#pembatas
Explore tagged Tumblr posts
as-property · 5 months ago
Text
Tumblr media
Partisi ruangan membagi area secara fungsional sambil tetap mempertahankan kesan estetika yang menyatu. Terbuat dari bahan berkualitas tinggi dengan sentuhan modern dalam desainnya, Fleksibilitasnya memungkinkan penempatannya di berbagai sudut ruangan, memberikan privasi tanpa mengorbankan aliran udara atau cahaya alami. Yuk pesan Partisinya sekarang juga dan dapatkan harga menarik. Hubungi 082323778676
0 notes
akimdog · 1 year ago
Video
youtube
FOLDING DOOR PVC TLP 082211828759
0 notes
glitteryllamapeace · 2 years ago
Text
Pembatas sholat stainless
Pembatas ruang sholat
Jual pembatash shaf sholat
Langsung ORDER KLIK WA http://wa.me/628111914146 , jual pembatash shaf sholat, jual pembatash shaf sholat, jual pembatash shaf sholat, pembatas sholat, pembatas shalat, pembatas shaf wanita, pembatas sholat laki perempuan, pembatas sholat wanita dan pria, pembatas sholat wanita
Buat Pengangkutan Wilayah JABODETABEK
Pengangkutan Dapat COD
Pembayaran di tempat Sesudah barang sampai
JAMAAH MASJID atau MUSHOLA anda terasa KURANG KHUSYU'? KURANG NYAMAN?
Sebab tidak terdapatnya PEMBATAS di antara shaf PUTRA DAN PUTRI?
atau...
TAKUT mushola anda jadi tampak SEMPIT oleh karena ada pemisah shaf yang tetap??
youtube
mengawasi penglihatan sebagai kewajiban untuk tiap-tiap orang ditambah lagi sebab bukan Pembatas sholat stainless mahramnya,
untuk itu dia pada tiap-tiap tempat sholat kita temukan pembatas maupun penyekat di antara shaf lelaki dan shaf wanita.
TAPI, banyak juga mushola yang terasa berat maupun di rasa sempit lantaran pemisah yang di pasang tetap.
SPESIFIKASI :
- Bahan : Stainless Steel BA Mirror (premium) 201
- Kain tirai hijau
- Dimensi (pxt) : 200cm x 160cm
Tumblr media
- Roda : Nilon 2 inch (premium)
- Penguncian tiang (earlock)
JANGAN KHAWATIR!!
BAGI ANDA, takmir mushola atau pewakaf mushola,
KITA SEDIAKAN SEKAT atau PEMBATAS buat mushola ANDA sekaligus.
Punyai rangka besi yang TIPIS tapi KOKOH. DIlengkapi RODA hingga membantu pindahan di saat tak di perlu maupun sewaktu mau DISIMPAN
MEMILIKI TINGGI 160 CM DAN PANJANG 200 CM
lumayan buat jadi penghalang untuk mushola anda bahkan juga buat masjid. buat ANDA, tak pakai ribet cari kain kembali karena produk kami mencangkup KERANGKA + KAIN PEMBATAS.
khusus anda ya? kita ada PROMO untuk pembelian 5 unit;
Tumblr media
KEPOIN ADMIN AJA
#jualpembatashshafsholat, #jualpembatashshafsholat, #jualpembatashshafsholat, #pembatassholat, #pembatasshalat, #pembatasshafwanita, #pembatassholatlakiperempuan, #pembatassholatwanitadanpria, #pembatassholatwanita
Tumblr media
1 note · View note
bogorone · 2 years ago
Text
Hindari Sepeda Motor, Sebuah Truk Libas Pembatas Jalan dan Tiang Listrik
Hindari Sepeda Motor, Sebuah Truk Libas Pembatas Jalan dan Tiang Listrik
BogorOne.co.id | Cibinong – Sebuah mobil truk dan sepeda motor terlibat kecelakaan hingga menabrak pembatas jalan serta tiang lampu penerangan jalan yang berada di jalan raya Jakarta Bogor tepat di KM 48 kelurahan Nanggewer Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, Kamis (01/11/22). Kecelakaan tersebut terjadi saat kendaraan truk bernopol AA 8393 BJ berjalan menuju Jakarta, dan saat setibanya di lokasi…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bidiktangsel · 2 years ago
Text
Tembok Pembatas CIMB Sektor 9 Roboh, 4 Kendaraan Sedang Parkir Tertimbun
Tembok Pembatas CIMB Sektor 9 Roboh, 4 Kendaraan Sedang Parkir Tertimbun
Pondok Aren, bidiktangsel.com – Hujan lebat mengguyur Kota Tangsel kemaren sore (01/12-2022) membuat tembok pembatas Bank CIMB Niaga dengan Jalan H.Som di Jalan Bintaro Utama Sektor 9, Pondok Pucung, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), roboh hingga menimpa 4 mobil yang sedang diparkir dikawasan tersebut. Saat dikonfirmasi kejadian tersebut, Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD)…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
andromedanisa · 5 months ago
Text
tinggalkan saja..
aku pikir semua orang itu baik, sampai aku sadar dititik "oh ternyata ada ya orang yang memang ingin memanjat lebih tinggi dengan mengesampingkan teman-teman disekitarnya".
kayak, aku nggak peduli orang mau ngomong apa, aku gak peduli orang nantinya akan terluka apa enggak, aku nggak peduli dengan hubungan kita berakhir baik atau tidak. ya nggak peduli aja, yang penting aku bisa mencapai puncak mimpi yang aku inginkan, yang penting aku selamat, yang penting aku nggak terluka, dan yang penting aku.
padahal untuk mencapai puncak itu nggak harus mengesampingkan atau bahkan menjatuhkan orang-orang disekitar. langit tak pernah menjelaskan mengapa ia begitu tinggi. langit tetaplah langit, tak pernah ia menjatuhkan matahari, atau bintang hanya untuk terlihat lebih tinggi, terlihat lebih baik, dan hanya ingin dilihat.
maka seharusnya diri kita juga demikian.
jika ingin mencapai puncak, naiklah tanpa menjatuhkan, naiklah dengan tenang, naiklah dengan kapasitas kamu memang memiliki kemampuan untuk itu. buktikan bahwa kamu mampu. buktikan bahwa kamu memang layak untuk berada dipuncak tertinggi. bukan menjatuhkan orang-orang di sekitarmu dan lucunya kamu malah merasa menjadi korban sebab orang-orang disekitarmu mencoba menjatuhkanmu.
ingat, hidup didunia ini cuman bentar banget. apa yang kamu tabur, nantinya akan kembali kepada dirimu, suka atau tidak. jika tidak menimpamu setidaknya ia tetap akan kembali kepadamu dalam bentuk yang berbeda.
ada satu kutipan ayat yang bagus banget, yang dimana ketika kamu tidak mampu membalas segala bentuk ketidakadilan atau kedzaliman yang menimpamu. ayat ini cukup untuk menguatkanmy bahwa semuanya akan menemui pembalasannya.
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8)
Masya Allaah, berat banget yak pembahasannya. tapi ini bener loh, maka sebisa mungkin hati-hati sama orang yang kamu dzalimi, orang-orang yang kamu sakiti. dia mungkin diam, tapi doanya melangit kepada Allaah tanpa pembatas. dia tidak perlu pembelaan, baginya cukup Allaah sebagai penolong dan keadilan akan datang dalam bentuk yang berbeda.
better an honest enemy than a false friend.
but i think that if something's toxic and it's only ever really been that. what are you gonna do? just move on. it's fine.
jadi orang-orang seperti itu memang ada dan lahir. kamu hanya perlu berjalan pada kebenaran, jika memang bisa dijelaskan dan diperbaiki, maka lakukanlah. jika tidak bisa, serahkan semuanya ke Allaah. dan itu cukup.
tinggalkan semua yang menyakiti, dan hiduplah tanpa menyakiti. semoga Allaah menolong kita semua dari hal-hal yang berpotensi menyakiti orang lain meski terkadang kita tidak sadar atau tidak ingin melakukannya.
selamat tinggal || 11.49
123 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 7 months ago
Text
Oh, Teman Baru.
Satu jam sebelum pukul tujuh belas tiga puluh sore, hari Jumat.
Aku sengaja datang sejam lebih awal dari jadwal ketibaannya di bandara. Tidak apa kok, aku tidak keberatan harus menunggu sedikit lebih lama dari balik pagar pembatas itu sembari memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Mereka semua terlihat begitu biasa.
Ada segerombolan bule yang menggendong tas backpack segera menuju konter selular. Ada sepasang orang Korea yang bergandengan tangan buru-buru mengarah ke pemberhentian taksi. Ada ibu-ibu sosialita yang sedikit heboh berfoto-foto untuk mengabadikan momen tiba mereka. Dan orang-orang lainnya yang melenggang keluar dari terminal kedatangan internasional menuju tujuannya masing-masing.
Dan aku juga pasti terlihat biasa bagi mereka semua.
Tumblr media
Tapi, hari ini aku akan bertemu seseorang—yang tidak biasa bagiku.
Aku mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan mondar-mandir. Jujur, jantungku berdegup tak menentu. Setiap ada orang yang muncul, aku selalu menerka-nerka, apa itu dia? Lalu pikiranku maju jauh, membayangkan dia datang melalui pintu itu, keren dan atraktif.
“Sebentar ya, masih nungguin koper,” katanya di DM Instagram. “Okay. Take your time,” balasku.
Semakin deg-degan, hingga aku memutuskan untuk mencari tempat duduk yang kosong demi menurunkan rasa gelisahku. Lalu tiba-tiba, “Haaai Cindy!” terdengar. Aku mendongakkan kepala dan menemukan dia berjalan dengan riang ke arahku.
