#programsastra
Explore tagged Tumblr posts
aisyaharminia · 6 months ago
Text
Mungkin bisa dibilang ini adalah surga. Seperti yang tuhan firmankan dalam kitab suci, bahwa setelah ada kesulitan akan ada kemudahan. Kalimat itu bahkan dituliskan dua kali, memang seperti memberikan harapan besar untuk hamba-Nya. Pun aku mengaminkan ayat suci tersebut. Aku mendapatkan kebahagiaan yang tak ternilai setelah kesedihan dan keletihan mengurungku selama enam bulan. Tanpa jeda tuhan benar-benar menggantinya dengan kebahagiaan.
Aku kira malam itu hanyalah sebuah mimpi. Seperti lupa bagaimana kebahagiaan bisa memenuhi rongga dada. Wajah yang aku pun mengaguminya sebagai hasil ciptaan tuhan datang untuk menjadikan aku separuh agamanya. Aku pikir ini adalah posisi tertinggi dari sebuah kata cinta.
Tembok putih dengan atap merah itu menunduk ikut memberikan ucapan selamat. Dua bagian yang terasa dingin selama enam bulan lalu akhirnya bisa bernafas lega dengan kehangatan. Aku tersenyum malam itu, tapi entah bagaimana dengan rupaku. Aku lupa bahwa ada seorang yang mungkin masih bersedih dan tidak ikut berbahagia atas kebahagiaanku. Lalu setelah beberapa tahun nantinya aku meras naif atau mungkin bersalah.
Malam itu dan beberapa hari kedepan aku terus meyakinkan diri bahwa yang sedang aku lalui bukanlah mimpi. Kebahagiaan seperti bukan menjadi jatah hidupku namun aku terus saja diberi kebahagiaan oleh tuhan selama beberapa hari dan tahun itu. Wajah tirus dengan rambut lurus itu menemani dan memelukku setiap malam. AH, bolehkah aku menangis pada bagian ini?
Kalau aku diberi ujian seperti seorang murid yang sedang menempuh pendidikan bukankah itu adalah sebuah kemakluman dan kewajaran? Bukankah tahun-tahun berikutnya setelah kepedihan yang kulewati bisa saja menemui kerikil yang tidak hanya satu atau dua? Bukankah dengan begitu tuhan masih menginginkanku untuk dekat dengannya? Lalu mengapa harus ada kata mengeluh setelah kebahagiaan terbesar itu tuhan berikan untukku?
4 notes · View notes
aisyaharminia · 7 years ago
Text
Kau yang Ada di Mimpiku
Panas matahari masih terasa di pelipis kananku. Mataku yang sayup-sayup mengantuk perlahan membuka. Menyilaukan. Silau mentari yang dikata anak sekolah dasar sebagai energi yang tak dapat diperbarui itu membangunkanku. Aku sudah terjaga sedari lima menit yang lalu namun tubuh ini masih kaku. "Tik tok tik tok tik tok" suara jam memekik. Aku tak bisa apa-apa. Melamun saja sampai tubuhku juga tersadar dari trauma dalam mimpi.
Semalam aku bermimpi tentang seorang perempuan yang tidak asing. Seseorang yang berjasa dalam hidupku. Baik dan buruk jasanya itu relatif, bahkan aku sebagai objeknya saja seringkali berubah pikiran. Kebaikankah atau keburukan yang aku terima darinya? Terlepas dari itu, kalau ada yang meminta pertanggung jawaban atas kondisi psikisku saat ini, dialah yang paling bertanggung jawab. Semalam aku memimpikan perempuan itu, lagi-lagi.
Ketakutan, kekecewaan, dan kehampaan adalah tema dari setiap mimpiku setiap kali perempuan itu jadi tokoh utamanya. Terkadang aku bisa mengubah sewaktu-waktu, yang ketika ada zombi ingin memakanku, aku bilang stop lalu zombi itu berhenti. Berbeda dengan mimpi yang kalau perempuan ini jadi tokohnya. Aku bertekuk lutut. Aku bersembunyi dibalik pintu lemari kamar. Aku menangis tanpa air mata kalau dia menyakiti dalam mimpi. Kejadian itu terus berlanjut kelak sampai aku menikah. Sampai pada saatnya umur menerkam ketakutanku. Melamat habis hingga memori-memori itu terhapus dalam otakku.
