ali Topan Anak Jalanan” pada tahun 1977 dengan pemeran utama Junaedi Salat dan Yatie Octavia.
Dar…
View On WordPress
0 notes
nananurjannati-blog · 7 years
Text
Kisah seekor semut yang ingin menyelamatkan Nabi Ibrahim as
Ketika Namrud memutuskan untuk melemparkan Ibrahim ke dalam api, seekor semut mendengar kabar itu. Si semut lantas berpikir, "Apa yang harus kuperbuat? Bagaimana mungkin aku sanggup menolong khalilullah? Tak boleh bagiku untuk berdiam diri dan membiarkan itu terjadi karena Allah akan mempertanyakanku pada hari kiamat." Si semut pun membuat bejana dari kayu kecil, lalu pergi ke danau dan memenuhi bejana yang dibuatnya itu dengan air. Ia memikul bejana air itu dengan susah payah di atas punggungnya. Langkahnya pasti menuju tempat api yang telah dinyalakan oleh Namrud. Dalam perjalanan ke sana, si semut bertemu dengan seekor gagak, lalu si gagak bertanya dengan perasaan aneh, Gagak : "Mau ke mana kau semut?" Semut : "Aku mau ke kota raja." Gagak : "Apa yang kamu pikul itu sampai-sampai kau begitu payah membawanya?" Semut : "Aku membawa bejana berisi air." Gagak : "Untuk apa air itu?" Semut : "Tidakkah kau mendengar bahwa Namrud laknatullah telah menyalakan api untuk membakar Khalilullah Ibrahim ‘alaihis salam?" Gagak : "Tidak, aku belum mendengar kabar itu. Namun, aku tak mengerti hubungan itu dengan air yang kau bawa ini?" Semut : "Aku ingin turut ambil bagian untuk memadamkan api si Namrud." Gagak (seraya mencemooh) : "Hai semut bodoh, apakah kau merasa yakin bahwa dirimu bisa memadamkan api besar Namrud dengan sedikit air dalam bejana kecil ini?" Semut : "Aku tahu bahwa aku takkan mampu memadamkan api besar itu karena hal itu memang berada di luar kemampuanku. Akan tetapi aku melakukan ini karena dua alasan." Gagak : "Apa kedua alasan itu?" Semut : "Aku memastikan (di posisi mana aku berdiri) dan mengetahui sasaranku sehingga aku tahu apa yang kutuju. Dengan demikian aku bukanlah jenis makhluk yang tak peduli sehingga rela dengan keburukan yang terjadi. Aku harus punya andil untuk memberikan pertolongan meskipun itu di luar kemampuanku." Gagak: "Apa alasan kedua?" Semut : "Agar aku punya alasan yang benar di depan Rabb-ku. Aku mengetahui khalilullah akan dibakar tapi aku tak melakukan apa-apa? Oleh karena itu aku bangkit memberikan bantuan sebesar kemampuanku. Aku tak mau membiasakan diri hidup tanpa kepedulian." Gagak pun mencemooh seraya meneruskan perjalanannya sambil tertawa. Adapun si semut yang tulus, ia berjalan terus menuju api Namrud dengan hati yang dipenuhi tekad kuat dan iman. Note : Itu bukanlah hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukan pula kisah yang berasal dari al-Quran dan Sunnah. Itu adalah DONGENG buatan yang entah siapa yang membuatnya namun memiliki banyak faedah di dalamnya. Faedah-Faedah Yang Terkandung Dalam Dongeng (1) Berbuatlah (berkontribusilah) meskipun kemampuan dan kesanggupanmu lemah. Yang penting itu berbuat. (2) Janganlah rela dengan hal yang buruk, bahkan senantiasalah berusaha untuk pertambahan kebaikan dan meminimalisir keburukan. (3) Tetapkan (titik keberpihakanmu) dan arah-arah tujuanmu, jangan hidup terombang-ambing tanpa arah tujuan dan tak berbuat dengan pasti. (4) Jangan pedulikan orang yang menghalangi semangatmu, tetaplah teguh menjalani. Tak usah kau hiraukan mereka karena mereka itu orang pengecut yang gagal dan menginginkanmu seperti mereka. (5) Ketahuilah bahwa Allah akan mempertanyakanmu atas apa yang telah kau perbuat di dunia dan pengejawantahannya dalam kehidupanmu. Apakah kau berbuat untuk menyeru kepada-Nya. Esha Ardhie Rabu, 23 Maret 2016
4 notes · View notes
radennurul · 7 years
Photo
Tumblr media
Iman Abda: Puisi Mencintai Saya dengan Keras Kepala
“Mungkin saya tidak terlalu suka puisi. Hanya saja, puisi mencintai saya dengan keras kepala”.
