#perempuan senja
Explore tagged Tumblr posts
Text
I MET SOMEONE WITH THE SAME FAM NAME AS ME AT PEPRUSNAS???
#jasa pos telkomsel#so there's like a politeknik perikanan outing i think? from kementrian and all#and i was petting kitties and theres some politeknok girls beside me and the kitties#and they're pretty cool and one of them say “hey where's (my fam name)'#and i say hi? hello? then they say what? i say “me thats me I'm (fam name)”#then they laugh and call their friend over who's actually from Bau bau!! so my fam name is used in 2 different islands in sultra and she's#from buton and im from muna#its pretty cool#then we exchange instas and all!;; she's cool for real!!#also I drew something for the pameran perempuan I'll show y'all later i think. its a crayon drawing of senja bc i think she's perfect#and shes my wife#theyre a bunch of grey uniformed people btw theyre from the politeknik
2 notes
·
View notes
Text
Rindu Rindu Telah Pulang
pernah diunggah di storial
Malam tadi tepat ketika pukul dua belas, satu rinduku mengetuk pintu jendela. Ia adalah rindu yang aku kirimkan tepat di malam aku menyerah. Saat aku membuka jendela, rindu itu memeluk tubuhku, dan berbisik tepat di telinga kanan.
"Sudahi, ia bahkan tak sudi mendengar namamu."
Aku tersenyum kecil, membawa masuk rindu itu kembali dalam dadaku.
Kembalinya rinduku tadi malam, maka menjadi rindu terakhir yang pernah aku kirimkan kepada cinta yang penuh penolakan. Tepat sebelum pukul dua pagi, di bawah rembulan yang redup, dinginnya tepi kota, aku satukan semua cinta, mengirimkannya ke langit tanpa gemintang.
Pagi tadi, saat aku terbangun detak di dadaku berhenti. Aku kelabakan mencari bantuan, saat itulah aku tahu, jantungku kehilangan fungsinya ketika cinta sempurna aku musnahkan.
Aku pejamkan mata tanpa detakan, dan ketika aku buka perlahan, cinta itu sedang menertawakanku. Sialnya, setelah aku layangkan ke langit malam, ia pulang dalam bentuk yang lebih besar, dengan warna merah pekat menyala, dan hangat seperti senja ketika kemarau tiba.
Aku tersenyum miris, sedang cinta berhamburan memeluk, memenuhi seluruh tubuh. Mereka kembali dalam bentuk cinta yang semakin membuncah. Memenuhi tubuhku dengan sayatan, merah mengalir menggenang memenuhi kamar. Aku menenggelamkan diri, membiarkan merah pekat itu membunuhku. Tapi sayang, mereka membiarkan aku menyala dengan segala cinta.
Saat itu lah aku tahu, ada yang bisa membunuh tanpa menyentuh. Ada yang bisa mati tanpa berhenti. Ada yang tetap tumbuh tanpa ditanam. Dalam hidupku, ialah cinta.
Dulu aku kira, aku pendekar yang akan menghunuskan pedang ketika terluka. Ternyata ketika aku cinta, aku lah yang rela dihujam dengan semua belati yang kau punya. Aku ingat satu kisah, dimana cinta yang terluka membunuh sebagai balasan luka, si perempuan lah yang menghunuskan pedang, si laki-laki yang rela dihujam, dan menjelma menjadi kunang-kunang.
Ternyata aku, adalah yang ingin jadi kunang-kunang, hangus dari muka bumi sebagai manusia. Dan mencintai meski tak dihargai 1300 tahun lamanya.
Sekarang, telah aku kirim nyawaku yang kau minta. Bersama angin timur, melewati wilayah di mana tak ada rindu yang melintas. Aku biarkan kau menghancurkanku dengan segala cara, karena sekalipun aku ingin, cinta itu tak mau pergi. Maka, bunuhlah cinta itu jika kau ingin. Aku gagal menghancurkannya.
Cinta yang telah membuat aku seberani sekarang, menjadi manusia paling bebas yang tak takut lagi menghadapi dunia. Menjadi paling buruk di mata kehidupan, yang menyerahkan mimpi-mimpi dan tak lagi terikat terhadap apapun dalam tatanan semesta.
Aku tak lagi bernama, nyawaku adalah cinta yang melayang di udara, layaknya kunang-kunang yang akan menemanimu hingga 1300 tahun lamanya.
Rindu-rindu telah kembali, tapi cinta bereinkarnasi menjadi abadi.
tentang lelaki terakhir yang (masih) aku cintai.
111 notes
·
View notes
Text
Masih Tentang Rumah
Hai mas, jikalau tulisan ini sampai denganmu aku harus berbicara jujur.
Hai mas, sebelumnya dari lubuk hati terdalam aku minta maaf sekaligus berterima kasih kepadamu. Minta maaf karena mungkin tuntutanku terlalu tinggi dan terima kasih karena berusaha memenuhinya.
Mas, aku juga belum tahu kapan bertemu denganmu dan kapan kita mewujudkan rumah impian itu. Di tahun ini usiaku genap seperempat abad, bagi sebagian orang desa menganggap sudah terlalu tua dan mereka kerap menagihku untuk segera menikah. Sedangkan saat ini tanda-tanda kedatanganmu belum terlihat.
Mas, aku sudah berusaha meperbaiki yang pernah retak, menyembuhkan luka-luka, dan segala menyakitkan yang akan kuberitahu jika kita sudah bertemu. Apabila nanti aku memilihmu, tandanya kamu adalah harapan sekaligus mimpi dari seorang gadis pemilik masa lalu dengan sepaket traumanya.
Bukan berarti aku berharap kamu akan membahagiakan atau menyembuhkan sakitku, tidak pernah aku berfikir demikian. Percayalah aku sudah mati-matian untuk menyembuhkan berbagai trauma ini, aku hanya tidak ingin merepotkanmu mas.
Aku ingin kamu membimbing dunia akhiratku, membantu menyelesaikan keputusan-keputusan kecilku, adil terhadapku dan keluargamu, mendengarkan keluh kesalku, dan yang terpenting kamu tidak tergiur dengan perempuan lain yang mungkin lebih cantik dariku.
Oh iya jika nanti rumahku dan rumahmu berjauhan, ku mohon berikan aku izin jika orang tuaku merindukanku dan cucunya ya.
Aku ingin rumah dimana energi ku tidak terkuras, tapi bertambah. Permintaanku sederhana bukan? Tapi aku yakin di perjalanan kita nanti nyatanya tak sesederhana itu. Tapi kamu tetap menyakinkanku bahwa semua baik-baik saja dan mudah melewati semuanya.
Sebenarnya aku sudah tidak sabar. Apakah kedatangamu masih lama? Semoga kita dipertemukan dengan iman dan impian yang sama, untuk mengusahakannya, semoga Allah selalu memudahkan.
Mas, aku bukanlah perempuan dengan segala previlage tapi aku suka belajar dan berusaha menjadi baik. Nanti, kita bersama-sama untuk saling meperbaiki diri dan melengkapi kerkurangan ya
Mas, biarkan aku terus percaya jika rumah idaman itu nyata di dunia maupun di akhirat.
Mas, rumah yang sedari kecil aku impikan memang benar akan terwujud denganmu kan?
Mas jangan lama-lama!
15 notes
·
View notes
Text
Yang Patah Tumbuh yang Hilang Berganti
Jika saat ini kamu merasa sedang berduka dengan kehidupan yang tak pernah berpihak kepadamu. Kuceritakan padamu tentang diriku, seorang perempuan yang masih terjebak dalam gelap malam.
Aku melihat pagi, aku melihat senja yang begitu mempesona, tapi malam masih enggan beranjak dari jiwa. Berkali-kali aku beranjak dari satu tempat, namun akhirnya kembali di titik awal. Sempat kumaki diri, apakah aku yang salah? Apakah aku yang memang tak pantas bersanding dengan tawa dan bahagia? Seperti kata mereka. Mengapa luka begitu menyukaiku, memeluk tubuh begitu erat hingga sesak. Kudengar sebuah lagu berdendang, syahdu menyirami bunga-bunga di hati yang telah lama layu. Iramanya pelan membelai rambut, kata demi kata melepas pelukan luka, menggantikan dengan peluk hangat yang manja. Air mata menetes membasahi gurun jiwa yang begitu kering. Lagu itu membujuk, meyakinkan hati yang telah mematung lama di tepi jurang. Perlahan lagu itu mengulurkan tangan, mengajakku menjauhi jurang. Kuraih genggamannya, memeluk dengan isak tangis yang selama ini kutahan. Di penghujung lagu, kuberjanji untuk berdiri, tetap berjuang berjalan di gelap malam hingga kurasa sinar mentari. Untuk itu kukirimkan pada kalian sebuah lagu, lagu yang mampu membuat oase di jiwa, lagu yang kuharap hadirnya mampu menenangkanmu, lagu yang menggantikan resah dengan kenyamanan, lagu yang akan mengubah luka menjadi rasa Syukur kepada Tuhan dengan meyakini bahwa yang patah akan tumbuh dan yang hilang akan berganti.
#curhat#puisi#kata#quotes#cinta#kumpulan puisi#sajak#luka#quote#sastra#puisicinta#puisi pendek#yogyakarta#bandung#sedih#puisi sedih#sajak rindu#puisi rindu#rindu#puisi cinta#kata kata#patah hati#prosa#tulisan#cerita#spotify#hujan#senja#sajak patah#curahanhati
11 notes
·
View notes
Text
Paras akan memudar, tapi tidak dengan iman dan akhlak
Shalat dhuhur sambil menyempatkan diri istirahat di masjid agung yang masyaa Allaah dirindukan, bertemu dengan Ibu paruh baya yang mengingatkanku dengan mamaku sendiri. Sedikit cerita dengan beliau, seorang Ibu yang menikmati masa tuanya dengan rutin melaksanakan sholat 5 waktu di masjid, kebetulan rumahnya tidak jauh dari masjid agung. Usianya sekitar 73 tahun, meskipun nampak memudar cantiknya, tapi tetap berseri-seri. —di luar dari konteks perempuan lebih utama sholat di rumah, beliau mungkin memang dari dulu membiasakan diri sholat di masjid karena masjidnya amat dekat dengan runah beliau. wallaahu a'lam.
Selalu senang bertemu dengan orang yang usianya lebih tua dariku, senang bercerita dan mengambil banyak pelajaran, kisah-kisah hidup untuk bekalku yang masih harus jauh melangkah jika Allaah masih izinkan hidup. Dari beliau, aku belajar bahwa memang mungkin paras kita kelak akan memudar, tapi tidak dengan keimanan, ketalwaan, dan akhlak yang sedari dini selalu dilatih untuk istiqomah.
Paras itu memang penting, tapi, ada yang jauh lebih penting, yaitu keimanan dan akhlak. Tidak terbayang bagaimana orang-orang yang senantiasa meningkatkan keimanan dan memperbaiki akhlaknya, kelak Allaah pasti memberikannya kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, kalaupun suatu hari di usia senja rupanya memudar, pasti akan memudar dengan berseri-seri sebagaimana sejatinya wajah orang-orang yang beriman dan berakhlak baik. Masyaa Allaah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya orang yang paling dekat tempatnya di antara kalian kepadaku pada hari kiamat nanti, yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan orang yang paling jauh tempatnya dariku kelak pada hari kiamat, orang yang banyak bicara dan difasih-fasihkan dan terlihat kehebatannya dengan sombongnya." (HR. Tirmidzi)
Allaah Ta'ala berfirman : اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ "...Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa..." (QS. Al-Hujurat : 13)
Semoga Allaah beri kemudahan selalu untuk kita semua bisa istiqomah dengan keimanan dan akhlak yang baik yang kita miliki, yang menjadi penghias, penolong, dan penyempurna hidup kita di dunia dan akhirat. Aamiin Aamiin yaa Mujiibassailin.
*Pertemuanku dengan Ibu tadi bermula saat beliau membentangkan sebagian sajadahnya untukku, dan akhirnya beliau mengajakku cerita.
(from draft, may 10th)
32 notes
·
View notes
Text
Cerpen: Merindukanmu.
Hujan turun begitu deras, guntur susul menyusul memekakkan telinga. Jendela ruanganku berembun. Ruanganku gelap, cahaya pun tak bisa menembus ruangan ini. Sangat sepi, aku selalu sendirian di ruangan ini, hanya meja belajar dipinggir ranjang dan buku-buku yang berjajar rapih menemaniku. Terdengar suara mobil masuk ke pelataran rumah. Kakiku melangkah pelan, lalu membuka sedikit tirai jendela. Tak ada cahaya matahari, tak ada sinar keemasan menimbun langit. Yang ada hanya langit mendung, juga gemuruh hujan dan aroma paving blok yang basah. Mataku menangkap mobil yang masuk ke pelataran rumah, berhenti tepat di depan rumah. Keluarlah dua orang ceria, terlihat seperti keluarga bahagia. Satu orangnya sebaya denganku, satu tahun lebih muda malah, satunya lagi berwajah tenang, berkerut dikedua mata namun tegas. Tangannya keriput, tapi putih. Ia cekatan mengambil payung dikursi belakang, lalu perlahan membukanya. Membiarkan perempuan satu tahun lebih muda dariku untuk mendekapnya. Kemudian mereka berjalan kearah pintu. Pemandangan biasa yang sering kulihat berkali-kali. Sementara aku kembali melangkahkan kaki, duduk ditepi ranjang. Ruanganku sepi, tak ada siapapun kecuali diriku sendiri, pemuda penyendiri yang hidup didalam kamar. Sehari-hari bertemankan dinding berwarna abu, langit-langit kamar, meja dan kursi belajar dipinggir ranjang, beberapa buku yang berjajar dirak yang tersimpan disudut kamar, juga beberapa gambar yang terpanjang di dinding. Gambar-gambar itu adalah hasil karyaku. Gambar yang terlihat gelap, suram, juga mungkin sendu kalau orang-orang bisa melihatnya. Tapi bagiku itu sangat indah, sempurna, memesona. Sesekali keluar kamarpun untuk mengambil makanan.
Katanya aku seperti monster, orang-orang takut melihatku, setidaknya itu yang digambarkan keluargaku kepadaku. Padahal menurutku tidak demikian, wajahku lumayan, berkulit kuning langsat, bermata tajam, siapa saja yang melihatku mungkin akan terpesona. Alis tebal, rambut pendek hitam legam. Tapi entah kenapa keluargaku sangat takut padaku ketika bertemu, padahal senyumku manis. Tapi aku bagai di iris benda tajam, sempurna menghantam jantungku, hatiku merasa sakit, aku seperti ditusuk ribuan panah, meraba dada, mencengkram baju kuat-kuat, lalu keluarlah air bening nan jernih dipelupuk mata, mengingat adegan nenek tua dan Lili, orang yang satu tahun lebih muda berpelukan. Lihatlah aku kesakitan, aku terluka sendiri, menangis sendiri, tak ada sandaran untukku. Aku adalah burung dalam sangkar, tak bisa kemana-mana, tak bisa menikmati indahnya dunia, menikmati pemandangan jalan, orang-orang berlalu lalang. Tak bisa menikmati aroma dedaunan dan tumbuh-tumbuhan dan bunga yang bermekaran di jalanan, ditaman, dimanapun. Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan. Apakah aku se aneh itu? Seseram itu? Sehingga aku diperlakukan berbeda dari yang lain. Apa yang mereka takutkan? Apa yang membuat mereka berpandangan aneh kepadaku? Sejenak aku selalu berpikir demikian. Hujan sempurna mengguyur seluruh kota, sempurna menyentuh dedaunan, rerumputan hijau, pepohonan, bangunan-bangunan kota. Menawarkan kesejukkan lewat dinginnya angin menembus kulit, menerpa helaian dedaunan. Rintik hujan yang indah, tapi sayang, tak seindah hidupku, tak seindah hari-hariku, tak seindah perjalananku. Aku tak bisa menyaksikan semua itu, menyaksikan keindahan dunia yang orang-orang dengan mudah bisa melihanya. Hanya dengan berjalan kaki keluar dari rumah, sudah bisa menyaksikan indahnya matahari yang menerangi seantero semesta, atau bulan saat senja mulai tenggelam, berganti dengan hitam pekat, lalu bulan siap menampilkan keindahannya dan bintang- bintang siap bertaburan mempercantik langit kota. Melihat gedung-gedung pencakar langit, lampu bundar yang berjajar di sepanjang jalan, mobil yang saling berjajar berdesakkan. Bisa melihat lenskep kota ditempat yang tinggi. Semua dapat disaksikan oleh kedua mata mereka, lalu merekah lah kebahagiaan tidak terhingga. Sementara aku selalu ditempat yang sama. Lihatlah, tak ada yang tahu bahwa aku ada kecuali keluargaku. Keluarga? Entahlah, apakah mereka layak disebut keluarga? Mereka mengurungku seperti tahanan. Aku kembali melihat lukisan-lukisan indah yang ku lukis, setidaknya melukis adalah caraku meluapkan kesedihan. Tuk..tuk..tuk.. seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera menghapus airmata yang datang sembarangan. Membuka pintu, dan lihatlah siapa yang datang. Lili, adik yang paling disayang keluarga, manusia yang terjaga dengan kelembutan oleh keluarga, makhluk murni yang paling dicintai keluarga. Jujur aku benci sekali melihatnya, kenapa dia harus datang kekamarku? Bukankah kalau memiliki sesuatu tinggal telpon saja, atau minta seseorang dirumah menyampaikan pesan padaku. Jaman sekarang dunia semakin canggih dengan berbagai peralatannya. Lili menghambur memelukku, unggingan senyum lahir dibibirnya. Ia memelukku sangat lama, seolah melepas kerinduan tiada tara. Seolah kita tidak bertemu sangat lama, padahal kita selalu dirumah, padahal kamarku tidak jauh dari tempat dimana kakinya selalu ingin berpijak. Di ruang keluarga, di taman, di halaman, dimanapun sekitar rumah. Dia adalah orang yang bebas, orang-orang rumah akan senang ketika melihatnya ceria. Hal yang membuat Lili senang, maka keluargaku juga senang. Tanganku berusaha melepaskan pelukan, tapi gadis riang ini malah semakin erat memelukku.
"Kamu tidak merindukanku Fatih?" Lili masih membenamkan dirinya dipelukanku, bahkan nafasku sesak juga dia tidak peduli. Dia membuncahkan kerinduannya, terlihat sangat nyaman. Matanya tertutup, kedua tangannya merengkuh tubuhku. Pelukan yang sangat kubenci sebenarnya, tapi sangat nyaman bagi gadis yang terpenuhi kasihnya oleh keluarga. Aku membiarkannya, pasrah menunggu ia selesai dengan apa yang dilakukannya. Lili mendongakkan kepala, melihat ekspresiku yang datar, tangannya masih merengkuh, tapi kemudian melepaskannya setelah melihat wajahku. Manyun melihatku yang datar-datar saja.
