#obat sakit mata merah sebelah
Explore tagged Tumblr posts
jualobatvertigoalami · 3 years ago
Text
PALING AMPUH,  CALL 0822-3300-0047 Obat Kanker Empedu
KLIK https://wa.me/6289519985910, Obat Herbal Kanker Lambung, Obat Herbal Kanker Lidah, Obat Herbal Kanker Servik Stadium Awal, Obat Herbal Kanker Mulut, Obat Herbal Kanker Hidung
Tumblr media
AGARILLUS HERBAL DRINK
Merupakan salah satu Produk kesehatan yang diformulasikan dengan proses fermentasi yang disempurnakan sistem penyulingan dengan konsep djava kuno yang berbasis mikroba positif yang sangat dibutuhkan tubuh untuk kesehatan.
Melayani Konsultasi GRATIS
CV.Mutiara Berlian Jl Ahmad Yani 267 Kelurahan Manahan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, Jawa Tengah
(SEBELAH BARAT TERMINAL TIRTONADI SOLO)
G-maps CV Mutiara Berlian ( https://g.page/agarillusherbal?share )
Konsultasi GRATIS : 0856-4020-0020
kunjungi website : https://mutiaraberlian.id
Testimoni ada di chanel kami : https://youtu.be/naoVWr5VyTE
#obatkankerberkhasiat #obatkankerbandung #obatkankercina #obatkankercolorectal #obatkankercervix #obatkankercirebon #obatkankercurzema #obatkankerdiapotik #obatkankerdarikalimantan #obatkankere
0 notes
jualjahemerahdisolo · 3 years ago
Text
TERJAMIN, CALL 0822-3300-0047 Obat Maag Terbaik Di Dunia
KLIK https://wa.me/6282233000047, Obat Susah Bab Anak 2 Tahun, Obat Susah Bab Anak 1 Tahun, Obat Susah Bab Anak Di Apotik, Obat Susah Bab Anak Alami, Obat Susah Bab Apotik
Tumblr media
CELTE
Agarillus Herbal Drink yang lebih disempurnakan dengan menambahkan 2 kandungan yang berbeda, yaitu kayu manis dan air kelapa. Memiliki cara kerja dan cara konsumsi yang sama. Melayani konsultasi GRATIS : 0856-4020-0020
CV. Mutiara Berlian
Jl. Ahmad Yani 267 Kelurahan Manahan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, Jawa Tengah (Sebelah Barat Terminal Tirtonadi)
Google Maps CV. Mutiara Berlian (https://g.page/agarillusherbal)
Konsultasi GRATIS : 0856-4020-0020 Kunjungi Website : https://mutiaraberlian.id
Kesaksian Pengguna CELTE ada disini : https://www.youtube.com/watch?v=5MVyHZebgiI
#obatlambunglukadiapotik #obatlambunglagiii #obatlambunglever #obatlambungnaikkedada #obatlambungoriginal #obatlambungpalingampuh #obatlambungrumahan #obatlambungracikandokter #obatlambungramuantradisional #obatlambungresepdokter
0 notes
Text
TERJAMIN,  CALL 0822-3300-0047 Foto Obat Kanker Ginjal
KLIK https://wa.me/6289527973040 ,  Obat Kolesterol Cepat Turun, Obat Kolesterol Cina, Obat Kolesterol China, Obat Kolesterol Cara Minum, Obat Kolesterol Dan Asam Urat Di Apotik
Tumblr media
 Agarillus Herbal Drink Merupakan 
Salah Satu Produk Kesehatan Yang Diformulasikan Dengan Proses Fermentasi Yang Disempurnakan Sistem Penyulingan Dengan Konsep Djava Kuno Yang Berbasis Mikroba Positif Yang Sangat Dibutuhkan Tubuh Untuk Kesehat
Melayani Konsultasi Gratis
 Cv.Mutiara Berlian Jl Ahmad Yani 267 Kelurahan Manahan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, Jawa Tengah