      Pemilik nama lengkap Iman Abdurahman, lebih suka dipanggil Iman Abda. Selain tercatat di arsip Radio Buku, nama “Iman Abda” tersebar dalam ragam akun sosial media. Ia pertama kali menulis puisi pada 1996. Kemudian terhitung dari 1999 sampai 2004 karyanya selalu terbit dalam buku antologi bersama: Doa Kecil (1999). Disela-sela itu, Abda menerbitkan karya tunggalnya dalam bentuk “puisi pamflet”; pameran visual berupa lembaran puisi yang ditempel pada WC umum, tiang listrik dan tembok-tembok kota. Puisi Abda serupa karya street art dan mural.
      Menyajikan puisi bukan dalam bentuk buku, tidak berarti Abda khianat pada dunia “penerbitan”. Lelaki kelahiran Tasikmalaya itu sengaja melakukannya, karena umumnya karya puisi ditujukan bagi semua orang. “Menurut saya, buku yg kertas itu, setelah dipikir-pikir rasanya elitis. Dia hanya bisa dibaca oleh orang yang punya uang. Padahal puisi saya tak sekadar beli atau tidak beli, semua orang bisa baca. Makanya saya pamerkan di ruang publik,” jelasnya.
      Ide menyajikan karya berbentuk “puisi pamflet”, terinspirasi setelah ia menonton Film Dead Poets Society, karya sutradara Peter Weir. Bersumber dari karya film, kemudian imajinasi Abda mengembara.  Seperti halnya buku yang kemudian mampu memberikan banyak inspirasi dan mengubah cara pandang.
Buku Pelayaranku
      Buku menjadi tempat berlayar atas metafora yang Abda himpun menjadi puisi. Kemampuannya berimajinasi tak lain karena ia senang membaca buku. Pengalaman membaca dimulai sejak SD, saat itu novel karya Herman Merville, Moby Dick, dilahapnya; sebuah kisah yang dramatis tentang pengembara yang mencari paus putih menjadi stimulus jiwa petualangnya. Tak jarang, tiap kali Abda pergi ke luar kota terciptalah puisi perjalanan. Selain puisi, karya perjalanannya juga berupa ragam potret. Hasilnya bisa dilihat dengan menuliskan @imanabda dalam pencarian di instagram.
      Selepas SMA, Abda tertarik memilih jurusan Jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung, karena terpengaruh novel Penembak Bintang karya Teguh Esha. Bercerita tentang seorang wartawan yang selenge’an, berambut gondrong, pengguna kamera tustel (film) dan mengendarai vespa. Teguh mengorbitkan seorang model cantik yang sangat tergila-gila padanya, seorang wartawan yg suka puisi. Selain berkat buku yang hits di era 70 sampai 80-an, Abda membayangkan gaya ibu dan bapaknya saat muda. “Ternyata begitu, anak muda keren di tahun 70-an,” terangnya.
“Menurut saya buku yg kertas itu, setelah dipikir-pikir rasanya elitis. Dia hanya bisa dibaca oleh orang yang punya uang. Padahal puisi saya tak sekadar beli atau tidak beli, semua orang bisa baca. Makanya saya pamerkan di ruang publik”.
Perkenalan dengan Puisi
      Menulis puisi itu harus patah hati. Itulah kalimat yang Abda ingat saat senior Acep Zamzam Nur mencekokinya soal puisi. Merasa belum cukup ilmu, Abda kemudian melahap buku ketiga, Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Buku itu banyak menginspirasi Abda bagaimana cara menulis, membuat metafora, terutama ketika sedang jatuh cinta.
Siapa yang tak kenal dengan puisi Aku Ingin Sapardi Djoko Damono. Setelah membacanya barulah ia sadar, bahwa menulis puisi tidak harus saat patah hati, sedang bahagia pun juga bisa.
Pengetahuannya soal puisi kian bertambah, tak hanya membaca karya Sapardi Djoko Damono. Abda pun rajin membaca essay karya Goenawan Moehammad dan Sultan Chalzum Bachri. Kemudian ia berpandangan, empati menjadi hal paling utama dalam menulis puisi. Selain empati, hal kedua adalah peka. Baginya seorang penyair harus mempunyai dua unsur tersebut. “Bolehlah patah hati, bisa jadi pemantik (menulis puisi), juga sebaliknya,” ujarnya.