And, he planted roses on my cheeks. Suddenly, shyly, nervously.
Aku segera menyodorkan Matcha Latte yang kubelikan untuknya. Dia pasti cukup haus setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari 7 jam itu. Tapi, dia tidak mengeluh. Kami mencari taksi untuk segera menuju pemberhetian selanjutnya. Dan di dalam mobil itu, aku, baru tahu, bahwa satu obrolan santai dari dua orang asing yang baru bertemu itu bisa membuat senyum tak berhenti mekar seharian.
Sebelumnya, kami sudah janjian untuk sebuah meet up yang proper. Dia selalu tahu, aku ingin makan di salah satu restoran bintang 5. Jadi, kami random saja memilih di daerah terdekat. Restorannya cukup romantis dengan konsep taman eksotis yang menawarkan menu Asian-fusion yang nikmat. Perhatianku tertuju pada menu dessert-nya yang berbentuk seperti jamur. Dia yang menyadari aku menyukai segala hal yang berbau coklat segera memesannya.
Tumblr media Tumblr media
Sambil menunggu makanannya disajikan, kami memulai pembicaraan dengan basa-basi singkat. Dan, kalian tahu, cara paling mudah untuk tahu apakah kita cocok dengan seseorang atau tidak adalah ketika kita lupa waktu. Di sanalah, aku tidak sadar telah mendamparkan diri pada caranya bercerita. Untuk kesekian detik, aku berusaha untuk menggenggam erat kewarasanku agar tidak gila bayang pada orang asing di hadapanku.
Ayolah, Cindy, dia hanya orang asing, kok.
Tapi, seberapa keras pun aku berusaha untuk mengenyahkan perasaan itu, aku tahu aku akan tetap memilih satu momen bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. Betapa aku rela menukarkan apa pun untuk kembali dipertemukan dengan dia dengan cara yang sama.
Tidak terasa 2,5 jam berlalu begitu saja, dan hanya dalam sejauh spasi pendek itu, aku tidak tahu apa yang membuatku ingin terus berbicara. Aku sudah terbiasa dengan stereotype introvert yang kagok ketika berkomunikasi. Tapi, waktu dengannya, aku menemukan diriku bebas berdiskusi, berargumen, berkisah, tentang apa saja. Dan ternyata untuk dia yang bisa menerima celotehanku dan tidak berekspektasi aku untuk menjadi seseorang yang agung, itu sudah cukup…bagiku.
Sebelum bertemu dengannya, aku telah bertemu banyak orang. Beberapa melewatkanku, beberapa kulewatkan. Beberapa menarik perhatianku, beberapa kutarik perhatiannya. Beberapa tiada, beberapa masih ada dalam hidupku. Beberapa nama masih tersimpan dalam kontak, beberapa terhapus tanpa pikir panjang. Dan, dia, seseorang yang siluetnya langsung membentuk mimpi di saat jumpa pertama, membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur dalam hatiku, membuatku sadar bahwa selama ini aku hanya sedang menunggu.
Malam itu, aku ingin kembali mengalami…perasaan jatuh hati di antara begitu banyak omong kosong tentang cinta pada pertemuan pertama.
Setelah menyadari gerak-gerik pelayan yang mulai beberes piring-piring yang sudah tidak menyisakan makanan, dia bertanya, “Jadi, kita mau ke mana lagi?”
“Kita jalan ke mall seberang, mau?” pintaku.
Dia mengangguk, dan bilang, “Let’s go!”
Tadinya, kukira pertemuan ini hanya akan sesingkat makan malam lalu pulang ke tempat masing-masing lalu melupakan nama satu sama lain, tapi tampaknya, semesta telah mengabulkan desakan doaku kalau: I want more time with him.
Ternyata menyebrang di jalanan yang padat kendaraan tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada mobil yang mau mengalah untuk kedua pejalan kaki yang terlihat takut ini. Tapi, cara dia berdiri di arah kendaraan melaju kembali membuat hatiku berdetak dua kali lebih cepat. “Kamu di sebelah sini aja, kita pelan-pelan saja." Sesaat ada kesempatan untuk menyebrang, dia memegang canggung pergelangan tanganku lalu mengarahkanku untuk berjalan dengan cepat. Tanpa kata-kata, aku sejujurnya ingin mengisyaratkan bahwa detik itu juga, aku sudah jatuh kepada dia.
“Wanna have some ice cream again?” tanya dia, sejujurnya, malam itu aku sudah kenyang dari makan di restoran sebelumnya. But, we all broke our rules for someone, right?—hanya demi agar aku punya alasan untuk memiliki kegiatan lain dengannya. So, yes was an answer.
Jam menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Toko-toko di mall itu sudah banyak yang tutup. Sinar lampu perlahan-lahan meredup, tapi matanya memercikkan kilatan kesima di sana. Lucu ya, bagaimana kita bisa bertemu dengan seseorang. Satu hari, kita hanya saling mengagumi dari balik gaduhnya dunia maya, kemudian di hari lainnya lagi, kita bisa berdiri di sampingnya, merasakan kehadirannya nyata.
Aku percaya, itu bukan kebetulan. Masing-masing dari kita, jika diizinkan semesta, pasti akan saling bersinggungan, entah dengan cara apa pun, di mana pun, dan kapan pun.
And that’s how I met him.
Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Aku menimbang-nimbang, apakah setelah malam ini dia akan menghubungiku lagi? Karena, jujur, aku ingin dia datang lagi.
Aku punya berbagai jenis ketakutan, seperti film horor, reptil, barongsai…; dan kehilangan seseorang yang baru kutemui semalam.
Pagi setelah pertemuan malam itu, kembali seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada satu pun pesan darinya. Sesingkat apa pun itu. Aku hanya bisa memandangi layar ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apa-apa.
9 jam. Aku tidak bisa berhenti menghitung waktu yang bergulir tanpa kabar apa-apa darinya. Entah kenapa, aku merasakan hatiku pelan-pelan tergerus. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melekat padanya. Alasan utamanya; siapa lah aku untuk boleh mendapat kabar darinya? Tapi, ketika melihat dia aktif di media sosialnya tanpa meninggalkan sepotong pesan untukku, membuatku sedikit merasa jauh darinya dan…terabaikan. Sungguh, aku ingin mengonfirmasi bahwa tidak ada yang istimewa dari dia.
Tapi, untuk kali pertama, dalam waktu sesingkat itu, aku mau tak mau harus mengakui perasaan itu. Cemburu.
Beberapa waktu berlalu, mungkin dia tidak menyadarinya bahwa aku tidak suka terlihat rapuh. Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak ingin mengambilnya dari keluarganya, dunianya, hobinya, pekerjaannya, sirkel-sirkelnya… Tapi, bolehkah dia sisihkan saja sedikit ruang untukku yang tidak terjamah siapa-siapa untuk letakkan aku di situ? Aku tahu, aku mulai egois ingin memilikinya.
Apakah dia mengerti perasaan semacam itu?
Namun, sebelum malam jatuh seluruhnya, aku mempertaruhkan diri untuk menyapanya di kesepian itu. Dan beruntunglah aku ketika… “Aku boleh ke rumahmu, sekarang? Kita makan nasi goreng kalau kamu belum makan,” muncul pada kotak notifikasi. Dia menjelaskan kalau dia kesusahan mencari jaringan wifi hingga tidak bisa mengabariku.
Secepat kilat, tanpa pertimbangan, hanya 3 kata yang tertulis sebagai balasan: “Oke, aku tunggu.”
“Menurutmu, aneh nggak, ngobrol apa aja dengan orang yang baru kamu temui 2 hari lalu?” tanyaku setelah diam menggigit sejenak. “Enggak, malahan kita jadi lebih banyak tahu tentang satu sama lain dibanding orang lain. Hubungan kita jadi eksklusif karena itu,” jawabnya ringan sambil menatap mataku.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk merasakan lebih daripada itu. Ketika berhadapan dengan dia, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan. Mungkin, dia hanya butuh seseorang untuk menghangatkan bayang kosong di sampingnya. Mungkin, aku juga hanya sedang butuh ditemani saja. Tapi, why not? Mungkin, yang kami butuhkan hanyalah; suasana, teman bicara, selera makan yang sama.
And, maybe, we should try.
Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang lain membaca buku bucket list-ku secara langsung. Namun, dia yang begitu penasaran terus meminta untuk membacanya. “Aku ingin tahu semua keinginanmu,” mintanya. Tidak pernah ada orang yang se-excited itu untuk bertanya tentang keinginanku. Aku melihatnya menggenggam buku kecil itu lalu membacanya kalimat demi kalimat, dan dia… benar-benar ingin tahu dan terlibat. Sungguh, aku sangat menyukai binar di matanya malam itu.
Begitu saja—ya, begitu saja, se-simple itu bahagia tercipta. And I miss the comfort of being loved…
Saat sedang sama-sama membaca, tak sadar poni rambutku terjatuh menyapu dahi dan menghalangi mataku. Reflek, dia mengulurkan jari-jarinya untuk menyelipkan rambut yang terjatuh itu di balik telingaku. Dan pada saat kulit kami bersentuhan, aku merasakan hatiku berdesir. Ini kontak fisik pertama kami. Tapi, sentuhan ringan itu terasa jauh lebih privat dari semua yang telah kami bagi selama ini. Aku telah merasakan berbagai jenis sentuhan. tapi kenapa ya, kali ini, aku tidak mampu menguraikan makna dari sentuhannya?
