#papa imbauan
Explore tagged Tumblr posts
detikkota · 2 years ago
Text
Polres Sumenep Pasang Papan Imbauan di Jalur Rawan Lakalantas
SUMENEP, detikkota.com – Polres Sumenep, Jawa Timur memasang papan imbauan di beberapa titik rawan kecelakaan. Itu dilakukan sebagai tanda peringatan bagi pengendara pada arus Mudik Lebaran Idul Fitri tahun 2023. Kasatlantas Polres Sumenep, AKP Alimuddin Nasution mengatakan, keselamatan berlalulintas di jalan raya merupakan hal utama yang harus diperhatikan pengendara. Tak jarang, pengendara abai…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
jaemeera · 4 months ago
Text
Tumblr media
Dekap paling hangat di antara rintik hujan.
Iyan nggak marah ketika ia cuma diam di bangku sembari makan eskrimnya. Iyan hanya salah tingkah dan malu usai membaca pesan setengah jorok di grup yang beranggotakan enam orang; mencoba menjodohkannya dengan Tesan.
Tesan disampingnya juga tengah nikmati eskrimnya. Pemilik surai legam itu nampak santai bermain ponsel dan tertawa, berbanding terbalik dengan Iyan yang pipinya sudah merah ketika teman-temannya menyuruh mereka berciuman.
Iyan nggak bisa fokus, matanya terus-menerus curi kesempatan ‘tuk pandangi bibir Tesan yang tengah santap eskrimnya.
“Cil, kenapa ya meme anak grup kocak-kocak banget,” Ujar Tesan, menertawakan benda pipih di tangannya lagi.
Sementara si surai cokelat yang diajak bicara tak menangkap di mana lucunya yang tengah ditertawakan sang kawan. Iyan sudah kepalang malu, rasanya ingin menurunkan topinya sampai mukanya tertutup sempurna, sebab ia semakin takut kalau Tesan betulan tatap dirinya akan buat ia semakin ingin mencium bibir si pemuda seperti yang diucapkan teman-temannya.
Memang anak-anak setan, kesal Iyan sambil bayangkan wajah kawannya satu persatu. Sekarang yang surainya cokelat bingung harus bicara apa dengan Tesan, kepalanya penuh dengan ciuman, ciuman, dan ciuman.
“Uangnya kan tadi di-transfer ke bank aku ya, kayaknya nanti kalau mau transfer ke bendahara kena fee lagi, Yan. Tapi santai, fee-nya nggak usah diganti ya, tolong nanti disimpaikan ke bendahara aja,” kata Tesan menyimpan ponselnya ke dalam tas. Kini fokusnya penuh untuk Iyan, sebab Tesan sudah merasa puas usai mengecek kabar terbaru dari dalam ponselnya.
Yang diajak berbicara tak menanggapi. Kepalanya masih penuh dengan kalimat godaan dari teman-temannya beberapa saat lalu. Tesan sampai harus panggil namanya tiga kali dan tepuk topinya, barulah si surai cokelat sadar dan tak sengaja jatuhkan eskrimnya ke pangkuan.
“Yah, jatuh, kan. Kamu ngelamunin apa deh, Yan?” Tesan bertanya sambil pungut cone eskrim yang jatuh di paha Iyan.
Lantas Iyan memundurkan tubuhnya ke belakang ketika tangan Tesan tak sengaja sentuh pahanya guna pungut cone eskrimnya. Tesan yang mendapat reaksi demikian cukup paham atas alasan apa Iyan tampak menghindar. Apa lagi kalau bukan karena obrolan teman-teman mereka di grup.
Sialan memang, kesal si surai legam dalam hati. Tesan sudah seperti anak macan yang siap terkam mangsanya kapanpun dan dimanapun sekarang. Padahal pendekatan yang Tesan buat dengan kawannya yang satu itu sudah berjalan mulus sejauh ini. Namun hari ini rasanya akan jadi semakin canggung karena pipi Iyan sudah kepalang merah.
“Oh, nggak papa kok, San.” Iyan benahi topi dan rambutnya yang mulai basah karena keringat; yang mana membuat Tesan mau nggak mau harus tatapi wajah Iyan yang merahnya gemas bukan main. Pipinya jadi seperti tomat, Tesan jadi salah tingkah dibuatnya.
“Panas, ya?” Tesan jadi super konyol. Ia malah menanyakan hal-hal yang nggak perlu, sementara Iyan rasanya ingin melebur saat itu juga.
Si pemilik surai legam buka isi tasnya, keluarkan tisu basah 'tuk kemudian ia bersihkan celana sang kawan yang kotor karena eskrimnya. Tak berhenti sampai disitu, Tesan juga keluarkan tisu kering untuk menyeka muka Iyan yang basah karena keringat.
Iyan cuma bisa berdiam diri di tempat. Ia tak habis pikir kalau Tesan akan merawatnya sebegininya ketika ibunya bilang “titip Iyan” kepada Tesan saat mereka akan kembali setelah bakti sosial di desa asalnya. Iyan saat itu rasanya kesal sendiri ketika dengar ucapan sang ibu. Ia laki-laki menginjak umur dewasa, ia bisa urus semuanya. Kenapa juga ia harus dititipkan ke Tesan. Tapi setelah dipikir, ternyata imbauan dari sang ibu nggak buruk-buruk amat. Dirawat oleh Tesan terasa menyenangkan, Iyan suka bagaimana Tesan mengusap tisu ke pipinya dengan lembut; Iyan suka dirawat Tesan. Kupu-kupu diperutnya buatnya geli mendapatkan perlakuan sepenuh hati dari sang kawan.
“Makasih, ya,” Iyan cuma bisa ucapkan kalimat itu saja ketika Tesan masukkan kembali tisu-tisunya ke dalam tas.
Ingin teriak. Tesan nggak kuat ketika harus tatapi wajah Iyan yang jaraknya sangat dekat. Kalau saja kontrol tubuhnya jelek, pasti tangannya sudah gemetaran mampus ketika usapkan tisu di pipi Iyan.