"Aku bosan hari ini, sendirian menikmati kota. Kamu tahu, hari ini aku banyak mengunjungi gedung-gedung tinggi, melihat univnya Ilyas, cuacanya juga bagus, meski hujan, karena sejuk. Kamu paling suka saat hujan kan?" Aku tertegun sejenak, kupikir keluarga ini sudah melupakan Ilyas. Hatiku terasa sakit lagi, ribuan anak panah diam-diam menusuk, membiarkan diriku kembali meratap, mengambang diantara kejadian-kejadian suram yang menimpa diriku. Aku takut setengah mati, bergetar seluruh tubuh. Tapi berusaha tak memperlihatkannya didepan Lili. Lili masih lanjut berceloteh.
"Hari ini kita juga menjenguk Ilyas dirumah sakit. Kamu tahu keadaannya masih sama, tidak ada perubahan, ekspresinya masih sama, matanya masih terpejam. Bahkan alat-alat rumah sakit yang terpasang ditubuhnya masih ada, tidak hilang. Aku sungguh sangat prihatin" Lili menatapku, melihat wajahku seksama. Memerhatikan ekspresiku yang terlihat biasa saja.
"Kamu tidak merindukannya?" Lili menatapku. Memerhatikan lamat-lamat wajahku.
"Pergilah, kalau tak ada kepentingan, aku butuh istirahat. Lagi pula nenek tidak akan suka kalau kamu disini. Berhenti membuat masalah untukku" Balasku langsung menutup pintu. Lili mendesah pasrah, padahal kerinduan masih membuncah. Lili tahu aku tidak pernah menyukainya sejak kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang menerkamku dengan beribu hantaman kejam keluargaku kepadaku. Lontaran yang siap menyerang mentalku. Menyerang akal, pikiran, hati, bahkan tindakanku. Hari itu semua menjadi berbeda, rumah yang dulu hangat seperti mentari pagi, lenyap seketika. Rumah yang dulu seperti senja yang memanjakan mata kala keindahannya siap memesona langit sore, musnah seketika. Rumah yang seperti bulan siap menyongsong keindahan mempercantik langit malam, semuanya sempurna sirna, sejak kejadian mengerikan dan menyakitkan itu. Nenek bahkan tak memberiku kesempatan berbicara. Baginya aku adalah monster. Makhluk mengerikan yang harus musnah dari dunia ini. Siapa pula yang menginginkan kejadian itu. Keluarga hangat itu tidak ada, keluarga harmonis itu hanya menjadi sejarah. Aku juga kesakitan, bukan hanya nenek, bukan hanya Lili. Tapi kenapa semuanya disematkan kepadaku. Aku bukan keluarga satu-satunya, aku bukan anak satu-satunya. Ada Lili, kenapa dia tidak pernah disalahkan? Kenapa dia tidak dimarahi? Padahal umurnya hanya berjarak satu tahun lebih muda dariku. Apa karena dia lebih muda dariku? Tidak mungkin kan? Aku merajuk, tubuhku perlahan lemas, terkulai dipintu kamar. Aku menangis. Merengkuh lutut, membenamkan wajahku. Lengang, hanya derap langkah Lili yang meninggalkan kamar, menuruni anak tangga yang terdengar.
****
Pagi siap menyambut hangat dengan sinar keemasan menyoroti jendela kamarku lewat ventilasi udara. Semua orang siap memulai aktivitasnya, tak terkecuali Lili yang sudah siap rapih akan berangkat kuliah. Tapi sebelum itu seperti biasa keluarga yang penuh dengan cinta ini berkumpul dimeja makan, meski hanya dua orang. Mereka sarapan dengan tenang, senyum merekah, berbincang satu sama lain. Bercerita tentang apapun yang sudah dilalui. Sungguh keluarga yang bahagia. Setelah selesai Lili naik menuju kamarku, dilihat oleh nenek. Ekspresi nenek cemberut, entah kenapa, sedang Lili tersenyum lembut, riang kearah yang dituju. Setelah sampai gadis itu diam sejenak, berdehem, lalu mulai menceloteh.
"Fatih, aku berangkat ya, ingat untuk sarapan pagi" Lili langsung pergi setelah menyampaikan itu dengan unggingan senyum lembut. Wajahnya amat cantik, tapi aku tidak menyukainya. Penampilannya cukup untuk menarik setiap orang ingin berada didekatnya. Lili menghambur, memeluk nenek lembut. Amat damai, pelukan hangat itu mampu mengambil hati nenek, mampu membasuh hati nenek dengan kesejukan, mampu menyelimuti dengan kesejahteraan. Nenek dialiri ketenangan, senyum nenek penuh damai. Melepaskan pelukan membiarkan Lili berangkat dengan tentram, tanpa beban. Lili menghilang dari pandangan. Dari luar rumah, Lili menatap jendela kamarku beberapa detik. Seolah ingin aku juga memeluknya, mengatakan selamat pagi, melihatnya pergi dan menyambutnya ketika pulang. Lili lanjut melangkah lagi, masuk ke mobil, kali ini benar-benar meninggalkan rumah.
Aku sudah terbangun, kedua tanganku merengkuh lutut, wajahku panik ketakutan. Jantungku berdetak kencang, aku tersengal. Bagaimana tidak, ingatan mengerikan itu kembali bermain dikepalaku. Merenggut awal pagiku yang seharusnya tenang menjadi lautan yang siap melahap bangunan indah yang sempurna rapih dipertengahan kota. Pusaran hitam yang ingin aku lupakan, kejadian yang ingin aku singkirkan dari diriku. Ingatan itu mengikat tubuhku, menerkam hatiku, pikiranku, akalku. Aku bergetar hebat. Bayangan ketika Ilyas berada di atap kampus yang tinggi, memunggungiku, menghadap kedepan. Pandangannya sendu, matanya redup, wajahnya lesu. Ilyas menangis kecil meratapi kehidupannya. Tertekan dengan segala yang terjadi dihidupnya, ia menangis tersedu-sedu, berbalik badan menatapku seolah meminta pertolongan. Tangannya meraba dada lalu mencengkramnya kuat. Lelaki ini bergetar. Ia adalah anak pertama dari keluargaku. Sungguh hari itu aku melihatnya merintih kesakitan, matanya sembab, sesenggukan, tubuhnya lemas. Aku melihatnya seperti ada beban yang tersimpan dipundaknya, ada sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan, tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia redup. Aku menatapnya khawatir, bingung apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.
"Fa, aku ingin pergi, rasanya aku tak sanggup menjalani hidupku. Aku tidak sempurna seperti yang keluarga inginkan, aku gagal. Aku ingin tenang" Angin malam itu sangat dingin, masuk menembus kulit, menyapa aku dan Ilyas yang berada di atap kampus. Langit malam seolah mengerti keadaan kami, lalu membasuhi kami dengan angin sejuk, dedaunan yang meliuk-liuk. Dari tempat kami berdiri dapat terlihat beberapa pohon lebat dan tinggi dengan daunnya yang menari-nari. Gedung-gedung tinggi yang berjajar yang disetiap lantai lampu menyala, berpadu dengan lampu-lampu jalan yang menyala, memperindah kota. Dari tempat kami berdiri bisa terlihat sedikit orang yang pulang dari aktivitas atau beberapa orang sedang bertegur sapa. Mengumbar senyum menenangkan, tanpa beban. Orang-orang yang bersahutan sambil membawa ransel ditangan. Wajah-wajah itu dibalut kebahagiaan tiada tara. Sungguh menyenangkan menyaksikan semua itu, tapi tidak bagi Ilyas. Ada iri yang membuncah, Ilyas ingin seperti mereka, yang bisa bersenang-senang seperti seumurannya. Ilyas malah harus menanggung semua kesedihan itu, memikul beban itu. Saat anak-anak seumurannya bisa bermain bebas, Ilyas harus menanggung keinginan orang lain. Keinginan yang merusak mentalnya, merusak dirinya, mengubur mimpinya. Ia harus berjalan dijalan yang disediakan orang lain, bukan berdiri dikaki sendiri. Tak ada cahaya di dirinya, tak ada sinar diwajahnya, ia redup.
"Fa, bagaimana rasanya ya menjadi mereka" Mata Ilyas menatap orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya. Aku tidak tahu kalau Lili juga sedang mencari kami. Karena kelasnya sudah selesai, lalu bergegas mencari keberadaan kami diberbagai tempat dikampus tapi tak ada.
"Aku kesakitan Fa" Tangan Ilyas bergetar hebat, matanya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Aku mendekat, memperhatikan wajah Ilyas yang sudah merah seutuhnya.
"Ilyas, jangan pernah lakukan hal bodoh, jangan seperti ibu dan ayah ya, aku mohon. Aku dan Lili membutuhkanmu. Jangan menghilang dari hidup kami, aku mohon" Aku meyakinkan. Melihat Ilyas dengan kondisi seperti itu, aku takut dia akan melakukan hal konyol. Sama seperti ayah dan ibu kami. Sudah cukup bagi kami menyaksikan ayah dan ibu mengakhiri hidup mereka. Aku tak ingin Ilyas melakukan hal serupa. Pelan-pelan aku pegang bahunya, menenangkan hatinya yang keruh, pikirannya yang rusuh. Memberitahu bahwa aku dan Lili mendukungnya, aku dan Lili adalah penopang hidupnya. Aku dan Lili adalah kristal yang perlu dijaga. Cahaya yang tak boleh dibiarkan redup. Ilyas hanya tersenyum getir, cukup untuk memberitahuku bahwa dia memang tidak baik-baik saja. Matanya terpejam, merasakan lembut angin yang menerpa wajahnya. Tak ada suara, sunyi. Malam itu bulan dan bintang-bintang dilangit menjadi saksi bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan Ilyas. Beberapa detik kemudian Ilyas tiba-tiba tidak ada disampingku, ia akhirnya terjun kebawah. Aku menatap tempat orang yang disampingku beberapa detik lalu dengan ketakutan. Aku bergetar hebat. Apa yang kuduga terjadi, nafasku tertahan, seketika semuanya pecah. Aku membekap mulut dengan kedua tanganku, ingin sekali aku berteriak, tapi tertahan. Aku terpaku, mencerna segala yang terjadi. Sementara itu suara teriakan orang-orang dibawah tempatku berada, begitu histeris. Kaget sekaligus takut, merinding melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian. Tepat saat itu nenek berada didepan Ilyas yang terjatuh. Matanya sama bergetarnya denganku, melihat ke atap, tepat saat wajahku muncul bermaksud memastikan tubuh Ilyas.
Aku meringkuk ketakutan mengingat kejadian itu. Kejadian yang bisa membunuhku perlahan. Saat kejadian itu pula nenek mulai tak menyukaiku, mulai mengurungku, menganggapku monster. Pembunuh berdarah dingin, julukan itu sudah dilekatkan kepadaku sejak kejadian itu. Dan rasanya sangat menyesak dada, aku tersengal, nafasku tak beraturan. Aku mengambil satu bantal, menutup kedua telingaku. Semakin aku rekatkan bantal ketelingaku, semakin lihai pula ingatan itu melingkariku, mengikatku. Semakin riuh ingatan itu dalam kepalaku. Terasa jelas suara-suara yang tak ingin ku dengar, sayup-sayup percakapan antara kami, kejadian saat Ilyas memilih terjun kebawah. Suara berisiknya orang-orang yang menjerit ketika menyaksikan tubuh Ilyas terkapar. Juga bayangan ketika nenek mendongakkan kepala melihat kearahku, yang saat itu ada di atap kampus. Semuanya sempurna membelenggu diriku, menjadikan diriku tak terkendali, bergetar, aku merasa cemas. Bola mataku membelalak kala ingatan itu masih berkeliaran dikepalaku. Beberapa detik kemudian tanganku kembali merengkuh lutut, aku kembali membenamkan wajahku, aku menangis. Bening-bening kristal turun perlahan. Ku lampiaskan kesedihanku lewat tangis yang semakin lama semakin keras. Semakin menjadi-jadi, semakin membuncah. Nenek terdiam di ruang makan mendengarku menangis. Aku luapkan segala hal yang menyakitkan itu, aku tumpahkan seluruhnya agar perasaanku lega.
****
Malam hari tiba, aku sedang mewarnai lukisanku. Lukisan yang menurutku sangat indah, sangat menawan. Lukisan yang menggambarkan indahnya diri dan indahnya dunia dengan berbagai problematikanya. Lukisan dua orang bersama sedang menikmati langit malam. Yang satu kepalanya tertunduk meratap, yang satu menatap lurus tegak menikmati dunia, wajahnya sendu. Ku oles warna hitam pekat pada langit yang ku gambar, sementara pada dua orang yang ku lukis dilekatkan warna biru dan coklat pada bajunya. Bintang-bintangnya berwarna abu. Setelah menyelesaikan lukisan, kakiku bergerak kearah pintu, bermaksud mengambil makan malam. Karena pada malam hari, rumah ini sepi, nenek selalu berada dikamar. Hal rutin yang selalu kulakukan. Baru juga akan membuka pintu. Suara ketukan pintu terdengar. Membuka pintu dan lihatlah, Lili sudah menarik tanganku menuruni anak tangga cepat-cepat.
"Kamu ini kenapa?" Aku keheranan dengan tingkahnya. Lili memasang wajah tak bersalah. Satu telunjuk nya ditaruh dibibir " shuuttt" Lili tersenyum riang kepadaku, mengendap-endap agar tak berisik. Langkahnya pelan-pelan, tangannya menggandeng tanganku. Ada sentuhan hangat, ada ketenangan yang mengalir saat tangannya menggenggam tanganku. Kami melangkah sepelan mungkin. Sepi, tak ada siapapun di ruang keluarga, di ruang makan, ditaman, dimanapun. Nenek mungkin sudah tidur, karena sekarang-sekarang memang waktunya jam tidur. Bukan untuk rumah ini saja, rumah lainpun begitu. Lili dan aku berhasil keluar rumah, mengendap-endap melewati rumput, melewati jajaran-jajaran bunga yang mekar. Sungguh sangat cantik. Sayup-sayup angin menambah kelembutan pada malam ini. Meleburkan perasaan rindu, perasaan benci, perasaan lelah, perasaan letih. Sungguh menakjubkan, pertama kalinya lagi aku menapakkan kaki keluar, menjejak lagi dunia yang sudah lama tak kulihat. Akhirnya kami sudah berada diluar pagar. Wajah Lili menghadapku, matanya berbinar senang, bibirnya menyungging senyum, amat meneduhkan. Entah bagaimana, aku bisa melihat kalau Lili ini sangat puas dengan apa yang dilakukannya, ia seperti berhasil keluar dari teka-teki game, atau terbebas dari Labirin yang sulit. Wajahnya cantik, merona. Lili melihat wajahku lamat-lamat, membaca wajahku yang teramat senang keluar dari sangkar mengerikan.
"Hari ini aku akan mengajakmu ketempat dimana kamu bisa melepas kerinduan. Seperti aku yang selalu merindukanmu, jujur aku rindu sekali masa-masa lalu. Bermain bebas, menyeletuk apa saja yang membuat kita tertawa, meski hal kecil. Tapi bagiku, masa-masa itu adalah yang paling membahagiakan. Aku rindu kebersamaan kita" Lili tersenyum, aku terdiam. Bila harus jujur, aku tidak ada kerinduan sama sekali. Hatiku terlanjur hancur, cintaku sudah lebur, rasa kasihku sudah menjadi kepingan, amat menyakitkan. Tidak ada yang patut dibanggakan, sungguh.
Lili menarikku menjauh, kita melangkah ke pertengahan kota. Disepanjang jalan kami terdiam. Lengang, sepanjang kami berjalan hanya hawa dingin yang menemani, hanya daun rindang menari-nari menyirami kami yang tenggelam dalam keheningan. Hingga akhirnya aku membuka suara.
"Kamu mau membawaku kemana?" Suaraku memecah keheningan. Nadaku datar. Lili menoleh, memerhatikan wajahku, lalu tersenyum.
"Rahasia, nanti kamu juga akan tahu, tapi sebelum kita sampai, aku ingin kamu menikmati semuanya. Menikmati malam ini. Cahayanya, cuacanya, perasaannya. Lepaskan semua beban itu, aku tahu sangat sulit melalui semua yang kamu alami" Lili tersenyum. Dirinya benar-benar merasa prihatin. Wajahnya memerhatikan sekitar. Melihatku, ia seperti paham sekali bahwa kalimat mutiara itu tidak pernah bisa mengobati luka dihatiku. Tidak bisa menghilangkan rasa perih di dalam batin. Kata-kata penenangnya tak mampu menembus dinding hatiku.
"Maafkan aku, aku tak bisa melakukan apapun untukmu, tak bisa membuat perasaanmu lega, tak bisa membuatmu merasa aman dan nyaman. Aku tahu betapa menyakitkannya ketika seseorang yang kita sayangi, tiba-tiba menjauhi kita, tak mau bertemu dengan kita. Aku tahu kamu sangat mencintai keluarga kita. Kamu sangat peduli padaku, pada nenek, juga Ilyas. Kamu tidak membunuhnya" Lili kali ini tertahan. Suaranya lemah, aku terdiam, sempurna membatu. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Lili berhasil menusuk jantungku, merobek hatiku. Aku ringkih, ada sesak di dada. Aku mulai bergetar diam-diam. Tapi tak diperlihatkan kepada Lili. Lima menit tak ada suara, lima menit keheningan. Lili menatap lurus, kami duduk dihalte bus beberapa detik. Kemudian bus menghampiri kami. Aku dan Lili naik, sangat sepi, hanya satu dua orang yang berada dalam bus. Kami duduk berdampingan. Lili memegang tanganku, aku menoleh.
"Lihatlah apa yang ingin kamu lihat. Jarang sekali kan mendapat kesempatan ini? Sejak beberapa tahun itu, kamu tidak pernah lagi melihat dunia, melihat tempat-tempat menakjubkan. Jadikan ini moment terbaikmu, aku ingin kamu memiliki kenangan indah" Lili berkata pelan, tangannya tak dilepaskan. Ia memegang tanganku. Aku tahu gadis disampingku ini ingin menenangkan ku, menenangkan gemuruh dihatiku. Tapi sayangnya itu tidak cukup. Aku masih terluka, luka itu masih membiru. Mataku melihat kearah jendela, menyaksikan keindahan dunia, menyaksikan keindahan kota. Menatap takzim beberapa tempat yang dilewati bus yang dinaikki olehku dan Lili. Mataku tak berpaling sedikitpun, lihatlah cahaya kerlap-kerlip lampu di mol sangat cantik, lampunya membasuh mol dengan keindahan. Gedung-gedung tinggi tak kalah menakjubkan, lampunya juga menyala, menambah pesona. Mobil-mobil melintas, satu-dua menyusul. Ada juga yang dibelakang bus yang kami tumpangi. Malam ini sungguh indah, sungguh berisik. Riuh kota tak terhindarkan. Tetumbuhan kecil dipinggir jalan tampak cantik, meliuk-liuk diterpa angin malam. Sungguh menenangkan, aku sungguh menyukainya. Hatiku bagai dibaluri air bening, menentramkan. Lebih dari itu, aku merasa nyaman. Aku fokus melihat jalan-jalan yang dilewati, menatap sedikit orang lewat jendela bus. Lihatlah, aku tidak sadar menyuging senyum, mataku berbinar, sungguh menentramkan. Aku menatap orang-orang yang berjalan bersama seseorang lainnya. Mereka tersenyum, merekah. Berbincang satu sama lain, entah apa yang mereka bicarakan, terpancar kebahagiaan diraut wajah. Aku menyaksikan jalanan yang dipenuhi kendaraan mobil yang berjajar seirama, menyaksikan bagaimana orang-orang bercengkrama, sambil menjejak kaki disisi aspal berwarna abu, mereka dibaluri kedamaian. Siluet lampu-lampu mobil menyoroti mata mereka, sehingga memicing, namun lama-lama terbiasa. Sungguh aku menyukai hari ini. Dunia yang sudah lama tak kulihat, dunia yang aku rindukan, dunia yang setiap hari aku dambakan. Hari ini aku bisa melihat segalanya. Sungguh, rasa rinduku membuncah malam ini. Mengobati hatiku yang sepi, mengobati diriku yang terluka. Bus melintasi setiap ruko-ruko, mol, gedung-gedung pencakar langit. Mataku tak berhenti terkagum-kagum, suara bising kendaraan berlalu lalang memekakkan telinga. Kami turun di pemberhentian berikutnya, melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Lihatlah, perkotaan yang padat ini sangat indah, berbagai cahaya terang menghiasi seluruh kota, lampu-lampu jalan, lampu-lampu mol, lampu-lampu gedung-gedung tinggi berpadu menyeruakkan sinarnya. Langit pun tak kalah menunjukkan keindahan, tak kalah terang. Bintang-bintang bertaburan bercahaya meramaikan langit hitam pekat, juga bulan yang sudah tegak sempurna, sangat menawan. Memanjakan mata siapa saja yang memandang.
