Tumgik
#pendeta poligami
steadyfanfun-blog · 6 years
Text
Kisah Nyata - Pendeta 60 Th Poligami Dengan Wanita 44 Th Dan 19 Th
Kisah Nyata – Pendeta 60 Th Poligami Dengan Wanita 44 Th Dan 19 Th
“Saya telah diberkati oleh Allah untuk memiliki dua wanita yang saya cintai dan Alkitab mendukungnya ucap Pdt.Tom Miller 64 tahun yang telah memiliki dua istri , yang pertama bernama Belinda 44 th dan yang ke dua bernama Reba 19 th. Simak Video berdurasi 6 menit ini sampai habis. Klik Subscribe / Langganan untuk support Channel ini. Jangan lupa like dan share setiap video yang saudara anggap…
View On WordPress
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Cari Teman Seks di Situs Kencan, Pendeta Swedia Dipecat
Cari Teman Seks di Situs Kencan, Pendeta Swedia Dipecat
Tumblr media Tumblr media
Otoritas gereja di Swedia memecat seorang pendeta setelah memasang iklan mencari teman seks di situs kencan. Pihak gereja menganggap tindakan itu sebagai kategori pornografi.
Keuskupan di Strangnas menyatakan tindakan tersebut tidak sesuai dengan cara hidup seorang imam gereja. Pemecatan dilakukan setelah idenitas pendeta itu muncul di situs kencan.
”Saya mencari seseorang untuk bergabung dengan saya, yang ingin memperluas cakrawala seksual dan sensual mereka. Saya berharap Anda mengerti apa arti poligami,” bunyi iklan yang dipasang pendeta itu.
Pihak keuskupan tetap merahasiakan identitas pendeta tersebut meski sudah dilarang melakukan pelayanan di gereja.
”Dia telah dipecat dan tidak lagi diizinkan menjadi imam,” kata Miriam Arreback, juru bicara di keuskupan tersebut, seperti dilansir The Local, Jumat (26/5/2017).
Pendeta yang dipecat itu berusaha menjelaskan tindakannya. Dia mengklaim bahwa dia baru saja berpisah dari istrinya. Dia juga telah pindah ke kota baru dan merasa kesepian.
Gereja Swedia masuk kelompok Gereja Injili Lutheran, yang dulu merupakan gereja negara bagian. Di Gereja Swedia, sebanyak 6,1 juta jemaaatnya dibaptis.
sumber : sindonews
Sumber : Source link
0 notes
pesantrenpandeglang · 6 years
Text
Poligami dalam Agama Islam
Para orientalis dan para pejuang westernisasi dari kalangan generasi Islam yang menjadi pengikut mereka, berusaha mengerahkan segala daya dan upaya mereka untuk mengkritik aturan poligami dalam Islam, memberikan asumsi kepada para wanita akan keabsahan kebohongan-kebohongan dan konsep mereka yang penuh dengan rekayasa serta kedengkian. Mereka mengatakan:
“Sesungguhnya aturan poligami hampir-hampir hanya terbatas pada umat-umat yang menganut faham Islam, hal itu tidak akan menyebar kecuali pada masyarakat yang terbelakang dalam peradaban.”
Para orientalis itu juga mengatakan: “Aturan poligami merupakan sarana yang mudah bagi lelaki untuk melampiaskan syahwatnya, dan hal itu berarti melenyapkan kehormatan kaum wanita serta melecehkan hak-haknya. Dalam waktu yang bersamaan poligami telah melenyapkan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan (gender) yang menuntut seorang suami harus tulus mencintai istrinya, sebagaimana istrinya juga harus tulus mencintai suaminya.”
Para orientalis juga membuat kedustaan-kedustaan dengan mengatakan: “Sesungguhnya poligami merupakan pemicu percekcokan panjang antara seorang suami dengan istri-istrinya dan sesama istri itu sendiri. Lagipula, hal itu merupakan sumber perpecahan dan keretakan hubungan antaranak dari masing-masing istri yang dapat mengakibatkan timbulnya kekacauan dan kegoncangan dalam kehidupan rumah tangga. Anak-anak akan hidup dalam lingkungan yang rusak sehingga kerusakannya akan beralih kepada jiwa dan budi pekerti mereka.”
Untuk menyanggah kebohongan-kebohongan yang sesat, bodoh dan menjijikkan tersebut –yang dipenuhi rasa kedengkian terhadap aturan Allah SWT dengan bertawakkal kepada Allah-kita katakan; “Sesungguhnya persoalan tentang bolehnya poligami telah berlaku pada masyarakat luas sebelum datangnya Islam.”
Ali Abdul Wahid Wafi berkata dalam kitabnya Huquuqul Insan fil Islam, “Sebenarnya aturan poligami telah berlaku pada masyarakat luas jauh sebelum datangnya Islam. Di antaranya telah berlaku di kalangan orang-orang Israil, Arab, India, Bangsa Brahma, Iran, Zardastar, dan juga bangsa Slavia. Di mana mayoritas penduduk negara-negara yang tergabung pada bangsa-bangsa tersebut hari ini kita kenal sebagai negara Rusia, Lituania, Ustunia dan Polandia, serta sebagian masyarakat Jerman dan Saxon.”[1]
Al-‘Aqqad dalam kitabnya aI-Mar’ah fil Qur’an berkata, “Sebelum datangnya Islam, aturan-aturan sosial bersikap diam terhadap seluruh persoalan-persoalan hukum pernikahan, selain hukum implisit yang membolehkan pernikahan secara bebas tanpa batasan istri dalam jumlah tertentu, betapa pun perimbangan antara populasi laki-laki dan perempuan, kemampuan suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, serta kondisi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, serta kondisi masyarakat dalam memenuhi syarat-syarat penghasilan rumah tangga. Undang-undang madani dalam konteks umum sebelum datangnya Islam telah memperbolehkan poligami dan mengambil budak tanpa dibatasi dalam jumlah tertentu.”[2]
Adapun mengenai poligami dalam ajaran Yahudi dan Nasrani adalah sebagai berikut.
Poligami Menurut Ajaran Yahudi
Ajaran Yahudi memperbolehkan poligami tanpa jumlah yang dibatasi. Dalam Taurat tidak tercantum larangan tentang hal itu, namun yang ada justru tentang diperbolehkannya dan ada riwayatnya dari para nabi mereka, di mana kitab-kitab suci mereka menyebutkan bahwa Dawud dan Sulaiman a.s. memiliki ratusan istri baik yang merdeka maupun yang budak.
Telah disebutkan dalam Perjanjian Lama, pasal 11 pada kisah Nabi Sulaiman a.s., “…la (Sulaiman) memiliki 700 istri pembesar dan 300 budak.”[3]
Dalam kitab Pembentukan tertera nash, “…lalu lsoe pergi ke Isma’il dan mengambil Mahallah binti Isma’il bin lbrahim, saudara perempuan Naboot sebagai salah satu istrinya.”[4]
Dalam menceritakan Ya’kub bin lshaq, Taurat menyebutkan, “… Kemudian Ya’kub bangun pada suatu malam dan membawa istri, kedua budak perempuan serta sebelas anak-anaknya lalu ia mengarungi sungai Yabuq.”[5]
Dalam hadits shahih disebutkan tentang sabda Rasulullah SAW yang menguatkan adanya poligami dalam ajaran Yahudi. Abu Hurairah telah meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda:
“Berkata Sulaiman bin Dawud, “Sungguh malam ini aku akan menggilir 70 istri-istriku, yang masing-masing akan melahirkan seorang penunggang kuda yang akan berperang di jalan Allah’.”[6]
Dari nash-nash tersebut -dan masih banyak sekali nash lain yang tidak memungkinkan untuk kami sebutkan dalam tulisan ini- jelaslah bagi kita bahwa ajaran Yahudi memperbolehkan poligami.
Poligami dalam Ajaran Nasrani
Dalam kitab injil tidak tertera satu ayat pun yang melarang poligami. Bahkan yang tercantum dalam salah satu surat Paulus, menerangkan bahwa berpoligami itu boleh. Ia berkata, “Seharusnya seorang uskup menjadi suami bagi seorang istri saja.”[7]
Dari kewajiban yang ditujukan kepada uskup untuk menikahi satu istri merupakan bukti bahwa poligami bagi kaum Nasrani selain uskup adalah boleh.