Sekarang Tesan merasa berdosa, mengusap wajah Iyan seperti tengah mengelap galaksi dan seisinya. Di mata Iyan bisa jadi ada bintang ataupun komet, dan Tesan hampir terbang kalau ia tak menyudahi kegiatannya.
Ketika Iyan ucapkan terimakasih, Tesan cuma bisa jawab seadanya dengan dehaman.
Bukan, bukan karena Tesan cuek pada sang kawan, melainkan ia tengah gugup luar biasa. Jantungnya tak bisa berdegup dengan santai; jantungnya ribut dan kepalanya tak mau kalah ribut membisikkan untuk kecup bibir Iyan saat itu juga.
Tumblr media
Hujan deras diluar prediksi mereka, keduanya tak bawa jas hujan dan kini terjebak di gedung kosong yang tampaknya rumah yang akan dijual.
Mungkin karena rumah yang akan dijual, rumah tersebut tak begitu layak untuk dijadikan tempat berteduh. Gentengnya banyak yang bocor, tersisa cuma tiga lantai kering yang sepertinya dapat melindungi tubuh Tesan dan Iyan dari tetesan air hujan.
“Kamu dingin, nggak?” Tesan bertanya sembari eratkan dekapan tangannya ke perut. Iyan disampingnya hanya bisa menggeleng, ketika bibirnya Tesan dapati tengah menggigil lumayan hebat.
Keduanya kikuk, canggung merambat di sela mereka. Mereka tak bisa lakukan apa-apa sekarang, keduanya tak pakai pakaian tebal, pun Tesan tak punya jaket untuk ia tawarkan kepada Iyan layaknya pemeran utama pada drama romansa yang ia tonton. Sementara Iyan yang bajunya sudah tebal dari milik Tesan tetap menggigil sebab sempat terguyur hujan. Alhasil keduanya hanya bisa gosok tangan masing-masing untuk kemudian ditempelkan pada leher dan pipi.
Namun semakin lama dingin semakin merambat. Gemelatuk gigi Iyan semakin nyaring, buat Tesan panik mendengarnya. Si surai legam lantas gosokkan tangannya makin keras untuk ditempelkan ke pipi sang kawan.
“Iyan, jangan panik.” Ujar Tesan yang telapak tangan besarnya sudah menangkup pipi Iyan.
Namun si surai cokelat tak bisa kontrol tubuhnya. Gemelatuk giginya makin keras meskipun Tesan mencoba menenangkan.
“Jangan dirasain dinginnya, Iyan. Tarik napasnya pelan-pelan, jangan panik!” Tesan masih terus gosok tangannya untuk ditempelkan ke leher dan pipi Iyan. Ia tak mau kawannya itu kenapa-kenapa, mereka masih harus tempuh setengah jam lagi untuk sampai ke kost-an, dan tak mungkin pula Tesan paksa Iyan menembus hujan dalam kondisi kedinginan.
Namun Iyan tak kunjung tenang juga, tubuhnya masih menggigil meskipun tak sehebat beberapa menit lalu. Tesan dengan pengetahuan minim putuskan untuk peluk tubuh sang kawan erat-erat. Kepala Iyan disandarkan ke bahunya, pun punggung Iyan ia gosok supaya suhu tubuhnya kembali normal.
“Tesan... dingin,” lirih Iyan masih dalam dekapan Tesan.
“Iya, dingin. Tapi dinginnya jangan kamu rasain, ya? Kalau aku peluk gini mendingan, nggak? Atau kamu tambah dingin?”
“Mendingan, Tesan. Iyan mau digosok lagi punggungnya.”
Maka yang surainya legam pun menurut atas keinginan sang kawan. Mereka saling dekap, dengan tangan Tesan yang tak berhenti usap punggung Iyan, sementara Iyan lingkarkan tangannya pada pinggang Tesan. Jarak mereka begitu dekat, lebih dekat dari beberapa saat sebelumnya. Keduanya mungkin bisa rasakan degup jantung masing-masing. Sebab situasi sedang tak memungkinkan ‘tuk pikirkan harga diri, maka keduanya melawan rasa gengsi dan pilih nikmati irama jantung satu sama lain.
Entah karena dekapan keduanya terlampau erat atau karena darah mereka yang berdesir hebat sehingga suhu menjadi hangat. Iyan perlahan tak rasakan menggigil seperti sebelumnya, pun Tesan yang sudah berhenti menggosokkan tangannya pada punggung sang kawan.
Baru saja Tesan akan melepaskan dekapan mereka, namun tangan kecil Iyan lebih dulu menarik ujung bajunya; kembali mengikis jarak antara keduanya.
“Tesan,” wajah Iyan nampak pucat ketika ia menyerukan nama si surai legam. “Aku masih dingin.” Katanya dengan nada paling melas buat Tesan tak tega untuk sekadar memandangi.
Mungkin Tesan pikir Iyan ingin kembali didekap. Namun kali ini pergerakan tubuh si surai cokelat tak bisa ditebak. Iyan malah menarik tengkuk Tesan yang lebih tinggi kemudian berikan satu kecupan pada bibir sang kawan; berhasil buat sang empu membeku di tempat.
Tindakan Iyan bukanlah impulsif, si pemuda berani cium yang lebih tinggi sebab detak jantung Tesan yang tak kalah berisik saat mereka saling mendekap barusan. Pun sebab kepalanya sudah kepalang penuh oleh pikiran untuk cium sang kawan, maka Iyan putuskan ‘tuk cium yang lebih tinggi tanpa permisi.
“Maaf, Tesan, Iyan cuma—mmph,” belum selesai Iyan berikan alasan kosongnya, bibirnya lebih dulu dibungkam oleh satu lumatan dari yang lebih tinggi.