Waktu itu aku masih berumur delapan tahun, sekitar kelas dua sekolah dasar. Entah bermimpi atau bukan, tapi aku yakin itu sebagai kisah nyata. Seorang perempuan menyumpahiku dengan kalimat yang tidak aku mengerti waktu itu. Kalimat itu terus terngiang dalam kepalaku sampai aku memahami, "Tidak sepantasnya perempuan itu mengatakan hal seperti ini pada anak kecil". Aku sedih sekali kalau mengingat umpatan itu. Aku sampai berpikir kalau kalimat itu merundungi jiwaku, yang meresap ke dalam diriku menjelma menjadi sugesti buruk, "Jadilah aku saat ini karena doa dari perempuan itu".
Masih di waktu yang sama, mau pagi atau malam. Malam atau pagi, perempuan itu suka sekali berbohong. Tak terkecuali kepadaku. Karena itulah aku pikir, aku menjadi seseorang yang takut berbicara, takut menyela, takut mengatakan aku suka, dan takut mengatakan tidak.
Pagi ini kabut masih bergelantungan di langit sampai pukul tujuh. Tidak ada alasan bagiku untuk berdiam diri di indekos. Apalagi menempel di kasur seperti kutu. Ternyata kabut lebih tebal dari yang kukira. Saat berjalan menuju halte seakan aku sedang berada di kotak putih yang tidak berujung. Udara yang aku hirup seperti lebih banyak uap airnya ketimbang oksigen.
Pukul dua belas hari ini masih dingin meskipun kabut mulai beranjak naik. Orang-orang di kantor sudah berhamburan keluar. Kursi kerjaku masih lengket. Tidak ada alasan untuk berdiri. Suasana yang paling membuatku nyaman berada di kantor adalah ketika orang-orang itu pergi. Tinggal aku sendiro di sini. Menatap layar komputer sembari menekan-nekan tombol keyboard.
...bersambung
2 notes · View notes
aisyaharminia · 7 years ago
Quote
Esai: Tentang Program Sastra Oleh Kuntowijoyo SEBAIKNYA, setiap pengarang mempunyai program sastranya sendiri. Pengalaman, pendidikan, dan kepercayaan mempengaruhi memori, imajinasi, dan pemikiran. Jalinan kemampuan itu dapat dikembangkan dengan cara teratur hingga karya-karya  sastra pengarang dapat dilihat dari pikiran-pikiran dasar, masalah, tokoh-tokoh dan bangunan karya sastranya. Kepribadianlah yang membentuk program sastra.  Kepribadian yang matang, mantap, namun selalu terbuka dan sanggup menerima serta mencari kemungkinan baru. Di sinilah letak sifat kreatif kepribadian pengarang. Pribadi yang beku dan keras, hanya akan menghasilkan satu kata saja dari sejumlah karya sastra. Orang tidak akan menyukai ketunggalan berpikir. Apakah pikiran-pikiran harus dikemukakan secara menyolok? Mereka yang halus menyembunyikan kepercayaan yang jadi pikiran dasar karya sastranya. Mereka yang kasar suka menonjolkan habis-habisan dan memaksa sejadi-jadinya. Sastra yang baik memilih kehalusan, kebebasan pembaca, dan tidak menggurui. Pikiran-pikiran tidak terpisah, tetapi menyatu dengan jalan cerita. Apabila dalam kalimat pertama saja orang sudah dapat menduga seluruh isi, dan tak ada kerahasiaan lagi, orang yang arif tak akan suka membaca. Juga penyajian pikiran-pikiran kolektif dari pengarang tanpa kejujuran dan kepribadian berbuah sastra yang kering, sebagai mengulang perjalanan yang sama dan menjemukan. Sebaliknya, pengarang yang tidak mempunyai kerangka pandangan, hanya akan menjadi pelapor dari khayal dan kehidupan yang tak bermakna. Kadang-kadang memang banyak yang  ditulis tetap tidak menjadi penting. Bisa saja dilupakan seperti orang melupakan banyak kejadian