Ditinjau dari segi historis, telah terbukti bahwa di antara orang-orang nasrani kuno ada yang menikah lebih dari satu, dan di antara Bapak Gereja ada yang mempunyai banyak istri.
Al-Aqqad menyebutkan dalam kitabnya al-Mar’ah fil Qur’an, “Wester Mark, seorang ilmuwan terpercaya dalam sejarah perkawinan, berkata, ‘Sesungguhnya poligami yang diakui gereja telah berlangsung hingga abad yang ketujuh belas. Dan hal itu sering berulang-ulang terjadi dalam kondisi yang tidak dapat lagi untuk dideteksi oleh pihak gereja atau pun negara’.”
Di antara yang telah diketahui adalah Martin Luther, seorang pemimpin orang-orang British. Dia adalah orang pertama yang mengakui adanya poligami dan memprotes pendeta yang tidak mau menikah dengan alasan hal itu dapat melepaskan kependetaannya, sedang ia sendiri malah menikahi biarawati. Hal itu dia lakukan sebagai upaya menggariskan cara berpikir baru, sampai akhirnya dia berani berbicara dalam berbagai momen tentang poligami tanpa ada orang yang mampu manghalanginya.
Hal serupa juga dianut oleh ajaran nasrani modern yang mengakui adanya poligami bagi orang-orang nasrani di Afrika yang berkulit hitam tanpa adanya batasan dalam jumlah tertentu.
Doktor Musthafa as-Siba’i berkata dalam kitab beliau yang berjudul aI-Mar’ah Bainal Fiqhi Wal Qaanun, “Orang-orang Masehi di Afrika menjadikan poligami sebagai sarana menyebarkan misi kristenisasi mereka setelah para misionaris sendiri mendapatkan realita masyarakat, yaitu adanya poligami pada kalangan kaum paganisme di Afrika. Mereka berpendapat bahwa bersikukuh dalam melarang poligami akan menjadi penghalang mereka untuk masuk Kristen. Sehingga melalui seruan, mereka membolehkan secara tegas bagi orang-orang Masehi Afrika untuk berpoligami tanpa ada batas tertentu.”[8]
Dalam kitab yang sama, beliau rah.a. mengatakan, “Di depan realitas semakin meningkatnya populasi perempuan daripada laki-laki, khususnya setelah mengalami dua kali perang dunia, masyarakat Nasrani barat sendiri akhirnya berhadapan dengan problem sosial yang sangat mengkhawatirkan yang mana mereka selalu bertindak serampangan dalam mencari solusi yang tepat. Di antara sekian solusi yang paling menonjol adalah dibolehkannya poligami.
Pada tahun 1948 M digelar sebuah konferensi Pemuda di Munchen Jerman yang membahas problem meningkatnya populasi wanita di Jerman yang berlipat ganda dibanding dengan populasi laki-laki setelah selesai perang. Berbagai solusi untuk mengatasi problem ini telah diajukan dan akhirnya panitia menyetujui rekomendasi konferensi yang menuntut dibolehkannya poligami.
Demikianlah, para pakar barat memuji sistem poligami dan menyerukan akan diperbolehkannya guna menyelamatkan masyarakat, serta memberikan kesempatan kepada setiap wanita untuk memperoleh hak-haknya secara resmi sebagai seorang istri.
Berkata Gusthaf Luben dalam bukunya Peradaban Arab, “Sesungguhnya sistem aturan poligami timur merupakan sistem yang bagus yang mengangkat derajat budi pekerti umat-umat yang menggunakan prinsip tersebut. Ia mampu menambah ikatan kekeluargaan dan memberikan penghormatan dan kebahagiaan kepada wanita yang tidak dapat anda lihat di Eropa.”
Dalam kitabnya aI-Mar’atu fil Qur’an, al-Aqqad menyebutkan sekumpulan pendapat ahli filsafat Eropa tentang poligami. Beliau menukil perkataan Dr. Leibon, “Sesungguhnya Undang-Undang Eropa akan membolehkan poligami.” Beliau juga menukil perkataan Ahararel, “Sesungguhnya poligami itu sangat penting untuk menjaga kelangsungan keturunan bangsa Aria.”[9]
Adapun dalam masyarakat jahiliyah, sebelum datangnya Islam maka hal itu telah berlangsung dan tidak ada masalah tentang poligami tanpa adanya ikatan dan batasan.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam Sunannya dari Harits bin Qais ia berkata, “Saya telah memeluk Islam dan masih mempunyai delapan istri, lalu hal itu aku ceritakan kepada Rasulullah SAW kemudian beliau bersabda:
“Pilihlah empat orang di antara mereka.”[10]
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam sedang dia mempunyai tujuh istri (yang dinikahi pada masa Jahiliyah), keseluruhan istrinya masuk Islam bersamanya, maka Nabi SAW menyuruhnya memilih empat orang di antara mereka.”[11]
Dari keterangan di atas bahwa aturan poligami bukanlah terbatas pada ajaran dien Islam saja, sebagaimana yang didakwakan oleh para orientalis dan pejuang westernisasi dari kalangan musuh-musuh Islam yang menjadi pengikut mereka. Bahkan poligami telah berlaku pada masyarakat luas jauh sebelum Islam datang, serta tertera di antara syari’at agama-agama samawi yang datang sebelum Islam.
Demikian pula di masa Jahiliyah, orang-orang Arab sudah mempraktikkannya. Mahabenar Allah yang berfirman di dalam KitabNya:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. ” (QS. al-Hajj: 46).
Poligami dalam Ajaran Islam
Islam datang di saat aturan poligami telah berkembang, di antara orang laki-laki ada yang memiliki sepuluh istri bisa lebih atau kurang tanpa batasan dan ikatan apa pun, lalu Islam datang untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ada batasan (jumlah) yang tidak boleh dilanggar oleh seorang muslim, yakni empat.
Ada juga ikatan (syarat) bagi seseorang yang hendak memiliki istri lebih dari satu, yaitu adanya kemampuan untuk berbuat adil. Jika tidak mampu maka hendaknya satu istri, atau budak yang dimilikinya.
Sayyid Quthb rah.a. di dalam kitab yang berharga Fii ZhiIaIiI Qur’an berkata, “Islam datang bukan untuk mencerai, namun datang untuk memberikan batasan. Demikian pula lslam datang bukan untuk membiarkan begitu saja urusan seperti itu demi nafsu lelaki. Akan tetapi, Islam memberikan ikatan (syarat) poligami berupa perlakuan yang adil. Jika tidak, maka dispensasi yang telah diberikan tersebut dilarang, Namun mengapa Islam memberikan dispensasi tersebut?
Sesungguhnya Islam merupakan suatu aturan bagi manusia, suatu aturan positif yang realistis, selaras dengan fitrah manusia dan pembinaannya, selaras dengan realita dan urgensinya, dan selaras dengan tata cara kehidupan yang berubah-ubah di berbagai tempat, zaman dan kondisi.
Islam merupakan suatu aturan positif yang realistis, dia memungut manusia dari realita dan posisi di mana dia berada agar dengan aturan tersebut mereka dapat naik ke taraf yang lebih tinggi menuju puncaknya, tanpa mengingkari atau pun pura-pura mengingkari fitrah mereka sebagai manusia, tanpa melupakan atau pun meremehkan realita yang terjadi atas mereka, serta tanpa bersikap keras ataupun zhalim dalam menolaknya.
Islam bukanlah suatu aturan yang dibangun di atas sikap yang sok pintar padahal bodoh, tidak pula dibangun diatas tindakan yang ngawur, tidak juga diatas idealisme yang semu atau pun di atas kedamaian yang penuh angan-angan yang bertabrakan dengan fitrah, realita, serta kondisi kehidupan manusia yang selanjutnya akan menguap begitu saja di udara (red: sekedar basa-basi).