Lumatannya tak berakhir cuma sekali, namun berkali-kali sambil didorongnya tubuh Iyan ke tembok untuk mengunci tubuh yang lebih kecil supaya tak lakukan pergerakan apapun selain menerima diberi afeksi.
Iyan sedikit kerepotan sebab Tesan lebih tinggi; lehernya harus susah payah mendongak saat Tesan terus melesakkan lidahnya ke mulut Iyan, berusaha mengisi.
Tangan Iyan yang menganggur kemudian dituntun Tesan untuk memegang lehernya. Si surai cokelat diperbolehkan mengalungkan tangannya pada leher tebal sang kawan, sementara si surai legam mencengkeram pinggang kecil Iyan untuk berikan afeksinya. Tak hanya dicengkeram, pinggang yang lebih kecil dipijat oleh telapak tangan Tesan yang besar.
Pinggang kecil Iyan terus-menerus diremas oleh si surai legam, sementara Iyan mencari-cari kepuasan di bilah bibir sang kawan yang semakin tebal. Iyan menikmati pipi merahnya ditusuk-tusuk hidung bangir Tesan bergantian, Iyan juga menikmati bagian tubuh bawahnya yang perlahan diusap lembut oleh tangan hangat Tesan.
“Mmph—” Iyan menahan desahannya ketika Tesan bernapas di daun telinganya. Tangan Iyan yang mencoba menahan tangan sang kawan untuk tak pegang-pegang paha dalamnya pun berakhir tak sengaja menyenggol bagian selatan tubuh Tesan.
Iyan dibuat tak bisa berpikir jernih sesaat. Namun si pemilik surai cokelat buru-buru menepuk rahang Tesan untuk berhenti sebelum mereka digelandang warga kalau-kalau dipergoki. “Kita harus pulang,” katanya.
Tesan yang terbawa nafsu lantas mengutuk dirinya sendiri.
Goblok, goblok, goblok.
Tesan masih tak cukup yakin untuk beri Iyan kasih sayang yang lebih. Lantas harus bagaimana, kali ini?
0 notes
dianbudaya · 4 years ago
Text
Pada Dua-Dua Nol-Nol, Semua Harus Sudah
Tumblr media
‘Krincing krincing’
‘Drap.. drap..’
Lambat namun pasti, suara itu semakin dekat dan membahana di tengah heningnya FIB. Laki-laki dewasa dengan seragam biru menyala dan kunci yang bergelantungan di sakunya, mendekati bangku hitam tempatmu duduk. Ia adalah bapak kita semua, the guardian of our home, Satuan Keamanan Kampus (SKK).
“Mas, sudah jam 10.”
Diucapkan dengan tegas dan singkat.
Kamu tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk takzim dan berharap waktu berjalan lebih lambat. Bagaimana dengan tugas yang belum selesai? Bagaimana obrolan dengan cemewew yang belum tuntas? Barangkali ada saja yang terlewat dan belum tuntas pada jam 22.00. Tetapi, menurut SKK dan Semesta, memang sudah seharusnya berhenti dan disudahi.
Sore-sore di depan markas SKK pintu selatan FIB, Dian Budaya berbincang manja dengan salah satu SKK yang bernama Pak Wakijan. Beliau bercerita, peraturan steril kampus pukul 22.00 ada karena keresahan fakultas. FIB pernah menerapkan kebijakan 24 jam di kampus. Banyak mahasiswa yang melakukan ‘tindakan-tindakan negatif’ dan ‘sudah kelewat batas’. “Tidak enak dilihat, Mbak, dan membuat buruk citra kampus,” kata Pak Wakijan. Secara perlahan, waktu bersenang-senang dan belajar di kampus disita oleh dekan-dekan yang menjabat. Kemudian, saat Mas Pudjo, dosen Antropologi menjabat sebagai dekan, menurut Pak Wakijan, peraturan 22.00 mulai diberlakukan.
Namun, peraturan ini tidak melulu, mutlak, wajib ditaati. Semua bisa diatur apabila memang acaranya krusial dan membutuhkan tambahan waktu. Pak Wakijan juga memaklumi apabila memang ada acara dan harus menambah waktu. “Yang penting ada prosedurnya,” tegasnya. Apabila membutuhkan tambahan waktu, mahasiswa harus mengikuti prosedur yang ada di kampus. Selain untuk keamanan, juga untuk kenyamanan mahasiswa sebagai pemrakarsa acara dan SKK sebagai penjaga FIB. Agar tidak perlu ada perselisihan karena masing-masing sudah melaksanakan tanggung jawabnya.
Pernah nggak sih, Pak, kesal karena kami tidak kunjung pulang?
“Ya, pernah. Tapi, nggak papa. Namanya manusia juga beda-beda.”
Beberapa mahasiswa Sastra Arab angkatan 2018 yang konon memang suka berlama-lama di kampus, sering sekali mendengar imbauan “Sudah jam 10, Mas” dari SKK. Liam Pasya (Sastra Arab 2018) mengatakan ia sudah sadar akan peraturan itu dan tidak merasa masalah. Namun, baginya akan lebih alhamdulillah apabila ia bisa lebih lama di kampus. “Kalau lebih lama kan, tugasnya pasti kelar,” katanya. Sama halnya dengan Handop (Antropologi 2017), ia juga tidak merasa masalah dengan peraturan ini. Setelah dihimbau untuk meninggalkan kampus, ia akan mencari tempat gogog (duduk-duduk) yang lain. Vander (Pariwisata 2018) berkata ia juga tidak memiliki masalah dengan hal ini. Beberapa kali ia juga bisa menegosiasi waktu dengan SKK. Aman dan terkendali.
Menutup tulisan kali ini, Dian Budaya ingin mengutip salah satu kalimat dari Pak Wakijan, “Yang penting kita memahami kepentingan satu sama lain.”
Semoga kita bisa berdamai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Tentu kita semua punya hak, tetapi jangan lupa akan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain juga.