Selain itu, lelaki kelahiran 20 April 1977 ini menggali pengetahuan puisi tak hanya dari buku, tapi juga forum diskusi. Salah satunya di obrolan madrasah falsafah. Hal tersebut diibaratkan, seperti udara yang terus dihirup, tanah yang mau tak mau harus dipijak dan air sebagai sumber kehidupan. Tanpa tiga unsur tersebut, apalah arti manusia. “Tak bisa hidup,” tambahnya.
Kecintaannya terhadap dunia kepenulisan, membuat lelaki yang masih menjalankan mandat Koordinator Advokasi di Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) hingga kongres berikutnya, tak pernah berhenti menulis. Laiknya setiap caption yang ia cantumkan dalam foto atau video unggahan di instagram.
Terakhir Abda menulis bukan sebuah buku puisi, atau buku sastra. Tapi buku tentang Radio Komunitas dari gagasan dan praktik lapangan (2008), diterbitkan oleh Jaringan Radio Komunitas Indonesia dan Fort Foundation.
Kini Abda sedang mengerjakan satu project buku untuk sekolah radio komunitas. Jenisnya semacam panduan Radio Komunitas (RK) dan didalamnya akan dilampirkan sisipan database radio komunitas se-Indonesia. “Itu dalam project pengerjaan, yang rencananya akan diterbitkan,” ucap lelaki yang baru saja selesai membaca serial komik Long Hu Men: cerita para pendekar perguruan naga dan harimau karya Tony Wong.
Kelihaiannya dalam berkarya tak lain karena rajin menulis semasa kuliah. Ada dua kategori tulisan yg sering ia buat, satu karena tugas kuliah dan kedua menulis agar dapat honor untuk membayar kos serta beli buku. “Jadi terpaksa mengirim tulisan ke koran dan majalah,” kata Abda yang saat kuliah aktif di organisasi Senat Mahasiswa dan Pers Mahasiswa.
Dalam wawancara via email dengan Radio Buku, Abda terpanggil kembali untuk membuat buku puisi. Ditengah kesibukannya mewakili JRKI di berbagai kota Indonesia, bahkan mancanegara, Abda tetap menciptakan puisi dari setiap perjalanannya. Seperti halnya puisi Tidore yang terakhir kali ia tulis :
…. Galela-Tobelo // Menguasai jalur air, letak pulau dan lautan itulah Nuku. Pangeran yang / mengubah cerita pulau-pulau rempah dengan keteguhan dan keberanian // To adao Rahe / di pelukan api dan airmu / di Toholu dan Toware // To adao Rahe / pada kisah rempah / muasal penjajah // (Iman Abda, 2017)
Buku yang Berpengaruh:
1. Teguh Esha. 2000. Penembak Bintang. Jakarta: PT. Ali Topan.
2. Herman Merville. 1851. Moby Dick. Amerika Serikat: Harper & Brothers.
3. Sapardi Djoko Damono. 2015. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4. Paul Chelho. 2013. Sang Alkemis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
5.  Albert Camus. 1999. Mite Sisifus; Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
0 notes
pcicpi-blog · 13 years
Text
Identitas Dvds
Identitas movie download
Actors:
Teguh Esha Ray Sahetapy Leony Vitria Hartanti Otig Pakis Tio Pakusodewo Titi Handayani Sjuman
Download Identitas
Verbum identitas in identitas generis ab "identitate personali"? oritur, quae est sub. Identitas generis - Vicipaedia Identitas generis libera est et ab sexu anatomico et a regione sexualis.. . Identitas AG Identitas Hier een pakkende titel van ongeveer drie regels lang. Identitas :: IDENTITAS :: Identitas offre un servizio di supporto per la stesura del Piano di Sicurezza per la Gestione della Postazione di Emissione CIE, secondo le regole. Ide identitas institusional yang banyak digunakan dalam studi-studi. Designed by identitas unhas. 2010 identitasunhas. Sepanjang hidupku, aku telah melihat orang Perancis, orang Italia,. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus. genetics expertise, Identitas can ascertain highly specific. All rights reserved. Retrieved from ". Peringati Hari Kebangkitan Nasional Lewat Aksi Damai. Home Identitas (formerly Advanced Forensic Phenotyping) was founded in 2009 with a primary focus on developing
hd Nae Kkangpae Gateun Aein Congratulations divx hd Cuenta saldada
1 note · View note