Setelah beberapa menit kami berjalan, aku terdiam sejenak. Memandang apa yang kulihat dengan tak percaya. Aku membeku dengan huruf didepanku. Rumah sakit harapan. Gedung putih yang telah ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk, sibuk dengan diri sendiri. Bahkan orang-orang yang menghampiriku, sekedar lewat juga berisik dengan suara-suara obrolan khas rumah sakit. Suara-suara itu menanyakan keadaan seseorang, menanyakan suasana didalam, menanyakan kondisi ruangan dan berbagai hal lainnya. Paling banyak membicarakan seseorang yang dijenguk. Beberapa orang duduk di kursi, membicarakan hal apapun. Terlihat ketegangan diraut wajah mereka. Mereka gelisah, khawatir, cemas. Beberapa orang lainnya berlari kesana-kemari membututi adik-adik kecil yang berlarian. Wajah-wajah asing yang baru ku lihat. Wajah mereka sedang dibalut kesedihan. Aku masih mematung, bergetar. Kali ini Lili melihat keteganganku, menyentuh tanganku, mengusir kecemasan.
"Tidak apa-apa, jangan takut. Ini adalah pertemuan yang indah, tidak mungkin kamu akan menyiakan usaha kita kan?" Lili menatapku. Kata-katanya lembut, setidaknya melepaskan kecemasanku sedikit.
"Ini adalah kesempatan, aku khawatir setelah ini, aku tidak bisa membawamu lagi. Kamu tahu kan, nenek orangnya tegas" Lili menarik tanganku, aku membiarkannya. Kami masuk menelusuri rumah sakit. Sangat dingin, suhu ruangan ini dinginnya menembus kulitku. Orang-orang juga tampak kesana-kemari, sibuk sendiri. Ada yang sedang duduk-duduk cemas, ada yang bergelut dengan lamunan, ada yang sedang memerhatikan ponsel, mengetik cepat, entah apa. Wajah-wajah kusut, wajah-wajah lelah, wajah-wajah letih, wajah-wajah lesu mewarnai ruangan ini. Mereka berantakan dengan pikiran mereka sendiri. Wangi khas rumah sakit tercium, begitu pekat. Aku dan Lili melangkah melewati koridor, melewati orang-orang yang sama mau menjenguk, atau sudah selesai menjenguk. Ada juga yang menjemput orang tersayangnya keluar dari ruang inap untuk pulang. Kami saling berpapasan satu sama lain, saling menabrak, tapi spontan saling maaf-memaafkan. Wajah-wajah panik tak terhindarkan. Kami berdesakkan ke ruang yang akan dituju. Sebenarnya sebentar lagi sampai, tapi ramainya pengunjung untuk membesuk tak kalah memadati setiap langkah kami, jadi kami sedikit lambat. Mereka juga khawatir dengan orang tercinta mereka. Separuh dari mereka ada yang sedang berbincang, membahas mengenai keadaan seseorang bersama seorang dokter. Wajah kusutnya tak bisa disembunyikan. Begitu banyak orang-orang khawatir dengan orang terkasih mereka. Kalau aku sakit apakah keluargaku akan sama cemasnya seperti orang-orang yang kulihat ditempat ini? Suhu dingin pun mendadak tak terasa saking padatnya. Suara bising sekitar memenuhi ruangan. Lili dan aku masuk keruangan dimana katanya aku bisa melepaskan kerinduan, setelah berhasil melewati beberapa orang diluar. Kakiku bergetar melihat siapa yang kulihat. Membatu, mataku berkaca-kaca, bergetar. Kakiku bergerak patah-patah. Inikah tempat yang disebut oleh Lili untuk melepas kerinduan? Inikah yang disebut pertemuan yang indah? Oh tidak, lihatlah siapa yang terbaring lemah. Ilyas! Orang yang tak pernah kutemui lagi setelah kejadian mengerikan beberapa tahun silam. Orang yang dulu selalu bersama-sama setiap selesai kuliah, orang yang matanya selalu redup. Orang yang tak berhasil ku bujuk, menyebabkanku dikurung di sangkar mengerikan itu. Orang yang menumbuhkan rasa benci dihati nenek. Lihatlah tubuhnya, lemah, ditopang berbagai alat rumah sakit, ventilator itu sempurna tepasang dihidungnya. Alat untuk membantunya bernafas, memompa udara ke paru-parunya. Monitor di samping ranjang pasien berbunyi pelan memperlihatkan garis-garis zig-zag. Lihatlah, Ilyas tak berdaya, belalai panjang yang terpasang dihidungnya membuatku miris melihatnya. Mata terpejam, tubuh terbaring, tangan tak bergerak, lihatlah lelaki itu sudah seperti mayat.
Aku menangis. Perlahan tanganku memegang tangan lemah Ilyas, lalu ke wajahnya. Memperhatikan lamat-lamat wajahnya. Wajah itu pucat, sesenggukan memerhatikan setiap tubuh seseorang yang sudah lama tak kulihat ini. Hatiku pilu, rasa sakit kembali menyerang ku, menghujamku dengan ribuan pisau menusuk. Aku linglung, kepalaku pusing. Oh Ilyas, apa yang harus kulakukan?
"Lihatlah wajahmu, begitu pucat pasi. Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Kalau kamu begini, aku tidak bisa membencimu padahal aku ingin sekali mengutukmu. Lihatlah aku..." Aku bergetar, meraba dada. Mata fokus kepada Ilyas yang terpejam. Oh tuhan keadaannya mengerikan untukku. Tersengal, membiarkan airmata menetes semaunya.
"Bagaimana bisa, kamu seperti ini? Kenapa tak sekalian mati saja biar aku sudah sempurna menjadi pembunuh untukmu, aku sudah membunuhmu" Setelah keluar kalimat itu aku tersungkur, tanganku lemas. Sepi, hanya layar kotak dipinggir ranjang yang terdengar tut...tut...tut... Ruangan kecil ini begitu sunyi. Lihatlah peralatan yang terpasang pada tubuh Ilyas, begitu miris. Tubuhnya hangat, tapi tak ada pergerakan, ia sempurna diam. Aku lagi-lagi menatap penuh sendu. Langit-langit kamar berwarna putih, serta dinding berwarna putih telah menjadi saksi bagaimana keadaan Ilyas, bagaimana hari-harinya. Alat-alat itu telah bersamanya selama beberapa tahun, sudah menjadi penopang hidupnya. Wajah putih itu tidak ada sinar, tidak ada cahaya. Ia redup, seperti kehidupan yang sudah dijalaninya beberapa tahun silam, hanya keadaan yang kulihat saat ini menjadi pelengkap pahit kehidupan lelaki muda ini. Pemuda yang didambakan menjadi kebanggaan keluarga, pemuda yang di idamkan mencakrawala dikeluarga, pemuda yang diharapkan menjadi panutan bagi adik-adiknya, lihatlah sekarang, sedang terkapar tidak berdaya. Semua mimpi dan harapan keluarga itu hancur lebur, berserak, tak bersisa. Semua yang ingin digapai keluarga punah sudah, bersamaan dengan Ilyas yang terpejam diranjang rumah sakit. Lihatlah sesuatu berbentuk seperti mangkuk membekap hidung dan mulut, serta belalai panjang yang menyatu sempurna menjadi penopang hidup matinya Ilyas, menjadi bantuan pernapasan Ilyas. Entah kapan ia akan sadar, entah kapan ia akan membuka mata. Tapi setidaknya dari Lili dan nenek yang selalu menjenguk sesekali, aku tahu ada harapan yang menimbun, ada secercah keyakinan yang tumbuh, ada sedikit sinar dihati mereka, kalau orang yang paling dicintai keluarga setelah Lili ini akan bangun. Malam ini bukan pertemuan yang indah seperti yang dikatakan Lili, tapi ini adalah pertemuan menyayat hati, setidaknya bagiku.
Entahlah hatiku bimbang antara senang dan sedih. Separuh hatiku merindukan sosoknya. Sosok yang gagah ketika berpura-pura ceria didepan nenek, sosok yang terbuka ketika ia setiap kali lelah, maka kami akan berbincang sebentar. Mencari tempat sepi untuk menumpahkan segala keresahan yang dialami Ilyas. Iya dulu Ilyas sering berbicara tentang betapa ia lelah dengan kehidupannya. Lelah dengan keinginan nenek yang ingin dirinya seperti ini dan itu. Dan kakak pertama dari keluarga kami ini selalu mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan nenek, walau itu kadang ada yang bertentangan. Iya, nenek menganggap lelaki muda ini adalah sosok sempurna. Sosok yang berani dan penuh kewibawaan, panutan bagi keluarga. Yang tanpa disadari itu malah membuahkan luka. Menyebabkan Ilyas tak bisa mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Membenamkan mimpinya, mengubur perjalanan yang disusun, dirangkai dengan baik. Karena nenek orangnya tegas dan penuh tekanan. Ilyas adalah anak pertama dari kedua orangtua kami. Jujur ketika melihat Ilyas hari ini, seketika aku teringat dengan ayah dan ibu. Bagaimana keadaan getir mereka. Masa-masa mereka bertengkar hebat dengan nenek karena ada yang tak sepemikiran, ada pertentangan, berbeda cara pandang. Ayah dan ibu adalah pekerja kantoran, pekerja keras. Mereka selalu berangkat pagi pulang malam mengurus beberapa kerjaan diluar. Kalau pulang ke rumah pun sering terdengar pertengkaran hebat antara nenek dan kedua orangtuaku. Saat itu aku, Lili dan Ilyas masih sangat kecil, berusia tujuh, delapan, sembilan tahunan. Setelah beranjak dewasa, Ilyas dituntut untuk ini dan itu, menjadi apa yang nenek mau. Seperti robot, mematuhi apa saja yang diucapkan nenek. Apa karena nenek tak berhasil membujuk ayah dan ibu menapaki jalan yang sudah disediakan oleh nenek? Apa karena nenek gagal membawa ayah dan ibu menuruti setiap jengkal keinginannya? Meski aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini adalah karena nenek ingin cucunya menjadi sempurna menurut gambarannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa arti kata bangga bagi nenek? Apa arti kata sempurna dipandangan nenek? Aku benci sekali sebenarnya mengingat kejadian itu. Karena kejadian itu pula aku dikurung dirumah, tidak perbolehkan keluar. Sekali lagi aku adalah burung dalam sangkar. Akupun tak tahu kenapa nenek seperti itu. Yang jelas hari ini adalah malam yang penuh sesak bagiku. Penuh dengan sulaman kesedihan, penuh dengan tikaman tajam yang sempurna menghujam jantung. Aku masih bergetar, terisak menatap wajah kakak pertamaku ini. Lili diam, membiarkanku melampiaskan segalanya, melampiaskan kemarahan atas kesedihan yang kurasakan. Lili menjadi penonton malam ini, menyaksikan bagaimana aku bereaksi dengan keadaan, menyaksikan aku menangis.
"Seharusnya kamu mati saja, biar apa yang sudah kamu alami tidak lagi dirasakan, agar setiap yang membuatmu perih itu hilang. Kamu seharusnya tidak usah bertahan. Kalau seperti ini, aku malah semakin membenci dirimu, dulu kamu berjanji akan menjagaku dan Lili. Lihatlah, bahkan kamu tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa menjadi pelipur lara untuk adik-adikmu, tak bisa menjadi tempat bersandar untuk kami. Seharusnya kamu menjadi pelindung untukku, untuk Lili. Tapi hari ini aku mengerti, mustahil untukmu untuk menolongku. Aku kesakitan" Airmataku tumpah, sesak di dada luruh. Dinding-dinding hati yang menimbun ribuan sesak runtuh satu-persatu. Aku tak bisa menahan emosi. Membuncahkan segalanya yang terpendam, melampiaskan semuanya yang membenam dalam batin. Ruangan kecil ini menjadi saksi atas kemarahanku. Senyap, Lili tertunduk, menahan denting air yang akan jatuh dipelupuk mata.
"Aku dikurung oleh nenek, padahal kamu yang melakukan hal keji itu, kamu yang memilih jalan itu, kamu yang memilih mengakhiri hidupmu. Aku sudah berusaha mencegahmu, mengatakan bahwa aku dan Lili membutuhkanmu! Dan kami memang membutuhkanmu!! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tetap melakukannya, kamu tetap melukai dirimu, kamu tidak peduli kepada kami dan tetap memilih mengakhiri hidupmu, tapi kenapa yang disalahkan adalah aku!! Kenapa yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku? Sungguh Ilyas, kalau kamu berkata dari awal apa sebenarnya keinginanmu kepada nenek, semua ini tidak akan terjadi padaku!! Mungkin kalau kamu berani mengungkapkan impianmu, ketakutan yang kamu rasakan itu tidak terjadi!! Kamu adalah orang paling bodoh yang pernah ada, setidaknya kalau kamu mengutarakan apa yang ada dibenakmu, mungkin nenek tidak akan marah seperti yang selalu kamu bilang, mungkin nenek tidak akan merasa kecewa atas keterus-teranganmu!! Karena kamu adalah orang yang paling dicintai nenek! Kamu orang yang berharga untuk nenek! Kamu terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi! Nenek tidak akan menganggapku seorang pembunuh kalau kamu berani mengucapkan semuanya!! Kamu adalah manusia paling konyol!! kamu yang melakukan, aku yang menjadi korban" Hari ini aku menumpahkan segala isi hatiku, isi pikiranku. Biarkanlah aku merasa lega. Biarkanlah perasaan sesak itu keluar dari tubuhku. Biarkan hari ini tubuh ini merasakan leluasa, merasakan kelegaan, merasakan kelapangan, melepaskan semuanya, aku tak tahan lagi. Aku masih menangis, wajahku memerah, mata sembab, suaraku menjadi serak. Aku lemah hari ini. Dinding yang kubangun untuk diriku hancur sudah, retak sudah semuanya, berserakan. Aku roboh hari ini, aku ringkih, lemah.
"Tapi aku merindukanmu..." Nafasku sesak, tubuh berguncang-guncang karena tangisanku yang tak tertahan. Iya, separuh hatiku merindukannya, merindukan kebersamaan kami bertiga, masa dimana kami bermain bebas, meski saat melakukannya kami sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan. Meski saat melakukannya, kami bertiga selalu ada pertengkaran kecil. Tepatnya aku dan Lili yang selalu bertengkar dan Ilyas yang akan mendamaikan. Diantara kami Ilyas adalah sosok yang dewasa, selalu mengalah, selalu mengerti keinginan kami. Itulah kenapa kami sangat mencintainya setelah ayah dan ibu. Apalagi setelah kedua orangtua kami pergi jauh, cinta kami sudah dilabuhkan kepadanya. Kakak yang penuh cinta, kakak yang penuh tatapan hangat, kakak yang penuh tatapan lembut. Kami mencintainya.
Aku dan Lili memutuskan pulang. Selama kami berjalan, tidak ada suara, aku menikmati kesendirian, tenggelam dalam renungan. Lili berjalan di belakangku, memerhatikan punggungku. Udara dingin membaluri batin, malam ini sempurna menyulam kesedihan, menyulam kenangan yang dulu begitu amat menentramkan. Dulu aku, Lili, dan Ilyas hanyalah anak-anak kecil yang riang, kami selalu bersama setiap waktu. Menghabiskan hari dengan bermain, berlarian, melempar lelucon dan sebagainya. Aku merindukan moment itu, tapi sekarang aku benci perasaan itu. Perasaan rindu yang melapiskan beberapa kejadian antara senang dan sedih menyatu dalam satu ingatan. Mencabik rasa cinta kumiliki menjadi benci berkali lipat. Malam terasa sejuk, menelusup jiwaku yang bersedih, cukup untuk membasuh batinku yang sedang terluka. Lampu-lampu kota masih menyala menerangi seluruh jalan. Bulan yang berdiri tegak pun masih setia menemani. Aku masih tertimbun kenangan, meneteskan air mata. Bagaimana tidak? Setiap kenangan yang berkelibas berhasil menikamku seperti ditusuk ribuan pisau, perih sekali. Malam ini menjadi malam kesedihanku. Lili membiarkan, memperhatikanku, memutuskan malam ini menjadi milikku. Bintang-bintang ikut merayakan kesedihanku, cahayanya tak mampu menembus gelap dalam diriku. Aku redup, sinar bulan dan bintang tak bisa memecahkan gelimang perasaan terluka, rindu, benci. Aku dalam keadaan terlemah, setelah sekian lama kubangun kuat-kuat dinding dihatiku, akhirnya hancur juga. Setelah sampai rumah, kami melangkah kepelataran rumah, membuka pintu, dan lihatlah siapa yang sudah berdiri diruang keluarga. Menatap buas aku dan Lili yang baru kembali. Sungguh melelahkan hari ini, aku sudah malas melihat nenek. Tak peduli apa yang akan terjadi, perpecahan apa lagi yang akan kudengar. Aku mengabaikannya, memilih berjalan ke kamarku. Lili menghentikan langkah, matanya bergetar, bibirnya bergetar, ia panik setengah mati. Aku tak peduli, tatapan buas nenek tak mempan padaku. Entahlah, mungkin karena aku sudah terbiasa. Raut wajah nenek merah padam, seperti siap membunuhku kapan saja. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar.
"Darimana saja kamu?!" Nenek menatap tajam kearahku. Aku masih melangkah.
"Berhenti! Aku sedang bicara denganmu, apa kamu tidak tahu etika dirumah ini?" Tatapan nenek menyeramkan. Sebenarnya aku malas tidak mau berdebat, sudah cukup hari ini aku mengeluarkan seluruh energiku, aku lelah hari ini. Aku menghentikan langkah, lalu melihat wanita paruhbaya dihadapanku.