Dia tidak segera menarik tangannya, tetapi membiarkan jari-jarinya sedikit lebih lama mengelus lembut rambutku. Dia tidak gugup, tidak juga melakukan lebih dari itu. Dia terlihat sedikit menginterpretasi. Sampai pada dia kembali ke posisi semula, aku baru sadar, selama itu aku menahan nafas dan dentuman jantung yang tak karuan. Entah tersipu atau gelisah.
"Why don't you kiss me?" Aku sedikit gemetaran mengirimkan pertanyaan ini. Sejujurnya, aku tidak ingin menanyakannya, karena aku tidak berhak merasakan memiliki dia; aku hanya boleh merasa ragu.
Setelah drama mengelus rambut itu, kukira akan terjadi skenario seperti di film-film roman yang kutonton. Mungkin akan ada sebuah kecupan kecil mendarat di pipiku, tapi dia tidak. Hingga dia berlalu pulang, hatiku tetap mengganjal sesuatu.
Dan, di batas malam itu, sungguh aku menunggu jawabannya.
Lama dia mengetik—menghapus; mengetik lagi—menghapus lagi. Entah narasi apa yang sedang dia siapkan untuk menjawab pertanyaan tidak berdasarku itu. Atau, ucapan itu terlalu blak-blakan untuk dipertanyakan?
"Actually, I want to kiss you so badly—it's killing me, but I'm just afraid to make the first move (?). Aku mau sayang kamu dan kiss you at the right time."
Semburat merah jambu muncul pada pipiku setelah membaca jawabannya. Baiklah, aku mengakui aku kalah, pada dia. Aku merindukan aroma woody blend pada tubuhnya. Aku mencari-cari pertanda demam pada tubuhku sendiri, sebab mendadak tubuhku menghangat di hari berhujan ini. Tapi, justru di saat itulah, aku merasa lebih sadar dan sehat dari sebelumnya.
"I have a bad news," tulisnya via DM Instagram pagi berikutnya. "Ada apa?" tanyaku panik.
Kepulangannya ke negaranya ternyata harus dipercepat dari yang sebelumnya bisa sebulan menjadi 2 minggu saja di sini. Aku terdiam, tidak dapat mendefinisikan gemuruh di dadaku yang kini bercampur dengan emosi dan kesedihan yang tidak mampu aku utarakan. Ada jeda yang menggigit hingga aku sadar aku harus memberikan respons.
"Wah, terpaksa mesti balik ya?" Hanya itu respons paling biasa yang bisa aku berikan—meski sejujurnya, dalam hatiku betapa aku tidak ingin dia kembali lagi ke sana; ke tempat di mana seharusnya dia berada. Betapa jika aku punya tombol tunda, lorong waktu, atau apa pun itu lah alatnya untuk menahannya pergi, maka akan aku bayar mahal deminya.
Mendadak, ini menjadi perpisahan paling sepi yang pernah kualami seumur hidupku. Dan waktu tiba-tiba terasa lebih cepat larut dari sebelumnya.
Kenapa, waktu kami, tidak pernah tepat, ya?
Oh ya, aku belum menceritakan dengan jelas sosok dia yang sedari tadi aku sebut-sebut, ya. Kenalkan, seorang laki-laki kelahiran bulan Maret, berzodiak Pisces, pecinta warna oranye, penyuka makanan Korea, smart, terpelajar, mampu membawa diri, komunikatif, percaya diri, tipe kesukaan mertua, loyal, senang mengobservasi, sweet, loveable, caranya bercerita, caranya meraih respek sungguh tidak ada tandingannya.
Dia menyapaku dari balik Instagram pada suatu malam yang sudah telat. Hey Cindy, nice to know you—begitu isi pesannya. Waktu itu, aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah perlu aku membalasnya atau tidak. Pikiranku terbelah antara mengabaikan saja atau murni memulai pertemanan. Dan aku memilih yang kedua.
Atau, sesungguhnya, sempat aku merasa, kalau hari itu aku melepaskannya, mungkin aku akan menyesal…
Dia bilang dia akan pulang ke Indonesia bulan depan. Perkenalan kami memang baru sebulan lewat media sosial, tapi mengapa kehadirannya memberikan isyarat optimisme, aku juga tidak paham. Aku menganggapnya sebagai tawaran untuk menginterupsi waktu. Dan, tanpa sadar, aku mulai menghitung hari.
"Kamu itu unik, gimana jelasinnya, ya? Aku hanya perlu lihat sekilas dari profilmu, lalu ya muncul aja koneksi emosional itu. Aku mau ketemu kamu. Aku mau tau apa makanan favoritmu. Aku mau kenal kamu lebih dekat, lebih jauh, lebih akrab. Aku suka caramu menulis jurnal, caramu merencanakan segala hal, caramu meromantisasi hidupmu. Aku…belum pernah ketemu orang seperti itu dalam hidupku."
Berikut jawabannya ketika aku bertanya kenapa aku yang dia pilih, di saat ada banyak perempuan lainnya yang lebih baik untuk dikenalinya—pertanyaan semacam itu membuatku sedikit resah. Tapi, sering kali aku merasa skeptis, mungkinkah perasaan semacam ini hanya ilusi yang akan luntur suatu saat nanti, hanya seperti dopping yang memabukkan sesaat. Seperti memesan kue cantik dari balik etalase, lalu menemukan rasanya tidak seenak yang dipikirkan. Dan, dia akan kecewa. Bukankah, pada satu titik, rasa penasaran itu akan berhenti dan menghilang, menyatu kembali dengan oksigen, dan membuatnya merasa utang moral, investasi tenaga, waktu, dan perasaannya selama ini jadi sia-sia?
Aku takut.
Tidak ada yang istimewa dari dia, pada awalnya, sekali lagi aku ingin mengonfirmasi. Tapi, setelah sedikit mengenalnya, ada sebagian hati kecilku yang ingin menyusulnya ke alam abstrak tempat di mana hanya nafas kami yang bisa bertemu. Mari kita piknik, melihat bintang, pergi ke aquarium, main ski, melipat origami, naik kuda… Namun, jika boleh aku memilih satu: aku ingin menyentuh spasi di antara kedua alis tebalnya, atau mencuri waktunya, atau menyita perhatiannya, atau memilinnya masuk ke sel-sel tubuhku agar terjamin keberadaannya selalu.
Dan, satu balasan "Hey, nice to know you as well!" dariku itu kemudian menjadi gerbang untuk sebuah perjalanan baru yang panjang.
"Menurutmu, kita bisa berteman saja, nggak?" tanyanya sedikit ragu. "Kurasa, kita nggak bisa cuma berteman. Kita sudah berpandangan penuh makna. Kita telah meyakini adanya potensi untuk bersama. Lalu, kalau kita cuma temenan, kita pasti akan berhenti ketemu sering-sering dan aku nggak akan bisa tau kabarmu lagi, aku nggak bisa melihatmu seperti dulu lagi," selagi menjawab ini, aku tiba-tiba merasa sedih. "Aku pasti sedih kalau kita pada akhirnya nggak jadi," gumamnya pelan. Mataku bersaput air. "Ya, aku juga."
Kami menghabiskan sisa malam berpelukan. Saling mendekatkan kepala masing-masing seolah ingin mentransfer segala yang tengah dipikirkan. Deru napasnya bergerak lembut dan terasa hangat. Aku tidak ingin menyia-nyiakan hari ini, biarkan aku memeluknya lebih erat, karena setelah ini, sebentar lagi, semua tidak akan lagi bersisa.
Berapa jam lagi, hari akan berganti? Aku tidak ingin menghitungnya.
Aku tidak pernah merasa memilikinya.
Aku sudah memiliki kenangan mengenai pertemuan pertama di bandara, sebuah malam di tepi sungai sambil menyantap jajanan hangat, dua tiket film horor yang membuatku bergidik namun di dekapannya aku merasa lebih aman dari kepompong mana pun, atau percakapan dan hening yang terbagi pada setiap kedai kopi yang kami kunjungi. Itu saja telah cukup—
aku belajar untuk tidak mengharapkan lebih.
I will miss you. See you there. Let's meet again for the first time. I'll be waiting for you—kalimat pendek itu terdengar samar namun tertangkap jelas di pendengaranku, bagaimana satu laki-laki akan meninggalkanku lagi, seperti yang sudah-sudah.
Hanya saja, kali ini, tolong Tuhan, dia berbeda.
Jangan pergi—dua kata itu tertahan di lidahku. Dan, aku hanya sanggup menangis, hingga dia kebingungan, namun dia tetap memberiku ruang untuk mengumbar semua kesedihan.
Besok, dia akan kembali, menjalani perannya seperti sedia kala, karena itu adalah hal yang paling tepat. "Andai saja, aku ketemu kamu dari lama," gumamnya sambil menenangkanku. Maka semakin menjadi-jadilah tangisanku, sebab bentuk cinta yang boleh kumiliki saat ini hanyalah melepaskan dia.
"Kalau…kamu pergi…itu tandanya…aku kehilangan…kamu…iya kan? Terus…kenapa kamu harus…datang…kalau pada akhirnya…kamu pergi…juga?" Dengan sekuat tenaga, aku mengatakan kalimat ini meski harus sesunggukan. Pelukannya yang sedari tadi melingkupi sekujur tubuhku mengendur seketika. Maka bangkitlah ia, meraih wajahku yang kusut dengan air mata dan keringat, menatapku lama, menghapus sedikit demi sedikit air terjun dari mataku.
Pikiranku kembali ke perkataannya waktu itu—aku mau sayang kamu dan aku akan melakukannya di waktu yang tepat. Then, the "right time" was right now.
Dan, di bawah hujan malam itu, di balik tirai yang menyemburatkan lampu jalanan itu, dengan lagu Hati-hati di Jalan yang diputar di belakang itu,
…we kissed.