Islam adalah sebuah aturan yang mampu menjaga eksistensi penciptaan manusia dan kebersihan masyarakat, sehingga ia tidak memperkenankan diciptakannya suatu realita yang penuh materialistis, akibatnya hanyalah akan menimbulkan kelemahan bagi manusia dan mengeruhkan masyarakat di bawah keterpaksaan yang justru bertabrakan dengan realita yang dapat membantu terjaganya eksistensi manusia, serta kebersihan masyarakat dengan usaha seminim mungkin yang dikerahkan oleh individu dan masyarakat.
Apabila telah kita sertakan karakteristik dasar aturan Islam dan kita tengok persoalan poligami, lantas apa yang bisa kita lihat?
Kita akan melihat…
Pertama, bahwa ada berbagai kondisi realita yang nyata pada masyarakat luas baik ditinjau dari kacamata historis maupun kekinian tampak peningkatan populasi wanita yang siap menikah dibanding dengan populasi laki-laki yang siap menikah. Puncak dari ketidakteraturan yang dialami sebagian masyarakat yang belum pernah dikenal dalam Sejarah, yaitu melebihnya perimbangan empat dibanding satu, dan selalu jumlah tersebut berkisar pada batasan perbandingan tersebut.
Bagaimana kita memberikan tetapi terhadap realita ini -yang berulangkali terjadi dengan ragam keturunan- inilah realita yang tak dapat dipungkiri.
Akankah kita akan memberikan terapi hanya dengan mengangkat kedua pundak kita (red: sebagai isyarat tidak memiliki komentar). Ataukah kita biarkan mereka memberikan terapi dengan caranya sendiri sesuai dengan kondisi dan spontanitas?
Sesungguhnya hanya dengan mengangkat kedua pundak tidak akan dapat menyelesaikan masalah, begitu pula dengan membiarkan masyarakat untuk memberikan terapi sesuai dengan kesepakatan mereka yang tidak akan ada seorang manusia hebat pun yang menghormati hak-haknya dan hak umat manusia yang akan dapat mengatasi hal itu.
Jadi, haruslah ada suatu aturan dan harus ada pemberlakuan. Di saat itu kita akan mendapatkan bahwa kita akan dihadapkan pada salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu:
Setiap laki-laki menikah dengan seorang wanita yang sama-sama siap menikah. Kemudian biarlah seorang wanita atau lebih -sesuai dengan kadar perbandingan yang ada- tanpa menikah sehingga mereka menghabiskan umurnya tanpa mengenal laki-laki.
Seorang laki-laki yang siap menikah memperistri seorang wanita saja secara resmi, kemudian laki-laki tersebut bersahabat atau berzina dengan seorang wanita atau lebih wanita lain dari kalangan yang tidak mendapatkan jodoh laki-laki dalam masyarakat, sehingga mereka (para wanita sisa) itu hanya mengenal laki-laki sebagai teman atau sahabat dalam dunia haram dan kegelapan.
Seluruh atau sebagian laki-laki yang baik-baik menikahi lebih dari satu wanita dan wanita lain mengenal laki-laki tersebut sebagai suami terhomat dalam terangnya cahaya tanpa ada istilah “teman” atau kekasih haram dan gelap.
Kemungkinan pertama bertentangan dengan fitrah dan kemampuan dengan analogi wanita, tidak mengenal lelaki selama hidupnya, Kenyataan ini tidak dapat ditolak oleh anggapan orang-orang yang banyak berbicara bahwa perempuan itu bisa bekerja dan mencari nafkah tanpa membutuhkan laki-laki. Sebab persoalan tersebut lebih dalam dari apa yang dianggap oleh orang-orang yang sok pandai dan keterlaluan bodohnya mengenai fitrah manusia.
Seribu pekerjaan dan penghasilan itu tidak bisa mencukupi wanita dari kebutuhan fitrahnya terhadap hidup secara alami. Entah itu berupa tuntutan jasad dan naluri atau pun tuntutan ruh dan akal yang berupa tempat tinggal serta kebahagiaan hidup bersama keluarga. Sedang laki-laki bisa mendapatkan pekerjaan dan mencari penghasilan namun ini pun belum bisa mencukupinya sehingga ia berusaha untuk mempunyai keluarga. Dalam hal ini wanita seperti laki-laki karena keduanya berasal dari satu jiwa.
Sedang kemungkinan kedua bertentangan dengan arahan Islam yang bersih, bertentangan dengan pondasi masyarakat islami yang terjaga, dan bertentangan dengan kehormatan wanita secara manusiawi. Adapun orang-orang yang tidak menghiraukan tersebarnya perbuatan keji dalam masyarakat, mereka itulah orang-orang yang merasa lebih tahu dari Allah dan sombong terhadap syari’atNya, disebabkan mereka tidak mendapati orang yang mencegah mereka dari kecongkakan ini, bahkan mendapatkan spirit dan penghormatan yang setinggi-tingginya dari orang-orang yang memiliki makar terhadap dien ini.
Adapun kemungkinan ketiga, itulah yang menjadi pilihan Islam. Islam memilih solusi ini sebagai dispensasi yang terikat dengan syarat, sebagai jalan keluar dari suatu realita di mana hanya dengan mengangkat kedua pundak persoalan tidak akan bermanfaat, dan tidak pula hanya dengan sikap sok tahu serta sekedar formalitas belaka. lslam memilih solusi ini untuk berjalan bersama realitanya yang positif, dalam menghadapi manusia sesuai dengan fitrah dan kondisi hidupnya, begitu pula dia menjaga eksistensi manusia yang bersih dan masyarakat yang suci dan dalam waktu yang sama juga Islam dengan konsepnya dapat menyelamatkan manusia dari perzinaan serta mengangkat kepada martabat yang luhur dengan cara yang simpel, halus dan realistis.
Kedua, kita melihat pada masyarakat yang menjaga hak asasi manusia dari sejak zaman dahulu hingga sekarang, besok dan bahkan hingga akhir zaman, terdapat suatu realita dalam kehidupan manusia yang tak dapat dipungkiri lagi atau pura-pura tidak mengetahuinya.
Kita melihat masa subur bagi laki-laki itu berlangsung hingga umur tujuh puluhan atau lebih, di mana pada wanita akan berhenti pada umur lima puluhan atau sekitar itu. Nah di sana terdapat masa selama 20 tahun di tengah-tengah antara dua masa subur pada kehidupan laki-laki yang mana dia harus hidup tanpa memiliki partner/pendamping.
Tidak diragukan lagi, bahwa di antara hikmah adanya perbedaan dua jenis kelamin kemudian dipertemukannya adalah agar tetap berkesinambungannya kehidupan melalui masa subur dan beranak pinak serta memakmurkan bumi dengan banyak anak.
Bukan sesuatu yang selaras dengan sunnah fitriah secara umum, jika kita menahan hidup dari memanfaatkan kelebihan masa subur pada laki-laki. Namun di antara yang selaras dengan kenyataan fitrah tersebut, perundang-undangan yang diterapkan untuk seluruh lingkungan di semua waktu dan kondisi memperlakukan dispensasi ini tanpa melalui cara pengharusan terhadap individu, akan tetapi dengan cara memberi kesempatan secara umum yang siap memenuhi kenyataan fitrah ini serta memperkenankan bagi kehidupan untuk memanfaatkannya di saat memerlukan yaitu sebuah keselarasan antara kenyataan fitrah dengan aturan Undang-Undang yang selamanya diperhatikan oleh syari’at Ilahi, yang biasanya tidak terpenuhi di dalam perundang-undangan manusia, sebab perhatian manusia yang penuh kekurangan itu tidak memperhatikan kenyataan ini. Ia tidak mampu menangkap seluruh isyarat dekat maupun jauh, tidak melihat dari seluruh sisi dan tidak memperhatikan seluruh kemungkinan.
Di antara kondisi lapangan yang terkait dengan kenyataan di atas yaitu adanya keinginan suami yang kita lihat untuk memenuhi “tugas fitrahnya”, padahal sang istri tidak menyukainya disebabkan halangan umur dan sakit, di mana kedua suami istri tersebut sama-sama menginginkan kelanggengan hidup berumah tangga sekaligus tidak menghendaki adanya perceraian. Lantas, bagaimana kita menghadapi kondisi seperti ini ?
Akankah kita menghadapinya hanya dengan mengangkat kedua pundak dan membiarkan pasangan suami istri itu membenturkan kepalanya ke dinding atau akankah kita menghadapinya dengan sok tahu dan asal-asalan.