Visual: Alvin Syahnakri Penulis: Sf Adnivle Honorable Mention: Teman-teman BPPM Balairung (editor)
4 notes · View notes
togetherinsolitude · 5 years ago
Text
Mereka yang Tak Bisa di Rumah Aja, Mereka yang Tak Punya Rumah
Tumblr media
Ketika saya bertanya kepada orang-orang yang saya temui, baik secara langsung atau pun via daring, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak geram dengan wabah yang menggegerkan dunia dalam beberapa bulan terakhir ini. Tidak hanya kesehatan fisik, dampak dari Covid-19 ini juga menyentuh sektor perekonomian di berbagai kalangan profesi. Terlebih dampak ini sangat terasa di kalangan masyarakat kelas bawah, mulai dari para pemilik usaha mikro, buruh, hingga tukang becak, tukang rosok, juga pemulung.
Sebagai seorang mahasiswa di salah satu universitas di Jogja, saya juga merasakan langsung dampak dari wabah ini. Saya dan teman-teman mahasiswa tidak bisa berkuliah seperti biasanya karena semua mata perkuliahan dilaksanakan via daring. Di tanah perantauan ini saya mengalami dilema, antara pulang dengan membawa rasa khawatir dan takut mengangkut virus atau tetap berdiam di Jogja dengan kondisi bekal hidup yang kian menipis. Dengan berbagai pertimbangan, saya akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja dan bergabung dengan gerakan-gerakan sosial melawan Covid-19. Kami biasa menyebut gerakan-gerkan sosial seperti ini dengan sebutan gerakan #rakyatbanturakyat.
Setelah kurang lebih 18 hari tergabung dalam gerakan “Relawan UMKM Cegah Corona” bersama teman-teman saya; Obed Kresna, Ilham, Galih, Fikri, dan lain-lainnya yang bertugas membagi-bagikan hand sanitizer, sabun, dan juga disinfektan, saya juga bergabung dalam gerakan Solidaritas Pangan Jogja atau SPJ. Gerakan SPJ ini berperan semampunya dalam membantu ketahanan pangan kelas paling rentan seperti para tukang becak, penjual putu, dan para pemulung, yang mau tidak mau mereka terpaksa harus mengabaikan imbauan untuk #dirumahaja demi bisa mendapatkan sesuap nasi.
Dari dekat, saya benar-benar mendengar keluhan sekaligus semangat mereka dalam bertahan hidup. Bagaimana bisa para tukang becak yang tidak dapat tarikan selama tiga minggu, tetapi tetap pandai tersenyum dan mangkal demi menunggu orang-orang yang membagikan nasi bungkus kepada mereka? Bagaimana bisa para penjual jajanan kecilan di pinggir jalan tetap bisa tersenyum menjajakan jajanannya, meskipun jalanan dipenuhi dengan kesepian? Bagaimana bisa para pemulung mendapatkan hasil pungutan plastik, kardus, dan botol jika banyak toko yang tutup? Bagaimana bisa mereka bisa tetap #dirumahaja sementara tak jarang dari mereka yang tak punya rumah? Bisa disimpulkan bahwa di tengah masa-masa yang sulit ini mereka adalah kelompok yang sangat rentan terhadap virus ini.
Pada satu malam, saya dan teman saya, Josardi, berjalan-jalan mengelilingi ruas-ruas jalan di sekitaran UGM, UNY, Gejayan, dan UIN. Bukan tanpa maksud, kami keluar dari kamar indekos hanya untuk memetakan lokasi di mana teman-teman pemulung dan para tukang becak itu bermalam dan bertahan hidup. Gunanya untuk membaca dan menitik lokasi-lokasi mereka agar ketika siang harinya saat kami dan teman-teman SPJ berbagi nasi bisa langsung bertemu mereka. Tidak hanya satu dua, kami banyak menemui mereka di pinggir jalan, terlihat kelelahan. Ada juga ibu-ibu yang mendorong gerobak penuh rongsok dan di atas gunung rongsoknya ada seorang anak kecil yang tersenyum lucu dan menggemaskan.
Setelah berkeliling satu jam, kami memutuskan untuk menghampiri tiga lelaki hebat dengan dua sepeda dan satu gerobak sampahnya. Mereka bernama Pak Opal, Mas Joko, dan Mas Rohim. Di trotoar bawah lampu jalan yang kuning itu kami berbagi cerita. Saya mendengar tentang penghasilan mereka yang berada di kisaran 30-40 ribu di hari-hari biasa. Dan pada masa-masa pandemi yang sulit ini, mereka hanya bisa mendapatkan maksimal 20 ribu per hari, itu pun sudah sangat mentok, dalam bahasa Jawanya ngoyo. 
Sampah kardus yang dihargai Rp1.500/kg, sampah botol plastik yang dihargai Rp1.200/kg, dan sampah plastik campur yang dihargai Rp800/kg, bagi saya sudah sangat tidak cukup untuk menghidupi pangan mereka. Harga barang rongsokan yang merosot 60% ini benar-benar membuat mereka kian mengalami masa-masa sulit ini. Itu pun kalau para pembeli rongsoknya buka, karena akhir-akhir ini hampir semua tutup.
Di tengah obrolan kami yang penuh dengan cerita menyedihkan dan juga canda tawa yang seringkali terselip, mata saya terpanah dengan tulisan yang ada di dua sisi gerobak mas Joko. Gerobak itu bertuliskan “Berkah Dalem” dan “Mazmur 23 Kekal” yang merupakan salah satu nama surat dalam kitab suci Injil. Ketika saya bertanya tentang siapa yang menulis, mas Joko menjawab dengan agak malu-malu, “Saya sendiri, Mas, yang nulis. Pakai tangan itu kuasnya, pakai sisa-sisa cat”. Sambil menghabiskan makan yang mereka dapatkan dari relawan gerakan lain malam itu, dia juga mempersilakan saya untuk memfoto gerobaknya setelah tahu kalau saya terkagum dengan tulisan itu.