Semua berlalu seperti biasa.
Dia sudah kembali ke negaranya. Sementara, aku, kembali melanjutkan hidup seperti sebelum ada dia. Ah, aku pasti hanya butuh sedikit lebih banyak waktu untuk terbiasa saja.
Namun, seandainya, dia tahu—dia berutang padaku satu hal; satu kepastian bahwa dia akan tetap baik-baik saja di sana. Dan, aku—meskipun dia ragu untuk memintaku menunggunya—berani menjamin akan tetap ada di sini, menunggunya kembali dengan perasaan yang sama dan sebuah senyuman.
Begitu saja.
Malam itu, malam dimana aku menangis untuk pertama kalinya di hadapan dia, sesungguhnya aku ingin bertanya—yang mana yang lebih baik baginya; pernah bertemu lalu berpisah atau tidak pernah bertemu sama sekali? Karena, aku, tak pernah tahu apa jawabannya.
28 notes · View notes
notrestraat · 1 month ago
Text
Mile High Club
Tags: Boypussy joshua hong, Public display affection, public hand and blow job, public fingering, male lactating, almost getting caught, canon divergence
Tumblr media
Perjalanan panjang di udara dengan memakan waktu 13 jam di udara telah tiba. Mengejar penerbangan paling pagi untuk tiba di Chicago agak awal sebelum memulai konser tur negara. Sebelumnya di bandara sudah melewati gerombolan wartawan dan fans yang menyambut sekaligus meliput berita keberangkatan grup Seventeen akan terbang ke Amerika Serikat. Menyapa para wartaman sambil menampilkan wajah senyuman manis.
Akhirnya sampai juga mereka menginjakan kaki di dalam pesawat first class. Semua member sudah duduk bangku nya masing-masing dengan siapa dan siapa. Manager, crew dan staf yang lain sudah duduk juga bangku nya masing-masing. Pamitan bersama Jun dan Jeonghan sebelum berangkat karena pasti akan merindukan mereka. Kebetulan juga Jun akan terbang ke China untuk melakukan jadwal individu nya jadi sekalian saja pamitan lewat video call.
Seungcheol sudah duduk di bangku nya dekat jendela, sudah pasang headphone nya sambil scrolling di di handphone nya. Joshua baru saja duduk di bangku, oh ternyata sebelahan sama Seungcheol, ada bangku kosong di sana. Ia langsung pasang seatbelt dan duduk di posisi nyaman.
"Sayang, foto bareng yuk. Yang shipperin kita pasti bakalan seneng banget." Kata Joshua lagi buka kamera di handphone nya sambil atur rambut dan gaya. Seungcheol yang dipanggil langsung noleh ke Joshua, ikut pose sambil rapihin rambut.
Click!
Click!
Click!
Tiga foto bagus semua tapi ada 1 foto yang paling bagus dan mesra, Seungcheol cium bibir Joshua yang lagi senyum manis. Keduanya ketawa bareng. "Kalau di upload langsung bikin geger satu Caratland." Kata Joshua. Seungcheol cuma ngelus kepala Joshua, dia sayang banget sama Joshua, sayang banget pacaran mereka backstreet, hanya member yang mengetahui. Kalau bisa pun sepertinya sudah terpublish sejak lama. Terlalu lama melamun, tau-tau pesawat sudah berjalan perlahan mengelilingi landasan sebelum take off. Ah, perjalanan yang panjang.
Tumblr media
Bosan sekali rasanya Joshua duduk berlama-lama seperti ini. Ia sudah bangun dari tidurnya, bagian pembatas antara bangku dirinya dan Seungcheol sudah diturunin sedikit, bagian kanan untuk keduanya keluar dari bangku sudah ditutup sedari tadi. Sekeliling Joshua sudah sibuk dengan dunia nya masing-masing, seperti: tidur, baca buku, makan snack, menonton film, dan seperti bangku kanan mereka yang terdengar erangan pelan. Joshua juga pingin.
Joshua ngelirik Seungcheol yang sudah bangun dari tidurnya, sekarang lagu milih film genre romance buat ia tonton. Joshua senderin kepalanya di dekat pembatas sambil genggam tangan Seungcheol.
"Aku cari iseng aja film ini, katanya seru, judulnya Me Before You. Pernah nonton, sayang?" Kata Seungcheol sambil ngelirik Joshua, ia kecup kening nya. Yang kening nya dikecup cuma senyum salah tingkah.
"Belum pernah nonton. Aku ikut kamu nonton saja, sayangku."
Keduanya nonton film genre romantis di atas udara sambil. Joshua sengaja tidak menyalan film yang sama di tv nya, ia cuma mau nonton bersama Seungcheol saja kayak gini udah sudah cukup.
Hanya Seungcheol aja yang berlarut ke dalam film sangat fokus sampai tidak sadar kalau tangan keduanya sudah tidak bergengaman. Tangan Joshua saja sudah naruh di atas gundukan celana Seungcheol. Perlahan tangan Joshua ngelus kontol Seungcheol yang belum menegang, hanya ngecetak saja dari celana nya karena, ya.. kontol Seungcheol besar. Joshua seneng begitu tangannya lagi ngelus-ngelus batang kontol Seungcheol dari luar celana tiba-tiba menjadi tegang perlahan-lahan dan mengeras. Dia ngelirik ke Seungcheol, Seungcheol cuma naikin satu alis nya. "Boleh?" Tanya Joshua yang semestinya nggak usah nanya karena udah tahu jawabannya. Iseng saja nanya. Jawaban Seungcheol cuma ngelus kepala Joshua. "Boleh, sayangku."
Langsung tanpa banyak babibu, Joshua masuk tangannya ke dalam celana Seungcheol yang mudah buat dia masukin tangannya, apalagi bahannya nyaman juga. Tangan Joshua udah masuk ke dalam boxer hitam Seungcheol, ia lagi ngelus batang kontol yang sudah tegang. Jari-jarinya bikin garis sambil ngikutin urat-urat yang menonjol sedikit. Ujung jari Joshua ngelus lubang kontol Seungcheol sambil ngusap palkonnya. Jarinya udah melingkar di batang perkasa itu, perlahan dia kocok dari dalam celana, nggak lupa buat di remas-remas juga bola kembar itu. Seungcheol nyandarin kepala nya di sandaran begitu sudah diganti posisi bangku nya menjadi setengah bersandar. Ia memejamkan matanya sambil gigit bibir bawahnya, nahan desahannya. Seungcheol juga nggak sabaran jadi ia nurunin celana nya biar mudahin Joshua ngocok kontol keker nya.
"Hmmmhh.." erangan Seungcheol tertahan karena kocokan Joshua tuh enak banget. Ia tahu tempo, gerakan, sama cara ngenakin yang bener dan nggak asal-asalan. Joshua pengen Seungcheol ngerasain enak sampai keluar banyak karena dikocokin doang kontolnya. Belum lagi dari palkon, lubang kencing, batang sama bola kembar udah Joshua enakin. Precum yang keluar netesin perlahan ngebuat pelumas alami ngemudahin ngocokin Seungcheol. Joshua ngebisikin, "Enak, sayangku? Hmm?". Sinting. Seungcheol ngelepas earphone di telinga nya. Telapak tangannya sudah mengepal, kepalanya juga bersandar di sisi jendela, matanya melihat ke hamparan awan putih sambil nikmatin kontolnya lag dienakin sama Joshua.
Sebentar lagi Seungcheol akan memuntahkan semua peju nya tapi ia tidak ingin mengotori celana dan bangku nya. Jadi ia lepasin tangan Joshua dan ngebisikin. "Pake mulut kamu. Cepet." Joshua langsung nurut, ia lepasin tangannya yang lagi ngocok kontol Seungcheol, ia lepas seatbelt nya dan merangkak ke bawah tepat di hadapan kontol Seungcheol. Berharap kalau nggak ada yang ngelihat perbuatan jorok mereka. Tanpa lama-lama langsung Joshua ngeraup kontol perkasa Seungcheol pakai mulutnya karena udah mengacung tinggi, sudah ngaceng.
Seungcheol tutup mulutnya dengan kepalan tangannya tadi, tangan satunya lagi nahan kepala Joshua. Mulut hangat Joshua udah jadi tempat kontol besarnya Seungcheol diam di sana sambil dilumat, dijilatin. Kepalanya Joshua naik turun lagi ngenakin kontol Seungcheol. Wajah Joshua dielus sama Seungcheol, jempol nya ngelus pipi Joshua yang lagi dikempotin buat nyepongin dalem. Puncaknya semakin dekat dan akhirnya keluar di dalam mulut Joshua. Leher Joshua naik turun berusaha nelen semua peju Seungcheol. Perlahan Joshua lepasin kontol keker yang ada di mulutnya, dia kecup ujungnya terus ia usap bibir nya pakai punggung tangannya. Joshua buka mulutnya, nunjukin kalau semua peju Seungcheol udah ditelen.
"Pinter, sayangku." Ucap Seugcheol sambil ngedeketin ke Joshua dan kecup bibirnya. Ia buru-buru nyuruh Joshua duduk di bangku nya lagi dan pakai kembali seatbelt nya. Seungcheol pun buru-buru benerin kembali celana nya dan posisi nya. Karena ia mendengar suara langkah kaki seorang pramugari.
Keduanya hanya senyum-senyum saja. Kini sekarang gimana caranya biar Joshua duduk tenang tanpa ngerasain memek nya basah karena abis nyepongin Seungcheol. Pramugari tadi sudah tidak lewat kembali.