Sesungguhnya hanya dengan mengangkat kedua pundak -sebagaimana yang telah kami katakan- tidak akan dapat menyelesaikan masalah, sedangkan sikap sok tahu dan asal-asalan tidak akan selaras dengan kerasnya kehidupan manusia dengan segala problematikanya.
Di saat itulah kita dapati diri kita -sekali lagi- dihadapkan pada tiga kemungkinan:
Kita mengekang laki-laki dan mencegahnya dari menjalankan keinginan biologisnya melalui kekuatan Undang-Undang dan penguasa, dengan cara mengatakan: “Suatu aib wahai laki-laki! Sesungguhnya ini tidak layak serta tidak sesuai dengan hak wanita yang ada padamu maupun kehormatanmu.”
Kita biarkan laki-laki ini bebas berkencan dan berzina dengan wanita mana pun yang dia kehendaki.
Kita bolehkan laki-laki ini untuk berpoligami -sesuai dengan tuntutan kondisi- dan sebagai antisipasi agar istri pertama tidak diceraikan.
Kemungkinan yang pertama, bertentangan dengan fitrah dan di luar kemampuan manusia serta bertentangan dengan gairah dan psikis yang akan membebani laki-laki. Akibat yang akan muncul dalam waktu yang dekat -jika kita memaksakan solusi tersebut melalui kekuatan hukum perundang-undangan dan kekuatan penguasas- adalah kebencian untuk hidup berumah tangga yang membuat laki-laki tersebut harus menanggung beban penderitaan dan beratnya neraka kehidupan ini. Padahal ini merupakan sesuatu yang dibenci Islam yang menganjurkan agar menjadikan rumah tangga sebagai tempat tinggal sedangkan istri sebagai tempat kebahagiaan dan pakaian baginya.
Kemungkinan yang kedua, bertentangan dengan arahan Islam dalam etika, sekaligus bertentangan dengan konsep Islam dalam meningkatkan, mengangkat, membersihkan, serta mensucikan kualitas hidup manusia agar kehidupan menjadi selaras dengan manusia yang telah Allah muliakan di atas hewan.
Kemungkinan yang ketiga, itulah satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhan fitrah secara nyata, hal itu dapat memenuhi konsep etika dalam Islam, memberikan perhatian terhadap istri pertama, mampu merealisasikan keinginan suami istri dalam melanggengkan kehidupan rumah tangga serta memudahkan manusia untuk melangkah naik dengan cara mudah dan nyata.
Hal seperti ini akan terjadi pada kondisi di mana sang istri mengalami kemandulan padahal sang suami menginginkan secara fitrah untuk memiliki keturunan, sedangkan di hadapannya hanya ada dua jalan dan tidak ada yang ketiga:
Dia menceraikan istrinya untuk mencari ganti istri yang lain yang dapat memenuhi fitrah manusiawinya dalam membuahkan keturunan.
Dia menikah lagi dengan wanita lain dan kehidupan rumah tangganya dengan istri pertamanya tetap langgeng.
Terkadang ada sekelompok orang yang sok tahu baik laki-laki atau pun perempuan yang mengigau untuk lebih mengutamakan yang pertama. Hanya saja minimal 99 dari setiap 100 istri akan menumpahkan laknatnya kepada siapa saja yang memberikan arahan sang suami kepada jalan ini, yaitu sebuah jalan yang mampu meluluhlantakkan rumah tanga mereka tanpa ada ganti yang dapat dibayangkan.
Oleh karena itu, sangat jarang wanita mandul yang jelas-jelas kemandulannya mendapatkan seorang laki-laki yang mau menikahinya, sedangkan seringkali seorang istri yang mandul memperoleh kebahagiaan dan kegembiraan pada anak-anak kecil yang dilahirkan oleh madunya, sehingga anak-anak kecil tersebut mampu menghidupkan suasana rumah tangga, betapa pun besarnya kesedihan wanita tersebut karena sesuatu hal istimewa yang tidak bisa diperoleh.
Demikianlah setiap kali kita mencermati kehidupan yang nyata serta cara penanganannya yang tidak lagi mengindahkan sikap sok tahu atau pun terprovokasi dengan igauan orang serta tidak perlu menanggapi lelucon di saat keadaan menuntut kita harus serius, niscaya kita akan mendapatkan hikmah yang luhur dibalik penerapan dispensasi ini, dengan tetap terikat dengan syarat berikut:
“Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.” (QS. an-Nisa’: 3).
Jadi dispensasi ini dapat memenuhi kenyataan fitrah, realita hidup dan menjaga masyarakat -dibawah tekanan kebutuhan fitrah dan realita yang beragam- dari sarana yang menuju kelemahan dan penyimpangan. Sedangkan ikatan syarat itu sendiri (sikap adil) dapat memelihara kehidupan rumah tangga dari kericuhan dan kekacauan, menjaga istri dari mendapat tindakan sewenang-wenang dan kezhaliman, memelihara kehormatan wanita dari kehinaan tanpa kondisi memaksa serta dengan sangat hati-hati, berikut mampu memberi jaminan keadilan yang sama-sama sesuai dengan hajat dan cita-cita yang luhur.”[12]
Di antara yang perlu dicatat di sini, bahwa sikap adil yang dituntut dan dijadikan syarat dalam poligami tersebut maksudnya adalah dalam hal materi yang berupa tempat tinggal, pakaian, makanan, nafkah, pergaulan, giliran, segala hal-hal yang masih dalam taraf kemampuan dan kehendak manusia.
Adapun sikap adil dalam masalah perasaan hati dan jiwa, maka manusia tidak dituntut harus adil. Karena hal ini sudah di luar kemampuannya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa’: 129).
Adapun usaha menggunakan dalil melalui ayat ini dilakukan oleh sebagian orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam rangka mengharamkan poligami, maka jelas hal ini tidak dapat dibenarkan. Padahal guru sekaligus Rasul bagi manusia, Nabi Muhammad SAW telah memberikan batasan arti, bahwa sikap adil yang dipahami dalam ayat ini hanyalah adil dalam urusan hati yang di luar kehendak/ kemampuan manusia. Oleh karenanya, beliau berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam perkara-perkara yang bersifat materi, beliau bersabda:
“Ya Allah, lnilah pembagian yang dapat aku lakukan terhadap hal-hal yang aku mampui, maka janganlah Engkau cela diriku atau terhadap apa yang Engkau kuasai, sedang aku tidak menguasainya (yakni urusan hati).”[13]
Demikianlah lslam menaruh Ikatan dan syarat dalam berpoligami ketika ia membolehkannya di mana membuat seorang laki-laki yang dituntut oleh dirinya berpoligami untuk mempertimbangkan kembali dan mengintropeksi niat dan tekad dirinya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam kezaliman yang diharamkan Islam
Tatkala kehidupan berumah tangga tegak di atas pondasi Islam yang penuh pendidikan, maka seluruh komponen keluarga akan hidup dalam kebahagiaan yang hakiki, kemakmuran, dan ketenangan yang langgeng. Sehingga tidak ada kezaliman dari pihak laki-laki maupun pihak istri yang didorong oleh perasaan egois dan hawa nafsu. Anak-anak pun tidak dibuat berpecah oleh permusuhan dan percekcokan. Akan tetapi yang ada hanyalah sebuah rumah tangga Islami yang diramaikan oleh keutamaan dan akhlak serta dipenuhi dengan kecintaan dan keikhlasan.
Adapun anggapan bahwa poligami menyebabkan jatuhnya kehormatan kaum wanita lantaran tidak adanya persamaan dengan kaum lelaki serta diperbolehkannya wanita untuk dimadu, begitupula anggapan jika poligami boleh bagi laki-laki maka diperbolehkan juga bagi wanita sebagai wujud persamaan hak dengan lakl-laki, atau kalau tidak maka kedua belah pihak dilarang untuk berpoligami, maka yang seperti ini merupakan anggapan yang batil sekaligus mustahil jika diukur berdasarkan tabiat dan pembawaan.