"Aku lelah hari ini, bisakah bicarakan besok? Kalau ingin memakiku besok saja" Nadaku datar, langkah berhenti dianak tangga. Nenek melempar gelas bening yang ada dimeja kearahku. Brakkkk terdengar keras sekali menghantam dinding beberapa inci disampingku. Tepatnya meleset. Setelah itu nenek melihat kearah Lili yang masih diam didepan pintu. Menatap garang. Lili terkesiap langsung menutup kedua telinga dengan tangan kala pecahan gelas menerpa dinding. Berkeringat dingin. Entah hari ini apa yang merasuki wanita tua ini. Ia seperti ingin menghabisi kami berdua. Lili ketakutan. Aku diam, terbiasa dengan keadaan.
"Sudah kubilang, jangan bergaul dengannya, kenapa hari ini kamu membantah Lili? Kamu tidak sayang nenek lagi?" Perkataan nenek pedas, menusuk jantung. Sungguh amat perih mendengarnya. Tapi aku terbiasa.
"Kamu tidak lupa, dia ini siapa? Dia sudah membunuh kakakmu!! Kamu tidak takut akan mengalami hal serupa seperti Ilyas? Kenapa masih peduli dengan orang tidak berguna ini!! Ilyas dirumah sakit gara-gara siapa? Gara-gara dia!!" Tangan nenek menunjuk-nunjuk padaku. Sungguh aku menahan amarahku. Sudah kelelahan. Lili menatap ketakutan, ragu-ragu berkata.
"Nek.. jangan salahkan Fatih, aku yang mengajaknya keluar hari ini. Aku mengajaknya bertemu dengan Ilyas. Sudah lama Fatih tidak keluar, aku hanya mengajaknya jalan-jalan, maaf, aku bersalah nek.." Lili tertunduk pasrah. Sedu sedan terdengar, satu denting airmata menetes membasahi pipi Lili. Sungguh perempuan satu tahun lebih muda dariku ini terkejut bukan main melihat ekspresi nenek. Baginya nenek yang lembut itu hilang dalam sekejap. Entah bagaimana mata nenek menyalak buas ke arah Lili, siap menghancurkannya, lalu menatapku lagi. Aku melihat tatapan benci dimatanya.
"Semua yang terjadi kepada Ilyas adalah salahmu, karena kesalahanmu dia menjadi seperti itu! Kamu ingin juga Lili seperti Ilyas? Tidak cukupkah untukmu mengerti kenapa Lili aku larang bersama denganmu! Karena kamu sungguh pembawa sial, kamu orang yang suka membunuh orang! Menyebabkan Ilyas seperti sekarang!! Seharusnya yang mati itu kamu!!" Nenek berteriak membuncahkan kekesalan. Aku mematung, bergetar. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. Seperti ada dentuman yang langsung menghantam tubuhku. Seketika Nenek yang menenangkan untuk Lili hilang, nenek yang selalu senyum merekah dihadapan Lili tidak ada sama sekali, nenek yang selalu bersikap santun kepada Lili sirna. Nenek hari ini lepas kendali, gurat-gurat diwajah nenek terlihat. Lili bergetar. Setelah beberapa tahun lamanya tak melihat nenek semarah ini. Aku tersenyum terluka, menatap nenek redup, dengan sisa tenagaku.
"Bagimu aku adalah orang yang seperti itu? Kalau begitu bunuh saja akuu!! Biar kamu puas!! Biar kalau aku mati, takkan ada yang memakiku!! Karena kamu memang tidak mencintaiku, kamu tidak menyukaiku!! Biar aku sama seperti ayah dan ibu!!" Aku kalap, mataku menyalak, tak kuat dengan lontaran nenek. Tersengal dengan sisa tenagaku. Lili bingung, tak bisa menyembuyikan ketakutan, bergetar. Teriakanku dan nenek menggema keseluruh ruangan. Tanganku kearah dada, bergetar, menepuk-nepuk dada, bermaksud menghilangkan sesak nafas yang diam-diam merangsang tubuhku. Tapi semakin lama semakin tak terkendali, sungguh aku tak bisa bernafas. Bola mataku membelalak keluar, aku semakin bergetar.
"Sebegitunya kamu membenciku, seharusnya kamu tanya dirimu sendiri, ada apa denganmu. Kenapa ilyas jadi seperti sekarang!! Keluarga yang sangat kamu banggakan ini nyatanya hanya kebanggaan untuk dirimu sediri!! Kamu tidak bertanya kepada kami, apa yang kami suka, apa yang kami cinta, kami capai! Kamu hanya peduli dirimu sendiri, semua yang ada dirumah ini adalah milikmu!! Nenek yang membunuh Ilyas!!" Tanganku masih menepuk-nepuk dada. Meluapkan emosiku, kemarahanku. Wajahku merah padam. Lili menutup telinga dengan kedua tangan. Sungguh hari ini aku tak bisa mengendalikan diri.
"Biar aku mati saja!! Agar sama seperti ayah dan ibu. Kamu selalu mengharapkan segala yang ada dalam anganmu menjadi kenyataan!! Ingin menjadi yang sempurna, semua harus mengikuti apa yang kamu inginkan!! Tapi apa hasilnya? Ayah dan ibu pergi!! Gara-gara siapa? Gara-gara nenek!!" Aku semakin tersengal setelah mengatakannya, nafas sesak semakin menyerang. Mataku menatap sekitar kunang-kunang, tubuh tiba-tiba terasa berat, tapi berusaha tetap berdiri. Sungguh aku seperti akan mati. Aku melangkah patah-patah kearah nenek, memegang satu tangannya dengan cepat, mencengkramnya kuat-kuat. Aku kesetanan menatap nenek.
"Nenek kira aku juga mau hidup begini?!! Aku sudah hancur olehmu!! Aku sangat benci rumah ini, kamu sudah mengurungku semaumu, sudah mengunciku semaumu, kenapa tak sekalian bunuh saja aku!! Pukul saja aku!!" Aku berteriak, tanganku mengguncang-guncang bahu nenek. Entah bagaimana aku tak bisa mengontrol diri, lemah, aku terjatuh tepat setelah mengatakan itu.
"Diammm kamu!!!!" Nenek menutup telinga. Ketakutan, melangkah patah-patah ke kamarnya, linglung. Sedang Lili langsung menghambur kearahku, membantuku berdiri. Nafasku masih tersengal. Oh tidak, ada apa dengan tubuhku? Kenapa aku menjadi seperti ini? Tanpa banyak bicara Lili menopangku kekamar. Mendudukkan aku diranjang. Kepalaku bersandar dibantalan tempat tidur. Aku lemah, redup, tak ada cahaya, mataku kosong. Lili khawatir melihatku. Bergegas mengambil minum, menuruni anak tangga kedapur, setelah selesai Lili membantuku minum, membiarkanku terus bersantar dibantalan ranjang.
"Maafkan aku Fatih, seharusnya tidak begini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nenek marah padamu gara-gara aku. Sungguh Fatih aku dan Ilyas menyayangimu. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Meski aku tahu, aku tak sebaik Ilyas yang memiliki keberanian. Kami mencintaimu Fa, maaf..." Lili tersedu-sedu. Aku diam tidak merespon. Merenungi hidupku yang kacau balau.
"Mencintai? Jangan bergurau denganku. Kamu berkata begini, karena hidupmu terpenuhi cinta, penuh kasih. Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan Lili. Karena kamu dan Ilyas hidup dengan kasih yang melimpah" Aku menatap terluka kearah perempuan disampingku ini. Dari tatapan Lili, aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku sudah hancur, keluarga ini tak lagi menumbuhkan rasa cinta dihatiku.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku memalingkan wajah. Lili meninggalkan kamar, aku sendirian sekarang. Aku menangis kecil, bening-bening kristal ini turun lagi, menangis lagi untuk kesekian kalinya. Aku menatap sekitar kamar, dinding, lukisan-lukisan indah, rak buku. Lengang sudah, aku kesepian. Malam ini, malam yang mengerikan.
****
Surya kembali menyapa. Sinarnya menembus sela-sela ventilasi udara kamar, mengenaiku yang terpejam. Pagi yang hangat. Aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang diluar sana, mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan kegiatan hari ini, sibuk berpakaian rapih, pergi ke kampus, atau siap mengantar orang-orang tersayang mereka keberbagai tempat yang dituju. Mungkin sebagian orang juga berjalan kaki sambil menjajakan beberapa dagangan, juga ada yang siap membuka ruko diawal pagi. Mungkin orang-orang juga ada yang siap pergi ke kantor, atau memang sudah ada yang dikantor tidak pulang, menghabiskan seluruh waktunya di perusahaan. Waktu-waktu melelahkan telah merenggut kebersamaannya dengan orang tercinta. Seperti ayah dan ibu yang super sibuk dengan urusan dunianya, pulang hanya sesekali, itu pun kalau selesai pekerjaannya. Kalau tidak, menginap dikantor, dulu ayah dan ibu begitu. Hari ini orang-orang siap menyambut keresahan, keletihan, kekhawatiran setelah melangkah keluar rumah. Siap menggunakan tubuh mereka bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Aku menggeliat, mata remang-remang. Membuka selimut, melangkah gontai kearah jendela, membuka tirai jendela. Sinar keemasan mulai menyoroti kamarku lewat sela-sela, memantul ke dinding. Setelah itu melangkah lagi ke kursi didekat ranjang, duduk, menarik nafas dalam-dalam. Menatap lukisan dengan sendu, lukisan punggung dua orang saudara lengkap dengan biru dan coklat pada baju mereka, sedang duduk menatap langit gelap. Lukisan yang mengharapkan se-embun kebahagiaan, lukisan yang menanti sinar kedamaian, lukisan yang sedang berharap cemas cahaya menentramkan. Sudah seminggu ini aku diam dikamar, keluar kamar hanya sesekali mengambil apa yang ingin dimakan. Rutinitas yang selalu kulakukan. Setelah berdebat panjang lebar seminggu yang lalu, aku, Lili dan nenek tidak bertegur sapa, saling diam. Bagiku hari-hari memang selalu seperti ini, jadi tidak masalah. Lili sesekali menatapku kalau aku sedang mengambil makanan atau minum. Melihatku yang berwajah datar-datar saja. Ragu menyapa dan akhirnya hanya melihatku yang kembali kekamar. Lili menghembuskan nafas pasrah. Aku tidak tahu kalau pagi ini ada kabar membahagiakan bagi keluarga ini. Lili dan nenek sedang menjemput kebahagiaan itu, sedang menanti cinta yang kembali mekar setelah layu beberapa tahun. Terdengar suara mobil meninggalkan halaman rumah. Sementara aku menggelayut dengan lamunan. Mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas dan nenek yang seminggu lalu menginginkanku mati. Andai aku bisa memutar waktu, sungguh aku tak ingin berada dikeluarga ini. Cinta itu tidak ada bagiku, itu hanya berlaku pada Lili dan Ilyas. Mereka lah yang jadi kebanggaan keluarga. Mereka lah yang harum namanya. Bahkan nenek tak segan membicarakan Lili dan Ilyas dengan antusias kalau para tetangga membicarakan soal mereka berdua. Aku hanya nasib buruk bagi mereka. Tidak sadar kembali meneteskan air bening dimata, aku mendongak mencegah lebih banyak kristal-kristal kecil membasahi pipi. Kembali melangkah kearah jendela, membukanya. Sinar matahari langsung menyambutku, menutup mata, merasakan hangat yang ditawarkan mentari. Hangat sekali menerpa wajahku. Setidaknya mengobati diriku yang kesepian, meski tidak benar-benar menyembuhkan.
Aku tidak tahu kalau nenek dan Lili tersenyum merekah tidak sabaran ingin segera sampai kerumah sakit. Setelah mendengar kabar dari dokter bahwa Ilyas sudah bangun. Mobil-mobil dijalanan meramaikan suasana kota. Tidak peduli berdesakan, saling beradu klakson, mobil-mobil itu melaju seirama. Sebagian dikiri dan kanan, sangat ramai. Matahari terbit menambah kelembutan, menimbun kehangatan pada orang-orang yang sibuk menyetir didalam mobil, pada orang-orang yang berjalan, pada orang-orang yang bertegur sapa, pada orang-orang yang sibuk dengan diri sendiri, pada orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan di kantor, di ruko, dimanapun. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti biasa memanjakan mata, beberapa pohon rindang bertiup diterpa angin. Jantung nenek dan Lili berdegup kencang, harap-harap cemas ingin menyaksikan orang tercinta mereka, menyaksikan cahaya yang kembali menyala, setelah sekian lama redup. Meski pagi ini riuh kota begitu memekakkan telinga, mereka tidak peduli, mereka sedang dibalut kegembiraan yang menakjubkan. Awan-awan menggantung di langit biru, amat menawan. Mobil yang mereka tumpangi menyalip beberapa mobil didepan. Layar-layar televisi raksasa yang tertempel di dinding gedung serasi menampilkan berbagai iklan. Semesta telah penuh oleh berbagai aksesoris dunia. Setelah sampai ditempat yang dituju, mereka melangkah girang. Seperti biasa rumah sakit ramai oleh orang-orang yang membesuk. Keluar-masuk dengan berbagai macam ekspresi wajah. Lili dan nenek lihai melewati beberapa orang setelah melewati pintu masuk. Langkah mereka sama cepatnya dengan orang-orang yang berburu hadiah. Lihai melewati koridor, melewati orang-orang, meski harus berdesakan. Sungguh rumah sakit selalu penuh oleh wajah-wajah resah menanti kebahagiaan, wajah-wajah khawatir menanti kesembuhan, wajah-wajah haru menanti keajaiban. Hati Lili dan nenek dibaluri kebahagiaan. Lihatlah, dokter-dokter ditempat Lili dan nenek lewati sibuk menerangkan keadaan seseorang kepada seseorang lainnya. Setelah melewati beberapa kegaduhan akhirnya sampai juga. Melangkah patah-patah kearah Ilyas yang terbangun.
Semburat kebahagiaan terpancar diwajah Lili dan nenek. Mengharu biru dengan apa yang mereka lihat. Oh Ilyas, orang tercinta mereka telah bangun. Siap menggelayutkan kemeriahan dikeluarga, siap menimbun kehangatan dikeluarga, siap menumpahkan kebahagiaan tiada tara. Lihatlah orang yang sudah lama seperti mayat itu akhirnya menunjukkan tanda kehidupan, menaburkan kembali keindahan yang megah. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mereka. Tetes-tetes bening siap tumpah, nenek meraba wajah cucu kebanggaannya. Lihatlah, raut wajah nenek penuh haru. Menggenggam tangan Ilyas, membelai rambutnya pelan, mencium kening, lalu tangan dengan lembut. Diri mereka dialiri kedamaian. Meski terasa berat, Ilyas berusaha membuka mata lebar, tersenyum tenang. Menatap lamat-lamat wajah nenek dan Lili bergantian. Melihat sekitar remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Mata pemuda ini menelisik setiap sudut ruangan. Dinding berwarna putih, sofa yang tersimpan dipinggir ranjang, meja, langit-langit ruangan, lalu kembali menatap Lili dan nenek. Bertanya lemah.
"Mana Fatih?" Ilyas menatap lamat-lamat. Lili membisu, nenek tak menggubris, terlalu berbunga hati melihat cucu kesayangannya akhirnya bangun.
"Dimana Fatih.." Sekali lagi Ilyas bertanya. Lili buru-buru menjawab.
"Dirumah, Ilyas. Tidak perlu khawatir, Fatih ada dirumah, dia menunggumu dirumah" Lili tersenyum lembut. Ilyas menatap nenek, sekali lagi tersenyum. Memegang tangan nenek hangat. Ada ketentraman digenggaman Ilyas. Nenek tak berhenti tersenyum, bersyukur orang yang amat ia cintai kembali kepadanya, siap meramaikan rumah. Ketulusan terpancar dimata nenek, amat menenangkan. Sungguh penantian yang panjang, menunggu beberapa tahun itu tidak mudah. Melewati berbagai kejadian, masa-masa sulit, melewati beberapa tahun kesedihan tapi akhirnya tergantikan oleh harapan yang menjadi kenyataan. Sungguh penantian yang tidak sia-sia, menunggu dengan sabar dan terbayar sudah kelelahan yang panjang dengan cinta yang kembali tumbuh mekar.
"Kami merindukanmu Ilyas, sungguh hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi kami, karena kamu kembali kepada kami. Kita bisa bermain lagi seperti dulu, walau aku tahu kita tidak lagi kecil hehe" Lili teramat senang, wajahnya cerah, secerah matahari. Malu-malu melihat Ilyas. Ilyas membalasnya dengan senyuman menenangkan.
"Aku juga merindukanmu, merindukan nenek, merindukan Fatih. Maaf telah membuat khawatir, terimakasih untuk tak menyerah padaku" Ilyas dengan lembut membelai kepala Lili. Lili merona merah. Setelah beberapa jam berbincang, nenek sibuk mengurus kepulangan Ilyas dirumah sakit, tapi tidak mengapa, karena wanita tua itu melakukannya dengan senang hati. Bagaimana tidak, toh orang yang paling dicintainya kembali menyalakan semangat hidup, kembali menyeruakkan cahaya. Nenek berbinar-binar. Setelah semuanya selesai nenek dan Lili sabar menuntun Ilyas ke mobil, mereka pergi meninggalkan rumah sakit.
Sungguh pagi yang indah, tapi bagiku hari-hari selalu sama, tak ada yang spesial. Kepala mendongak kearah langit, lihatlah formasi awan-awan putih yang menghiasi langit biru pekat berpadu dengan sinar warna kuning disela-sela awan sungguh memesona. Membius setiap orang ingin melihatnya. Aku pun begitu, saking cantiknya selalu memberikan kesan baik kepadaku. Seolah berkata untuk selalu menjalani hidup dengan baik, seolah memberitahu bahwa setiap hari, apapun itu akan terlewati. Tanpa sadar bibirku menyungging senyum, setidaknya hari ini perasaanku jauh lebih baik, karena tak harus berdebat dengan nenek, tak perlu melihat Lili yang selalu mencuri-curi pandang ketika bertemu. Biarlah hari ini aku melepaskan semua beban. Aku menghirup udara, memejam mata lalu membukanya lagi, sungguh menenangkan. Tiga puluh menit berlalu, lihatlah mobil sudah memasuki halaman rumah. Aku melihat dari jendela kamar, memerhatikan kendaraan roda empat seksama. Tepat berhenti didepan pintu, meski berjarak beberapa meter saja. Lili, nenek keluar dari mobil satu persatu, amat hati-hati. Dan lihatlah siapa orang yang kulihat selanjutnya, keluar pelan dengan tangan digenggam Lili. Sungguh hatiku bagai dipanah sempurna menghujam jantung, tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Diam terpekur melihat apa yang kulihat, memerhatikan mereka melangkah kedalam rumah. Nampaknya rumah ini akan ramai lagi. Aku tidak percaya, orang yang semula terbaring lemah, kini telah menjejak lagi dunia, menjejak bumi. Entahlah apa harus senang atau sedih, tapi sungguh itu hal yang baik. Apakah cinta antar saudara akan tumbuh kembali? Kupikir tidak, cinta tidak akan mekar lagi. Ini bukan cinta, aku sudah mengikisnya jauh-jauh. Cinta keluarga itu sudah pupus, aku tidak menyukai keluarga ini. Kembali melangkah ke kursi, duduk, menatap lagi lukisan yang tadi kulihat, setelah itu membalikan lukisan. Ilyas, Lili dan nenek duduk disofa ruang keluarga. Ilyas menelisik setiap sudut, matanya megedar seperti mencari seseorang.