Seungcheol ngedeketin Joshua yang sudah berbaring kembali di bangku nya, pembatas mereka sudah turun, Seungcheol pakai buat ngedeketin ke Joshua. Keduanya ciuman agak sedikit tergesa-gesa, tangan Joshua ngalung di leher Seungcheol sambil ngelus kepala dan neken Seungcheol buat memperdalam ciuman mereka. Perlahan ciuman Seungcheol turun sampai ke dagu dan leher Joshua, ia cium dada Joshua sampai ke ujung tank top putih yang menghalangi dada besar itu. Seungcheol tarik sampai ke atas. Mulutnya mulai ngecup pentil Joshua, ia jilat-jilat kecil sesekali gigit kecil pentil Joshua sambil tangannya masuk ke dalam celana Joshua. Ia masuk ke dalam celana dalam Joshua yang berbahan satin dan seamless. Jari gemuk Seungcheol perlahan ngelus belahan memek Joshua naik dan turun, tepat di bagian clit nya digesekin sama ujung jarinya dan ditekan-tekan. Joshua yang ngerasain badannya dienakin langsung bergerak mengeliat keenakan.
"Cepet, Seungcheol, nanti ketahuan." Ucap Joshua di telinga Seungcheol. Seungcheol lagi sibuk ngenakin Joshua, terlebih lagi di bagian dada karena sangat empuk, kenyal dan besar, enak buat Seungcheol mainin sambil dia hisap-hisap. Seungcheol cuma bergumam aja karena nggak mau lepas mulutnya. Ia sudahi kegiatan nenen nya. Ia tegakin badannya dan mulai ngelus memek Joshua, ia buka lipatan memek nya, lubang memek Joshua terasa basah dan berlendir yang udah nandain kalau Joshua sudah sange. Perlahan ngemasukin 2 jari ke dalam memek Joshua, ngelewati mulut bagian vagina, otot-otot memek Joshua ngempotin begitu jari Seungcheol masuk. Lagi dorongan pelan-pelan sampai dua jari Seungcheol masuk ke dalam, sampai ujung jarinya nyentuh titik yang bisa dibuka bagian dalam memek Joshua. Cengkraman di bahu Seungcheol agak kencang karena 3 jari gemuk Seungcheol sudah masuk di dalam memek Joshua. Mentok sekali.
"Hngghh.." desahan Joshua sangat halus didengar oleh Seungcheol di telinga nya. Baru saja mau Seungcheol gerakin tapi dengar lagi suara langkah kaki. Joshua dan Seungcheol saling tatap-tatapan. Mata keduanya menunjukan sedikit panik, terlihat dari pupilnya. Seungcheol agak mundur dari atas badan Joshua dan pura-pura nunduk sambil nutupin tangannya yang lagi masuk ke dalam memek Joshua. Tank top Joshua sudah diturunkan kembali.
Pramugari datang membawa troli kosong yang sepertinya akan jam makan malam nanti. Pramugari nya melewati bangku Joshua dan Seungcheol yang lagi sibuk sendiri. "Kemana ya tadi tempat airpods nya. Shua, liat gak?" Pura-pura Seungcheol mencari airpods nya di dekat Joshua, yang Joshua bangun dengan setengah duduk dan bantu mencari di bangku Seungcheol. "Kedudukan mungkin. Ini yang aku aja pakai." Kata Joshua ikut berpura-pura. Pramugari hanya melewati mereka tanpa curiga sama sekali. Sedangkan Joshua dsna Seungcheol sudah sangat deg-degan, jantung berdetak kencang. Kalau pakai jam tangan digital yang mendeteksi detak jantung nanti akan merekam bahwa heart rate mereka tinggi. Di rasa sudah aman, mereka menghela nafas. Jujur, dengan kondisi seperti yang siapa saja bisa mergokin mereka, bikin keduanya bersemangat. Buktinya sekarang memek Joshua udah kedutan di dalam nya, lagi ngempotin jari Seungcheol.
Nggak berlama-lama lagi langsung saja 3 jari gemuk Seungcheol ngocokin memek Joshua dengan tempo pelan dan dalam. Sesekali ia tusuk-tusuk memek nya. Joshua nggak bisa diam apalagi kaki nya agak ngangkang sedikit dan celana nya hanya diturunkan sedikit, agak tidak nyaman tapi bagaimana lagi ini sudah ditutupin nafsu. Joshua cuma merem-melek sambil ngecengkram bahu Seungcheol, nahan desahannya sambil gigit bibirnya. Memeknya makin menggila dienakin sama Seungcheol pakai jari-jari tebal nya. Belum lagi bagian ujung ditusuk-tusuk bikin keenakan begitu titik terdalam nya dikenain jari Seungcheol.
Joshua nggak ngasih tahu kalau mau keluar, tahu-tahu badanna bergetar dan meluk Seungcheol, senderin kepala nya di bahu Seungcheol lagi tetep nyolok-nyolok memek nya pakai jari nya. Cairan memek nya rembes dan netes ke celana dalamnya. Dirasa sudah banyak keluar, Seungcheol ngelepasin jarinya dan langsung bantuin Joshua pakai kembali celana nya. 3 jari yang sehabis ngocok memek Joshua ia masukin ke jari nya, ia jilat di hadapan Joshua. Seungcheol sudah tidak mengukung badan Joshua lagi dan sudah ke posisi semula, setengah berbaring. Joshua hanya tertawa kecil begitu kegiatan keduanya sungguh di luar dugaan.
"Lagi ya nanti waktu pulang." Kata Joshua. Seungcheol ikut tertawa mendengarnya. "Sampai diturunin di bandara terdekat."
"Udah gila kalian." Bukan Joshua apalagi Seungcheol yang ngomong. Itu Woozi yang di belakang bangku Joshua dan Seungcheol yang sudah merhatiin kegiatan aneh yang dilakuin dua orang sange di depan nya. Seungcheol sama Joshua cuma ketawa saja dengar ucapan Woozi. Memang betul sudah gila.
8 notes · View notes
arwasimiya · 2 months ago
Text
Lembut Penghuninya
Tumblr media
Berdecak kagum kami, saat keluar dari perumahan, "Tadi beneran semuanya manusia, ya?"
Sedang berusaha merakit ulang kebiasaan lama yang karam, tak apa perlahan. Mendayung niat-niat agar kebaikan ini terus berlayar sampai tepian.
Sudah sampai mana perjalanan kita mencintai Al-Qur'an?
Pertemuan kedua, Kajian Ta'shil Ilmu Fikih di Masjid Al-Hidayah. Langkah baru untuk mulai belajar pada tatap muka majelis ilmu. Semakin merasa bodoh, semakin merasa jauh, semakin merasa hilang, habis untuk apa waktu hidup selama ini?
Banyak sekali yang belum kamu pelajari.
Ba'da maghrib memulai tasmi' perdana kami di kota rantau. Suasana hening setelah jama'ah akhwat pulang dan tersisa kami di sini. Juz 27 yang tertunda sepekan lalu. Tepat selesai saat adzan isya' berkumandang.
Jama'ah akhwat hanya 3 orang, kami dan satu orang warga mungkin. Setelah selesai sholat isya', susana jadi lebih ramai dan kami menduga akan ada halaqah di sini. Butuh keputusan cepat untuk bertahan atau pulang. Lalu kami bertahan, melanjutkan tasmi' yang belum selesai. Lebih baik diusir dengan kejelasan daripada kehilangan kesempatan hanya berdasar dugaan.
Juz 29 kemudian de javu seolah pernah melewati momen yang hampir sama. Semakin ramai, suara saklar beradu, dingin AC berganti dengan kipas angin yang dinyalakan. Takut-takut kalau lampu dimatikan. Menyelesaikan Al-Qalam kemudian bergegas, sudah saatnya pulang. Mungkin kode? tapi sepertinya tidak. Orang-orang di sini sudah dewasa, bukan anak kecil yang tidak bisa mengomunikasikan sesuatu dengan bertanya.
"Mau dipesenin grab?" Salah seorang panitia kajian bertanya. Memastikan keadaan kami tetap aman. Kalau ada kendala pulang sampaikan saja agar bisa dibantu.
"Atau mau di sini dulu? kalian muroja'ah kan?" Sedikit kaget dan bersyukur tak perlu menjelaskan alasan kami tetap di masjid. "Gapapa?"
"Gapapa, soalnya tempat akhwat kan cuma di sini (sebagian bawah), kalo kita fleksibel bisa pindah ke atas."
"Yaudah izin ya, ustadz, kita pake dulu ga lama kok"
Alhamdulillah, tenang akhirnya kami kembali masuk ke bilik akhwat di dalam masjid. Bersiap melanjutkan tasmi' saat ada tangan menjulur di tirai pembatas dengan dua botol air mineral, "Ini ustadzah, ada air minum, kan muroja'ah nanti haus."
Speechless.
Tentu saja kami tak bisa menahan senyuman. Sampai sini saja, kami tahu akhlak seseorang yang dekat dengan Al-Qur'an dan ilmu akan mudah sekali tercermin dalam sikapnya. Meneduhkan. Indah sekali, hidup dengan ilmu.
Lantunan Al-Haqqah memenuhi ruangan, suaranya tidak lagi tertahan. Sampai akhirnya selesai dan kami akan pulang. Sudah terlalu larut di sini.
Ragu meninggalkan ruangan dengan kipas angin dan lampu menyala, sedangkan tak ada orang lain di dalamnya. Takut salah-salah kalau nekat mencari sendiri saklarnya. Saat melangkah keluar gerbang pun seperti tertahan dan berpikir untuk kembali.
Akhirnya kami tetap pulang dengan harap bertemu salah satu penghuni komplek. Sampai di gerbang belakang, untungnya kami bertemu satpam dan bapak yang kami lihat tadi berada di masjid.