sehari-hari. Mesin-mesin penghasil cerita tidak akan sanggup memberi warna karya sastra. Program sastra dilancarkan dalam karya sastra dengan prinsip patut mendapat upah yang berarti. Memang ada pembaca yang tak menuntut upah semacam itu, dan malah mencaci maki ketika upah itu dirasa terlalu banyak. Tetapi lupakanlah saja mereka, karena sikap itu tidak benar. Banyak orang menolak untuk berpikir, padahal peradaban dibangun oleh pikiran-pikiran. Sekali manusia berhenti berpikir, peradabanpun boleh lenyap. Kita takut kepada kemiskinan  pikiran, sebagai mana kita takut kepada kemiskinan material. Program sastra dilancarkan dalam karya sastra dengan prinsip seleksi. Pengarang yang terprogram bersikap selektif terhadap realitas yang ditangkapnya, mengendalikan khayalnya. Tidak semua masalah, tokoh-tokoh cerita dapat mendukung pikiran-pikirannya. Ia harus melakukan pilihan dengan tepat, apa yang bisa ditulis dan apa yang harus ditinggalkan. Dalam benak pengarang kadang-kadang berjejal banyak cerita yang bisa dituturkan, tetapi tunggulah.  Pengarang harus mengendapkan dahulu bahan itu, sampai suatu ketika ia menemukan makna yang lebih dalam dari cerita itu, bukan sekedar mengasyikkan. Semua pengarang pasti ingin menulis sebanyak-banyaknya, tetapi baiklah dipakai prinsip seleksi. Seleksi itu akan timbul sewajarnya dari program sastra. Setiap karya yang dituliskan hendaknya adalah bagian dari program itu, seperti juga program sastra menjadi bagian dari pribadinya. Setiap kerangka cerita harus dicarikan tempat duduknya dalam kerangka pikiran pengarang tentang hidup. Kemudian dituliskan, dan barulah suatu karya mempunyai arti, setidaknya menurut pengarangnya. Mungkin juga terjadi, apa yang dianggap berarti oleh pengarang tidak dianggap berarti oleh pembaca. Itu suatu hal yang biasa. Yang penting bagi pengarang ialah kalau semua karyanya mewakili dirinya, mencerminkan pribadinya. Pengarang tidak boleh asing dengan karyanya sendiri, artinya tidak boleh mencipta apa yang tak diyakininya. Kalau terjadi penciptaan tanpa kesadaran, karya sastra itu adalah anak haram. Melahirkannya adalah dosa. Mungkin terjadi, gairah menulis akan hilang bila pengarang menunda gairah menulisnya. Tidak perlu putus asa, pengarang yang baik tak akan kehabisan bahan. Untuk mengisi karya sastra dengan kadar intelektuil diperlukan waktu dan tenaga. Pergulatan antara rangsang untuk menulis dan kehendak untuk memberi bobot adalah ujian bagi kesabaran pengarang. Pengarang harus berusaha mengendalikan rangsangan-rangsangan alamiah untuk dipadukan dengan kekuatan akal. Pengarang jangan condong kepada salah satu saja. Intelektualisme dapat membahayakan sastra, karena sifat abstrak dan keringnya. Padahal sastra kurang lebih adalah hidup yang aktuil. Untuk menuliskannya hanya pikiran-pikiran baik diserahkan orang lain. Sastra yang lengkap ialah yang hidup, sebagai hidup sehari-hari, tetapi dengan makna. Sastra yang pincang ialah yang mengawang, atau yang sangat keseharian. Pikiran filosofis sering cenderung ke sastra yang abstrak, kritik sosial yang cenderung ke keseharian. Untuk membenarkan kedudukan sastra dalam masyarakat, sastra harus mempunyai jalannya sendiri. Yaitu jalan yang tidak ditempuh oleh sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, dan juga yang  bukan mata orang awam. Sastra terletak sedikit di atas atau dibawah