 (Sebelah Barat Terminal Tirtonadi Solo)
 G-Maps
Cv Mutiara Berlian ( https://g.page/agarillusherbal?share )
 Konsultasi Gratis : 0856-4020-0020
 Kunjungi Website : https://mutiaraberlian.id
 Testimoni Ada Di Chanel Kami : https://youtu.be/naoVWr5VyTE
 __________________________________________________________
#obathipertensigrade1 #obathipertensigenerik #obathipertensigolonganccb #obathipertensigolonganarb #obathipertensiherbalmurah #obathipertensiibuhamil #obathipertensijambi #obathipertensijabodetabek #obathipertensijsr #obathipertensikudus
0 notes
jualjahemerahbubuk · 3 years ago
Text
JAMINAN SEMBUH, CALL 0856-4020-0020 Obat Peradangan Bisul
KLIK https://wa.me/6281327377648, Obat Kolesterol Herbal, Obat Kolesterol Alami Yang Paling Ampuh, Obat Kolesterol Alami Buah Dan Sayuran, Obat Kolesterol Simvastatin, Obat Kolesterol Terampuh
Tumblr media
CELTE Agarillus Herbal Drink yang lebih disempurnakan dengan menambahkan 2 kandungan yang berbeda, yaitu kayu manis dan air kelapa. Memiliki cara kerja dan cara konsumsi yang sama.
Melayani konsultasi GRATIS
CV. Mutiara Berlian Jl. Ahmad Yani 267 Kelurahan Manahan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, Jawa Tengah (Sebelah Barat Terminal Tirtonadi, Solo)
G-Maps CV. Mutiara Berlian (https://g.page/agarillusherbal)
Konsultasi GRATIS : 0856-4020-0020
Website : https://mutiaraberlian.id Kesaksian Pengguna CELTE : https://youtu.be/EgBveOr9ZQY
#obatliverdiapotikterbuktiampuh #obatliverdiapotikresepdokter #obatliverdikimiafarma #obatlivergenixoriginal #obatlivergenix #obatlivergenix_hepatoprotektif #obatlivergenixresmi #obatlivergenixalami #obatliverhalal #obatliverherbaldenatureasli
0 notes
payadwipa · 3 years ago
Text
BEBUDHEN
“KARAKTER SESEORANG ADALAH NASIB DAN PERUNTUNGANNYA.”
-HERAKLITUS
 Bebudhen dalam bahasa jawa memiliki arti kepribadian. Setiap manusia memiliki kepribadian yang unik. Sering dikatakan dengan istilah pemarah, pemalu, ramah dan lain sebagainya. Keunikan itulah pembeda yang nyata dari setiap inidividunya. Bahkan saudara kembar berjenis kelamin sama pun terdapat perbedaan kepribadian.
Pernahkah terlintas di benakmu, mengapa kepribadian bisa berbeda tiap satu sama lain? Lalu kenapa kita harus berbeda jika pada akhirnya mencari-cari kesamaan diantara kita? Pertanyaan yang cukup membuat otak kita berpikir tentang alasan dan menduga darimana asal perbedaan. Kehidupan seolah menyeret kita melewati ruang dan waktu tanpa menjelaskan hal tersebut. Terpaksa menyusuri ruang-waktu, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan waktu terus berputar yang bahkan kita tak tahu seberapa jauh dan lama perjalanan yang sudah ditempuh.
Terdengar seperti pembahasan yang berat ketika anda membaca dua alinea pendahulu. Saya harap kamu tidak terburu menutup bab ini karena terkesan terlalu berat. Nikmati saja sajian ini karena saya selalu berusaha menampilkan hubungan antara manusia dengan kepribadian dengan sedekat mungkin dan dapat dinikmati, semoga.
