#representasipolitik
Explore tagged Tumblr posts
Text
Representasi Politik di Indonesia dan Permasalahannya
Salah satu problem aktual terkait representasi politik yakni adanya ketidaksetaraan politik. Dalam kasus tertentu, kesetaraan politik berimbas pada partisipasi politik. Jika masih ada perbedaan kelas, gender atau etnis dalam masyarakat maka ini merupakan bukti bahwa ada ketidaksetaraan politik (inequality).Kesetaraan politik tidak secara spesifik menunjukkan jenis perlakuan, ini dapat berarti bahwa setiap orang itu seharusnya sama dalam kekuasannya mempengaruhi kebijakan dan setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk memilih/memenangkan kandidat tertentu dalam suatu pemilu.
Contohnya dalam pemilihan gubernur pada paslon Ahok yang membawa-bawa etnis tertentu yakni Cina. Masyarakat kerap menghubung-hubungkan Ahok yang Cina dengan adanya krisis moneter tahun 1998 dimana terjadi social gap yang sangat tinggi antara warga pribumi atau keturunan Indonesia asli, dengan warga asing yang kebanyakan Cina. Pada kala itu,warga asing menjadi pelampiasan amarah warga pribumi atas inflasi yang sangat tinggi tersebut. Banyak rumah-rumah warga asing dijarah, bahkan dianiaya. Pada pemilihan gubernur ini, jika isu-isu tersebut terus diangkat dan semakin diperkeruh oleh pihak-pihak terkait, maka akan dapat dipastikan akan terjadi penurunan elektabilitas suatu paslon.
Selain itu adanya ketidaksetaraan gender dalam politik. Perempuan di seluruh dunia pada tingkat sosial kurang terwakili suara dan kepentingannya di parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang menyangkut kepentingan publik pada umunya dan kepentingan perempuan khususnya. Padahal gerakan perempuan dan teori politik feminis telah memberikan peran terhadap perubahan yang terjadi. Rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam struktur partai politik dan parlemen, bukanlah akibat keterbatasan aspek ekonomi dan tingkat pendidikan perempuan saja. Namun, rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam politik sebenarnya dipengaruhi oleh begitu banyak faktor baik itu faktor budaya patriarki, ekonomi, dan sosial politik.
Masalah lain yang muncul yakni kualitas perwakilan pada setiap parlemen yang buruk. Berdasarkan kajian empiris mengenai praktik perwakilan politik modern, Jane Mansbridge dalam “Rethinking Representation” (2003) mengemukakan adanya empat kategori perwakilan politik yang masing-masing membawa konsekuensi akuntabilitas yang berbeda.
Pertama, adalah konsepsi klasik promissory representation. Ini merujuk pada perwakilan politik yang didasarkan pada pemenuhan janji-janji politik ketika kampanye. Tipe ini berfungsi baik sebagai pemegang mandat politik maupun wali kepentingan (trustee) dari sekelompok orang yang diwakilinya. Wakil rakyat akan dianggap bertanggungjawab dan memiliki akuntabilitas jika mereka berjuang sebisa mungkin untuk memenuhi janji-janji kampanyenya.
Kedua, adalah konsepsi anticipatory representation. Para wakil rakyat dalam konsepsi ini akan bertindak dan berjuang untuk kepentingan konstituen yang akan memilihnya nanti dalam pemilihan umum. Orientasi politik mereka kuat ke depan. Terkadang keputusan politik yang mereka ambil tidak selalu harus sesuai dengan apa yang dijanjikannya dalam pemilu yang lalu karena pertimbangan-pertimbangan perubahan kondisi sosial-politik dan demi kebaikan kepentingan konstituen di masa depan.
Ketiga, adalah konsepsi gyroscopic representation. Ini merujuk pada praktik keterwakilan politik yang didasarkan pada kesamaan ide besar para wakil rakyat dengan konstituen yang diwakilinya. Ibarat mesin yang berputar pada dirinya, mereka ini dapat bebas bergerak dalam putaran ide maupun kebijakan yang selaras dengan kepentingan konstituennya.
Keempat, adalah konsepsi surrogate representation. Ini adalah perwakilan yang bersifat non-teritorial dalam praktiknya karena para wakil rakyat bertindak dan memperjuangkan suatu isu atau aspirasi lintas batas distrik pemilihan. Misalnya, dalam isu-isu lingkungan hidup maupun hak-hak kelompok minoritas yang terkadang tidak sepenuhnya menjadi perhatian konstituennya.
Dengan adanya perbedaan jenis tersebut, akan membawa pada konsekuensi yang berbeda. Seperti yang kita ketahui, sistem perwakilan kita masih mengandalkan dari calon-calon partai politik. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa hakikatnya, para calon tersebut berusaha menang bukan untuk menjadi wakil rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat, melainkan kekuasaan tersebut menjadi tujuan utama yang akan mempermudah kepentingan-kepentingan yang dibawa, entah kepentingan pribadi dan “titipan” dari partai politik yang membawahinya.
Partai politik tidak lagi melakukan kaderisasi dengan tepat, namun membuka lahan bagi pribadi-pribadi yang memiliki ambisi kekuasaan tertentu. Hal ini jelas berdampak pada kualitas perwakilan yang dihasilkan dan akan semakin meningkatkan praktek-praktek kriminal dalam politik.
Sumber:
- http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/1311-eskalasi-protes-dan-masalah-representasi-politik.html
- Esty Ekawati. (2014). DARI REPRESENTASI POLITIK FORMAL KE REPRESENTASI POLITIK NON-ELEKTORAL. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
0 notes