#pilihan nama perempuan islami yang modern 3 suku kata
Explore tagged Tumblr posts
anakperempuannet · 6 years ago
Text
Gabungan Nama Anak Perempuan Islami Modern 3 Suku Kata
Gabungan Nama Anak Perempuan Islami Modern 3 Suku Kata
Tumblr media
Nama Anak Perempuan islami Modern 3 Suku Kata– namaanakperempuan.net. Sedang mencari inspirasi untuk nama bayi perempuan? Anda tak salah jika berkunjung kemari, karena disini kami akan membagikan informasi seputar nama bayi perempuan yang akan kami bahas secara detail melalui artikel nama anak perempuan islami modern dengan 3 suku kata lengkap bersamaan arti namanya juga loh. Maka dari itu jangan…
View On WordPress
0 notes
fyratopia-blog · 7 years ago
Text
...and this is my story.
Beberapa tahun terakhir, sering muncul perdebatan “Muslim dilarang mengucapkan Selamat Natal”. Setiap orang punya argumennya masing-masing yang sangat aku hargai, but personally that’s a really weird notion for me. Walaupun Muslim, waktu SD-SMP, aku terbiasa ikut acara Natal karena setiap akhir tahun ada panggung seni dan makan bersama teman-teman sekelas. Bahkan pernah ikut juga lomba paduan suara lagu-lagu Natal. Kalau bagi umat Nasrani, Natal berarti spiritualitas dan selebrasi kelahiran Yesus Kristus ataupun sebagainya. Untukku Natal menjadi simbol kekeluargaan dan kehangatan. Artinya bahwa setiap orang bisa menempelkan makna-makna tersendiri untuk hal-hal yang ia temui dan alami. Mungkin aja mereka yang mengecam keras mengucapkan Selamat Natal atau pensuasanaan Natal di mal, tapi ikut juga nunggu diskon Natal di department store. That’s a really mainstream joke, but my point is ada ribuan makna yang bisa ditempel ke satu simbol yang sama, berdasarkan pengalaman kita masing-masing.  
Aku lahir tahun 1997 di Jakarta dari ayah keturunan Minang dan ibu keturunan Jawa. Usiaku baru 7 bulan ketika ayah harus meninggalkan dunia. Singkat cerita, Bunda menikah lagi waktu aku berusia 2 tahun—kebetulan dengan yang keturunan Minang juga (yang selanjutnya akan aku tulis sebagai Ayah), dan dari sana aku punya 3 adik. Terlahir dalam keluarga Muslim, aku justru mengeyam pendidikan SD dan SMP di salah satu sekolah Katolik di Jakarta. Ketika aku tanya alasannya ke Bunda, katanya waktu itu pertimbangannya adalah sekolah Muslim yang bagus terlalu mahal dan eksklusif, sedangkan di sekolahku itu siswa dan siswi dari berbagai latar belakang ekonomi dan agama sama-sama bisa memiliki kesempatan. Lingkungan yang inklusif dirasa bisa memberi pelajaran hidup kepada anak-anak, dibandingkan sekolah hanya untuk hal-hal akademis saja.
Kebetulan Bunda dulu juga sekolah di sekolah Kristen dari SD sampai SMP. Setahunya, pada masa itu memang sekolah Kristen dan Katolik lebih bagus dan lebih tinggi rangkingnya dibandingkan sekolah negeri atau Islam. Karena itu juga, lebih dari 50% teman-teman sekolahnya juga beragama Islam. Dilansir dari Tirto.id, sejarahnya memang sekolah modern pertama di Nusantara adalah sekolah Kristen dari masa penjajahan Belanda dulu1. Mendengar cerita Bunda mungkin anggapan tentang sekolah Kristen lebih memadai tersebut masih terasa hingga tahun 1970-1980-an sebelum semakin banyak pilihan sekolah yang sama-sama bagus seperti saat ini.