"Lili, dimana Fatih?" Itu kata pertama Ilyas setelah sampai rumah.
"Kenapa aku tak melihatnya?" Mata pemuda ini masih memeriksa sekitar ruangan, kalau-kalau aku mungkin lewat. Lili terdiam, baru akan beranjak dari sofa, tangan nenek mencegah Lili, menyuruhnya untuk tetap duduk menemani ilyas. Ilyas memicing keheranan dengan apa yang dilakukan nenek. Nenek memerhatikan ekspresi Ilyas, lalu cepat-cepat membuka pembicaraan.
"Nak, hari ini kamu sungguh keajaiban yang diberikan Tuhan kepada kami. Kamu tahu, kita tidak pernah lelah menunggu kamu bangun, mencemaskan keadaanmu. Sungguh hari ini kamu adalah hal yang paling membahagiakan. Sudah lama rumah ini sepi" Nenek berkata lembut, menatap Ilyas penuh kasih sayang. Raut wajahnya menunjukkan semua cinta paling dalam. Mata nenek mulai berkaca-kaca, memegang telapak tangan Ilyas. Ilyas terdiam tersenyum. Setelah itu kembali menelisik ruangan.
"Nenek mana Fatih.." Pemuda itu lagi-lagi mencari keberadaanku. Dari tatapannya, nenek tahu Ilyas amat peduli padaku. Keheranan aku masih tak menemuinya. Lili diam, tapi beberapa menit kemudian mengatakan keberadaan ku.
"Dikamar, Ilyas" Lili menempali cepat. Tangan yang semula digenggaman nenek itu terlepas ketika Ilyas langsung beranjak pergi kearah kamar. Nenek menatap Lili, tahu itu tatapan pembunuh, cukup mengerikan. Sementara Ilyas pelan-pelan menaikki anak tangga menuju kamarku. Mengetuk pintuku pelan. Entahlah, terus terang aku benci, tapi juga senang karena dia telah kembali. Setidaknya nenek tak perlu berdebat panjang lebar denganku dengan kehadirannya. Ini bukan karena aku menyayangi Ilyas sebagai keluarga, tapi lebih tidak perlu repot mendengar celotehan nenek kepadaku. Aku tak bergeming meski suara Ilyas terdengar didepan pintu.
"Kamu masih tidur Fatih?" Ilyas terdiam lagi. Tak ada jawaban dariku membuatnya mengetuk lagi berapa kali. Karena masih tak ada jawaban, memutuskan untuk membuka pintu. Dan lihatlah, Ilyas berdiri diambang pintu. Aku diam dikursi, anak pertama dari keluarga ini mendekat, memegang bahu, memerhatikan wajahku yang teramat datar.
"Aku kembali Fatih, aku merindukanmu, merindukan rumah, merindukan keluarga kita" Ilyas mencoba mengajakku bicara, aku tak menggubrisnya. Rasa benci sudah menjalar dalam diriku. Sungguh semua yang dikatakan nya bohong, apa yang perlu dirindukan dari keluarga ini? Tidak ada cinta, tidak ada sama sekali. Keluarga ini mengerikan bagiku.
"Kamu sudah kembali, aku turut senang. Dari penglihatanku kamu masih perlu istirahat. Istirahatlah, aku tak ingin mengganggumu" Jawabku sekenanya. Ilyas diam keheranan, menangkap ekspresiku yang biasa saja.
"Kamu tidak senang aku kembali?" Ilyas masih memerhatikanku. Aku balik menatapnya, memasang wajah datar.
"Itu tidak penting, yang terpenting adalah kamu sudah hadir kembali ke keluarga ini. Nenek dan Lili cukup bahagia, itu sudah cukup. Istirahatlah, kamu masih belum benar-benar pulih" Aku kembali membalikkan badan. Ilyas merasa seperti ada sesuatu denganku.
"Fatih, kata Lili kamu menungguku, kenapa tidak datang ikut bersama nenek dan Lili menjemputku? Kamu tahu, kukira aku sudah mati, kukira sudah selesai semua setelah memutuskan untuk membunuh diriku. Kukira semua selesai setelah aku memutuskan pergi, tapi ternyata sepertinya dunia ini masih belum mengizinkan" Ilyas menghela nafas. Aku diam. Ilyas melangkah kearah ranjang, lalu duduk. Memerhatikan sekitar kamarku lamat-lamat. Melihat lukisan-lukisan sendu, lukisan yang memesona bagiku. Anak pertama dari ayah dan ibu, menatap tak percaya. Seolah mengerti dari lukisan yang ku buat menjelaskan segalanya. Semua yang ku alami.
"Kamu baik-baik saja Fatih?" Ilyas bertanya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. Mungkin memastikan keadaanku. Aku menghadapnya, memerhatikan wajah resah, khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak mungkin, itu hanya wajah yang sedang mencoba mengerti perasaan adiknya, bukan perasaan peduli. Wajah Ilyas masih sama lembutnya, sama tenangnya seperti yang selama ini kulihat, tidak ada yang berubah. Sungguh siapapun yang melihat wajahnya, mengetahui sifatnya, banyak yang akan jatuh cinta padanya. Mungkin teman-temannya dikampus menyukainya.
"Aku baik-baik saja, cemaskan saja dirimu sendiri. Kamu masih perlu banyak istirahat, lihatlah tubuhmu masih lemah, kamu terlihat kurus" Aku menjawab canggung, melangkah kearah ranjang, duduk disamping Ilyas. Tangan Ilyas mengacak-acak rambutku, tersenyum tenang. Wajah itu menentramkan.
"Berhenti melakukannya, aku bukan anak kecil lagi" Tanganku menurunkan tangan Ilyas dikepalaku. Apakah aku anak kecil? Ayolah umurku saja sudah dua puluh dua tahun, aku sudah dewasa. Seperti biasa Ilyas mampu menghadirkan ketenangan, bahkan aku bisa merasakannya. Kurasa bukan aku saja, siapapun yang bersama dengannya akan merasakan hal serupa. Itulah mengapa mungkin nenek menaruh harap banyak pada Ilyas. Apa rasa sayangku akan mekar lagi? Tidak, aku sudah benci. Apa yang ku alami sudah cukup menjelaskan betapa aku ingin menghabisinya.
"Bagiku kamu masih seperti anak kecil, kamu masih harus dibimbing. Tapi aku serius, kamu adalah cahaya dirumah ini, sama seperti Lili. Aku tidak tahu kalau tidak ada kalian, aku akan seperti apa. Kalian adalah mutiara untukku" Sungguh perkataan Ilyas lembut masuk kedalam hati. Aku terdiam. Ilyas memerhatikan sekitar kembali. Matanya melihat satu persatu isi kamarku. Rak buku, lukisan, dinding berwarna abu, langit-langit kamar.
"Aku sungguh merindukanmu Fatih, sudah lama kita tak berjumpa" Ilyas masih tersenyum. Aku? Entahlah, perasaanku sakit, sempurna seperti ditikam benda tajam.
"Sebenarnya aku kecewa, karena tak berhasil mewujudkan keinginanku. Mati, ternyata aku masih belum mati, masih menjejak bumi, menjejak jalan yang kubenci. Sebenarnya aku takut, takut kalau aku tetap tidak bisa memenuhi keinginan nenek. Takut kalau aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Fatih, sebenarnya aku berharap, aku tak pernah bangun. Rasanya sangat menyesakkan bila mengingat betapa aku tak mampu mengatasi diriku sendiri. Bahkan ketika aku terjun pun betapa sangat menakutkannya itu. Tapi itu pilihanku agar semuanya selesai, agar diri ini tak lagi menghadapi tekanan" Ilyas meratap, matanya sendu kembali. Ternyata situasi pun tak berubah, masih sama seperti dulu. Kukira Ilyas melupakannya, kukira ia akan menerangi keluarga dengan kelembutannya atau apalah dengan peringainya. Aku menyeringai terluka.
"Ternyata kamu masih sama seperti dulu. Berpura-pura bahagia, berpura-pura menjadi kebanggaan nenek. Masih tak berani bicara jujur, sungguh munafik" Aku menjawab sinis. Ilyas memerhatikanku. Wajahnya resah.
"Fatih...." Nada suara Ilyas lemah.
"Sampaikan kepada nenek apa keinginanmu, jangan ungkapkan padaku. Seharusnya kamu bicara pada nenek, kalau kamu ingin mati. Semua yang tersimpan dalam dirimu, utarakan kepada nenek, bukan kepadaku! Sungguh Ilyas, kamu tidak pernah tahu apa yang kurasakan, tidak tahu bahwa aku menanggung kebencian teramat dalam, karena keluarga mengerikan ini. Kamu mengatakannya begitu mudah, karena kamu dan Lili adalah cintanya nenek, pelipur lara nenek. Kamu merasakan bagaimana disayangi, diberikan kesejahteraan oleh keluarga" Entah bagaimana aku mulai tak terkendali lagi. Meluapkan emosiku lagi. Ilyas diam.
"Bahkan kejadian beberapa tahun silam, aku ingin sekali melupakannya. Tapi setiap kali berkelindan, sungguh menyakitkan. Aku telah merasakan kebencian orang-orang kepadaku, kebencian nenek kepadaku amat dalam. Karena orang tercintanya memutuskan mengakhiri hidupnya, membunuh dirinya sendiri, tanpa tahu sebab mengapa kamu memutuskan melakukan itu. Karena kamu amat dicintai, nenek sungguh terpukul dengan apa yang menimpamu, tapi semuanya disalahkan kepadaku, semua yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku" Aku menatap terluka kearah Ilyas. Meraba dada, mencengkramnya kuat-kuat. Lihatlah mataku akan berair lagi, aku sedu-sedan lagi. Mata bergetar. Ilyas masih menatapku.
"Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Bahkan sekarang kamu kembali, nenek tidak akan berbaik hati padaku, tidak akan melihatku sebagai orang tercintanya, tidak akan memberikan cintanya kepadaku. Sejak kejadian kamu memutuskan untuk membunuh dirimu, nenek telah menaruh benci berkali lipat kepadaku. Sungguh Ilyas kamu tidak akan pernah tahu betapa menyakitkannya melewati semua itu, betapa terlukanya aku. Nenek tidak pernah mencintaiku, perlakuannya sama seperti perlakuannya kepada ayah dan ibu. Kadang aku berpikir keluarga ini sungguh gila, berkehendak semaunya, tanpa peduli bagaimana orang-orang disekitarnya, bagaimana perasaan orang-orang disekelilingnya. Sungguh Ilyas perih sekali, menyalahkan hal yang tidak pernah kulakukan, tapi mereka menyematkan hal itu kepadaku" Aku menatap dalam, terisak. Mata berkaca-kaca, bergetar.
"Nenek menganggapku orang yang telah membunuhmu dan aku harus segera disingkirkan. Semua cercaan yang kuterima melewati beberapa tahun, melewati masa-masa sulit. Dan kebencian nenek semakin menimbun. Nenek tidak pernah mengharapkanku, padahal aku ingin sekali dicintai, disayangi, dianggap berarti. Tapi kamu dan Lili adalah nomor satu dihatinya, tidak seperti aku, ayah dan ibu. Kami tidak akan pernah bisa memasuki hatinya, sungguh Ilyas kalau bisa mengulang segalanya, lebih baik jika aku bukan dari keluarga ini" Sedu-sedan terdengar, sempurna menangis.
"Tidak, jangan berkata demikian, kamu dicintai dikeluarga ini. Aku dan Lili mencintaimu, memperdulikanmu, kami tak ingin kehilanganmu. Kami sungguh mencintaimu, maaf kalau semua yang kamu alami disebabkan olehku, aku tak ingin kamu pergi. Kamu dan Lili adalah cahaya bagiku" Suaranya meyakinkan.
"Fatih, sudah cukup kami kehilangan ibu dan ayah. Kami tak ingin kehilanganmu, aku tidak tahu apa yang telah dilewati olehmu, tapi bolehkah untuk tetap bersama kami? Andai Tuhan mengizinkanku memutar waktu aku tak akan membiarkan ayah dan ibu mati, aku akan mencegah ayah dan ibu pergi. Aku akan bilang kepada mereka, aku mencintai mereka. Biar kita pergi kemanapun, asal keluarga kita bahagia" Ilyas berkata cepat-cepat. Raut wajahnya gelisah, aku menatap sendu.
"Jangan mengatakan hal yang tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meninggalkan rumah ini. Berhentilah membual, jangan memberikan harapan yang tidak bisa kamu wujudkan. Kalau aku meminta pergi hari ini, apa kamu bisa melakukannya? Bawa aku dan Lili kemana saja, kamu bisa?" Ilyas membatu, kebingungan.
"Lihatlah, kamu tidak bisa melakukannya. Sudahlah Ilyas, istirahatlah, nenek tidak akan suka kamu berada disini, aku juga ingin istirahat. Pergilah, aku yakin nenek menunggumu, masih merindukanmu" Aku beranjak mendorong tubuh Ilyas keluar pelan-pelan. Setelah itu menutup pintu. Ilyas terdiam beberapa menit, lalu melangkah menuruni tangga, duduk disamping nenek. Nenek tersenyum, membelai rambut pendek Ilyas lalu Mengecup keningnya.
"Istirahatlah nak, aku yakin kamu lelah. Meski aku masih merindukanmu, tapi aku tak tega melihatmu. Istirahatlah, rebahkan badanmu. Nanti-nanti kita akan berbincang lagi. Hari ini sungguh indah, melihatmu didepan mataku, sungguh kerindukanku masih membuncah, tapi aku tahu kamu lelah. Aku juga akan istirahat" Nenek lembut mengusap telapak tangan Ilyas, lalu beranjak ke kamar. Setelah nenek sempurna hilang dari pandangan, Lili melirik Ilyas. Mendekat, sekilas melirik kamarku, lalu kembali melirik Ilyas lagi.
"Kamu kenapa?" Lili membuka suara, Ilyas menggeleng.
"Bagaimana Fatih? Apa yang kamu bicarakan dengannya?" Lili penasaran.
"Entahlah, masih perlu banyak waktu untuk berbicara dengannya. Untuk sekarang dia tak ingin bicara denganku. Biarlah, biarlah dia sendiri dulu" Ilyas redup. Lihatlah meski Ilyas sudah ada dirumah ini, rumah masih sepi. Lengang. Ilyas menatap langit-langit ruangan. Lili berdehem.
"Aku mengerti kenapa Fatih demikian. Nenek selalu membencinya, dia sudah dikurung dirumah ini sejak kejadian kamu terjun membunuh dirimu. Fatih selalu disalahkan atas kejadian beberapa tahun silam. Bahkan dia tak dibolehkan keluar rumah. Paling keluar kamar pun sekedar mengambil makanan dan minuman. Sudah lama sekali Fatih tak berbincang dengan nenek. Karena menurut nenek apa yang menimpamu adalah kesalahan Fatih. Jujur sebenarnya aku mendengar perbincanganmu dan Fatih di rooftop kampus. Mendengar bagaimana kamu saat itu begitu letih, lelah. Aku mendengarnya. Saat kamu memilih terjun, aku juga ada disana, dibalik dinding. Ilyas hari itu juga aku ingin mencegahmu melakukan bunuh diri, tapi kamu terlanjur melakukannya. Dan Fatih, sungguh terkejut, dia bergetar, ketakutan. Entahlah seperti apa perasaannya saat itu. Tapi aku tahu semenjak itu dia lebih tertutup, tidak berbicara kepadaku. Banyak diam dikamar, bahkan nenek membencinya sejak kejadian itu. Jadi aku sedikit mengerti perasaan Fatih saat ini" Lili menerangkan, tatapannya lemah. Ilyas memasang wajah tak percaya, pandangannya beralih ke kamarku, menatap prihatin. Ilyas menghela nafas.
Waktu cepat berlalu, sudah malam lagi. Aku melangkah menuruni tangga, mengambil makanan dan minum. Ilyas menatap kearahku. Aku mengabaikannya. Berjalan lagi kekamar, tapi baru saja setengah anak tangga, Ilyas sudah menghentikan langkahku.
"Bisakah kita bicara?" Kali ini Ilyas menatap serius. Aku menoleh.
"Tidak bisa, aku lelah" jawabku sekenanya.
"Aku mohon padamu, bicaralah denganku diluar. Kalau disini aku tahu kamu tidak akan suka, ada nenek" Lanjut Ilyas meyakinkan. Aku tak bergeming. Sepi.
"Aku ingin bicara denganmu, kita keluar. Sekalian jalan-jalan menghirup udara. Kamu suka keluar kan? Sudah lama juga aku tak berjalan-jalan. Kalau nenek marah, aku yang akan bertanggung jawab" Ilyas memohon. Aku hanya melangkah keluar, tidak memberi jawaban. Ilyas mengikutiku dari belakang. Tersenyum tenang, layaknya seorang kakak yang berhasil membujuk adiknya.
Malam terasa dingin, anginnya menusuk kulit. Aku dan Ilyas berjalan bersisian. Lihatlah waktu-waktu ini adalah jam tidur, amat lengang. Meski lampu-lampu kota menyala indah, tapi sepi. Tidak seperti kemarin-kemarin saat aku bersama Lili sangat ramai. Meski hari ini pun mobil melintas satu sama lain di jalanan meramaikan jalan, tapi tidak ada orang-orang yang berjalan kaki, tidak ada orang-orang yang berbincang, tidak ada orang-orang yang bertegur sapa, mengumbar senyum. Tidak ada sama sekali. Hari ini sunyi. Tapi ada yang sama, bintang-gemintang menghiasi langit bersama purnama yang tegak, amat memesona. Lampu-lampu gedung menyala, kerlap-kerlipnya memanjakan mata. Malam ini aku dan Ilyas berada diatas jembatan. Sangat sepi, hanya ada kami berdua. Angin mengibas-ngibas rambut hitam pendek kami.
"Maaf Fatih, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mendengar semua kisahmu dari Lili. Kamu mengalami kesulitan selama ini, sungguh Fatih aku tidak bermaksud menyulitkanmu. Aku membunuh diriku saat itu, agar semuanya berakhir. Siapa sangka, nenek akan membencimu begitu dalam, mengurungmu dirumah. Kukira dengan aku terjun, semua telah usai seperti ayah dan ibu" Ilyas redup. Aku diam, meski menyakitkan mengingat itu. Tapi aku sudah lelah.
"Fatih, aku dan Lili mencintaimu. Sungguh mencintaimu, kamu adalah hal berharga yang kami miliki. Meski aku tahu kamu sudah membenci keluarga ini, tapi aku dan Lili akan selalu mencintaimu, menyayangimu" suaranya getir.
"Kamu membawaku kesini hanya untuk membahas ini? Memperlihatkan betapa kamu begitu menyedihkan? Agar aku merasa empati kepadamu, dan akhirnya aku luluh? Wahh... lihatlah, kamu sudah pandai menggunakan wajahmu, pandai menggunakan tubuhmu agar aku merasa bersalah dan kasihan kepadamu" Aku tertawa getir, menyeringai terluka. Entah bagaimana kejadian-kejadian menyakitkan itu kembali hadir dibenakku. Aku memegang dada, mencengkram kuat-kuat.