Marilah kita dengarkan apa yang dikatakan oleh al-Allamah Ibnul Qayyim rah.a., ketika memberi sanggahan terhadap orang-orang yang menggembar-gemborkan pemahaman yang salah kaprah seperti ini:
“Adapun, Allah memperbolehkan laki-laki untuk menikah dengan empat istri namun tidak memperbolehkannya bagi wanita menikah dengan empat suami maka hal itu termasuk di antara hikmah, kebaikan dan kasih sayang Allah terhadap makhlukNya, serta menjaga kemaslahatan mereka. Maha Suci Allah dari bertindak yang berkebalikan dari hal itu dan syari’atNya bersih dari akibat yang berkebalikan selain ini. Sekiranya wanita diperbolehkan untuk memiliki dua suami atau lebih, niscaya dunia akan rusak, rantai keturunan akan hilang, di antara masing-masing suami akan saling bunuh, bencana akan menjadi besar, fitnah akan melanda hebat dan peperangan akan terjadi. Bagaimana bisa stabil kondisi perempuan yang diperebutkan oleh banyak laki-laki, dan bagaimana bisa stabil kondisi para laki-laki yang saling memperebutkannya?
Jadi kedatangan syari’at membawa aturan yang menyelisihi hal itu merupakan bukti konkret atas hikmah, kasih sayang dan perhatian Sang Pembuat Syari’at terhadap makhlukNya.”[14]
Sebelum kami mengakhiri pembahasan kami dalam memaparkan bantahan terhadap kedustaan orang tentang aturan poligami dalam Islam, kami katakan:
“Sesungguhnya Islam -yang telah memberikan keringanan untuk berpoligami dalam rangka menghadapi realita kehidupan manusia dan desakan kebutuhan fitrah manusia- tidak memaksa wanita untuk mau menikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri. Akan tetapi Islam memberinya kebebasan penuh untuk menerima atau menolak. Jika ia menerima tawaran itu dengan penuh kesadaran berarti hal itu menjadi bukti kesiapan dirinya untuk hidup bersama dengan madunya, sekaligus Juga merupakan bukti pemahamannya bahwa Islam akan menjamin hak-haknya serta tidak akan menyingkirkannya. Bahkan Islam telah memuliakannya dan mengangkat derajatnya melalui pernikahan yang penuh berkah lagi mulia ini.
Adapun yang kita dapatkan pada penyimpangan manusia dalam menggunakan dan menjadikan poligami sebagai sarana untuk kehidupan rumah tangga menjadi sekedar pemuas nafsu belaka, selanjutnya terjadi kehancuran rumah tangga berikut akibat buruk lain yang menyusulnya, maka hal itu bukan merupakan dampak dari aturan Islam, akan tetapi merupakan penyelewengan manusia dan jauh dari Islam. Inilah sunatullah atas makhlukNya tatkala mereka menjauh dari manhajNya.
Sayyid Quthb rah.a. berkata:
“Apabila ada satu generasi di antara sekian generasi melakukan penyimpangan dalam menggunakan dispensasi ini, maka yang demikian itu bukanlah dari Islam. Dan mereka yang melakukannya tidak sedang menerapkan aturan Islam. Sesungguhnya orang-orang itu terjerumus ke dalam jurang ini, hanya dikarenakan mereka jauh dari Islam dan mereka belum bisa menangkap ruh islam yang bersih lagi mulia, dan penyebabnya adalah mereka tidak hidup dalam masyarakat yang diatur Islam dan dikuasai oleh syari’atnya, sebuah masyarakat yang tidak tegak diatasnya kekuasaan kaum muslimin yang konsekuen dengan Islam dan syari’atnya serta menuntun manusia dengan arahan, undang-undang, etika dan tradisi yang islami.
Sesungguhnya masyarakat yang memusuhi islam dan lepas dari syari’at dan undang-undangnya itulah yang pertama kali bertanggung jawab terhadap kekacauan ini. Dialah yang paling bertanggung jawab terhadap sikap menjadikan kehidupan rumah tangga sebagai ajang pemuas nafsu hewani semata. Maka barangsiapa yang hendak memperbaiki kondisi tersebut, hendaklah ia mengembalikan manusia kepada ajaran, syari’at dan konsep Islam, sehingga dia dapat mengembalikan mereka kepada kebersihan, kesucian, dan jalan hidup yang lurus. Barangsiapa hendak melakukan perbaikan, hendaklah ia mengembalikan manusia kepada Islam secara total dan bukan hanya dalam perkara ini, akan tetapi pada konsep hidup seluruhnya. Sebab Islam merupakan aturan sempurna yang tidak bisa dipraktikkan kecuali harus dengan sempurna dan integral.”[15]
Sebagai penutup, wahai pemudi muslimah! Janganlah engkau ikut serta menyiarkan kedustaan-kedustaan para musuh-musuh Islam itu serta melakukan usaha-usaha larangan terhadap poligami dengan menggunakan slogan-slogan murahan yang menyilaukan seperti kemajuan, emansipasi, dan lain-lain. Hendaklah engkau mengangkat tinggi-tinggi kepalamu untuk mengajak anak-anak wanita sejenismu untuk mengambil rukhshah yang agung ini, yang akan dapat membebaskan banyak wanita dari kehinaan hajat dan kefakiran yang membinasakan, serta menjaga kehormatan dan kesucian mereka.
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. al-Maidah: 50).
Sekarang marilah kita beralih kepada pembahasan tentang sanggahan atas fitnah yang kedua yang diarahkan kepada penghulu bani Adam Rasulullah SAW berkenaan poligami beliau. Silakan klik DISINI. [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Footnote:
[1] Huquuqul Insan fil Islam oleh Ali Abdul Wahid Wafi, hal. 179-180.
[2] Al-Mar’ah fil Qur’an oleh Abbas Mahmud al-Aqqad hal. 112.
[3] Kitab Suci Perjanjian Lama, Raja-Raja I Pasal 11 alinea 3 hal. 552.
[4] Perjanjian lama, Kitab Pembentukan, Pasal 28 alinea 9.
[5] Perjanjian Lama, Kitab Pembentukan, Pasal 32 alinea 22.
[6] Potongan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam aI-Anbiya’, bab: Firman Allah Ta’ala, ”Wawahabna Iidaawuuda Sulaiman ni’mal ‘abdu awwaab” (IV/135) dan Muslim dalam al-Iman, bab: aI-Istitsna’, (no. 1654).
[7] Surat Paulus I kepada Timonas, dinukil dari kitab Ta’addud Zaujaat oleh Syaikh Abdullah Nasih Ulwan rah.a., no. 16.
[8] AI-Mar’ah Bainal Fiqhi Wal Qaanun, hal.74.
[9] Al-Mar’ah Fil Qur’an oleh aI-Aqqad, hal. 82.
[10] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Thalaq, bab: Siapa yang Masuk Islam Sedang Dia Memiliki Istri Lebih Dari Empat, (no. 2242).
[11] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Nikah, bab: Lelaki Muslim yang Mempunyai Sepuluh Istri, (no. 1128).
[12] Fii Zhilaalil Qur’an oleh Sayyid Quthb (IV/579-581).
[13] Diriwayatkan oleh Abu dawud dalam Nikah. bab: Pembagian Giliran Bagi Para Istri, (no. 2134). At-Tirmidzi dalam Nikah, bab: Berlaku Sama Terhadap Istri-istri, no. 1140. Diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dalam Asyratun Nisa’, bab: Kecenderungan Laki-laki Kepada Sebagian Istri Dari Sebagian lstri Yang lain (VlI/64). Al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/187), bellau berkomentar bahwa hadits ini shahih menurut syarat Muslim, meski ia tidak meriwayatkan, dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dalam hal ini Syaikh al-Albanl rah.a. dalam lrwa’ul Ghalil, (no. 2018) memberikan isyarat bahwa hadits ini ringan disebabkan sanadnya yang mursal.
[14] Silakan merujuk kepada perkataan Ibnul Qayyim rah.a. dan kelanjutannya dalam l’lamul Muwaqqi’in (II/85). Di sana terdapat perkataan dan bantahan yang bagus berkaitan dengan pembahasan ini.