"Pak, tadi kita pakai ruangan bawah, sekarang sudah selesai tapi kipas dan lampunya masih menyala."
"Ohh iya iya." "Makasih, ya, pak!" Beliau berjalan menuju masjid yang kami maksud.
Saat hendak keluar kami baru menyadari bahwa gerbang sudah terkunci. Pak satpam dengan sigap bertanya, "Nanti balik lagi ga?" "Engga, pak" Sambil berjalan menuju gerbang.
"Makasih, pak." "Maaf, ya, pak."
"Iya, gapapa." Wah, ketakutanku luruh seketika. Tegasnya tadi saat bertanya memang sedikit mengerikan.
Berdecak kagum kami, saat keluar dari perumahan, "Tadi beneran semuanya manusia, ya?"
Lembut penghuninya membekas hingga hari ini, lalu kapanpun. Lembut penghuninya nyata menyadarkan kami, lingkungan baik seperti ini yang akan selalu diusahakan. Lembut penghuninya membawa kami pada pikiran masing-masing, serangkaian menit malam yang teduh dan tenang.
Keberkahan Al-Qur'an mungkin jadi salah satu penerangnya.
—Masjid Al-Hidayah Villa Pejaten Mas; @saniyyaaa
(( Wiraguna // Selasa, 24 September 2024 ))
9 notes · View notes
salingsapa · 6 months ago
Text
Bahagia
Mungkin sering terpaan story-story bahagia di berbagai sosial media kita jadikan kaca pembatas bagi diri kita. Betapa bahagianya mereka, berapa sengsaranya diriku. Seakan tak cukup atap yang melindungi dari terik dan dingin. Seakan tak cukup perut yang selalu terpenuhi. Seakan tak cukup dengan keadaan yang aman, jauh dari darah dan dentuman bom.
Ini terjadi pada diriku. Sering sekali. Begitupun perasaan sumpek yang datang ketika mata melahap senyum sumringah tentang semua pencapaian dan kebahagiaan kalian-kalian.
"Kapan aku bahagia?" tanyaku pada diriku. Mungkin nanti, ketika saya sudah mampu bersyukur pada apa yang ada. Ketika saya sudah mampu menyukuri setitik iman yang masih bertahan ketika aku tenggelam dalam dosa. Ketika aku sudah bisa selalu berpasangka baik pada Tuhan. Mungkin pada saat itu aku akan bahagia. Mungkin.
8 notes · View notes
kphpdraisme · 2 months ago
Text
Tenang
Hari ini, aku dan air, mengarungi pengalaman baru.
Untuk pertama kalinya aku berhasil sepuluh kali putaran, tanpa membuka mata. dengan ribut kepala menenangkan riuh panik. kelam, tanpa tahu kapan akan sampai tujuan. memacu kaki dan tanganku dengan berani, mengarungi degup. mati-matian menelan takut, dimakan hiu.
Sudah bertahun-tahun bersama air, aku masih saja takut dimakan hiu di kolam renang. aku masih saja takut tak sampai tujuan. bahkan pun setelah terukur jauhnya dinding sebelum menyelam.
Menarik ya, baru di berenang saja, aku sudah penuh ketakutan. aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri. aku mati-matian melawan hiu di kepalaku sendiri. padahal, hanya berenang.
ah, insaan. wa laa tamsyii fiil ardhi marohaa, huh?
Tumblr media
Aku juga baru sadar tadi, ketika berenang kepalaku kosong. sekali. alhamdulillah.
Lagi lagi, terimakasih adik kecil imut solehah @arwasimiya sudah mengenalkanku kembali pada dunia ini. Padahal kemarin aku sempat vakum sekian tahun karena sangsi pada air-airnya.
--------
Ayo berenang!
Setiap ditanya dari dahulu apa candu paling dirasa ketika bersama air, ialah dipaksa belajar tenang.
Tanpa tenang, sulit.
Kakimu bisa tiba-tiba keram. Hidungmu akan sangat sering dimasuki air. Paru-parumu kadang akan memberat tak terkira, terkhusus bila nafas sudah habis sedangkan dinding pembatas belum tercapai. Apalagi, ketika tersedak saat mengambil nafas, atau kacamata renang yang bocor airnya, atau bayangan hiu yang tiba-tiba muncul di pelupuk bila air sedang kelam-kelamnya.
Semua hal itu, hilang hanya dengan, tenang.
Dan rasakan airnya mengalir keluar dari hidungmu. Juga tegang kaki yang perlahan kembali normal. Udara yang mulai menemukan temponya sendiri.
Tenanglah, rasakan semuanya, perlahan.
Kamu selalu ditolong, kamu tak akan tenggelam. tenanglah.
6 notes · View notes
jakartahariinii · 6 days ago
Text
Tumblr media
Jeda diantara keramaian.
CW: Smoking, kissing (with a stranger)
Dengung musik memenuhi lapangan, disertai sorotan lampu dan sorak sorai lautan manusia. Senyum merekah, tawa menggema, dan wajah-wajah bahagia menggantikan rasa penat setelah seminggu dikejar setan—maksudnya, pekerjaan.
Aku pun menjadi salah satu dari mereka, ikut bernyanyi meski tidak seheboh teman-temanku. Setelah cukup lama berkerumun, aku memutuskan mundur ketika mendapat izin dari temanku; terlalu sesak rasanya.
Aku mundur sampai ke pembatas ujung, bergabung dengan orang-orang yang tampaknya sudah mulai lelah berteriak dan menari di tengah kerumunan. Aku merogoh kantong, mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api.
Sudah lama aku tidak menghisap nikotin, pikirku. Sekali-kali tidak masalah, 'kan?
Aku menyalakan rokok dengan gerakan yang sudah lama tidak kulakukan. Asap tipis pertama mengepul saat ujungnya membara, membentuk garis halus yang meliuk di udara malam yang hangat. Kurasakan sensasi nikotin yang perlahan menjalar ke dalam, menenangkan kegelisahan yang sempat tertinggal.
Aku menyandarkan punggung ke pembatas, membiarkan paru-paru terisi penuh sebelum melepaskan napas perlahan. Asap keluar membentuk pusaran kecil, menghilang seiring hembusan angin. Di sekelilingku, wajah-wajah lelah tetap memancarkan senyum samar, beberapa menoleh ke panggung, yang lain sekadar menikmati jeda mereka sendiri.
Sesekali, ujung rokok berpendar merah dalam kegelapan, kontras dengan gemerlap lampu panggung. Di momen itu, segala kebisingan terasa lebih jauh, dan aku, meski hanya sebentar, merasa seolah dunia melambat.
Di sela-sela dentuman musik yang masih menggema, aku menikmati momen sendiriku, ditemani asap tipis yang semakin menipis di udara. Dari sudut mataku, kulihat seorang perempuan berjalan mendekat. Rambutnya pirang, tergerai sedikit berantakan karena angin malam, memberikan kontras mencolok di bawah pancaran cahaya lampu. Wajahnya memancarkan kelelahan yang sama, namun dengan sorot mata yang tetap hidup.
“Hai, boleh pinjam koreknya?” tanyanya dengan senyum setengah mengulas di bibirnya.
Aku menoleh, sedikit terkejut namun segera menyadari situasi. Kugeser korek dari tanganku yang terjepit di antara jari-jari, memberikannya padanya. Jemarinya menyentuh sekilas saat ia mengambil korek, dingin dan sedikit gemetar karena udara malam.
“Terima kasih,” ucapnya, lalu dengan gerakan cekatan menyalakan rokoknya. Api kecil itu memantulkan sinar di matanya, menambah kedalaman pada ekspresi yang sudah cukup menarik perhatian. Aku hanya mengangguk, mengambil satu hisapan lagi sambil memerhatikan sosoknya yang ikut menyandarkan diri di pembatas, mengembuskan asap ke langit gelap yang penuh sorotan lampu panggung.
“Aku butuh momen keluar dari keramaian,” katanya tanpa menoleh, seolah membaca pikiranku.
“Ya, di sini lebih tenang,” jawabku pendek, membiarkan suasana berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Kami berdiri dalam keheningan yang nyaman, diiringi suara gemuruh musik yang terasa seperti latar belakang jauh. Dia mengembuskan asap terakhir dari hisapannya, memiringkan kepala sedikit ke arahku.
“Sering datang ke acara seperti ini?” tanyanya, nada suaranya ringan, seakan pertanyaan itu hanya pembuka, bukan sesuatu yang penting.
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Jarang. Biasanya sibuk dengan kerjaan. Kamu?”
Dia terkekeh, suara tawanya terdengar seperti kilasan cahaya di antara riuh suara malam. “Sama. Ini pertama kalinya aku memutuskan ikut teman. Biasanya... ya, terlalu sibuk juga.”
Sekilas tatapan kami bertemu, dan ada sesuatu dalam pandangan itu—entah rasa kelelahan yang sama, atau hanya pengakuan diam-diam bahwa dua orang asing bisa berbagi sejenak keheningan tanpa perlu memaksakan percakapan. Dia memalingkan pandangannya ke arah kerumunan, matanya memantulkan kilatan lampu neon yang menari-nari di atas panggung.
“Kadang rasanya hidup terlalu cepat, ya?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup keras hingga aku bisa mendengarnya.
“Ya, kadang kita perlu jeda,” jawabku, menghisap rokok terakhir sebelum membuang puntungnya, menghancurkannya dengan tumit.
Dia tersenyum samar, lalu mengembalikan korekku. “Makasih, aku butuh momen ini,” katanya, suaranya lebih pelan, lebih tulus.
“Sama-sama,” balasku, menerima korek dengan satu anggukan kecil.