kehidupan sehari-hari. Di atas, dalam arti sanggup menarik makna dari kehidupan. Di bawah, yaitu sanggup melihat bagian yang paling kecilpun dari kehidupan. Ia sanggup melihat manusia dari abstraknya dari konkritnya, semua dimensinya, manusia luar dan dalam. Tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah orang dari hidup sehari-hari, tetapi yang tak terjangkau oleh filsafat, ilmu dan mata awam. Gambaran sastra tentang hidup lebih tajam dan cermat. Sastra dapat menangkap manusia secara lengkap. Pengarang yang mencipta tokohnya, mengetahuinya sedalam-dalamnya, kesadaran dan ketidaksadarannya. Pengetahuannya tidak terbatas kepada data-data faktuil, tetapi mengetahui seginya yang paling rahasia. Oleh karena itu pengarang dapat menjadi wakil yang tepat dari kemanusiaan. Penerapan prinsip seleksi sering mengebiri kemampuan mencipta pengarang. Kekurangan itu dapat ditutup dengan usaha mencari pengalaman baru, mempertajam kepekaan, memperkaya diri dengan kecerdasan dan pengetahuan empiris. Fiksi yang bertumpu pada ingatan, pengalaman, khayal, penyelidikan tidak akan kehabisan tenaga. Tanpa ikatan dengan suatu program karya-karya sastra pengarang akan nampak sebagai cakar ayam. Tidak menunjuk ke kesatuan pernyataan pengarang. Apakah program itu suatu belenggu? Ya dan tidak. Tergantung dari kelenturan pikiran pengarang. Dogmatis terbelenggu oleh pikirannya, tetapi mereka yang longgar pikiran tidak. Program hanya penunjuk jalan. Perlu diingat pula, pengarang tidak dinilai dari programnya, tetapi dari karya sastranya. Sebab, sastra masih saja tetap sebagai sastra, yang dapat dinikmati dan dibaca itu. Program sastra menguntungkan pengarang. Pertama, sebagai pedoman untuk menjadikan karya sastranya sebagai suatu keutuhan. Kedua, dapat menjadikan sastra sebagai bagian yang sah dari pribadinya. Ketiga, ada sumbangan positif kepada sesamanya, kalau pikiran-pikirannya diperhatikan. Tetapi apabila dengan program ia dikuasai oleh kebekuan, maka sastranya akan terasing, terpencil, tidak ada relevansi dengan kehidupan. Memang tidak selalu pengarang yang terpencil adalah dogmatis, tetapi pengarang yang dogmatis pasti terpencil. Keterpencilan pengarang yang berprogram diterima sebagai tragedi. Pengarang yang tak punya pamrih, kecuali menyatakan kejujuran tentang apa yang diketahuinya, bisa terasing dari masyarakat. Marilah kita mendorong pemberani-pemberani. Program sastra dapat dianggap sebagai pertanggungan jawab pengarang. Mengarang tanpa suatu program, sama dengan mengobral kata dengan sia-sia. Kesia-siaan adalah musuh peradaban, kecuali kalau orang menganggap hidup itu sia-sia. Sekali pengarang menangkap makna dari kehidupan, ia mengambil sikap, dan tak jemu-jemunya ia menyajikan lewat karya-karyanya. Program itu tidak harus dituturkan dalam satu sistem filsafat, tetapi tersirat dalam setiap karya sastra. Pendek kata, pengarang harus tahu untuk apa dia itu menulis, hingga pekerjaan itu tidak muspra. Hanya pengarang yang mempunyai program sastra dapat mengetahui tujuan-tujuannya sendiri, dan mengembangkan kreativitasnya. Pikir-pikirlah tentang suatu program sastra! Jakarta, Desember 1972
Esai ini disalin dari majalah Budaja Djaja No. 59, Tahun Keenam, April 1973. Tulisan ini semula adalah makalah yang dibentangkan penulisnya di Pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), pada 1972.