Belajar dari pengalaman waktu kecil, menurut Bunda, tidak perlu khawatir belajar di sekolah non-Muslim, karena belajar agama Islam pun bisa di rumah. Makanya, aku juga mengalami setiap akhir pekan ada guru mengaji yang dipanggil untuk datang ke rumah. Kebetulan di sekolahku tidak menyediakan kelas khusus agama Islam ataupun agama lain selain Kristiani, yang menurutku bukan masalah. Toh, mempelajari agama lain, bukan berarti otomatis jadi pindah agama kan? Dengan belajar agama yang berbeda di rumah dan di sekolah justru membantuku lebih memahami. Kurang lebih setiap agama mengajarkan hal yang sama, seperti kebaikan, kejujuran, kedamaian, hanya saja dalam penyampaiannya ada bagian atau versi cerita yang berbeda, seperti nama sebutan, peristiwa yang diempasis, hingga bahasa yang membentuk kepercayaan tertentu. Tapi itu semua saling terhubung, like a puzzle you get to make sense of. Aku juga senang aja mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang diadakan sekolah—ikut duduk diam mengamati misa Ekaristi sebulan sekali dan ikut retret di mana nilai-nilai yang diajarkan menurutku mudah dicerna oleh siapa saja penganut agama apapun, misalnya persahabatan, sayang orang tua, dan sebagainya.
Sebaliknya, ketika aku harus puasa di antara teman-teman yang mayoritas tidak puasa, saat itu menjadi kebanggaan tersendiri. Teman-teman suka nanya, “kamu beneran kuat puasa full? kenapa gak setengah hari aja?” apalagi kalau hari itu sedang jadwal olah raga dan aku masih belum memutuskan untuk batal puasa. Mereka cukup menghargai kok, sesederhana bilang maaf sebelum makan dan minum di depanku. Lingkunganku saat itu cukup accepting, tidak pernah ada pengalaman aneh-aneh tentang bullying atau kebencian agama. Ada beberapa teman lainnya juga Muslim maupun beragama Hindu dan Buddha, and we’re all friends. Sama seperti ada juga yang Katolik dan Protestan, and we’re all friends. Ketika jelang libur hari besar keagamaan masing-masing, saling mengucapkan selamat.
Saat SMA, aku memang sudah bertekad ke SMA negeri karena beberapa alasan, dan di sana beda banget. Walaupun istilahnya kembali ke agama sendiri, di SMA justru aku sempat merasakan culture shock. Waktu itu terasa sekolah negeri yang sangat Islami karena setiap pagi harus Tadarusan, setiap siang digiring ke masjid buat shalat Dzuhur, dan setiap hari Jumat perempuan Muslim wajib pakai kerudung. Kalau dipikir-pikir itu hal yang harusnya sudah biasa, tapi konteks yang berbeda membuatku butuh waktu untuk menyesuaikan. Pas bulan puasa, jam belajar jadi lebih cepat dan jam pelajaran olah raga di dalam kelas aja (enak juga ya...). Lalu, setiap hari pertama masuk sekolah setelah hari besar agama Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dll juga ada salaman massal di lapangan sekolah. Buatku pribadi, saat SMA jadi terdorong untuk mengejar banyak ketinggalan dan belajar banyak tentang Islam, which I’m super grateful for.
Adik laki-lakiku yang beda 3 tahun denganku punya pengalaman yang sedikit berbeda. Dia sama-sama lanjut di SMA negeri setelah 9 tahun di sekolah Katolik, beda dengan adik perempuanku masih lanjut di salah satu SMA swasta Katolik dan adikku yang terakhir langsung lanjut ke sekolah negeri sejak SMP. Buatnya, masa SMA jadi turning point—sama-sama mengejar ketinggalan ilmu tentang agama Islam, banyak cara pandangnya yang berubah tentang berbagai hal sehari-hari, termasuk memegang keyakinan bahwa tidak boleh ikut merayakan perayaan agama lain atau sekedar mengucap selamat Natal. Bukan berarti menyesali yang sudah lalu, pelajaran hidup tentang keberagaman tetap jadi satu hal penting yang didapat dari pengalaman selama di SD/SMP, tapi menurutnya pada akhirnya kita harus kembali ke agama sendiri. Dia senang bisa punya banyak guru dan teman-teman yang bisa diajak ngobrol seputar Islam, dan sudah beberapa kali belakangan mencoba ikut kajian di masjid untuk memperdalam ilmu.    