[15] Lihat Fii Zhilaalil Qur’an (I/852).
from WordPress https://ift.tt/2PCjE7c via IFTTT
0 notes
babakbelur · 6 years
Text
Tujuan Rasulullah Poligami dan Fakta Sejarah Serta Sifat Nabi
Pembahasan Artikel BabaKBeluR.com kali ini, Fakta Sejarah Poligami Bukan Berawal Dari Nabi Muhammad
Fakta Sejarah Berpoligami
Istilah poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang dengan lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang dengan lawan jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka terjadilah poligami. Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah swt, sehingga tidak mengherankan kalau diletakkan pada awal surat an-Nisa dalam kitabnya yang mulia. Seperti yang kita tahu bahwa poligami berada pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang poligami. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fiqih, seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda yang memilki anak-anak yatim. Poligami merupakan bahan pembicaraan yang menarik dan topik yang kontroversial. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian, pemahaman orang Islam terhadap poligami dalam ajaran agama berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa poligami dianjurkan dalam keadaan tertentu; ada juga yang percaya bahwa poligami seharusnya ditinggalkan pada masa kini. Berdasarkan ilustrasi sebelumnya, maka dalam makalah ini penulis akan menelusuri bagaimana topik poligami ini dalam tinjauan sejarah, yaitu pada masa pra Islam dan setelah datangnya Islam atau pada masa Rasulullah saw. serta bagaimana hukum poligami jika dihubungkan dengan konteks pada zaman sekarang. POLIGAMI PADA MASA PRA ISLAM Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Di dunia barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi kenyataan menunjukan lain, dan inilah yang mengherankan. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I adalah contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara illegal. Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selamanya hidupnya, tidak malu-malunya memiliki kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau kepala gereja mereka. Kebiasaan poligami yang dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga banyak orang yang menganggapnya sebagai perbuatan suci. Orang Hindu melakukan poligami secara meluas, begitu juga orang Babilonia, Siria, dan Persi, mereka tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah wanita yang dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini wanita sebanyak yang ia suka. Di kalangan bangsa Israil, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa a.s. yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri.
Recommended Author
Di kalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, poligami lazim dilaksanakan. Bahkan menurut mereka Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Agama Kristen tidak melarang adanya praktek poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas dalam Injil tentang landasan melarang poligami. Terkecuali dalam Injil Matius Pasal 10 ayat 10-12dan Injil Lukas pasal 16 ayat 18 yang menerangkan bahwa seseorang yang menceraikan pasangannya kemudian menikah lagi, maka hukumnya dia berzina dengan pasangannya yang baru. Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katolik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali kematian saja. Sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil membolehkan. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada dewan Gereja pada masa awal Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine justru menyatakan secara tegas bahwa dia sama sekali tidak mengutuk poligami. Marthin Luther mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sekte Mormon juga meyakini poligami. Bahkan hingga sekarang, beberapa Uskup di Afrika masih sangat mendukung praktek poligami. Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar jika poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Sebenarnya hingga sekarang sistem poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yg tidak beragama islam seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ini hanya berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebenarnya agama Kristen tidak melarang poligami sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun yang dengan tegas melarang hal ini. Dulu sebagian bangsa Eropa yang pertama memeluk Kristen telah beradat istiadat dengan mengawini satu perempuan saja. Sebelumnya mereka adalah penyembah berhala. Mereka memeluk Kristen karena pengaruh bangsa Yunani dan Romawi yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yg mereka jalankan ini bukanlah dari agama Kristen yang mereka anut, melainkan warisan Paganisme (agama berhala) dahulu. Dari sinilah gereja kemudian mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami lalu larangan tersebut dimasukkan sebagai aturan agama, padahal kitab Injil tidak menerangkan sedikitpun tentang pengharaman sistem ini. Kemudian menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhussunnah mengutarakan bahwa sebenarnya sistem poligami ini tidaklah dilakukan kecuali oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge. Hendaklah diingat bahwa sistem monogami merupakan sistem yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kebanyakan masih primitif, yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya bertabiat halus dan bangsa-bangsa yang sedang berada dalam transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa agraris. Disamping itu, sistem monogami tidak begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang telah mengalami perubahan kebudayaan yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yg primitif menjadi bangsa peternak dan penggembala dan bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup memetik hasil tanaman liar menjadi bangsa yang bercocok tanam. Kebanyakan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukannya bilamana kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi tidaklah benar anggapan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya poligami seiring dengan kebudayaan. Demikian kedudukan sebenarnya sistem poligami menurut sejarah. Begitu juga sebenarnya pendirian agama Kristen. Begitu juga meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. Hal ini disampaikan bukan untuk mencari dalih untuk membenarkan sistem poigami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan sesuai dengan tempatnya dan menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah dan fakta yang dikemukakan oleh orang-orang Eropa. Baca Juga Artikel Kisah dan Mukjizat Nabi Nuh Alaihissalam serta Keturunannya DI SINI
Related Keyword: poligami menurut islam dan dalilnya, syarat poligami menurut islam, pengertian poligami menurut islam, tujuan poligami dalam islam, syarat2 berpoligami menurut islam, konsep poligami dalam islam, larangan poligami dalam islam, hukum poligami sunnah atau mubah
Your Reaction:
BabaKBeluR.com : Jika Artikel ini Menarik dan Bermanfaat Silahkan Memilih Reaksi Terhadap Artikel ini. Bagikan Artikle ini Ke Social Media, Anda Juga Dapat Berdonasi Melalui: Paypal Dana hasil dari donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain babakbelur.com - Terima kasih.
from Blogger https://ift.tt/2LDzIQg via IFTTT
0 notes
belajarkece-blog · 7 years
Text
Panggil Aku Drupadi
Perkenalkan, namaku Drupadi. Ibuku yang memberi nama. Wanita itu, begitu mengidolakan sosok perempuan yang tangguh dengan lima suami.
“Aku tak setuju poligami, tapi aku suka keberanian Drupadi untuk poliandri. Maka, kuberi nama anakku Drupadi,” begitu Ibu menegaskan.
Aku gadis jawa, jangan tanya agamaku karena aku meyakini semua agama itu baik. Silahkan jika kalian tak setuju, aku percaya Tuhan tapi perbedaan membuatku runtuh.
Aku mewakili ibuku atas sakit hatinya masa lalu. Tentang kebijakan poligami yang dilakukan Ayahku. Sebagai anak seorang Pendeta, Ibuku percaya bahwa setia sehidup semati pada satu orang adalah hukum Tuhan yang tertuliskan.
Ayahku meninggal ketika usiaku tiga tahun. Ibuku baru tahu, dia isteri kedua, lima jam setelah aku lahir. Sedatail itu Ibuku mengamati gerak waktu. Perempuan itu datang untuk mengucapkan selamat pada Ibuku.
“Seketika hati ibu hancur, tapi apa daya ketika nasi sudah menjadi bubur, hanya kamu kebahagiaan yang Ibu punya kala itu,” ceritanya pada satu waktu.
Ibu mengenal Ayah sebagai lelaki miskin yang begitu cerdas dalam bertutur. Waktu itu, Ayah bekerja sebagai pelatih driver mobil dan seminggu sekali melatih Ibu sampai mahir. Ibu tak mau pelatih yang lain kecuali Ayah.
Ayah orang yang menarik, cerdas, dan juga pandai bermain gitar. Ibu terkesima dibuatnya. Ayah memberanikan diri untuk melamar setelah Ibu bersedia masuk Islam. Kakek menentang keras perkawinan Ayah Ibu. Mereka menikah tanpa restu pendeta itu.
Ibuku tak kalah cerdas dengan Ayah. Sebagai pelatih piano yang belajar sampai ke Jerman, Ibu terkesima pada permainan gitar Ayah yang tak pernah mengenyam pendidikan musik secara formal. Cinta mereka mengalir begitu saja. Pikir Ibu ini adalah cerita cintanya yang terindah.
Sosok ideal menemani disampingnya kala luka dan bahagia. Siapa sangka, kebahagiaan itu seketika sirna. Ayah meminta ijin isteri tuanya agar tinggal bersama. Bagaimana bisa itu bisa disembunyikan begitu rapi?  30 bulan usia pernikahan mereka. 14 bulan usia pernikahan Ayah dan Ibu.
