Tumgik
#praktik persalinan di mentawai
diajengpangestu · 8 years
Text
Dipersimpangan Zaman: Saat Masyarakat Mentawai Memilih Persalinan Tanpa Bantuan Tenaga Kesehatan
Tumblr media
Anak kecil itu merengek minta dibelikan jajan kepada ibunya. Dengan sedikit mengiba, akhirnya dia berhasil meyakinkan si ibu agar diberi uang uang untuk membeli makanan. Menggunakan bahasa Mentawai ibu mengacung-acungkan jari agar anak tidak membeli serbuk minuman penambah energi. “Iya, dia kalau jajan suka sekali beli Extra Joss. Terus dimakan gitu aja,” ujar Titin, ibu si anak ketika saya tanya. Bersama sepupunya yang duduk di bangku sekolah dasar, anak kecil itu bergegas menuju warung kelontong atau akrab disebut kedai. Tanpa alas kaki, langkahnya sengaja mengarah pada kubangan air yang tertampung di tengah jalan desa. Kemudian dia kegirangan.    
 Daniel, anak laki-laki itu, berusia 4 tahun saat saya berkunjung ke Saliguma, desa pinggir pantai di Kecamatan Siberut Tengah pada Oktober 2016. Cukup banyak anak usia seusia Daniel yang yang saya temui di desa yang berbatas dengan Teluk Sarabua. Dilansir dalam statistik desa tahun 2014-2015,  jumlah penduduk berdasar usia yakni, 0 hingga 15 tahun sebesar 43% dari total jumlah penduduk. Berada di wilayah kepulauan, Saliguma menjadi salah satu desa di Indonesia yang belum dialiri listrik selama 24 jam. Fasilitas pendidikan pun masih berbatas PAUD, Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Walhasil, untuk menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), masyarakat harus bertandang ke SMA terdekat, seperti ibukota Kecamatan Siberut Tengah, Saibi atau menyeberangi teluk menuju Muara Siberut, ibukota Kecamatan Siberut Selatan.          
 Memiliki fasilitas kesehatan berupa 3 Polindes dan 1 Puskesmas Pembantu (Pustu) dengan cakupan kerja untuk 11 dusun, belum membuat masyarakat berkinginan untuk melakukan persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan. “Melahirkan di hutan. Biasanya masyarakat ini kan punya rumah di hutan agar dekat dengan ladangnya. Setelah menikah di bawa ke sana, pulang-pulang sudah bawa anak dia.” Ungkap Yoyok, pendatang yang kini sudah menjadi masyarakat Siberut sejak belasan tahun yang lalu. Cerita lain dari Titin yang melahirkan dua orang anak, Dalih (5 tahun) dan Daniel (4 tahun) dengan bantuan suami juga tetangga terdekat.
 Bukan tanpa sebab, Ketua PKK Desa Saliguma—Marta menyebutkan bahwa dirinya sendiri merasa pantang jika melahirkan dibantu oleh bidan. Perempuan berusia 38 tahun ini menegaskan adanya korelasi antara kekuatan saat melahirkan dengan aktivitas perempuan Mentawai, yang memang banyak beraktivitas di ladang setiap hari. “Seperti saya bukan asli orang Mentawai yang gigih.” Lanjutnya. Bahkan dalam kondisi hamil, tidak ada halangan bagi perempuan bekerja di ladang. Pembolehan berladang bagi perempuan hamil bukan tanpa makna. Bagi mereka, kehamilan dan berladang adalah hal wajar dan tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Siberut. Menurut mereka, semakin banyak beban (pekerjaan), akan semakin mudah mereka melahirkan.
 Mendekati proses persalinan, biasanya suami, lebih khususnya istri sudah mengerti hal-hal yang harus dipersiapkan. Misalnya saja dengan menggunakan alat sederhana seperti, buluh bambu dan pisang sebagai alas memotong tali pusar. Jika suami sedang tidak ada di tempat, semua dilakukan oleh ibu sendiri. Masyarakat Siberut percaya bahwa persalinan manusia mirip dengan proses kelahiran pada kucing, tanpa memerlukan pertolongan. Kucing menjadi referensi yang kerap menjadi tokoh dalam dongeng/hikayat masyarakat, dan kerap muncul melalui tradisi lisan.  
  Pengetahuan tentang persalinan tradisional ini didapat oleh masyarakat berdasarkan garis keturunan berdasar jenis kelamin. Garis informasi seperti itu, berlaku pula pada transfer pengetahuan-pengetahuan reproduksi, khususnya bagi perempuan. Ibu, akan memberikan pengetahuan atas pengalaman, juga informasi berulang yang diberikan secara turun temurun dari ibunya. Salah satu contoh adalah pantangan pada masa kehamilan. Pada fase itu, perempuan tidak boleh melakukan beberapa hal, seperti larangan makan bagian sagu yang lengket, tidak duduk di depan pintu, tidak sembunyi ketika makan, menghindari meminta-minta, dan masih banyak yang lain. Masyarakat  percaya, pelanggaran yang dilakukan berimbas pada keselamatan ibu dan bayi saat proses kelahiran. Sebetulnya, tidak hanya perempuan yang memiliki pantangan saat kehamilan. Suami dari ibu yang mengandung juga memiliki pantangan, seperti larangan mengikat, mengalungkan sesuatu di leher, dan lainnya.
 Sayangnya, tidak ada catatan dari tenaga kesehatan di Polindes dan Puskesmas Pembantu (Pustu)  yang menginformasikan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Bayi (AKB) karena dokumen yang sudah diserahkan ke kecamatan. Namun begitu, berdasarkan informasi di masyarakat, kasus kematian ibu pernah terjadi di Saliguma 2 tahun belakang. Kondisi Saliguma yang tidak memiliki tenaga kesehatan kala itu, membuat penyebab kematian menjadi simpang siur. Meski demikian, masyarakat menghubungkan kematian itu sebab ibu yang melanggar pantangan adat yang salah satunya disebut di atas.
 Melihat fenomena ini, tentu menjadi dilema bagi tenaga kesehatan yang bertugas. Biasanya, jasa para tenaga kesehatan ini akan dipakai oleh masyarakat pascapersalinan. Namun begitu, sebagai upaya antisipasi kematian dan anak besalinan, tenaga kesehatan tetap mendorong para ibu hamil untuk melakukan kunjungan kehamilan secara berkala. Diakui oleh Melly—bidan Pustu Saliguma, meskipun tidak mudah tapi ada juga yang memilih untuk melakukan persalinan dengan bidan.
 Beberapa masyarakat pun mulai menyadari bahwa zaman telah berubah. Meski aturan adat masih menyertai kehidupan mereka, namun terbesit untuk mengurangi aturan adat yang dirasa memberatkan terkait kehamilan dan persalinan. ”Kalau memang pantangan itu (zaman dulu) yang dipakai, pakai. Kalau itu yang ditinggalkan, tinggalkan. Jangan setengah-setengah karena sekarang kondisinya sudah modern. Maaf-maaf kata aja ya, tidur satu ranjang (dengan suami) saat hamil saja enggak boleh.” Pungkas Titin. 
***  
ps: gambar dari sini. 
+) Tulisan ini dibuat berdasar laporan perjalanan Mentawai pada Oktober 2016. Saya bersama mba Amin zubaidah belajar kepada masyarakat di sana tentang kehidupan sosial, budaya, juga ekonomi  termasuk tentang kesehatan.
0 notes