Setelah sejenak terdiam, dia menghela napas panjang dan menoleh ke arahku, mata birunya memancarkan ketenangan yang jarang terlihat di tengah kerumunan. Dia menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga, sedikit ragu sebelum berbicara lagi.
“By the way, namaku Nirmala,” ujarnya sambil mengulurkan tangan, ekspresi wajahnya berubah lebih hangat.
Aku tersenyum, menerima uluran tangannya yang terasa dingin namun lembut. “Aku Peter,” jawabku, mengenalkan diri dengan sedikit anggukan.
Nirmala mengangguk kecil, bibirnya mengulas senyum yang lebih lebar. “Senang bisa bertemu di tengah keramaian begini, Peter.”
“Ya, jarang-jarang ada yang benar-benar memperhatikan orang lain di acara seperti ini,” balasku, mencoba mencairkan suasana.
Nirmala tertawa kecil, suaranya terdengar lebih jernih kali ini. “Mungkin karena kita sama-sama butuh napas sejenak.”
Kami terdiam sejenak, membiarkan keheningan di antara kami diisi oleh dentuman musik yang tetap menghentak di depan. Meski baru saja bertemu, ada sesuatu yang terasa nyaman, seolah pertemuan ini adalah momen yang memang harus terjadi di tengah hiruk-pikuk malam itu.
Obrolan kecil yang seharusnya terasa canggung justru terasa alami di antara kami. Nirmala bersandar lebih santai pada pembatas, memutar-mutar rokok di antara jemarinya.
“Jadi, apa yang kamu lakukan di luar kerjaan yang bikin sibuk itu?” tanyanya, sorot matanya mengarah padaku, seakan ingin tahu lebih dari sekadar jawaban umum.
Aku menghela napas, mengangkat bahu kecil. “Tidak banyak. Biasanya membaca, kadang menulis kalau sedang ada ide. Musik juga... semacam pelarian.”
Nirmala mengangguk pelan, senyum simpul di wajahnya. “Aku suka menulis juga. Tapi lebih ke jurnal, catatan sehari-hari yang... entah, membantu meredakan pikiran,” ungkapnya.
Mendengar itu, ada rasa akrab yang mulai terjalin. “Jadi, penulis jurnal yang juga pengamat konser?” candaku, membuatnya tertawa ringan.
“Begitulah kira-kira,” sahutnya dengan mata berbinar. Ia mengembuskan asap terakhir sebelum mematikan puntung rokok di aspal. “Kadang aku datang ke sini untuk menemukan cerita baru. Ada banyak yang tak terlihat di balik keramaian ini, kalau kamu tahu di mana mencarinya.”
Aku tersenyum, menyadari bahwa percakapan ini sudah lebih dalam daripada basa-basi biasa. “Mungkin kita bisa berbagi cerita suatu hari,” kataku tanpa sadar, merasakan dorongan keberanian yang jarang muncul.
Nirmala memandangku, sedikit terkejut tapi kemudian mengangguk. “Mungkin. Kedengarannya menarik, Peter.”
Sebelum aku sempat menanggapi lebih jauh, sorakan keras dari kerumunan menandakan bahwa lagu baru yang populer baru saja dimainkan. Nirmala menoleh, senyumnya semakin lebar. “Sepertinya aku harus kembali ke teman-temanku. Tapi... sampai ketemu lagi?”
Aku mengangguk, mataku mengikuti saat dia berjalan menjauh, kembali menyatu dengan lautan manusia. Korek di tanganku terasa lebih ringan, seolah meninggalkan kesan momen singkat namun tak terlupakan.
Malam semakin larut, dan kelelahan mulai terasa lebih nyata saat suara gemuruh musik perlahan mereda. Orang-orang di sekeliling kami mulai berkurang, sebagian besar sudah pulang atau duduk kelelahan di sudut-sudut lapangan. Aku melihat Nirmala berdiri di tepi panggung, memandang ke arah lampu-lampu yang mulai redup. Pandangan kami bertemu, dan tanpa kata, ia mendekat.
“Aku hampir pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal,” katanya dengan senyum menggoda.
“Aku kira kamu sudah hilang di kerumunan,” balasku, mencoba terdengar santai meski jantungku berdetak lebih cepat.
Hening beberapa saat, hanya diisi oleh embusan angin malam yang sejuk. Nirmala mendekat, menatapku dengan mata yang memancarkan rasa penasaran dan keberanian. Tanpa berkata-kata, jarak di antara kami semakin tipis, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang tak karuan.
“Bolehkah?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suasana malam.
Aku hanya menjawab dengan mengangguk samar, dan sekejap kemudian bibir kami bertemu dalam ciuman lembut. Awalnya penuh kehati-hatian, namun perlahan, ciuman itu semakin dalam, seperti mengukir momen yang akan teringat dalam waktu lama.
Saat kami saling melepaskan, Nirmala tersenyum, pipinya memerah samar meski dalam remang-remang lampu. “Sampai jumpa di cerita berikutnya, Peter,” bisiknya, sebelum kembali berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan aku yang masih tersenyum sendiri.
2 notes · View notes
pergimelaut · 3 months ago
Text
Tentang Serangan Cemas dan Keinginan Kehilangan (& Kala Semua Itu Terulang.)
(Prior notice: Triggered anxiety)
.
Aku selalu tahu kalau gejala gangguan kesehatan mental bisa berbeda bagi setiap orang. Aku selalu tahu itu. Aku tumbuh---terima kasih, kehidupan kuliah---di lingkungan yang mau terus-menerus belajar, memperbarui pengetahuan, dan mengasah pemahaman dan pengertian tentang kesehatan mental. Kamu nggak perlu menangis/berteriak, untuk memberi tahu orang bahwa kamu butuh pertolongan. Tapi, ya, sampai kamu sendiri yang meminta tolong dengan tegas, kamu hanya bisa berharap ada seseorang yang mengerti gejalamu. Berharap, seseorang bisa membaca bahwa kamu lebih berjarak, atau bahkan malah lebih ceria daripada biasanya. Tapi, yang lupa aku tahu adalah, nggak semua orang tahu ini. Salah satunya adalah seseorang yang kusayangi.
Pada suatu malam yang melelahkan (dan dengan kondisi lapar), kunci motorku hilang. Aku dan seseorang hendak pergi dari satu tempat ke tempat berikutnya untuk makan. Dengan seluruh kecemasan dalam diriku, aku berkata kepadanya setelah ia turun dari motornya, "Kamu tunggu di sini. Aku akan mencarinya sendiri." Tapi aku nggak ingin ia menunggu di sini. Aku nggak ingin mencarinya tanpa ditemani. Kata-kata itu nggak keluar, karena ada berbagai lungsuran emosi memenuhi kepala setiap kali aku merasa buruk, bersalah, kecewa, dan marah pada diriku, di mana seperti halnya pada malam itu, ketika semuanya membentuk kecemasan dalam satu dan banyak cara, apa yang mewujud adalah dorongan untuk mengusir semua orang dan pergi ke tempat tanpa siapa pun.
Akhirnya, kunci motorku nggak ketemu. Aku kembali, lalu meminta tolong padanya untuk menyetep motorku ke tukang kunci. Tentu agar lebih murah daripada minta tukang kunci yang datang. Kalau memanggil tukang kunci, bisa habis seratus ribu lebih. Maka, kami berdua menutup malam itu dengan harga perjalanan menyetep sejauh 2km, kunci baru 35 ribu, dua botol air mineral,
dan tiga hari marahan.
Atau tepatnya: aku marah; dia bingung kenapa aku marah.
Saat kita berbaikan dan memperjelas sudut pandang satu sama lain, dia mencoba memahami kondisiku, aku juga mencoba memahami kondisinya. Aku baru tahu, bahwa, di matanya, aku terlihat kalem dan tahu apa yang harus dilakukan. Aku "kalem" memintanya menunggu, aku "kalem" meminta tolong untuk menyetep motor. Dan kesimpulan itulah yang merentangkan kami malam itu: serangan cemas.
Sebab, akan ada yang dilewatkan ketika seseorang membatasi sesuatu hanya pada pemaknaan yang sempit. Misalnya, cemas berarti "harus" panik, takut, gelisah. Padahal, cemas juga bisa hadir dalam ketenangan, cara seseorang sedang berjuang melawan kecemasan di baliknya: dengan menciptakan dinding pembatas yang memisahkan diri dengan orang lain, dengan menghindar dan malah memperburuk keadaan. Karena itulah, pada malam itu, aku bukannya sedang "kalem". Itu kecemasanku yang mendorongku untuk mengusir semua orang, dan menyeretku ke dalam ruangan kosong agar aku cuma bisa punya diriku untuk dikata-katai dan disalahkan. Inilah itu: keinginan kehilangan.
Aku menjelaskan itu kepadanya, dan dia mengerti. Lalu, kami menyepakati sesuatu: kalau hal itu terjadi lagi (di mana aku cemas & mengusirnya), dia perlu bilang, "Beneran? Kamu nggak pengin aku nemenin kamu?" Harapan kami (harapanku terutama), aku jadi bisa cepat berkontemplasi, dan lebih merenungkan apa yang kuminta tadi. Aku diam-diam sangsi pada diriku sendiri, karena kalau aku sudah memutuskan sesuatu, biasanya aku kolot sekali.
Malam pembuktian itu datang, atau tepatnya: kala semua itu terulang.