“Gak papa, mas?” tanyaku. Dia jawab, “Wo ya gakpapa, Mas. Silakan difoto. Di sisi yang sana juga ada, tulisannya sama.” Akhirnya saya foto dua sisi tersebut. Malam itu saya benar-benar terpukul dan merasa sering kurang bersyukur. Dengan segenap kebahagiaannya dia mempersilakan saya mengambil gambar tanpa ada rasa malu, karena beberapa dari kita terkadang malu ketika pekerjaan kita tak seberuntung orang-orang kaya. 
Saya jadi teringat Pramoedya pernah berkata, “Setiap orang yang bekerja adalah mulia”. Dengan segala kepandaian bersyukurnya, saya benar-benr terkagum dengan cara dia berpedoman dan bersyukur terhadap keyakinannya dengan mencantumkan nama kitab Mazmur beserta bab 23-nya. Sungguh ini sangat berat bagi orang lain yang tak setangguh mereka.
Ketika diajak bicara tentang Covid-19, mereka juga paham tentang konsekuensi mereka dengan tetap bekerja. Mereka juga menjaga kebersihan tubuh mereka semampu mereka. Nampak juga botol hand sanitizer yang kemarin mereka terima dari gerakan saya, Obed, Fikri, Ilham, Dholi dan teman-teman lainnya di relawan UMKM Cegah Corona. Setelah itu, Josardi bertanya tentang riwayat sakit mereka dengan tujuan memudahkan pendataan agar teman-teman SPJ bisa menyuplai vitamin dan kebutuhan kesehatan mendasar bagi mereka. Lagi-lagi membuat kami terkagum, mereka menjawab, “Wah malah nggak pernah sakit, Mas. Lha wong hati kita selalu bahagia, hahaha” susul tawa bahagia mereka. 
Malam itu mereka benar-benar mendidik kami. Kami mendapat pelajaran baru bahwa salah satu kunci dari tubuh yang sehat adalah hati yang selalu bahagia, hati yang selalu bersih dan penuh rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Kami tak tau harus membicarakan apa lagi malam itu.
Situasi malam itu membuat saya semakin miris dan malu karena hidup di tengah lingkungan yang terkadang dari kita masih menganggap bahwa mereka hanya sebatas gelandangan tanpa rumah. Bahkan secara lebih kejam terkadang kita menganggap mereka hanyalah sebatas gelandangan yang sering mengotori pemandangan kota. Ketika kemanusiaan lebih rendah nilainya ketimbang pemandangan kota, hati saya bertanya, “Apakah ini layak untuk mereka? Apakah kita masih layak menyebut diri kita manusia?” 
Dan ketika saya berpikir lebih tentang dasar-dasar sebuah negara, apakah pantas kita menggunakan diksi “dipelihara” untuk mereka? Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum positif kita berbicara, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ah sudahlah, saya tidak bisa berharap lebih banyak tentang sebuah diksi. Saya hanya bisa berharap semoga mereka benar-benar mendapatkan pertanggungjawaban dari negara. Dalam kesempatan kali ini saya hanya ingin mengajak kita untuk merenungkan bahwa mereka adalah manusia bermartabat, bukan hewan peliharaan. Jawabannya bagaimana, mari kita renungkan bersama-sama.
Akhirnya, setelah kurang lebih satu jam kami berbagi cerita di trotoar dekat Fakultas Teknik UNY, kami pun pamit bergegas pulang. Begitu juga dengan mereka, Mereka mengayuh sepeda dan mendorong gerobaknya untuk pulang. Bukan menuju rumah tentunya, melainkan menuju trotoar samping Selokan Mataram di sekitaran MM UGM, tempat mereka—dengan penuh rasa syukur—melelapkan tubuh lelah mereka.
Teruntuk Pak Opal, Mas Joko, dan Mas Rohim, terima kasih banyak sudah mendidik kami. Salam hangat dan sehat selalu dari dua muridmu, Lutfi dan Josardi.
Yogyakarta. 04 April 2020.
7 notes · View notes
reddysuzayzt · 5 years ago
Text
Takut Allah atau Takut Corona?
Sore kemarin, sepulang saya dari kantor, istri saya memberi kabar kurang enak setelah saya ucap salam dan melewati pintu.
“Mak Ngah marah-marah,” katanya. Secepat itu saya harus mendengar kalimat tak sedap, padahal tas di punggung belum lagi saya lepas.
“Tadi Mama ditelpon Mak Ngah, terus nyuruh Mama pulang saja ke Bangka.” Saya lemparkan pandangan ke wajah Mama yang senyum canggung. Iya, kata Mama. Ini terkait dengan surat edaran pemerintah tentang penjarakan sosial atau social distancing. Saya letakkan tas, cuci tangan dan kaki di dapur, dan kembali ke ruang tengah.
Ceritanya, Papa yang menjabat sebagai kadus (kepala dusun) mengedarkan surat imbauan dari pemerintah agar selama bulan Ramadan ini, salat tarawih dan segala bentuk ibadah yang memungkinkan orang banyak berkumpul, ditiadakan.
Sampai pada akhirnya surat itu diterima Mak Ngah, bibi saya (adik Papa). Mak Ngah dikenal orang-orang kampung sebagai ustazah, anak-anak kecil biasanya belajar Al-Qur’an di rumahnya. Ia juga pernah mengajar di TPA kampung kami, entah sekarang, saya belum tahu lagi. Lupa menanyakannya pada Mama.
Rupanya Mak Ngah kami ini marah dan tidak terima. Dia bahkan marah pada ustaz-ustaz yang mematuhi imbauan pemerintah ini. 
“Ustaz model apa itu, lebih takut Corona daripada takut Allah!” demikian katanya menurut redaksi Mama.