Mari gunakan ingatanmu ketika mendengar kalimat ini: sok ambis lu, kepo amat sih, lebay lu, yaelah gitu doang ngeluh, sok kuat deh, gausah sok cool. Kalimat yang familiar dapat kita temui di kehidupan sehari-hari. Seolah menunjukkan perbedaan diantara satu individu dengan individu lainnya. Kebiasaan yang berulang terus-menerus secara tidak sadar semakin menunjukkan bahwa perbedaan memang nyata di kehidupan ini. Kemampuan suka terhadap hal tertentu juga berbeda setiap orangnya. Kecenderungan suka menghitung menggiring kebiasaan agar bertemu dengan angka sehingga mewujudkan ekspresi senang atau malah ahli dalam segala hal yang berhubungan dengan angka, seperti matematika. Ada yang pendiam ketika sedang sakit, ada pula yang suka berceloteh ketika bertemu orang baru. Kita menyebut itu semua sebagai kepribadian. Letaknya lebih jauh maknanya dari karakter dan sifat. Kepribadian merupakan suatu unsur karakter yang bersifat bawaan dan individual.
Guna menjelaskan hal itu semua, saya berencana membawa kamu menjadi seukuran genom. Ya, kamu tidak salah dengar bahwa saya mengajakmu mengecilkan diri menjadi sekecil genom. Tenang jangan protes terlebih dulu, kenapa harus jadi genom? biarkan saya menjelaskan kenapa harus menjadi sekecil genom dan kenapa harus “genom”.
Genom manusia adalah seperangkat paket berisi dua puluh tiga pasangan kromosom yang berpisah-pisah. Dalam tubuh manusia terdiri atas sekitar 100 triliun SEL, yang kebanyakan diameter kurang dari sepersepuluh millimeter. Di dalam setiap sel ada sebuah bintik atau gumpalan hitam yang disebut inti atau NUKLEUS. Di dalam inti ada dua perangkat lengkap (sepasang-sepasang) genom manusia (kecuali dalam sel-sel telur dan sel-sel sperma, yang masing-masing memiliki seperangkat atau sebelah pasangan seperti XX YY X Y, dan sel-sel darah merah yang tidak memilikinya sama sekali). Pada prinsipnya, tiap perangkat tadi terdiri atas 30.000 hingga 80.000 gen yang sama pada kedua puluh tiga KROMOSOM yang sama. Dalam kenyataan, sering ada sedikit perbedaan antara versi gen asal ayah dan versi gen asal ibu, misalnya perbedaan yang terkait dengan mata biru atau mata cokelat. Ketika sepasang suami istri mempunyai keturunanm mereka mewariskan satu perangkat yang lengkap, tetapi itu merupakan hasil saling tukar menukar antara sebagian kromosom-kromosom ayah dan ibu dalam prosedur yang disebut REKOMBINASI.
    Sekarang kita bayangkan bahwa genom adalah sebuah buku.
    Buku ini berisi dua puluh tiga bab, disebut KROMOSOM.
    Tiap bab berisi beberapa ribu cerita, disebut GEN.
     Tiap cerita tersusun dari paragraph-paragraf, disebut EKSON, yang diselang- seling dengan iklan, disebut dengan INTRON.
      Tiap paragraph terbentuk dari kata-kata , disebut KODON.
      Tiap kata ditulis dalam huruf-huruf, disebut BASA.
  Andai kata saya harus membacakan genom kepada kamu dengan kecepatan satu kata per detik selama delapan jam sehari, kita akan memerlukan waktu satu abad. Apabila buku bahasa Indonesia ditulis dalam kata-kata dengan panjang berbeda-beda menggunakan dua puluh enam huruf, genom ditulis seluruhnya dalam kata-kata yang masing-masing terdiri atas tiga huruf, menggunakan empat huruf yang tersedia: A, C, G, dan T yang berturut-turut merupakan kependekan untuk ADENIN, CYTOSINE, GUANIN, dan TIMIN. Alih-alih ditulis secara rata pada sebuah halaman, genom ditulis pada rantai-rantai panjang gula dan fosfat, disebut molekul-molekul DNA tempat basa-basa melekat ke samping membentuk anak tangga. Tiap kromosom adalah sepasang molekul DNA yang (sangat) panjang. Perbedaan mendasar dari genom dan buku bahasa Indonesia yaitu genom dapat membaca dan menyalin dirinya sendiri. Mungkin penjelasan mengenai genom cukup sampai di sini, jika kamu mulai tertarik tentang genom tunggulah di bab selanjutnya. Karena sekarang waktunya berwisata ke dalam GENOM. Let’s do this!