Kami sedang makan di lantai atas suatu bangunan. Makanan sudah habis, tapi minuman belum. Tasku di kursi. HP-ku sedang di-charge. Kami sedang mengobrol. Lalu aku hendak mengeluarkan kartu e-money yang kupunya untuk minta tolong dicekkan saldonya di HP-nya, dan saat itulah aku tahu, kalau kartu e-money itu sudah kukeluarkan dari dompet ketika aku mau cuci tangan. Niatku, mau kupegang di tangan setelah dari wastafel. Tapi, aku lupa---ceroboh, memang. Dan, wastafel itu ada di satu lantai di bawah bangunan ini. Lalu, percakapan ini terjadi.
"Kamu tunggu di sini. Aku perlu ke bawah."
Oke, wahai diriku, kamu mengatakannya. Ini kecemasanmu lagi, batinku---dan ini hal yang bagus, aku bisa mengenalinya. Tapi aku mengulangi kata-kataku tadi, dan berpikir kalau apa yang kukatakan itu rasional. Ada tas di atas kursi. Ada minuman yang belum habis. Ada HP yang sedang di-charge. Jadi, aku cuma memang akan pergi sebentar, lalu kembali lagi. Aku nggak pengin dia pergi.
"Beneran?" Dia bertanya. Ini pun bagus. Sesuai apa yang kami sepakati.
"Iya, nggak papa. Beneran ini. Kamu di sini aja." (Kenapa aku malah ngomong begitu?)
"Beneran? Kamu nggak pengin aku ikut?"
"Beneran."
"Beneran kamu nggak pengin aku ikut?"
"Iya."
"Beneran?"
Aku lupa deh, ada berapa kali kami saling sahut-sahutan kayak gitu. Tapi, demi segala kecemasan yang merayapi kedua kakiku, cara itu ternyata betulan bekerja. Walaupun, kuakui, aku kolotnya bukan main. Namun, semakin lama pertanyaan itu diajukan, aku semakin keras mendengar suara hatiku, yang bilang, Nggak. Kamu pengin ditemenin. Dan kamu nggak ngerepotin. Bilang sana. Bilang. Bilaaaaaang.
Satu pertanyaan yang sama dia ajukan, dan aku bilang dengan cepat banget seolah-olah aku takut kembali lagi kokoh dengan pendapatku sebelumnya, "Nggak. Aku pengin kamu ikut." Akhirnya, kami beres-beres. HP kulepas dari charger-nya, tas kuambil, dan minum yang belum habis pun kami bawa keluar.
Aku sedikit kecewa karena harusnya aku bisa lebih kuat lagi mengupayakan keinginanku, tapi aku senang pada akhirnya aku bisa jujur. Butuh waktu, memang. Dan, sama-sama belajar. Ada banyak hal yang perlu dipelajari, tapi untuk yang satu ini, mengenai kecemasanku, aku perlu belajar menguasai emosi dan sesekali mengingatkan diriku sendiri: bahwa, atas apa yang kuinginkan---apa pun itu, itu bukan kehilangan ...
Yogyakarta, 30 Agustus 2024 pukul 23:31 WIB.
Harusnya ada banyak yang pengin kuceritain di post ini. Aku awalnya mau merangkai kisah ini jadi satu post besar, karena ini hanyalah satu dari rentetan peristiwa, yang mengantarkanku pada kondisi yang mau kuceritakan. Tapi, malah belum ada yang ke-spill, hadeh. XD InsyaAllah di post berikutnya, aku bisa mengemasnya lebih baik dan lebih rapi lagi.
2 notes · View notes
alainalfz · 4 months ago
Text
Sabar Menyebalkan tapi itu Kuncinya
Sabar kata yang begitu sederhana namun sangat sulit untuk dilakukan oleh beberapa orang. Terkadang kamu akan begitu muak ketika kamu tertimpa suatu kejadian atau mengalami sesuatu dan orang lain akan mengatakan "yang sabar ya". Namun tanpa kalian ketahui kalimat tersebut adalah kalimat sederhana yang dapat mengubah segalanya. Mungkin beberapa orang begitu muak dengan hal itu karena ia telah terlalu sering mendengarnya atau mungkin karena dia begitu lelah menghadapi apa yang ia lalui.
Dan itu juga terjadi kepada saya, saya adalah salah satu orang yang terkadang berfikir begitu muak mendengar kata itu, saya selalu berfikir orang lain tidak dapat merasakan apa yang saya rasakan. Saya selalu berfikir mereka begitu mudah mengatakan itu disaat kita sendiri yang mengalaminya akan begitu lelah. Tapi satu hal yang pasti hanya itu yang dapat mengendalikan kita. "Sabar".
Menjadi sabar adalah satu hal tersulit yang pernah saya alami, bagaimana orang di luar sana memandang saya sebagai orang yang begitu sabar dalam segala hal. Namun ketika menghadapi diri saya sendiri dan hal pribadi saya, saya adalah orang yang memiliki nilai paling bawah dari segala hal itu. Dan itu adalah sesuatu yang selalu saya benci dari diri saya. Saya selalu menyalahkan diri saya bagaimana saya begitu baik kepada orang lain tapi sebaliknya dengan urusan pribadi saya. Itu adalah sebuah kegagalan terkejam dalam hidup saya.
Baru pagi ini ketika saudara jauh saya berkunjung ke rumah untuk menjenguk ibu saya yang telah lama sakit dan dengan berbisik mengatakan kepada saya "yang sabar ya dek." Saya tau saya telah mendengar ratusan kata itu beberapa bulan terakhir. Saya hanya berfikir itu hal yang sepele dan mempertanyakan arti ucapan itu "untuk apa ucapan itu??", "Apa anda mengasihani saya?", "Apa ini semua begitu menyedihkan?", "Apa yang salah dengan semua ini?", "Ini tidak pernah menyusahkanku, kenapa kalian selalu mengatakan itu" "Apa mereka berfikir ini semua beban". Puluhan pertanyaan selalu menghantui saya ketika mendengar itu, menganggap bahwa segalanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu di kuatkan dan di permasalahan untuk semua ini. Saya selalu berfikir sabar hanyalah kata untuk orang yang perlu dikasihani dan terlihat jatuh, dan saya tidak ingin semua orang menganggap saya begitu lemah dan patuh dikasihani. Saya fikir itu poinnya.
Seiring berjalannya waktu saya menyadari bahwa saya berubah, saya menjadi orang lain, atau mungkin ini adalah diri saya yang telah lepas dari kesabaran itu. Saya menjadi begitu kasar, pemarah, dan begitu buas, bahkan saya membenci sisi lain dari saya ini. Dan akhirnya saya memahami bahwa setiap ucapan orang yang datang kepada saya adalah sebuah peringatan, peringatan bagi seseorang yang tidak akan pernah menyadari kapasitas yang ada dalam dirinya sendiri, peringatan bagi seseorang seperti saya yang selalu menolak untuk menjadi lemah, peringatan bagi saya yang begitu egois pada dirinya sendiri.
Orang-orang itu benar, kata "sabar" mungkin begitu sederhana dan terlihat seperti ucapan basa-basi ketika kamu merasa semuanya sedang tidak baik-baik saja. Tapi pada akhirnya kamu tidak akan pernah tau bagaimana kamu dan seperti apa kamu. Sabar adalah suatu kunci kamu dapat bertahan, sabar adalah suatu kunci pembatas segala tidakan kamu, sabar adalah cara terbaik yang dapat mengendalikan kamu, sabar adalah bentuk peringatan paling sederhana dan terbaik yang dapat kamu utarakan kepada orang yang lain, sabar adalah kekuatan yang tidak dapat kamu dapatkan saat kamu begitu hancur, dan sabar adalah bentuk kepedulian paling sederhana untuk menjagamu.
Sebagaimana Allah SWT telah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Q.S Al-Baqarah: 153).
Telah jelas Allah utarakan dalam kitab suci-Nya bahwa kesabaran adalah penolong bagi hamba-Nya. Bagaimana Allah yang akan selalu bersama dengan orang-orang yang sabar menghadapi segala hal yang menimpanya dan percaya kepada-Nya, begitu sederhana dan jelas Allah mengatakan kalimat tersebut sebagai suatu kunci penolong bagi hamba-Nya. Tetapi sebagian orang begitu mudah menganggapnya remeh.
Semoga Allah SWT selalu memberikan kesabaran untuk segala hal yang kini kamu lalui. Percayalah meskipun sulit, sabar akan menjadi penjagamu dan penolongmu suatu hari nanti.
2 notes · View notes
aniihsrysworld · 5 months ago
Text
"Biasanya kau berpura pura memberi garis antara kau dan aku"
nyatanya..
Kau sendiri yang menghapus pembatas itu. Ironis bukan?!
((jangan lupa minum Yakult 2x sehari)).
3 notes · View notes
aksarajuang · 5 months ago
Text
Dewasa
Dulu, aku mengira bahwa kehidupan sebagai orang dewasa itu akan membosankan. Setiap hari akan disibukkan dengan rutinitas berulang yang sama, ditambah lagi dengan beban kehidupan yang semakin bertambah.
Setelah dijalani, ternyata justru sebaliknya.
Adulthood is thrilling.
Ada banyak hal seru yang menunggu untuk dikerjakan. Inspirasi dan ide seperti tak pernah ada habisnya.
Di sisi lain, menjadi dewasa juga menyadarkan bahwa waktu adalah aset yang tak ternilai harganya, Ia terus berjalan tanpa peduli kita melakukan yang terbaik atau belum. Ia menjadi satu-satunya pembatas atas semua keinginan untuk terus berbuat lebih banyak. Ia adalah ketetapan yang tak bisa dilawan.
Kini, aku paham mengapa dulu Abi sering mengulang2 pesannya: "Yuk tuntaskan urusan2 pribadi dan mendasar agar kita bisa segera melangkah untuk mengerjakan hal-hal yang lebih besar."
2 notes · View notes