"Tidak Ilyas, kalian sangat mengerikan. Cinta keluarga itu tidak ada bagiku. Itu hanya berlaku padamu dan Lili, tidak kepadaku. Menyesakkan sekali ketika aku disalahkan atas hal yang tidak pernah aku lakukan. Semua yang kamu katakan itu bohong, kalau aku adalah hal berharga seperti yang kamu katakan, seharusnya ketika aku mencegahmu melakukan bunuh diri, kamu menurutinya. Tapi kamu tidak melakukannya, karena kamu lebih peduli dirimu sendiri. Tidak kepadaku yang katanya adalah hal berharga" Lihatlah mataku akan berair lagi. Berkaca-kaca. Ilyas menatap prihatin. Aku lemas. Ilyas menggeleng-geleng, berkaca-kaca.
"Sudahlah Ilyas, jangan membuatku semakin membencimu. Cinta keluarga ini tidak akan pernah tumbuh dihatiku lagi. Kita pulang, nenek akan mencarimu" Malam ini pembicaraan kami hanya itu. Menyisakan sesak. Tidak ada akhir yang membahagiakan diantara perbincangan akhir kami. Kami memutuskan pulang. Ilyas menatap punggungku dari belakang, memerhatikan gerak-gerikku. Sungguh hari ini kami diselimuti kesenduan. Daun-daun meliuk-liuk diantara pohon-pohon rindang. Kami melangkah masuk rumah. Ilyas masih memerhatikanku yang melanjutkan langkah ke ruang makan mengambil makanan dan minuman, lalu aku berjalan lagi ke kamarku sempurna menutup pintu. Tidak ada kata-kata mutiara, tidak ada kata-kata penenang. Malam yang sepi.
****
Pagi menyambut indah, tidak seperti biasanya, kali ini pagi-pagi sekali Ilyas sudah mengetuk pintuku. Tuk....tuk...tuk....Aku yang masih terlelap tentu saja merasa terganggu. Merekatkan bantal ke kedua telingaku. Sial, aku tak bisa tenang. Ilyas dengan wajah ceria antusias membangunkanku, Lili hanya tersenyum. Kepala mendongak melihat Ilyas. Nenek? Seperti biasa dia tidak suka. Terlihat dari raut wajah. Kepalaku membolak-balik ke kiri ke kanan, berharap suara berisik itu hilang. Sampai akhirnya aku menyerah, melangkah gontai, membuka pintu. Lihatlah, Ilyas sudah tersenyum riang, aku memasang wajah suntuk.
"Ayo sarapan, kita makan bersama" Ilyas begitu riang, aku menolak, menggeleng malas. Tapi tanganku sudah ditarik menuruni anak tangga, melangkah ke ruang makan, duduk disamping Ilyas. Muka nenek musam, tapi Ilyas tidak peduli. Aku? Entahlah, menunduk, melihat piring dan sendok. Lili menuangkan nasi dan lauk-pauk ke piringku, sama riangnya dengan Ilyas. Aku membiarkannya. Ini kali pertamanya lagi aku duduk bersama keluarga ini, setelah beberapa tahun. Meski Susana terlihat kikuk. Senyap. Yang akhirnya nenek memaksakan senyum, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, tidak peduli padaku. Nenek beranjak, tangannya cekatan melakukan apa yang seperti Lili lakukan kepadaku. Menyendok nasi dan lauk-pauk ke Lili, ke Ilyas. Nenek amat pandai menyembunyikan kemarahan, lihatlah wajahnya amat tenang, tersenyum merekah kearah Lili dan Ilyas bergantian. Aku? Tertunduk datar. Nenek, Lili, Ilyas berbincang, menceritakan tentang keadaan kakak pertamaku ini, membicarakan bagaimana waktu Lili dan nenek tak henti menjenguk, menceritakan betapa amat sedih melihat Ilyas terkapar dirumah sakit. Menjelaskan bagaimana wajah pias nenek, kekhawatiran Lili. Aku? Diam saja, makan tenang, datar-datar saja. Biarlah mereka puas dengan obrolan paginya, membuncahkan cinta mereka yang terbenam selama beberapa tahun ini.
"Sungguh Ilyas, kamu adalah keajaiban bagi kami. Kamu adalah tanda kebaikan Tuhan kepada kami bahwa memang rahmatNya tak pernah putus, selalu mengiringi kami. Teramat baik" Nenek akan berair lagi. Satu denting airmata akan tumpah lagi. Pagi yang cerah, meski terlihat kaku, terlihat ganjil. Lili melirikku. Makananku separuh habis, bahkan aku hampir menyelesaikan makananku. Lili memerhatikanku, Ilyas? Matanya fokus kepada nenek, memberikan senyum terbaiknya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah di dirinya, menunjukkan ia adalah kebanggaan nenek. Aku membencinya, dia berpura-pura lagi. Makananku kali ini sudah habis, beranjak ke pencucian piring, menyimpannya. Melangkah ke tangga, ke kamarku. Ilyas menoleh kearahku, memerhatikan.
"Sudah selesai?" Ilyas basa-basi.
"Sudah selesai" Aku sinis, melangkah tanpa berbalik badan. Ilyas mendesah, lalu menatap wajah nenek tersenyum tenang, meski dipaksakan. Nenek mengacak-acak rambut Ilyas pelan, tersenyum. Aku terduduk diranjang, mengedar ke langit-langit kamar, lalu menatap lurus lagi. Sepi ini mengajakku berkelana ke beberapa tahun silam, mengukir lagi kejadian mengerikan itu. Itu hal yang paling menakutkan. Lihatlah tubuhku bereaksi ketakutan, aku tegang. Mulai tersengal, tak terkendali. Aku menepuk-nepuk dada, berusaha mengusir sesak nafas. Sial, terjadi lagi. Bayangan Ilyas terjun, suara berisik orang-orang, suara jeritan, bagaimana cara nenek memandangku saat itu sempurna menghantam jantung. Semakin tersengal, terjadi selama beberapa menit. Aku kembali tenang.
Seperti biasa, malam selalu memberikan nuansa yang berbeda. Kali ini aku memberanikan diri keluar. Aku melangkah keluar kamar, melewati ruang keluarga. Ada Lili dan Ilyas diruang keluarga. Nenek? Dia sudah tidur di jam-jam seperti ini. Aku tak pedulikan mereka, berjalan melewati halaman. Aku sudah di luar. Malam ini mencekam, suara-suara mobil beradu. Cahayanya menyatu, menyeruak, mempercantik jalan. Lampu bundar di sisi aspal berdiri tegak, formasi lampu-lampu gedung, mol, lampu-lampu jalan berpadu menyinari kota. Lihatlah bumi ini indah. Tapi tak cukup membaluri ketenangan dihatiku, tak mampu mengusir sendu dalam batin. Aku redup, mata mengedar memerhatikan sekitar. Sepi membalut hatiku. Aku datang ke jembatan kemarin bersama Ilyas. Tapi kali ini aku sendiri, menatap lenskep kota diketinggian, sungguh indah. Memesona. Siapa yang tidak terhipnotis, melihat kerlap-kerlip lampu, rumah-rumah penduduk berjajar rapih, bangunan-bangunan kota tinggi dan pendek memadati diantaranya. Sungguh menawan. Aku tersenyum. Entahlah, bagaimana perasaan ku hari ini. Tapi yang aku tahu, aku selalu sendiri, selalu kesepian. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada yang berubah. Aku memejam mata, merasakan angin menerpa wajah. Mengibas-ngibas rambut hitamku. Meneteskan airmata lagi, sesenggukan terdengar. Biarlah aku menangis lagi, biarlah aku merasa lapang. Semesta membawaku ke kejadian beberapa tahun silam, membawa sulaman kesedihan, membuatku redup. Memori-memori yang ingin aku lupakan, mengikatku. Aku membuka mata, lalu kakiku naik keatas penyangga jembatan, menatap kebawah jembatan beberapa detik, lalu kedua tangan direntangkan, menatap lurus. Biarlah aku mengabulkan keinginan nenek, biarlah aku menghilang dari bumi. Aku ingin tenang. Semesta berbisik lewat angin yang berhembus amat menenangkan. Mengaliri hatiku ketenangan. Aku memejam mata. Dalam beberapa detik tubuhku sudah melayang bersama angin.
"Fatih!!!!!" Lili dan Ilyas berteriak histeris, berlari kearahku yang sudah terhempas. Tanpa kuketahui ilyas dan Lili ternyata mengikutiku dari belakang. Lihatlah, wajah mereka cemas, memerhatikan bawah jembatan.
****
Aku membuka mata, tubuhku sakit semua. Terbaring lemah dirumah sakit. Lihatlah aku tak berdaya, mata, remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Lili, Ilyas dan nenek tepat disampingku. Menatap penuh khawatir. Mata mengedar ke seluruh ruangan. Ruangan serba putih, dulu Ilyas yang berada disini dengan berbagai ketegangan. Dengan berbagai alat rumah sakit yang berada ditubuhnya. Sekarang giliranku, aku mendesah. Aku tidak tahu bahwa kejadian malam itu, Ilyas bertengkar hebat dengan nenek. Telah menuntaskan segala kesalahpahaman yang terjadi antara kami sekeluarga, meski tidak tahu apa persisnya. Aku menatap ketiganya bergantian, lalu melihat tubuhku, melihat tanganku. Ternyata aku belum mati. Tapi ada yang berbeda dari tatapan nenek, ia redup tapi bukan seperti yang selama ini kulihat, ada yang berbeda. Entahlah apa ini hanya perasaanku atau memang nenek sudah berubah? Tidak mungkin, nenek lebih mencintai Ilyas dan Lili. Aku siapa? Berani mengharapkan cinta.
"Syukurlah kamu baik-baik saja" Celoteh Lili. Disusul Ilyas memberi ekspresi khawatir, nenek hanya melihatku. aku menatap nenek, memerhatikan lamat-lamat. Meski ada yang berbeda dari tatapan biasanya, kesimpulanku adalah apa yang kulihat dari gerak-gerik nenek hanya perasaanku saja. Tidak mungkin rasa sayang itu tumbuh dihati nenek. Aku tidak mungkin bisa menembusnya, aku adalah manusia yang paling dibenci nenek.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku berkata pelan, menatap lurus. Tanpa perlu panjang lebar Ilyas mengerti maksudku. Mereka beranjak keluar. Nenek menatapku sebentar. Sungguh ada apa dengan nenek hari ini? Mereka bertiga meninggalkan ruangan, aku menatap kepergian mereka, mataku berkaca-kaca. Setelah benar hilang, aku menatap langit-langit kamar.
"Maafkan nenek Fatih" Suara nenek pelan. Nenek terduduk dikursi tunggu, mengingat pertengkarannya dengan Ilyas. Terpekur.
Flash back.
"Nek, Fatih dirumah sakit nek, aku dan Lili sudah dirumah sakit" Ilyas panik. Wajahnya resah. Lili juga sama cemasnya. Mondar-mandir di depan ruangan berwarna putih itu. Dokter-dokter sedang menanganiku. Setelah menerima telpon Ilyas, nenek bergegas kerumah sakit. Mobil yang ditumpangi nenek menjejak jalan, menyalip beberapa mobil didepan. Tak peduli omongan kesal orang-orang karena diserobot, mobil nenek melaju cepat, tak peduli bunyi klakson yang seolah memprotes. Setelah sampai ditempat tujuan, mobil terparkir di pelataran parkir, nenek melangkah cepat-cepat melewati beberapa orang yang sama sibuk mondar-mandir, sama cemasnya, sama khawatirnya. Lihatlah begitu melihat Lili dan Ilyas, nenek langsung menghambur memeluk mereka berdua, lalu menatap pintu ruanganku yang tertutup.
"Bagaimana keadaannya? Apa yang sebenarnya terjadi?" Nenek bertanya pelan, setelah memeluk beberapa menit.
"Kami tidak tahu" Lili tersungkur. Ilyas menatap pintu ruangan, harap-harap cemas.
"Aku sungguh takut akan seperti ayah dan ibu. Bagaimana kalau dia mati?" Ilyas menatap nenek linglung. Mata bergetar. Nenek terdiam
"Bukankah ini dejavu? Kita pernah mengalami ini, aku pun pernah mengalami ini" Suara Lili patah-patah, tersedu-sedu menatap nenek. Nenek bergetar.
"Lihatlah, kita mengulang lagi hal serupa. Nenek, aku tahu kamu membenci Fatih, menyalahkan Fatih atas apa yang terjadi kepadaku. Tapi sungguh itu bukan kesalahannya" Ilyas menjelaskan dengan sedu-sedan.
"Sungguh nenek, semua bukan kesalahan Fatih. Aku yang memilih membunuh diriku, aku mencelakai diriku, karena aku merasa tertekan, tak bisa memenuhi keinginan nenek, tak memenuhi syarat kebanggaan nenek. Setiap hari dipenuhi keresahan, kekhawatiran. Takut Kalau semua yang kulakukan bukan standar keinginan nenek. Aku membunuh diriku, karena aku sudah lelah, kalau ingin menyalahkan, salahkan aku, karena aku begitu pengecut, tidak berani. Jujur aku terbebani, makanya waktu itu aku memutuskan membunuh diriku. Setiap hari mengeluh, setiap hari pula aku ketakutan" Ilyas penuh resah, nenek hanya menangis.
"Sungguh nenek, kami mencintaimu. Ayah, ibu, aku, Fatih, Lili mencintaimu, teramat mencintaimu, tapi kesalahanku adalah tidak mengungkap keinginanku yang sebenarnya. Aku membohongimu" Ilyas semakin tak tertahan. Nenek diam, terisak. Lili menunduk.
"Fatih teramat mencintaimu, mungkin cintanya lebih besar dariku dan Lili. Tapi kamu membencinya begitu dalam, karena kesalah-pahaman yang terjadi. Aku mohon nek, biarkan kami bebas, biarkan kami memilih apa yang kami mau. Aku tak ingin kejadian yang menimpa ayah dan ibu terulang kembali" Suara Ilyas lemah.
Nenek menangis kecil mengingat itu, mengingat kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas, juga yang menimpa ayah dan ibu. Sedu-sedan nenek terdengar diantara riuhnya orang-orang yang berada dirumah sakit. Beranjak, mendekati pintu ruanganku. Melihatku yang terpekur. Kali ini nenek benar-benar menyesal.
End.
@menyapamakna1
5 notes
·
View notes
Text
Awalnya aku sempat bingung hal apa lagi yang harus ku tulis untuk menggambarkan ketidak berdayaanku selepas percakapan terakhir kita malam itu.
Sampai pada akhirnya kamu mulai membuat jelas apa-apa yang selama ini menjadi tanda tanya besar bagiku, tentang perasaanmu, atau tentang pemikiran mu terhadapku.
Aku sangat berterima kasih sebab kamu sudah membuatku sadar, bahwa memang sejatinya tak layak bagi bumi untuk berharap bisa menggapai langit.
Setiap kata-kata yang kau ucapkan malam itu, sudah cukup untuk membuat pria sebodoh aku bisa mengerti, bahwa apa yang ku lakukan selama ini, hanya menjadi sesuatu yang membuatmu merasa tak nyaman.
Dan memalui tulisan ini ada beberapa hal yang ingin ku luruskan.
"Aku tidak keberatan jika kamu berfikir aku terlalu sok ikut campur atau terlalu mengatur-atur apa yang sudah menjadi kebiasaan mu, aku hanya tidak menyangka bahwa kamu akan menganggap apa yang ku lakukan itu, semata-mata karena aku merasa kasihan padamu.
Haah..rasanya menyedihkan.
mengetahui kekhawatiran dan kepedulianku hanya kamu anggap sebagai rasa kasihan. Terlebih kamu mengira aku menjauh karena tak tahan dengan segala tingkah aneh dan sifat keras kepalamu.
Hey kamu, perempuan yang suka main hujan-hujanan, tapi fisiknya lemah.
Perempuan yang mengaku pencinta kopi, tapi tidak tahu bahwa berbahaya meminum kopi di pagi hari saat perutmu kosong.
Perempuan yang setiap hari begadang, tidur menjelang subuh, padahal pagi nya harus kerja.
Perempuan yang ketika tenggorokanya sakit, di suruh minum obat susah, malah minum es teh di jam 2 dini hari.
Tolong dengar ini ;
Tidak pernah ada sedikitpun niatku untuk menjauh darimu, aku juga tak pernah merasa lelah untuk mencegahmu menyepelekan kesehatanmu.
Jujur, awalnya aku kira diam mu ini hanya sekedar candaan semata, yang kau lakukan untuk membuktikan padaku bahwa kamu akan menang dan aku pasti akan merindukanmu.
Iya kamu menang, dari awal aku sudah kalah, dan benar apa katamu, aku merindukanmu. Aku akui itu.
Ku kira setelah itu semua, setelah aku mengaku kalah, kita akan kembali seperti biasanya. saling bertukar kabar, dan bisa bercanda seperti dulu.
Nyatanya aku salah, semua tak bisa lagi kembali seperti dulu, seperti senja yang hadir menyuguhkan keindahan, kehadiranmu hanya memberikan kebahagiaan sesaat sebelum datang kegelapan yang menyedihkan.
Aku masih tak henti-hentinya berharap, Bahkan hampir setiap malam aku selalu antusias menunggu kamu selesai dengan semua kegiatanmu, berharap bisa menjadi teman ceritamu seperti waktu itu, menemanimu kesana kemari, mendengarkanmu bernyanyi, juga menjadi seseorang yang kamu minta untuk terus bicara sampai kamu tertidur.
Entah berapa kali dalam sehari aku membuka ponselku, berharap setidaknya ada satu notif pesan yang kamu kirimkan kepadaku. Namun tak ada apapun yang ku temukan disana, selain pesan terakhir dariku yang hanya berakhir kau baca.
Ada begitu banyak hal yang ingin ku bicarakan padamu, tapi aku takut.
Sebab kini kita sudah terlalu asing, sampai-sampai aku merasa apa yang telah kita lalui kemarin itu hanyalah sebuah mimpi.
Aku sudah berkali-kali mencoba mengirim pesan untuk sekedar menyapa atau menanyakan kabarmu, namun hal itu selalu ku urungkan, sebab aku tak ingin mengganggumu.
Dan sepertinya kamu pun tak berharap aku melakukan itu.
Aku melihat dengan jelas bagaimana leluasanya kamu menjalani hari-harimu tanpa gangguan dariku, kamu bisa melakukan semua hal yang kamu sukai, tanpa perlu khawatir akan di omeli, atau di beri panggilan-panggilan aneh oleh orang yang kau sebut bapak tua bawel ini, dan aku yakin itu pasti sangat menyenangkan bagimu.
Kamu bilang aku terlihat baik-baik saja, karena bisa bercanda dengan siapapun, atau memberi perhatian pada orang lain di depanmu.
Tapi tak apa, itu hak mu untuk berfikir apapun tentangku. Dan rasanya percuma juga untuk ku menjelaskan apapun padamu, sebab hal itu tak mungkin juga bisa merubah keadaan yang sudah terlanjur absurd ini.