Saya kenal betul dengan ustaz-ustaz atau pemuka agama di kampung saya itu. Saya paham benar ilmu mereka yang sangat mumpuni. Berpuluh-puluh tahun mereka mengajar agama dan jadi tempat orang-orang kampung bertanya. Mak Ngah kemudian menyuruh Mama untuk pulang ke kampung, sebab, katanya, percuma ia berambin (tidur di rumah kami dalam rangka menjaga) kalau Papa, abang kandungnya sendiri, sudah tidak berani berangkat ke masjid. Ia bilang tidak mau tidur dan menunggui rumah lagi. 
Mama bilang terserah sajalah, kamu mau pulang dan tidak di situ lagi pun tak apa. Mau tarawih di masjid pun dipersilakan. 
Perdebatan mereka kian memuncak, dan Mak Ngah yang pertama kali menutup telepon. Tanpa kata salam atau penutup lainnya.
“Dia pasti sudah berdebat keras sama Papamu, Mama tahu,” Saya rasa itu kemungkinan besar yang cukup getir. Saya tahu betul bagaimana daya ledak Papa saat dikuasai emosi. Apalagi jika lawannya Mak Ngah. Lawan yang sepadan plus memiliki dampak mengerikan.
Mama, bagaimanapun tidak akan pulang untuk saat ini. Mama tidak sekonyol itu, karena beliau tahu betul kondisi dan situasi yang ada di sekelilingnya saat ini, di Yogyakarta. Tentu jauh berbeda dengan Mak Ngah dan orang-orang sejenisnya di kampung. Mereka tidak (atau belum) bertemu kondisi yang benar-benar darurat.
Papa sebagai perangkat desa sekaligus ketua masjid, tentu saja mesti mengikuti prosedur pemerintahan dalam mengatasi pandemi ini. Tapi begitulah, orang-orang awam di kampung, seperti halnya netizen, seolah memiliki saluran berpikirnya sendiri dan itu adalah satu-satunya hal yang benar bagi mereka.
Saya paham, ini bukanlah kekeliruan mereka dan tidak sedang menghakimi mereka sebagai orang yang pandir. Tapi, misalkan saya dibebankan tanggung jawab untuk memberi pemahaman kepada mereka (pada keluarga misalnya, untuk contoh terdekat), saya merasa begitu ragu, sebab mereka memiliki logika dan silogisme tersendiri. Atau entahlah, mungkin saya yang terlalu pesimis, selain kurang mumpuni.
Bagaimana tidak, saya bahkan terdiam saat mendengar apa yang dikatakan Mak Ngah lewat penuturan Mama.
“Justru inilah saat yang penting, inilah waktu yang bagus untuk berdoa bersama-sama pada Allah agar wabah ini lekas berlalu. Bukan lockdown-lockdown,” demikianlah.
Mama bahkan sudah memberi contoh penanganan di Saudi, bahwa Mekkah untuk saat ini dikosongkan dan ditiadakan dari kegiatan apa pun. Dan kau tahu apa jawab Mak Ngah kami itu?
“Nah, itulah Raja Saudi itu kena dan positif Corona, karena dia itu takut. Aku bahkan sudah bermimpi sendiri bagaimana ia terjangkit wabah itu!”
Nah?! Bahkan ia bisa menjadi hakim melebihi kewenangan Tuhan, bukan? Saya sempat panas sebenarnya, dan meminta pada Mama agar saya yang bicara dengan Mak Ngah. Tapi setelah saya diam dan telusuri lagi, diri saya ternyata cuma terbawa emosi dan ego sesaat. Akhirnya saya urungkan niat saya tadi. Biarlah.
Tentang apakah kita mesti takut pada Corona dibanding takut pada Allah, sebenarnya itu hanyalah masalah pemaknaan saja. Penafsiran yang bisa dilakukan tiap pribadi, dan memang bersifat bebas.
Kita memang harus takut pada Corona, kok. Apa sebab? Karena ia membawa mudharat nyata. Kita lebih tidak bisa apa-apa jika terpapar virus itu, tidak bisa menjalani tugas sebagai abdillah. Tidak bisa beribadah. Hanya saja, takut di sini adalah takut yang bersifat waspada. Dan yang sedang dijalankan perangkat desa, para ustaz di kampung, adalah termasuk amar makruf nahi mungkar, bukan?
Lagipula, logika kalimat takut pada Allah itulah yang terdengar cacat. Secara psikologis, rasa takut pada dasarnya akan menjauhkan kita dari apa-apa yang kita takuti, bukan? Nah, kalau begitu, apa mesti kita takut pada Allah? Kenapa kita susah sekali untuk mencoba memakai term “mencintai”, agar bisa lebih mesra dan intim dengan Rabb Tuhan Semesta Alam?
Itulah yang ingin saya katakan pada mereka, pada Mak Ngah di kampung. Tapi, begitulah. Mereka punya saluran kebenaran sendiri dalam kepala mereka, dan saya terlalu pesimistis. Ya Allah, mohon ampun, hamba.
Yogyakarta, 24 April 2020
1 note · View note
harianpublik-blog · 7 years ago
Text
Polisi akhirnya mengalah pada FPI
Polisi akhirnya mengalah pada FPI
Harianpublik.com ~  Sejak Jauh hari, Polda Metro Jaya mengimbau untuk tidak melakukan takbir keliling kepada warga di DKI Jakarta. Sebab, takbir keliling dikhawatirkan memicu terjadinya pelanggaran lalu lintas, kecelakaan sampai aksi tawuran.
Alasan polisi bukan mengada-ada. Memang setiap digelarnya takbir keliling saban tahun, banyak terjadi pelanggaran lalu lintas. Mulai dari pengendara yang tak pakai helm, kecelakaan, naik di atas mobil bak terbuka, sampai aksi tawuran pun pernah terjadi.
Namun rupanya, imbauan ini tak diindahkan oleh Front Pembela Islam (FPI). Ratusan massa FPI ini tetap menggelar pawai takbiran, iring-iringan sepeda motor dan mobil ke sejumlah titik ibu kota.