Ibu marah. Tangisnya pecah sambil memelukku lembut sebagai tumpuan harap yang tak surut. Ibu bilang, namaku Drupadi sebenarnya tak berharap aku akan melakukan poliandri seperti dalam kisah Mahabarata yang begitu melegenda. Ibu ingin aku menjadi berani sebagai wanita.
“Pada kenyataannya, tak ada seorangpun Pandhawa yang mampu menolong Drupadi kala Kurawa menjadikan perempuan itu pesta semalamnya, kamu harus bisa kuat berdiri, anakku,” aku masih ingat nasihat Ibu.
Aku tidak akan pernah lupa kisah Drupadi melawan suratannya. Kainnya yang tak habis, melindunginya dari nafsu bejat Dursana. Kemana Arjuna, Bima, Yudhistira, Nakula dan Sadewa?
Kau simak cerita mereka? Pandhawa kalah dalam petarungan dadu. Yudhistira mempetaruhkan semua adikknya bahkan dirinya sendiri sudah tidak ada harganya. Masih bisa mengajukan Drupadi sebagai bahan taruhannya?
Namaku Drupadi, aku tak ingin menjadi bola dalam permainan lelaki. Mana yang benar mana yang salah, wanita juga harus punya tempat yang semestinya. Tiada kata bijaksana ketika kesemuanya hanya penuh duga.
Kini aku beranjak dewasa. Pesan Ibu terahir sebelum meninggalkan dunia, “Aku harus berani berdiri di kaki sendiri, pria yang datang padaku suatu hari nanti, tak patut menjadi tempat bergantung dan jangan sampai kau jadi alas yang bisa diinjak kapan saja. Jadilah Drupadi, Drupadi yang kuat dan teguh dengan keyakinannya berdiri,”
Katanya dalam surat itu, aku akan tahu sosok Drupadi yang sesungguhnya. Kulewati jalanan aspal yang meliukan fantamorgana. Bus kota dan truk-truk besar saling bersalip. Kuputar musik-musik Dave Coz favorit Ibu untuk menemani perjalananku.
Empat jam sudah aku mengambang di jalan. Masuk di Kabupaten Madiun, mencari desa Sukorejo untuk menemukan Pak Aman. Aku tak mengerti kenapa separuh harta kepemmilikan Ibu harus dibagi dengan lelaki itu.
Rumah joglo bercat putih itu begitu asri dengan pohon mangga yang lebat begitu rimbun membuat sejuk rumah itu. Setelah bertanya pada banyak orang, aku yakin rumah Pak Aman disini.
Kuketuk pintu berhalahan, Pak Aman keluar dengan mengendong balita tiga tahunan.
“Saya Drupadi, putri dari Ibu Srikandi, ingin bertemu Pak Aman, untuk menyampaikan surat dari Ibu yang dibuat sebelum meninggal,” kataku menjelaskan di awal.
Mata Pak Aman berbinar. Menatapku dengan penuh tegang. Diturunkan anak keci yang dikendongnya. Spontan aku dipeluknya tanpa kusempat menghindar. Bau asamnya menyusup ke hidungku.
“Drupadi,” serunya sambil menggoyang-goyangkan lenganku.
Aku hanya menunduk heran. Setengah takut. Akhirnya kuputuskan untuk tersenyum kecut.
“Kau tampak dewasa. Ibumu sudah lama meninggalnya?”
“Tiga minggu lalu,” lidahku kelu.
“Dia tak pernah cerita tentangku?”
Aku menggeleng ragu.
“Aku Ayahmu, Ayah tirimu. Bocah ini, ini keponakanmu. Cucu Ibumu. Sudah lama kutunggu Ibumu disini. Adakah warisan yang ditinggalkannya untuk anak-anaknya disini?”
Lidahku tergulung dalam.
0 notes
sephersiphrah-blog · 7 years
Text
Jeruk makan Jeruk?
Jeruk makan jeruk? Itulah jargon yang sering kita dengar dari salah satu iklan minuman. Iklan minuman itu dibintangi oleh artis cilik yang telah beranjak dewasa, Joshua Suherman. Iklan tersebut menceritakan tentang minuman jeruk yang ingin diminum oleh salah satu karakter di iklan tersebut, yaitu sebuah jeruk. Kemudian Joshua selalu menggagalkan niat sang jeruk untuk minum minuman jeruk, dengan berkata, “jeruk kok makan jeruk?”.
Istilah jeruk makan jeruk bukanlah suatu hal yang asing didengar oleh telinga kita. Mungkin juga istilah ini sudah sering menjadi bahan bercanda di lingkungan. Lalu sebenarnya apa makna jeruk makan jeruk? Banyak orang yang mengartikan istilah tersebut. Salah satunya menafsirkan istilah jeruk makan jeruk dengan homoseksual.
Ya, kita sudah sering mendengar homoseksual. Sering kita melihat dalam beberapa waktu ini, berita tentang hal tersebut. Mulai dari digrebeknya suatu tempat fitnes di Kelapa Gading yang sedang melakukan pesta seks yang dihadiri 141 laki-laki, kemudian dicatutnya nama universitas terkenal di Malang dalam sebuah grup persatuan gay, dan masih banyak lagi kasus yang lain. Memang di beberapa negara maju seperti Amerika, Spanyol dan Belanda telah melegalkan perkawinan sejenis. Tetapi di Indonesia, perkawinan sejenis masih illegal.
Jika Amerika, Spanyol dan Belanda yang merupakan negara dengan mayoritas Kristen menyetujui perkawinan sejenis, lantas apa sesungguhnya yang dikatakan Kitab Suci?
Alkitab pada awalnya menyatakan bahwa manusia diciptakan laki-laki dan perempuan (Kej 1:28). Ikatan laki-laki dan perempuan ini merupakan ikatan hubungan yang ideal di hadapan Tuhan karena Tuhan memberkati mereka dalam suatu ikatan perkawinan (Kej 2:24-25). Tetapi perlu disadari, kondisi yang ideal itu dirusak oleh dosa. Dosa telah masuk dan merusak dunia ini salah satunya seksualitas. Dampak dosa bagi seksualitas yaitu kesulitan melahirkan, poligami dan salah satunya adalah homoseksualitas.
Tak bisa dipungkiri bahwa homoseksualitas telah ada pada zaman Alkitab dan ternyata Allah tidak menyukai homoseksual tersebut. Hal ini dapat dilihat dari larangan yang diberikan Allah di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Allah menyatakan “janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati..” (Imamat 18:22; 20:13). Paulus menyatakan “Tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! …. pemburit (orang yang melakukan aktifitas homoseks)… tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah.” (1 Kor 6:9-10). Dengan demikian, kita menyadari bahwa Allah membenci homoseksualitas.
Jika Allah membenci homoseksual, apakah homoseksual dapat dipulihkan?Sekalipun kondisi dunia ini sekarang tidak ideal, setidaknya kita harus kembali kepada kondisi ideal. Kondisi ideal pertama kali adalah ketika tidak ada dosa dan manusia hidup dalam pernikahan heteroseks dan juga monogami. Kunci pertama untuk dapat terlepas dari homoseksual adalah menyadari bahwa itu dosa dan kita butuh Yesus yang memulihkan kita. Perlu adanya pembasuhan diri dan pertobatan yang sejati di dalam Kristus. Hal ini pun pernah terjadi seperti yang Paulus tuliskan di bagian bawah dari yang ia tulis tentang homoseksual, “dan beberapa di antara kamu demikianlah dahulu (pernah jadi homoseks). Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.” (1 Kor 6:11). Transformasi hidup yang dilakukan oleh Roh Allah, memampukan kita untuk pulih dari homoseksual. Hal ini memang tidak mudah, perlu proses untuk pemulihan. Maka dari itu kita harus terus belajar menggantungkan hidup kepada Kristus untuk terlepas dari hal ini. Jika memang masih bergumul akan hal ini, lebih baik bertahan dan hidup selibat (tidak menikah) serta terus menerus mengejar kekudusan di dalam Kristus. Jangan malu juga untuk meminta pertolongan dari kakak rohani atau pendeta ataupun orang lain yang dapat dimintai tolong dan memberikan bimbingan.