Mungkin aku baru mengenalmu sebentar, tapi itu sudah cukup untuk membuatku mengerti.
Mendebat seseorang yang keras kepala seperti mu itu hanya akan membuat masalah semakin rumit.
Apa pun yang aku lakukan akan selalu salah, dan apapun yang aku katakan itu tidak akan pernah ada benarnya.
Jangankan bicara, baru mangap saja kamu sudah menganggap ku salah padahal aku belum mengatakan apa-apa.
Terlebih lagi sekarang, di saat kamu menjauh, dan aku berusaha untuk tidak mengusikmu. Aku memilih diam walaupun aku rindu, aku hanya memperhatikan tanpa berkomentar sedikitpun melihatmu masih melakukan kebiasaan-kebiasaan burukmu.
Bahkan dia saat ada banyak pria menggodamu dan kamu menanggapi dengan antusia hal itu pun, aku cuma pura-pura gak tahu. Tapi sekarang kamu malah bilang aku sok cool.
Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, mau marah juga rasanya percuma, lagi pula aku takut, karena semarah-marahnya aku pun tetap galakan kamu.
Dan mungkin untuk saat ini aku cuma bisa minta maaf sama kamu jika kata-kataku sering menyinggung atau menyakiti perasaanmu.
Maaf sudah menyebutmu kaya dukun.
Maaf sudah berkata bahwa kamu adalah jiwa pria yang terjebak dalam tubuh wanita.
Maaf atas segala kebawelan ku.
Maaf aku selalu melarangmu melakukan ini dan itu.
Maaf jika tulisan-tulisanku membuatmu tersinggung.
Terima kasih kamu sudah memintaku untuk menjaga kesehatan, tapi maaf aku tidak butuh, sebab aku jauh lebih pandai melakukan itu dari pada kamu, dan seharusnya kamu yang selalu menyepelekan kesehatanmu lah yang sebenernya membutuhkan ucapan seperti itu.
Oh iya satu lagi,
Aku telah menunaikan amanah darimu, aku sudah menyampaikan salam darimu pada ibuku, dan ya seperti yang sudah ku duga sebelumnya. Sekarang aku di cecar dengan pertanyaan tentang siapa dirimu.
Tapi tak masalah, biar itu jadi urusanku. Akan aku cari jawaban yang masuk akal agar dia berhenti menanyakanmu.
Baiklah, aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan, sekali lagi aku minta maaf atas kelakuan ku yang menyebalkan.
Tenang saja, Ini akan jadi yang terakhir, dan akan ku pastikan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi.
Sekian dan terima kasih.
Alif Ghibran
#love quotes#puisipendek#galaubrutal#puisi#sajak patah#sajak galau#sajak puisi#galauquotes#patah hati#sajak
6 notes
·
View notes
Text
Mah, Gadismu.
Sebelumnya, aku mewanti-wanti agar tidak berharap terlalu besar pada tulisan ini, senyum sendiri, tertawa sendiri, Tidak. Tulisan ini bukan untukmu, melainkan untuk kaum 'ibu-ibu', khususnya 'ibu-mu'.
Bu, eh, mungkin lebih baik kuganti dengan ejaan "Mamah" ijin ya, bu!, Saya berharap suatu saat bisa memanggilmu dengan panggilan itu juga, Bu.
Mah, saya bingung harus memulai untaian ini dari mana, jika ada penyambung topik antara kita, maka mungkin saya akan memulainya dari ucapan terimakasih karena telah melahirkan gadis 'bak titisan senja, yang parasnya membuat saya selalu teringat.
Mah, meski tulisan saya tak segagah Chairul Anwar, tak seromantis Sapardi, atau sehumoris Joko Pinurbo, tapi yakinlah Mah, tulisan ini saya buat dengan berusaha untuk menjiwai setiap katanya untukmu, Mah.
Mah, saya ini sedang mengagumi seorang gadis, yang tak lain adalah gadismu. Saya ini pemalu, Mah. eh, penakut, lebih tepatnya. Bahkan untuk membuat gadismu tahu perasaan ini pun membutuhkan waktu yang lama, Mah. Biarkan saya mencintai dia dengan caraku, Mah. Melalui harapan di rinainya hujan, atau untaian ramah dan tabah antara adzan dan Iqamah, atau pula disela-sela kesunyian kelam sepertiga malam.
Mah, se-penakut itulah saya dulu, sebelum memutuskan untuk menyelami lebih dalam kehidupan gadis Mamah, yang semoga nanti menjadi pendamping hidup saya. Aamiin. Mungkin jika dalam hidup ini saya dan dia memiliki muasal yang berbeda, semoga muara kita nanti akan bersama, berjuang bersama menyelami dan mencari mutiara kehidupan ini.
Mah, meskipun saya mencintainya dengan tulus, tetapi tak perlu khawatir, ataupun merasa tersaingi sebab, saya tahu, cintamu tak sebanding jika diimbangi cinta saya padanya. Karena bohong sekali jika saya berkata bahwa sayalah yang paling mencintainya di dunia ini. Sementara engkau tak henti-hentinya berkorban untuk gadis ini.
Mah, gadismu adalah perempuan hebat. Darinya saya belajar banyak hal. Tentang kejujuran hidup di jaman yang semakin hipokrit ini, tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya, bagaimana menutup telinga saat seisi dunia membicarakan kita, bagaimana berdamai dengan kehidupan. Dan yang paling penting Mah, gadismu juga sering mengingatkan saya tentang hal-hal mikro yang biasanya luput dari perhatian kita. seperti kecintaannya pada kucing; merawat dan bermain dengan kucing, hal-hal kecil tentang kebersihan pun ia ajarkan; kebiasaan mengelap sendok dan garpu dengan tissue sebelum makan, aku curiga, gadismu lebih menyukai tissue ketimbang saya...hehe..tapi dibalik semuanya, aku sangat kagum tentang hal itu.
Banyak yang ia ajarkan Mah, mulai dari cara memakai sumpit, cara memakai sun screen, memilih sabun muka, ah... Bila bukan sebab gadismu, mana mungkin saya bisa sefasih ini mengenal rindu, senja, dan skincare?
Mungkin terkesan berlebihan tapi itu adalah penemuan terhebat dalam hidupku baru-baru ini Mah, hehe.
Gadismu terkadang amat cerewet dan mudah cemas, Mah..Ia juga terkadang lucu, aneh dan menyebalkan. mungkin jika ada perkumpulan membahas tentang hal menyebalkan di poros seluruh galaksi, aku yakin bahwa aku akan mendominasi pembicaraaan tersebut, aku akan menyampaikan bahwa betapa menyebalkannya gadismu saat ia sering sekali lupa kenangan-kenangan yang pernah kami lalui...Hehe... tapi tidak apa, Mah...tugasku adalah mengingatkannya. Dan salah satu hal yang lucu dan kusuka ialah saat ia begitu cemas memastikan kalau aku sudah sampai dirumah atau belum; sesaat setelah kita bersua.
Ah, mungkin memiliki seseorang yang cerewet tatkala memastikan keberadaan kita sudah sampai di rumah atau belum adalah salah satu kebutuhan psikis manusia, modern ini.
Begitulah Mah, kelucuan dan kecerewetan gadismu, Mah. Tapi percayalah Mah, saya akan tetap menyayanginya dengan segala keanehannya.
Mah, saya bukanlah laki-laki spesial, biasa saja. jika bertemu anak Mamah, baju yang saya pakai itu-itu saja. Bahkan jika nanti akan mengajaknya makan, tempatnya pun jarang berganti-ganti. Tidak seperti kaum Borjuis yang berkelana keseluruh restoran mahal metropolitan. Saya hanyalah lelaki biasa, yang sering pula membuatnya kesal pagi dan malam. Yang seketika membuatnya badmood meski hari sedang cerah-cerahnya. Yang sering membuatnya tersiksa menahan rindu tatkala saya jauh darinya. (yang ini mungkin saya ke-pede-an)
Mah, gadismu juga sering berkeluh-kesah tentang hari-harinya, tentang kucing, tetangga, makanan, dosen brengsek, organisasi dan tugas kampus. Aku juga meminta maaf Mah, terkadang mengajak gadismu yang sedikit lucu ini untuk memakan jajanan pinggiran; telor gulung, makanan pedas, dll. tanpa sepengetahuan Mamah.
Saya juga kagum padanya, betapa bergairahnya dirinya saat mengejar kesuksesannya, terlebih dalam segi akademiknya, Mah. Gadismu tumbuh menjadi perempuan yang tangguh dan cerdas. Gadismu ini langka Mah, dia tetap memegang prinsipnya, dia hidup tanpa kepura-puraan dunia maya.
Seperti itulah tingkahnya sehari-hari, tapi yakinlah Mah, saya akan selalu bersedia mendengarkan keluh-kesahnya yang terkesan itu-itu saja, memahami egonya, mengerti kesibukannya, mendukung hal-hal untuk kebaikan dia.
Mah, saya berharap, suatu saat saya bisa benar-benar bisa memanggil Mamah dengan panggilan ini, "Mamah", mengikat janji suci berdua dengan gadismu yang disaksikan langsung ratusan pasang mata yang hadir, mengimaminya sholat, membimbing tilawahnya, mengurus kucing-kucingnya. Dan tenang saja Mah, kalian akan tetap ada di tempat yang paling istimewa dihatinya, kalian takkan kehilangan cintanya pada kalian sebab saya. Sebab cinta tak pernah merantai, melainkan memberi sayap.
Salam hangat dari saya, Mah
Salam untuk Gadis-mu yang lucu itu.
Mungkin dia sedang marah dan tersenyum sendiri setelah membaca tulisan ini. Karena saya akan hilang dari peradaban beberapa saat lagi.
#30haribercerita#30harimenulis#poem#puisi#sajak#photography#photogram#quotes#30harimenulissuratcinta#semangat#inspirasi#senyuman#bahagia#tulisan#tumblr#literasi#landscape#love#cinta#hijrah#life#kata#puisiindonesia#sajakromantis#sajakrindu#ibu#ayah#keluarga#family#fypツ
62 notes
·
View notes
Text
#retorikagatra — 28 September 2024, Merangkai Asa di Penghujung Bulan.
Pagi ini adalah lembaran baru, sebuah halaman pertama setelah pertemuan singkat yang melahirkan debar tak terduga sedari semalam. Rasanya seperti ada tarian halus di dadaku, lebih gemuruh dari biasanya. Semesta seakan berkonspirasi, mempertemukan kita di senja yang lalu, saat pandanganmu yang penuh pesona membekas di setiap inci pikiranku. Ada kekalutan yang lembut, menguasai hatiku dalam gelisah manis, karena tak pernah sekalipun aku jatuh cinta dalam dunia yang penuh teka-teki ini—dunia di mana peran dan kenyataan bertaut begitu rapat. Namun, di hadapanku kini ada kau, Harumi, perempuan dengan senyum yang mampu meluruhkan ketegaran, menelusup ke celah-celah hatiku yang rapuh. Setiap detik yang berlalu sejak pagi, aku hanya bisa terdiam dalam ketidakpastian—lidahku kelu, jemariku beku, tak tahu harus merangkai kata apa untuk membalas tatapanmu. Di dalam benakku, topik-topik percakapan melayang tak beraturan, mencari pijakan yang tepat untuk memulai. Apakah kau akan mendengarkan kekalutanku? Atau, mungkin, kita biarkan saja waktu yang menyulam percakapan tanpa perlu kita susun dalam paksa. Hari ini, aku hanya ingin tahu—apakah hatiku telah sepenuhnya tersesat di dalam lembut pesonamu?
#sajak indonesia#sajak#literasi#28haribersajak#poetry#puisi#quotes#writers on tumblr#puanberaksara#prosa#cerita#kumpulan puisi
3 notes
·
View notes
Text
Maaf aku menghapus namamu dari daftar pertemanan kontak ku
Setelah aku ternyata tak pernah terlihat di matamu, setelah aku menyadari. Setelah aku terhempas begitu keras dari langit yang sudah kau bangun entah sejak kapan
Sejak itu pula aku menyesali diri dan kebodohanku sendiri. Mengapa fase menyakitkan ini harus terjadi lagi dalam hidupku untuk yang kesekian kali?
Mengapa aku bahkan bisa lebih bodoh dari keledai yang hanya terjatuh kedalam lubang yang sama sebanyak dua kali?
Fotografi & Perfilman. Yogyakarta. Kemeja flanel berkaus dalam. Kampusmu. Tempat tinggalmu. Adalah hal yang paling membuatku begitu antusias mengingatmu atas nama sesuatu yang paling mendebarkan, kemarin
Adalah hal yang sama. Yang memaksaku melupa meski dengan paksa dan airmata yang mengalir deras dari pelupuk mata. Aku harus membenci dan melupakan sesuatu yang mulanya membuatku tertarik kemudian waktu memerintahku untuk merasa jijik
Aku menyimpan segala kebencian ini sendiri. Tanpa siapapun tahu dan bisa menebak, sudah sedalam apa aku menyelam ke puluhan lautan lain agar bisa menghapus segala tentangmu secepat yang aku mampu
Namamu pernah kulihat benderang di langit bahkan saat angkasa mementaskan pergantian warnanya yang jadi pertanda bahwa senja telah usai dan malam akan segera bersambut sebelum akhirnya bentangan abjad itu terhapus selamanya darisana sebab hujan yang entah kapan membilas setitik cahaya yang sempat kunikmati itu kembali menjadi kosong tanpa warna
Selanjutnya, apakah aku harus kembali menggunakan logika ku secara sempurna agar semua orang tahu bahwa saat ini, akulah perempuan yang paling tak punya perasaan hanya demi membentengi diriku sendiri agar tak kembali jatuh pada luka yang sama?
Kenapa aku harus mencintai temanku sendiri? Kenapa harus dia yang tak pernah kusangka yang justru ciptakan lara sehebat ini?
@winartydewi
9 notes
·
View notes
Text
Tentang Naina
Murey 31 Juli 2024
Pada suatu senja yang menguning.
Terlihat sosok gadis belia yang berdiri di tepi jurang dengan tatapan kosong menatap jauh ke kedalaman jurang yang mencekam.
Tak ada getar di kakinya, tak ada debar ketakutan di dalam dirinya. Hanya ada getir di matanya. Hanya ada tumpukan derita yang menggunung di dalam hatinya. Kesedihan yang tiada habisnya. Perasaan yang jauh lebih mencekam daripada jurang yang ada di hadapannya.
Senja terbawa suasana. Langit turut berduka, melihat wajah cantik yang merana. Burung-burung gagak pun enggan terbang. Burung-burung pipit terbang menjauh, mengabarkan pada alam cerita Naina.
Alam tak kuasa menahan atmosfer ketegangan di sana. Seketika awan-awan menjatuhkan air mata. Hujan yang lebat membasahi seluruh tubuh Naina yang penuh dengan luka. Ada perih yang semakin Naina rasakan dari dalam dirinya.
Naina perlahan melangkahkan kakinya mundur ke belakang. Lalu memutar balik tubuhnya yang kuyup. Perlahan melangkah menjauh dari tempat ia berdiri tadi.
Naina mengurungkan niat yang ia tahu bahwa Tuhan pasti marah. Naina tahu, Tuhan benci usaha untuk berhenti bernapas disaat yang belum pada waktunya jiwa dan raga terlepas. Meski pada kenyataannya, Naina merasa tak lagi mampu untuk berjalan di atas duri-duri yang ia tak tahu di mana letak ujungnya.
Bukankah hidup adalah pilihan ?...Tapi mengapa Naina seakan tak bisa memilih jalan hidupnya sendiri, jalan yang Naina inginkan. Atau apakah memang hanya ini jalan yang tersisa untuk Naina jalani. Menjalani hidup dengan penuh derita, menjalani hidup dengan air mata, menjalani hidup dengan duka-cita, apakah jalan pahit seperti ini yang menjadi jalan takdir yang harus Naina hadapi. Jika iya, mengapa ?.. mana jalan lainnya ?..
Belum kah terbuka jalan terbaik untuk Naina bisa merasakan sesuatu yang membuatnya tersenyum bahagia. Bahkan, naina tak pernah mengingat. Kapan terakhir senyum di bibir manisnya itu menggambarkan isi hatinya yang benar-benar disebabkan karena kebahagiaan.
Senyum naina hanyalah senyum tanpa rasa. Meskipun bibirnya memang manis, tetapi senyumannya tetap saja hambar. Naina hanya senyum untuk membalaskan beberapa senyum milik yang lain. Hanya tersenyum untuk tetap menghargai senyum yang lain.
Ini tentang Naina. Gadis belia yang memilih tetap melanjutkan hidup. Meski bagi Naina kehidupan sudah tak berarti apa-apa selain derita yang tiada habisnya. Naina telah banyak kehilangan hal-hal berharga di dalam dirinya. Bahkan, sejak Naina terlahir ke dunia yang fana ini.
Naina dilahirkan dari sosok perempuan yang tak kuasa bertahan melawan kematian. Lalu terpaksa meninggalkan Naina yang berhasil selamat dari kematian. Tak ada gambar, tak ada rupa, tak ada cerita tentang kasih sayang seorang ibu di memori Naina. Bahkan siapa ayahnya saja dia tak pernah tahu. Naina tidak memilikinya.
Ada sebuah peristiwa yang membuat naina putus asa dan ... sebagian teks disembunyikan ...
4 notes
·
View notes
Text
Hari ini gue belajar satu hal, dari kejadian menjenguk orang sakit.
Perihal anak: di masa senja orangtuanya.
Gue kenal anak-anak beliau, salah satunya temen gue, temen seangkatan dan pernah dekat waktu kecil. Anaknya si orang sakit ini (yang sakit bapak-bapak) adalah cowo, seorang ASN, sudah menikah beberapa tahun belakangan dengan seorang perempuan berstatus dokter. Anak pertama si bapak ini juga cowo, sudah ASN, beristrikan dokter pula. Hanya saja si anak pertama tinggal di luar kota.
Gue ga tau gimana ceritanya, intinya si bapak ini telah berpisah dari ibunya mereka, dan menikah lagi dengan seorang perempuan. Si bapak sudah tampak lanjut usia juga. Wajar jika mulai sakit-sakitan.
Hari ini emak ngajak gue untuk menjenguk si bapak, dan pada kejadian hari ini membuat gue berkaca ke diri sendiri, di masa depan kelak jika gue dihadapkan dengan kasus yang sama, bagaimana gue akan menyikapinya(?) Gue melihat ketika anak-anak telah sukses dan besar, orang tua menua, dan rentan sakit-sakitan, tapi semua kondisi serba-salah. Prioritas si anak seperti telah terbagi antara dirinya dan keluarganya, hingga mengabaikan orang tuanya.
Mungkin tidak mengabaikan, tapi prioritasnya tidak lagi ke sana (orangtua). Sebaik apapun cara orangtua menjadikan anaknya lebih sukses dari dirinya, di masa senjanya mereka harus bersiap dan tetap struggle kembali dengan kondisi dirinya. Karena mengharapkan anak sendiri pun tidak bisa menjadi tonggak penyangga, sekalipun si anak terbilang sudah sukses.
Gue melihat kejadian itu hari ini. Persis di depan mata sendiri.