Ceritaku tentang perbedaan agama tidak hanya di sekolah, tapi juga di keluarga sendiri. Waktu usia 11 tahun, Ayah dan Bunda memutuskan untuk pisah, dan aku dan adik-adik tinggal bersama Bunda. Fast forward, Ayah menikah lagi dengan Tante, yang kebetulan beragama Katolik. Dari mereka, aku punya 3 adik lagi yang juga beragama Katolik. Memasuki tahun kelima pernikahan, Ayah memutuskan untuk secara resmi pindah agama ke Katolik, dan perlu diperhatikan kalau keputusan itu bukan karena alasan pernikahan tetapi perjalanan batin pribadi.
Aku ikut hadir ketika adik-adik dan Ayah dibaptis di gereja. Selama dua tahun terakhir aku datang ke rumah mereka setiap Natal dan ikut dapat kado juga. Kalau misalnya ada anggapan, “kok gak menghargai sih? udah tau Islam” Aku bisa-bisa saja menolak kok, tapi menurutku acara-acara keagamaan tertentu bisa saja bermakna lain—dalam hal ini, keluarga. Family first, at least for me. Membuat anggota keluarga lain senang dengan sekedar hadir makes me happy too. Dengan diundang ke acara-acara keluarga/keagamaan seperti itu, aku sama sekali tidak melihatnya sebagai upaya Kristenisasi atau apalah, tapi ya acara keluarga.
Dalam pernikahan sekalipun, misalnya, Ayah cerita kalau waktu sebelum pindah ke Katolik, komunikasi yang terjadi di rumah dengan Tante seputar hal-hal yang universal aja, termasuk tentang Tuhan pun dengan pemahaman masing-masing. Tidak ada percakapan yang menjurus ke mengajak ikut agama tertentu. hanya ngobrol human-to-human. Ayah punya satu kaos favorit yang tulisannya “God has no religion”. Bagi Ayah, agama hanyalah cara untuk menemukan kedamaian dengan Tuhan, dan itu butuh proses. Dalam perjalanannya, Ayah sempat jadi Muslim garis keras, pernah juga belajar ajaran Buddha, sampai akhirnya memilih kedamaian yang didapat dari ajaran Yesus Kristus.
That’s a keyword right there: journey. Perjalanan. All of the things I went through, the places I stopped by, and the people I made memories with made the person I am today. Satu kata kunci lagi: proses. Ada istilah intercultural personhood dari Young Yun Kim diartikan proses individual dalam membangun identitas yang terpengaruh dari berbagai faktor2. Walaupun istilah tersebut seringkali disinonimkan dengan third culture yakni ketika seseorang dibesarkan di lingkungan yang berbeda dengan asal kota atau negaranya, menurutku intercultural personhood bisa juga berarti proses apapun yang dilalui oleh seseorang untuk membangun dirinya sendiri. Seperti dalam Intercultural Personhood and Identity Negotiation yang mengkonsepsikan intercultural personhood seperti intercultural identity, yang mana merupakan pencampuran antara identitas individu dan kolektif, sekaligus ada proses universalisasi di dalamnya3.
Ketika sempat mengobrol seputar masalah-masalah intoleransi di Jakarta, Indonesia, hingga dunia, kata memahami sering sekali disebut sehingga bisa dikatakan sebagai titik awal dari toleransi dan multikulturalisme. Seringkali kejadian-kejadian yang merendahkan suku, ras, dan/atau agama berakar dari tidak paham dan tidak mau paham dan berakhir pada memaksakan kehendak. Cerita dari Ayah dan Tante seputar sulitnya izin pembangunan gereja di suatu daerah di Jakarta Selatan, lalu pernah juga dipersulit ketika mau renovasi rumah Pastur karena warga menganggap nanti akan dipakai untuk ibadah. Lantas, apa bedanya dengan pengajian yang suka diadakan di rumah?