Bagi kita semua yang tidak memiliki masalah homoseksualitas, mari kita belajar memerangi homoseksualitas ini. Memerangi homoseksualitas bukan berarti memerangi atau menentang orang yang homoseks. Tetapi memerangi homoseksualitas adalah dengan menciptakan lingkungan yang baik, jauh dari komunitas yang melecehkan melainkan selalu membangun satu dengan yang lain karena memang biasanya kecenderungan homoseksual terjadi karena faktor eksternal. Terimalah orang homoseks tersebut dan kasihi dengan kasih Kristus serta menolong mereka untuk mendapatkan pemulihan. Kita menerima orangnya, tetapi bukan menyetujui dosanya, karena kita pun semua juga punya dosa yang mungkin berbeda dengan yang lain.
Love the sinner and hate the sin.
0 notes
babakbelur · 6 years
Text
Pengetahuan Islam | Fakta Sejarah Poligami Bukan Berawal Dari Nabi Muhammad
Fakta Sejarah Poligami Bukan Berawal Dari Nabi Muhammad
Istilah poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang dengan lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang dengan lawan jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka terjadilah poligami. Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah swt, sehingga tidak mengherankan kalau diletakkan pada awal surat an-Nisa dalam kitabnya yang mulia. Seperti yang kita tahu bahwa poligami berada pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang poligami. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fiqih, seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda yang memilki anak-anak yatim. Poligami merupakan bahan pembicaraan yang menarik dan topik yang kontroversial. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian, pemahaman orang Islam terhadap poligami dalam ajaran agama berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa poligami dianjurkan dalam keadaan tertentu; ada juga yang percaya bahwa poligami seharusnya ditinggalkan pada masa kini. Berdasarkan ilustrasi sebelumnya, maka dalam makalah ini penulis akan menelusuri bagaimana topik poligami ini dalam tinjauan sejarah, yaitu pada masa pra Islam dan setelah datangnya Islam atau pada masa Rasulullah saw. serta bagaimana hukum poligami jika dihubungkan dengan konteks pada zaman sekarang. POLIGAMI PADA MASA PRA ISLAM Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Di dunia barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi kenyataan menunjukan lain, dan inilah yang mengherankan. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I adalah contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara illegal. Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selamanya hidupnya, tidak malu-malunya memiliki kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau kepala gereja mereka. Kebiasaan poligami yang dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga banyak orang yang menganggapnya sebagai perbuatan suci. Orang Hindu melakukan poligami secara meluas, begitu juga orang Babilonia, Siria, dan Persi, mereka tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah wanita yang dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini wanita sebanyak yang ia suka. Di kalangan bangsa Israil, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa a.s. yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri[6]. Di kalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, poligami lazim dilaksanakan. Bahkan menurut mereka Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Agama Kristen tidak melarang adanya praktek poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas dalam Injil tentang landasan melarang poligami. Terkecuali dalam Injil Matius Pasal 10 ayat 10-12dan Injil Lukas pasal 16 ayat 18 yang menerangkan bahwa seseorang yang menceraikan pasangannya kemudian menikah lagi, maka hukumnya dia berzina dengan pasangannya yang baru. Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katolik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali kematian saja. Sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil membolehkan. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada dewan Gereja pada masa awal Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine justru menyatakan secara tegas bahwa dia sama sekali tidak mengutuk poligami. Marthin Luther[7] mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sekte Mormon juga meyakini poligami. Bahkan hingga sekarang, beberapa Uskup di Afrika masih sangat mendukung praktek poligami[8]. Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar jika poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam[9]. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Sebenarnya hingga sekarang sistem poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yg tidak beragama islam seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ini hanya berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebenarnya agama Kristen tidak melarang poligami sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun yang dengan tegas melarang hal ini. Dulu sebagian bangsa Eropa yang pertama memeluk Kristen telah beradat istiadat dengan mengawini satu perempuan saja. Sebelumnya mereka adalah penyembah berhala. Mereka memeluk Kristen karena pengaruh bangsa Yunani dan Romawi yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yg mereka jalankan ini bukanlah dari agama Kristen yang mereka anut, melainkan warisan Paganisme (agama berhala) dahulu. Dari sinilah gereja kemudian mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami lalu larangan tersebut dimasukkan sebagai aturan agama, padahal kitab Injil tidak menerangkan sedikitpun tentang pengharaman sistem ini. Kemudian menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhussunnah mengutarakan bahwa sebenarnya sistem poligami ini tidaklah dilakukan kecuali oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge. Hendaklah diingat bahwa sistem monogami merupakan sistem yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kebanyakan masih primitif, yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya bertabiat halus dan bangsa-bangsa yang sedang berada dalam transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa agraris. Disamping itu, sistem monogami tidak begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang telah mengalami perubahan kebudayaan yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yg primitif menjadi bangsa peternak dan penggembala dan bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup memetik hasil tanaman liar menjadi bangsa yang bercocok tanam. Kebanyakan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukannya bilamana kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi tidaklah benar anggapan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya poligami seiring dengan kebudayaan. Demikian kedudukan sebenarnya sistem poligami menurut sejarah. Begitu juga sebenarnya pendirian agama Kristen. Begitu juga meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. Hal ini disampaikan bukan untuk mencari dalih untuk membenarkan sistem poigami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan sesuai dengan tempatnya dan menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah dan fakta yang dikemukakan oleh orang-orang Eropa[10]. from Blogger https://ift.tt/2LDzIQg via IFTTT
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Berkomentar Provokatif Pada Video Ust. Arifin Ilham, Gilbert Lumoindong "Ditabok" Followernya
Berkomentar Provokatif Pada Video Ust. Arifin Ilham, Gilbert Lumoindong "Ditabok" Followernya
Berkomentar Provokatif Pada Video Ust. Arifin Ilham, Gilbert Lumoindong “Ditabok” Followernya
Harianpublik.com – Lagi-lagi pendeta Gilbert Lumoindong membuat ‘panas’ linimasa twitter dengan cuitannya.
Kali ini Gilbert memposting video Ustaz Arifin Ilham dan kedua istrinya. Dalam video tersebut, Arifin Ilham mengingatkan tentang poligami dan menyarankan sebaiknya beristri hanya satu, meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam. Namun jika memiliki dua istri dan bisa damai, maka itu jauh lebih utama.
Video tersebut diberi caption yang provokatif oleh Gilbert.
Perlu di contoh???? 🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐 pic.twitter.com/ZK7QwqUCwR
— Gilbert Lumoindong (@PastorGilbertL) April 30, 2017
Netizen langsung bereaksi keras.
@PastorGilbertL Bpk biarkan sj beliau mau apa. Bukan kapasitas kita menilai.. nanti menimbulkan kontroversi & intimidasi.
— Ve_Szabo (@AVECHELSY) April 30, 2017
@PastorGilbertL ada baiknya ga usah dikomentarin pak, haknya mereka itu mah
— Henny Theodora (@theoZdoraZ) April 30, 2017
@PastorGilbertL Pak pdt sudah sering saya katakan saya fans pak pdt dr saya kecil. Tp tlg lah jgn upload yg bs menimbulkan gesekan. Itu ranah mrk pak pdt.
— Erlangga Kesuma (@eRL89) April 30, 2017
[opinibangsa.id / pi]
Sumber : Source link
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Berkomentar Provokatif Pada Video Ust. Arifin Ilham, Gilbert Lumoindong "Ditabok" Followernya
Berkomentar Provokatif Pada Video Ust. Arifin Ilham, Gilbert Lumoindong "Ditabok" Followernya
Lagi-lagi pendeta Gilbert Lumoindong membuat ‘panas’ linimasa twitter dengan cuitannya.
Kali ini Gilbert memposting video Ustaz Arifin Ilham dan kedua istrinya. Dalam video tersebut, Arifin Ilham mengingatkan tentang poligami dan menyarankan sebaiknya beristri hanya satu, meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam. Namun jika memiliki dua istri dan bisa damai, maka itu jauh lebih utama.
Video tersebut diberi caption yang provokatif oleh Gilbert.
Netizen langsung bereaksi keras.
Perlu di contoh???? 🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐🤐 pic.twitter.com/ZK7QwqUCwR
— Gilbert Lumoindong (@PastorGilbertL) April 30, 2017
Sumber : Source link
0 notes