Dari kejadian hari ini gue berkaca, apa gunanya menantu dokter tapi tidak bisa berbuat banyak untuk kondisi orang tuanya sendiri? Apa gunanya punya mobil tapi tidak bisa menjadi jalan mudah untuk membantu orangtua berjuang sembuh? Kenapa hidup bisa demikian?
Sekalipun telah berpisah, orangtua tetaplah orangtua. Kenapa bisa membedakan antara ayah dan ibu? Bukankah mereka dua-duanya orang tua juga, yang doa-doanya selalu menyertai jalan sukses si anak?
Gue melihat di-tatapan mata si bapak seolah bercerita bahwa terdapat kekecewaan di sana, beserta perjuangannya untuk sembuh yang dia juga tidak tau bagaiman cara seharusnya. Tentu semua diupayakan pada jalan terbaik. Bahkan ketika bercerita kalau dalam waktu dekat hendak berobat di kota tempat tinggal anak pertamanya, dia tidak menceritakan perihal anaknya. Sepertinya si bapak bahkan tidak bercerita pada anaknya perihal jalan ikhtiar berobat untuk sembuhnya.
Tatapan mata si bapak seolah ingin anak-anaknya yang memapahnya ketika langkah kakinya berat, sebab kambuh sakitnya.
Hari ini gue hanya bisa berkaca. Berharap ke depannya gue bisa lebih baik dan selalu bisa diandalkan untuk apapun yang jadi prioritas dalam hidup: orangtua. Gue berharap selalu bisa ada buat mereka apapun kondisinya dan kondisi gue ke depannya. Gue ga mau sampai orang lain yang mengambil peran itu.
Terkadang sakit itu tidak bisa kita ukur rasanya seperti apa, sebelum diri merasakannya sendiri.
Ternyata semua tidak sebaik yang dikira selama ini. Ujian hidup memang berat, sebab itu disebut ujian.
8 notes
·
View notes
Text
Manifesto 18 September
Di satu sore yang murung, yang senjanya berwarna merah, bukan oranye. Seorang bapak tua sedang duduk di beranda sambil membaca warta berita. Saking serunya membaca warta, huruf-hurufnya ngos-ngosan kelelahan. Dia sedang seru membacakan berita-berita hari ini.
Bapak tua itu tinggal di tengah hutan. Hutan yang kaya, flora fauna bermacaman. Duit tak ada harganya di sana. Butuh apa, mau apa, cari apa, semua tersedia. Namun sayang, sebab begitu kaya, hutannya didatangi modal-modal dari luar pulau. Hidupnya sudah tidak tenteram seperti saat modal-modal itu belum berdatangan. Mereka datang sepaket dengan serdadu yang berwajah garang. Bapak tua bingung, “Kalau niat baik, kenapa harus datang dengan seperangkat alat perang?”
Hobinya memang membaca, terutama setelah datangnya modal-modal dari luar pulau. Tiap hari selalu membaca warta, “Ada berita apa hari ini?” pikirnya tiap melihat warta yang selalu dikirim burung cendrawasih pada waktu pagi. Di sana berita perampasan lahan, di sana lagi tembak-tembakan sampai renggut nyawa, di mana lagi berita kurang gizi, di mana lagi pembabatan hutan. “Setelah kedatangan modal-modal itu, kenapa di tanah ini beritanya selalu berita duka? Apa tanah ini tak berhak bahagia?” tanyanya dalam hati. Bapak tua khawatir, ia takut tempat tinggalnya akan dirampas, tanah ulayat yang sudah dijaga selama ribuan tahun secara turun temurun diambil paksa oleh kekuatan kapital.
“Mau makan apa saya? Mau tinggal di mana? Di sini semuanya ada, saya tidak akan bisa hidup kalau tidak di sini. Ini tanah air saya, tanah nenek moyang, saya mau tetap di sini sampai Tuhan datang.” renung bapak tua dalam sekali. Air matanya hampir jatuh, air mata yang warnanya emas. Konon katanya, air mata emasnya disebabkan karena tanah tempat si bapak tua tinggal penuh sekali dengan emas, air yang ia minum dari tanah itu mengandung emas, maka dari itu air matanya jadi berwarna emas.
Suatu waktu, bapak tua heran, kenapa hari itu tidak ada warta yang tergeletak di beranda rumahnya. Burung cendrawasih yang biasa kirim warta waktu pagi entah ke mana, “Mungkin sedang cuti, sedang mudik ke kampung.” pikir bapak tua. Berhari-hari, berminggu-minggu, ditunggunya burung cendrawasih itu, namun tak kunjung nampak si pembawa warta tersebut. Untuk memutus rasa penasaran, bergegas ia menuju agen warta berita yang berada di distrik sebelah. Berjalan kaki ia melewati pohon-pohon besar dan sungai-sungai yang arusnya tenang, sungguh indah tempat ia tinggal. Sesampainya ia di distrik sebelah, ia sungguh kaget, distrik itu sudah porak poranda, penghuninya kabur masuk ke hutan belantara, takut dikejar-kejar oleh serdadu berwajah garang. Semakin terkejutnya ia ketika melihat agen warta berita yang selalu mengiriminya warta sudah hangus oleh api, agen itu nampak diamuk api sampai jadi abu. Hancur hatinya, remuk redam, sedu sedan. Terduduk ia di depan agen warta berita, “Sebab ini burung itu tidak pernah lagi berkunjung ke rumahku, ia kehilangan tempatnya, bahkan mungkin ia sudah mati sekarang. Di mana engkau wahai burung berbulu cantik?” katanya dalam hati dengan penuh renungan. Berdiri dan berjalan lagi ia mengelilingi distrik yang porak poranda itu, dilihatnya banyak nyawa-nyawa tak berdosa tewas, perempuan muda, ibu-ibu, anak-anak. Tewas mengenaskan. “Sekarang aku tahu, kenapa akhir-akhir ini senja di tanahku sinarnya berwarna merah. Senja di tanah ini telah terciprat darah dari nyawa-nyawa tak berdosa, alam mengisyaratkan murung dan kelam.” pikirnya sambil termenung.
Setelah lelah hati dengan apa yang ia lihat, bapak tua memutuskan untuk kembali pulang ke rumahnya. Berjalan ia ke rumah dengan hati yang berduka. Saudara-saudaranya pergi dengan merana, tak sempat anak-anak kecil itu merasakan nikmatnya hidup di tanah surga. Ia kembali berjalan melewati sunga-sungai dan pohon-pohon besar, pemandangannya yang indah tidak dapat menghibur hatinya yang nelangsa. Tanah seindah itu akan terus terasa penuh luka dan air mata ketika kebebasan untuk hidup masih dibelenggu. Kebebasan adalah keindahan yang sejati, ia membawa keindahan bagi yang merasakannya, bagi yang mendambakannya. Sampai juga akhirnya ia di rumah, hal pertama yang ia lakukan ketika sampai adalah membersihkan badan yang penuh debu dan luka, perih rasanya luka-luka itu ketika terkena guyuran air. Sambil terus mengguyur lukanya ia berseru dengan lantang, “Pada hari ini secara tegas, kami masyarakat adat Papua menolak deforestasi yang merusak tanah, hutan, dan air kami masyarakat adat Papua. Karena di situ tempat kami hidup, kami makan, bahkan generasi kami turun temurun sampai Tuhan datang.”
Leo Naldi
Jakarta 13 Juni 2024
#writing#menulis#penyair#tulisan#writers#writers on tumblr#indonesia#papua#freedom#papua merdeka#prosa
3 notes
·
View notes
Text
🌊 ࣪ ⊹ | “Tales by The Sea.”
Mengapa Cinta Harus Melukai Sekeras Ini?
Di tepi pantai yang sunyi, seorang perempuan berdiri memandangi samudra yang tak bertepi. Angin laut yang sejuk membelai lembut rambutnya, sementara air mata mengalir perlahan di pipinya, seolah menjadi satu dengan air asin yang menerpa bibir pantai. Suara ombak yang berdebur terdengar seperti simfoni duka, menyanyikan lagu patah hati yang ia rasakan. Setiap gelombang yang datang dan pergi membawa kenangan indah yang kini hanya tinggal serpihan bayangan.
Ia duduk di atas pasir yang lembut, memeluk lututnya erat-erat, mencoba mencari kedamaian di tengah badai emosinya. Matahari mulai tenggelam di cakrawala, melukis langit dengan warna emas dan merah jambu yang memukau. Cahaya senja yang lembut menyelimuti wajahnya yang muram, memberikan kehangatan yang kontras dengan hatinya yang dingin dan terluka. Di hadapannya, laut seakan berbicara dalam bahasa rahasia, berbagi kisah-kisah sedih yang hanya dimengerti oleh mereka yang hatinya tercabik.
Dengan suara lirih, ia berbicara kepada laut, mencari penghiburan dalam kebesaran alam yang abadi. "Mengapa cinta harus melukai sekeras ini?" tanyanya pada semesta, berharap angin dan ombak akan membawa jawaban. Namun, yang terdengar hanya bisikan angin dan desiran air yang lembut, menenangkan jiwanya yang terluka. Meski hatinya masih remuk, ada sesuatu dalam ketenangan laut yang mulai membalut luka-lukanya, perlahan-lahan memberikan harapan bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan yang baru, yang seindah mentari terbit setelah malam yang panjang.
2 notes
·
View notes
Text
Aku, Kamu, Rasa (1)
/1/
Aku tahu, aku hanya akan menjadi satu kisahmu yang akan luruh dimakan waktu. Aku tahu, aku hanya akan menjadi satu dari kehidupanmu untuk melalui kesenangan sesaat. Aku tahu, aku hanya akan berakhir sama dengan belasan perempuan lainnya.
Karena itu, kau juga aku terima sebagai satu bentuk dasar kebanggaan, bukan atas nama rasa. Kau juga aku pertahankan sebagai bentuk harga diri, bukan tentang hati.
Tapi melepasmu adalah aku, tentang bahagiamu yang aku rindu.
Aku tak lagi bisa menahanmu, sebab aku telah cinta. Hingga berat rasanya melihatmu di sini, hanya menjadikanku pelarian, perisai sesaat sebelum kau dapatkan dirimu secara utuh.
Maka hari itu, aku melepaskanmu.
Pergilah, selayaknya kau harus pergi. Jika suatu hari kau lelah, ingat, telah banyak hati yang kau remukkan untuk menemukan kata bahagia.
Aku masih di sini, tempat aku tak pernah menanti. Sebab kau bukan rencana, hanya kesalahan yang membuatku merasa benar.
Bukankah sejak awal kita berdua tahu, apa yang kita jalin hanya untuk kesenangan semata. Sebab itu aku tak akan pernah bicara tanggung jawab.
Kau tak salah, kita hanya sama-sama mencoba mencari bahagia.
Aku pikir, dengan begitu kau tak pernah menjadi yang menyakiti.
Lalu kau kembali.
Kini, apa yang kau cari?
-----
/2/
Aku pernah menjadi bodoh, menjeratmu pula menjadi bodoh.
Aku pikir, dengan bergonta-ganti tambatan diri maka aku bisa menenangkan pikir. Nyatanya aku salah, sebab tentangmu aku banyak berkilah.
Sama seperi belasan hati lainnya, yang katamu telah aku remukkan, kau juga tahu jika hatiku hanya satu, dan untuk dia, selalu. Aku pikir juga begitu, sebab aku masih sulit untuk mengaku.
Hingga hari itu, kau melepaskanku untuk menemukan arti bahagia.
Aku tak menolak, sebab ini waktu tepat untuk menjadikan dia pelabuhan terakhir. Aku pergi, sebab aku pikir ini adalah pilihan hati.
Waktu berlalu, belum sempat aku berlabuh, layaknya kapal tanpa nakhoda, aku tak mampu berlayar. Aku mendekam pada satu ruang, dan akhirnya aku tahu, itu ruang rindu.
Untukmu.
Tapi aku tak mampu menentukan diri, sebab aku takut menjadi menyakiti.
Dan waktu terus melaju dan aku terkurung rindu.
Berteman senja aku beranikan menantang waktu, tak peduli kau yang telah berlalu, kali ini aku yang akan datang, menemuimu dalam satu usaha yang disebut berjuang.
Mungkin nanti kau juga akan memahami, untuk menemukan arti bahagia, kita perlu merasa sakit. Hingga saat itu tiba, biarkan aku memberimu alasan untuk tertawa.
-----
/3/
"Kenapa?"
Senja baru saja berakhir, diganti pekat malam yang menghadirkan angin semilir yang tak bersahabat. Airin masih setia mendengar deburan ombak, meski kini seseorang telah mengganggu aktivitasnya.
"Pakai saja dulu, kamu kan nggak suka dingin."
Tak mengindahkan tanya Airin, laki-laki yang kini berjongkok dihadapan gadis itu meyerahkan jaket, meminta Airin untuk memakainya. Airin tak bergeming, ia tatap lekat-lekat wajah laki-laki itu.
"Kenapa?"
Laki-laki itu lagi-lagi tak menjawab. Kali ini ia berusaha memakaikan jaket yang disodorkannya pada Airin. Airin menepis.
"Radyan, aku tanya, kenapa?"
"Kangen."
Airin terpaku.
Radyan juga.
"Pakai ya." Radyan kembali memakaikan jaketnya pada Airin. Gadis itu diam, tak menolak. "Sekalian aku peluk, boleh?"
Airin tak menjawab, gadis itu seolah kehilangan kesadaran. Begitu juga saat tangan Radyan melingkupi tubuhnya, Airin masih bisu.
Radyan melepaskan pelukannya, lalu menatap Airin dengan seksama. Gadis itu masih beku, meski kini ia mampu membalas tatapan Radyan.
"Kita bahkan pernah lebih dari ini, kenapa jadi bisu?" Radyan tersenyum kecil.
Airin tak menjawab, ia masih menatap Radyan. "Kenapa?"
Radyan menghela napas, apa dengan begini belum jelas untuk Airin. "Airin, aku disini. Apa belum jelas artinya?"
"Kamu juga ada disisi aku ketika dia sakit."
"Mungkin sejak itu, aku pengen disisi kamu. Selalu."
"Kenapa?"
Radyan lagi lagi mendesah, frustasi. Kenapa hal sejelas ini belum juga Airin pahami.
"Aku bukan peramal yang tahu isi pikiran kamu, apalagi psikolog yang ngerti sikap kamu. Aku ya aku, saat kamu akhirnya pergi aku tahu kamu harus pergi, saat kamu sekarang ada disini, aku nggak berani mengambil kesimpulan. Bisa jadi ini sama dengan kedatangan kamu pertama kali."
"Aku, cinta." Radyan memberi jeda, mengambil napas dalam. "Kamu."
Keduanya diam. Lama.
"Aku punya cinta Rin, dan itu untuk kamu. Aku pernah melakukan kebodohan, meski sekarang aku tahu, itu adalah satu hal paling benar yang pernah aku lakukan. Aku nggak minta kamu percaya, tapi kali ini, aku akan selalu di sini, disisi kamu, saat kamu menangis, saat kamu lelah, saat kamu tertawa, hingga nanti kamu percaya, aku akan selalu disini."
Airin tak bisa untuk tidak menangis, setelah berkali-kali airmata itu mampir di pelupuk, kali ini luruh, bersama rengkuhan Radyan yang semakin erat.
"Jangan pergi lagi."
Radyan tersenyum, lalu mengangguk. "Aku akan selalu disini, untuk kamu, Airin."
SELESAI
31 notes
·
View notes
Text
Senyap yang Mengambang di Balik Batu-Batu Perasaan
Batin Jenar:
Jenar menatap kekasihnya, Genta, dengan tatap penuh harap. Ia berupaya menerka ekspresi yang terselip di balik kerling mata kekasihnya. Namun, hening terasa begitu menggema, seolah siap mereguk setiap kata yang ingin diucapkan.
"Dengarlah," bisik Jenar perlahan, suaranya timbul-tenggelam di tengah riuh laju kereta. "Aku ingin tahu ... segala yang kau derita, semua yang kau simpan dalam sukma. Beritahu aku, biarkan aku mendengar."
Namun, Genta terdiam, tak menyuarakan jawaban. Matanya berkelit; terselip pada pantulan yang melintas di kaca jendela. Hampa. Ada gema yang berdenging, mengepung wagon dengan sebuah kesunyian yang baru. Hening menjadi saksi perasaan yang terpendam. Genta menggigit bibir, berupaya merangkai kata demi kata yang terjebak di kerongkongan.
"Kenapa kau selalu memendam?" desak Jenar, pelan namun penuh penegasan. "Aku ingin menjadi tempat curahan hatimu, namun bagaimana bisa jika kau terus menyimpan segalanya sendiri? Aku tak ingin menjadi orang asing dalam hidupmu."
Senyap masih mengambang, mencipta sekat yang tak tertanggung. Genta menatap jauh ke luar, berupaya mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan.
"Jangan sampai dirimu terkurung oleh rasa takut," ucap Jenar tegas, menarik nafas dalam-dalam. "Bersenang-senanglah bersama angin, jangan biarkan sukma menjelma perangkap bagi perasaan yang berseliweran di dalam. Biarkan aku masuk, biarkan aku melihatmu seutuhnya."
Mata perempuan itu berbinar, mencerminkan harapan yang makin tumbuh di dalam dada. Jenar mengulurkan tangan, menyentuh pelan jemari Genta yang kaku. "Jangan sampai kita terjerat dalam keheningan. Katakanlah, beritahukanlah."
Batin Genta:
Genta menatap langit senja dengan rasa hampa di dalam dada. Begitu banyak cerita yang ingin diutarakan, begitu banyak masalah yang ingin diungkapkan, namun ia terhenti oleh dinding batu yang ia bangun sendiri; dinding keheningan dan ketakutan.
"Dia pasti akan mengerti," desisnya pelan saat binar senja memeluk tubuh yang kian rapuh. Namun, dalam keheningan itu, langkah kaki seolah terasa lebih berat, terisolasi ditengah lalu lintas pikiran yang meluap-luap tanpa henti.
Seberapa sering ia merindukan kehangatan pembicaraan yang dulu begitu mudah mengalir? Seberapa sering ia merasa terkepung oleh rahasia yang terkurung di dalam dirinya sendiri? Apakah ia telah menjelma asing di mata Jenar, lalu terjebak dalam labirin perasaan yang kian membingungkan?
"Dia akan mengerti," bisik hatinya penuh harap. Namun, batu-batu perasaan yang terhampar makin lama makin menggunung, membangun dinding tak kasat mata yang kian memisahkan.
Mungkin inilah saatnya, pikir Genta. Saatnya mengoyak dinding-dinding itu, membiarkan kejujuran meluap begitu saja. Kekasihnya, Jenar, tak bisa membaca pikiran, tak bisa membantu jika ia bersikukuh membelenggu kecemasan di balik senyum palsu. Mungkin, dengan buka kartu, dengan berani mengutarakan isi kalbu, Genta mampu membalik takdir yang kian pudar pada cinta mereka.
#sajak#tulisan#cerita#kata kata#prosa#prosais#sastra#sastra indonesia#puisi#quotes#cerpen#kata cinta#cerita cinta#sajak cinta#senjabercerita#senja#senandika#aksara
2 notes
·
View notes