Karena sempat dibesarkan dengan ajaran Islam, Ayah merasa dalam menanggapi kasus-kasus serupa jadi lebih mengerti dan berempati. Misalnya, teman-temannya yang Nasrani marah dengan tindakan-tindakan ormas-ormas Islam yang merendahkan Kristus, buat Ayah seharusnya kembali lagi mengingat ajaran kasih sayang mutlak dari Kristus. Jangankan dengan orang Muslim, kadang dengan sesama orang Nasrani pun sering ada multiinterpretasi tentang ajaran tertentu, tapi pada akhirnya bagaimana kita menjalankannya adalah keputusan individu. Cara lain yang Ayah lakukan adalah dengan tidak share apapun yang berbau hate speech ke media sosial, karena ia merasakan empati yang sama untuk orang yang koar-koar merendahkan agama lain dengan mereka yang merasakan betapa sulitnya bangun gereja. Lingkungan di mana dan bagaimana kita dibesarkan tidak bisa dipungkiri memang menjadi faktor penting dalam membangun siapa sekarang, misal Tante yang dari kecil terbiasa punya anggota keluarga dengan agama yang beragam, maupun cerita Bunda, aku, dan adik-adikku yang terpapar banyak keberagaman.
Agama pun hanya satu bagian dari identitas seseorang. Belum lagi suku dan keturunan, etnis, kewarganegaraan, hingga kosmopolitanisme yang semuanya memberikan nilai-nilai yang berbeda. Waktu aku tanya tentang cultural clashes antara Jawa-Minang di lingkungan rumah, kuatnya kekeluargaan jadi hal yang paling sering disebut sebagai nilai utama dari suku Minang. Dilihat dari hal-hal sehari-hari seperti Ayah yang terbiasa untuk selalu in touch dengan keluarga setiap hari sampai fenomena-fenomena ‘unik’ di keluarga besar. Kalau kata Bunda yang keturunan Jawa, di keluarga Ayah hal sekecil apapun selalu diomongin bersama, termasuk komentar-komentar dari sanak saudara waktu Ayah dan Bunda memasukkan aku dan adik-adikku ke sekolah non-Muslim. Adikku mengalami sendiri waktu Lebaran beberapa kali pernah ditanya dan dinasihati kakek-nenek om-tante dari keluarga besar. Apalagi waktu tersebar kabar Ayah sudah resmi pindah agama, ada kemarahan dan kekecewaan— yang sebenarnya punya latar belakang kultural-historis, mengingat budaya suku Minang yang sangat terkait erat dengan ke-Melayu-an dan ke-Islam-an juga4. Untuk orang awam mungkin annoying, tapi ketika kita melihat konteksnya, kita lebih bisa memahami.
Kembali berbicara soal multikulturalisme, setelah memahami, datanglah jangan memaksakan kehendak. It’s the least that we can do knowing that difference is inevitable, and it’s not impossible to reach a settlement by the end of the day. Biarlah setiap individu menikmati perjalanannya masing-masing. Sadar kalau kita berbeda itu pasti, dan memahami pun bukan berarti harus mengikuti. Memahami adalah mau mendengar cerita orang lain—kisah hidupnya dan alasan-alasan di balik pilihannya yang bisa jadi pemikiran individu, pengaruh institusi seperti agama, pendidikan, media massa, dsb, ajaran budaya, atau perpaduan semuanya. Seperti kamu yang sudah membaca ceritaku sampai selesai, terima kasih banyak and hope to hear your story soon!
- Zhafira Athifah Sandi
References and Further Readings: 
1Matanasi, P. 2017. Sekolah Modern Pertama di Nusantara adalah Sekolah Kristen. Tirto.id [link]
2Jackson, R.L. 2010. Encyclopedia of Identity: Volume I. SAGE Publications. [link]    
3Dai, Xiao-Dong. 2009. Intercultural Personhood and Identity Negotiation. China Media Research. [link]
4Abdullah, Taufik. 1966. Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia no. 2. [link]
3 notes · View notes