2 notes · View notes
aisyaharminia · 7 years ago
Text
Konversi
#Part4 "Sial, sudah jam tujuh” Kau memaki dirimu sendiri setelah tidak sengaja tertidur sehabis subuh. Kau ingat akan janjimu dengan Juli untuk observasi salah satu komunitas mahasiswa yang bergelut di bidang literasi. Kau membuka gawai dan melihat ada pesan Juli yang mengingatkanmu untuk pergi jam tujuh. Rapat beberapa hari yang lalu memutuskan penampilan organisasimu mengangkat tema sosialis. Kau tahu kabar itu dari pesan yang disebarkan Klara. Tidak seperti biasanya, observer kali ini dikelompok-kelompokkan. Setiap kelompok terdiri dari dua sampai tiga orang. Kau menyicingkan mata ketika melihat namamu disandingkan dengan Juli. “Pintar sekali Surya”, gumam dalam lubuk hatimu yang paling dalam. Beberapa hari ini Juli menghubungimu untuk keperluan observasi. Lalu kau membalas dengan santun. Tidak ada alasan untuk menolak, ini hanya urusan pekerjaan saja, begitu kata batinmu dalam hati. Kau bilang pada Juli waktu itu untuk mencari informasi terlebih dahulu sebelum terjun untuk observasi. Malam-malam saat hujan pun kau terabas. Kau mencari informasi tentang komunitas yang akan kau dan Juli observasi. Rasanya, kau tidak ingin mematahkan semangat Juli yang menggebu untuk pergi observasi. “Aku telat sebentar Jul,” pesan yang kau kirim ke Juli. Lalu buru-buru kau pergi mandi. Kau terlihat sangat tidak santai karena pergi dengan Juli. Kau pilih-pilih akan memakai baju apa. Kemeja lengan panjang yang berwarna hitam sedikit menarik perhatianmu. Akan terasa nyaman kalau memakai baju berwarna gelap, batinmu. Langit cerah pagi itu. Seperti Juli yang terlihat bersemangat dengan anggota komunitas itu. Kau memandangnya seperti matahari yang sedang memberi pengharapan baru kepada bumi. Kau diam tak ingin mencampuri kesenangan Juli yang sedang bergelut dengan pemikirannya. Diskusi Juli dengan komunitas itu hanya samapai di telingamu. Pikiranmu menari-nari dengan topik berbeda dari yang mereka bahas. Kau sedikit merasa geli dibagian kepala, entah apa itu. “Apa ada semut dikepalaku?” pikirmu seperti itu. Sesuatu yang menari-nari dikepalamu yang kau anggap semut itu semakin menyebar. Melewati kerongkonganmu. Kau menelan ludah karena rasa gatal. Semut itu lalu saja, tak mendengarkan batinmu yang berteriak-teriak di tengah percakapan Juli dan Angga, ketua komunitas. Tak kau sadari keringat tengah membuncah dari garis rambutmu. Begitu gugupnya kau sampai tidak sempat menyeka peluh di kepalamu. Kau melihat senyum Juli yang mengembang. Tertawa ringan sesekali melirikmu berupaya agar kau ikut berdiskusi. Tapi semut itu semakin merangsek organ dalammu. Hingga yang kau khawatirkan terjadi juga. semut itu menggerogoti jantungmu. Seketika irama detak jantungmu meningkat, nafasmu tersengal sedikit, karena kau masih bisa mengatur nafas itu. Ah ada yang tidak beres, batinmu. “Ton, aku pikir kita datang ke tempat yang tepat” kata Juli sambil menyibak rambut pendeknya. Dan ketika Juli berbalik menoleh pada Angga, kau semakin yakin ada yang tidak beres dengan ragamu.
0 notes