Polisi pun mencoba melarang pawai yang ingin digelar FPI ini. Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Suyudi Ario Seto langsung mendatangi markas FPI sebelum pawai dimulai. Suyudi ditemani Kaposek Tanah Abang, AKBP Suwarno membuka dialog, mencoba merayu FPI yang dipimpin Ketua DPP, Muchsin Alatas.
Saat negosiasi, polisi dikepung ratusan massa. Muchsin tetap ngotot ingin menggelar takbiran keliling.
“Dari zaman dulu takbir keliling sudah jadi tradisi kita, enggak boleh dilarang seharusnya, kalau dikawal enggak papa,” kata Muchsin saat berdebat dengan polisi di Petamburan, Jakarta, Sabtu (24/6).
Sementara Suyudi menegaskan, sudah ada perintah dari Polda Metro Jaya untuk tidak melakukan takbiran keliling. Sehingga dia berharap ratusan massa FPI itu hanya melakukan takbiran di kawasan Petamburan saja.
“Kita sudah melarang kalau bisa takbirannya di Petamburan saja, nanti kita tutup jalan,” kata Kapolres.
Akan tetapi, FPI tak bergeming. Mereka ingin tetap berkeliling Jakarta dengan rute yang sudah ditentukan. Polisi pun mengalah, meminta agar kelilingnya ditentukan oleh pihak kepolisian.
Polisi ingin, FPI takbiran keliling di kawasan Petamburan, menunju DPR, Tanah Abang, balik lagi ke Petamburan. Sayang keinginan polisi itu ditolak mentah-mentah oleh FPI. Dia ingin rutenya tak diubah.
Rute yang diinginkan adalah Petamburan, Slipi, Cawang, Otista, Kampung Melayu, Senen, Gunung Sahari, Mangga Dua, Kota, Glodok, Harmoni, Hasyim Ashari, Tomang, Slipi, kembali ke Petamburan.
Setelah hampir satu jam bernegosiasi, akhirnya polisi mempersilakan FPI untuk melakukan takbir keliling. Namun dengan catatan, dikawal ketat oleh personel kepolisian, TNI sampai intel.
“Allahuakbar, Allahuakbar,” teriak massa FPI usai polisi mempersilakan pawai takbiran.
Massa pun mulai Pukul 21.00 WIB bergerak meninggalkan Petamburan. Terlihat ratusan massa menggunakan sepada motor dan mobil. Ada juga mobil ambulance dan mobil komando mengiringi. Sayang, massa pawai yang menggunakan sepeda motor tidak dilengkapi dengan helm, hanya mengenakan peci saja.
Ketua Bantuan Hukum FPI DKI Mirza Zulkarnaen, takbir keliling dilakukan atas kemenangan satu bulan penuh menahan hawa nafsu dengan berpuasa. Menurut dia, tugas Polda Metro harusnya tidak melarang, tapi mengamankan.
“Selama puluhan tahun (takbir keliling), geng motor ini tidak masuk akal. Sedangkan banyak di daerahnya lain seperti Riau, dibolehkan. Dan ini tidak masuk akal,” kata Mirza di markas FPI, Petamburan, Jakarta, Sabtu (24/6).
Mirza menjamin, takbiran keliling FPI akan berjalan tertib. Malah, kata dia, FPI kerap membantu aparat dalam menjaga ketertiban.
“Takbir keliling ini adalah tradisi. Kalau ditiadakan itu aneh. Enggak pernah ada. Ada apa di balik penghalauan ini,” kata dia.
Sementara di tempat terpisah, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan mengatakan, sudah sejak awal pihaknya melarang adanya konvoi saat malam takbiran. Dia mengatakan, lebih baik melakukan acara di suatu titik, bukan konvoi di jalan raya.
“Kan sudah saya sampaikan tempo hari, untuk apalagi, lebih bagus ikut acara ini, enggak ada gunanyalah, nanti orang bisa celaka, bersinggungan, bersentuhan, buang-buang waktu,” kata Iriawan usai menghadiri acara ‘Festival Bedug’ yang digelar Pemprov DKI Jakarta di Balai Kota, Sabtu (24/6).
Dia belum mendapatkan laporan bahwa FPI tak mengindahkan imbauan untuk tidak konvoi saat takbiran. Namun, kata dia, sudah ada anggota kepolisian yang menangani hal tersebut.
“Enggak usah konvoi, ngapain konvoi. Nanti ada anggota yang menangani itu,” kata Iriawan. [rnd]
Sumber Berita : merdeka.com
Sumber : Source link
0 notes
rumahinjectssh · 7 years ago
Text
Dilarang, FPI Tetap Ngotot Untuk Gelar Takbir Keliling Kemarin Malam - FROM RUMAHINJECT
WARTABALI.NET - Larangan Kepolisian untuk tidak mengadakan Takbir Keliling di Jakarta tampaknya tidak dihiraukan oleh ormas FPI, mereka buktinya kemarin tetap mengadakan aksi takbir keliling yang mana membuat macet dan tentu saja membuat kepolisian geram, tapi apa mau dikata, akhirnya kepolisian mengalah kepada FPI dan aksi takbir keliling dilakukan, simak informasinya dan bagaimana kronologisnya soal hal ini
- Sejak jauh hari, Polda Metro Jaya mengimbau untuk tidak melakukan takbir keliling kepada warga di DKI Jakarta. Sebab, takbir keliling dikhawatirkan memicu terjadinya pelanggaran lalu lintas, kecelakaan sampai aksi tawuran. Alasan polisi bukan mengada-ada. Memang setiap digelarnya takbir keliling saban tahun, banyak terjadi pelanggaran lalu lintas. Mulai dari pengendara yang tak pakai helm, kecelakaan, naik di atas mobil bak terbuka, sampai aksi tawuran pun pernah terjadi. Namun rupanya, imbauan ini tak diindahkan oleh Front Pembela Islam (FPI). Ratusan massa FPI ini tetap menggelar pawai takbiran, iring-iringan sepeda motor dan mobil ke sejumlah titik ibu kota. Polisi pun mencoba melarang pawai yang ingin digelar FPI ini. Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Suyudi Ario Seto langsung mendatangi markas FPI sebelum pawai dimulai. Suyudi ditemani Kaposek Tanah Abang, AKBP Suwarno membuka dialog, mencoba merayu FPI yang dipimpin Ketua DPP, Muchsin Alatas. Saat negosiasi, polisi dikepung ratusan massa. Muchsin tetap ngotot ingin menggelar takbiran keliling. "Dari zaman dulu takbir keliling sudah jadi tradisi kita, enggak boleh dilarang seharusnya, kalau dikawal enggak papa," kata Muchsin saat berdebat dengan polisi di Petamburan, Jakarta, Sabtu (24/6). Sementara Suyudi menegaskan, sudah ada perintah dari Polda Metro Jaya untuk tidak melakukan takbiran keliling. Sehingga dia berharap ratusan massa FPI itu hanya melakukan takbiran di kawasan Petamburan saja. [ads-post] "Kita sudah melarang kalau bisa takbirannya di Petamburan saja, nanti kita tutup jalan," kata Kapolres. Akan tetapi, FPI tak bergeming. Mereka ingin tetap berkeliling Jakarta dengan rute yang sudah ditentukan. Polisi pun mengalah, meminta agar kelilingnya ditentukan oleh pihak kepolisian. Polisi ingin, FPI takbiran keliling di kawasan Petamburan, menunju DPR, Tanah Abang, balik lagi ke Petamburan. Sayang keinginan polisi itu ditolak mentah-mentah oleh FPI. Dia ingin rutenya tak diubah. Rute yang diinginkan adalah Petamburan, Slipi, Cawang, Otista, Kampung Melayu, Senen, Gunung Sahari, Mangga Dua, Kota, Glodok, Harmoni, Hasyim Ashari, Tomang, Slipi, kembali ke Petamburan. Setelah hampir satu jam bernegosiasi, akhirnya polisi mempersilakan FPI untuk melakukan takbir keliling. Namun dengan catatan, dikawal ketat oleh personel kepolisian, TNI sampai intel. "Allahuakbar, Allahuakbar," teriak massa FPI usai polisi mempersilakan pawai takbiran. Massa pun mulai Pukul 21.00 WIB bergerak meninggalkan Petamburan. Terlihat ratusan massa menggunakan sepada motor dan mobil. Ada juga mobil ambulance dan mobil komando mengiringi. Sayang, massa pawai yang menggunakan sepeda motor tidak dilengkapi dengan helm, hanya mengenakan peci saja. Ketua Bantuan Hukum FPI DKI Mirza Zulkarnaen, takbir keliling dilakukan atas kemenangan satu bulan penuh menahan hawa nafsu dengan berpuasa. Menurut dia, tugas Polda Metro harusnya tidak melarang, tapi mengamankan. "Selama puluhan tahun (takbir keliling), geng motor ini tidak masuk akal. Sedangkan banyak di daerahnya lain seperti Riau, dibolehkan. Dan ini tidak masuk akal," kata Mirza di markas FPI, Petamburan, Jakarta, Sabtu (24/6). Mirza menjamin, takbiran keliling FPI akan berjalan tertib. Malah, kata dia, FPI kerap membantu aparat dalam menjaga ketertiban. "Takbir keliling ini adalah tradisi. Kalau ditiadakan itu aneh. Enggak pernah ada. Ada apa di balik penghalauan ini," kata dia. Sementara di tempat terpisah, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan mengatakan, sudah sejak awal pihaknya melarang adanya konvoi saat malam takbiran. Dia mengatakan, lebih baik melakukan acara di suatu titik, bukan konvoi di jalan raya. "Kan sudah saya sampaikan tempo hari, untuk apalagi, lebih bagus ikut acara ini, enggak ada gunanyalah, nanti orang bisa celaka, bersinggungan, bersentuhan, buang-buang waktu," kata Iriawan usai menghadiri acara 'Festival Bedug' yang digelar Pemprov DKI Jakarta di Balai Kota, Sabtu (24/6). Dia belum mendapatkan laporan bahwa FPI tak mengindahkan imbauan untuk tidak konvoi saat takbiran. Namun, kata dia, sudah ada anggota kepolisian yang menangani hal tersebut. "Enggak usah konvoi, ngapain konvoi. Nanti ada anggota yang menangani itu," kata Iriawan. [rnd] [error title="SUMBER BERITA" icon="exclamation-triangle"]Anda Meragukan Informasi Yang Ada Dalam Tulisan Diatas ?? Atau Anda Melihat Ada Masalah Soal Postingan Diatas, Silahkan Cek Sumber Berita - Atau Anda Dapat Menghubungi Kami Di Halaman Contact - Mari Sama Sama Saling Cross Check Sumber Berita : MERDEKA Judul Asli : Polisi akhirnya mengalah pada FPI [/error]
WARTABALI.NET - Media Informasi Kita Bersama
from Media Informasi Kita http://www.wartabali.net/2017/06/dilarang-fpi-tetap-ngotot-untuk-gelar.html
0 notes
sumutberitaaja · 7 years ago
Text
Ayah Lebih Suka Prilly Latuconsina Langsung Nikah
JAKARTA, WOL – Prilly Latuconsina mendapat dukungan dari sang ayah untuk mempertahankan status jomblo. Diutarakan Prilly saat ditemui di Jakarta, ia mendapat imbauan dari ayahnya agar kelak langsung menikah tanpa proses pacaran (taaruf). “Ya masih single, papa saya malah senang kalau saya nggak pacaran. Pengennya langsung nikah saja,” ujar Prilly baru-baru ini. Kendati diimbau untuk ... http://dlvr.it/PD0qVq
0 notes