Guna mencari tempat wisata gen-gen yang memengaruhi kepribadian, tiba saatnya kita mengetahui bahwa tubuh manusia berisi listrik untuk bergerak dan bahan-bahan kimia untuk pikiran. Di sini kita akan menuju pabrik kimia yang sangat kompleks bahkan lebih kompleks dari pabrik farmasi yang setiap hari bergelut dengan bahan kimia. Persiapkan dirimu.
Di lengan pendek kromosom 11, ada sebuah gen bernama D4DK gen ini merupakan resep untuk satu protein yang disebut reseptor dopamin, dan gen ini teraktifkan dalam sel-sel bagian tertentu otak tetapi tidak pada yang lain. Dopamin adalah sebuah neurotransmitter, yang dilepaskan dari ujung-ujung neuron-neuron lain melalui sinyal listrik. Sedikit saya jelaskan mengenai cara kerja otak kita: bahwa sinyal listrik yang merangsang sinyal kimia, yang pada gilirannya merangsang sinyal listrik. Seperti halnya sakelar listrik yang tertanam dalam sebuah reaktor kimia yang sangat peka. Sakelar bisa membukakan aktivitas untuk bahan kimia mengalir, begitu juga bahan kimia dapat mengalir dengan membuka sakelar.
  Kehadiran sebuah gen D4DK yang aktif dalam satu neuron langsung mengenali neuron itu sebagai anggota salah satu rangkaian reaksi biokimia yang dimediasi oleh dopamin dalam otak. Kekurangan dopamin dalam otak menyebabkan kepribadian yang malas, membuat keputusan bahkan malas menggerakan tubuh. Kasus ekstremnya adalah penyakit PARKINSON. Pada uji coba tikus yang gen-gen pembuat dopamin dinonaktifkan akan mati kelaparan. Sebaliknya, kelebihan dopamin dalam otak tikus akan mengakibatkan tikus sangat ingin tahu dan semangat berpetualang. Pada manusia, kelebihan dopamin bisa langsung menyebabkan SKIZOFRENIA; dan beberapa obat penyebab halusinasi bekerja dengan cara merangsang sistem dopamin. Dengan kata lain untuk mudahnya, dopamin boleh disebut bahan kimia perangsang otak. Kalau bahan itu terlalu sedikit, orang yang bersangkutan kurang motivasi dan kurang inisiatif. Jika terlalu banyak, yang bersangkutan mudah bosan dan sering sengaja mencari petualangan baru. Di sinilah barangkali letak perbedaan pada kepribadian manusia.
Orang-orang dengan gen-gen D4DR(gen yang ditemukan oleh Richard Ebstein) “panjang” kurang responsive dalam menangkap dopamin, maka mereka perlu pendekatan pengalaman lebih banyak dalam hidup ini guna merasakan “gairah” dopamin yang sama seperti dialami oleh para pemilik gen-gen “pendek” dari kegiatan sehari-hari. Dalam pencarian kegairahan inilah mereka mengembangkan kepribadian yang menyukai hal-hal baru. Masalahnya ternyata tidak sesederhana itu. Penelitian yang dilakukan dengan objek kera-kera bayi yang pada dasarnya pemalu diasuh oleh induk yang percaya diri, mereka dengan cepat mengalahkan sifat pemalu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan yang tepat mampu mengubah kepribadian bawaan. Suatu kelompok pengobatan yang membaca berita mengenai penemuan genetika tersebut beralih dari berusaha mengobati sifat pemalu klien mereka ke mencoba membuat mereka menerima kepribadian bawaan. “Di luar dugaan dengan melepaskan anggapan bahwa kecenderungan mendasar seseorang adalah penyakit dan memperbolehkan setiap klien menjadi apa pun yang sesuai dengan mereka, tampaknya justru menjadi jaminan terbaik bagi mereka bahwa rasa harga diri dan efektivitas antarpribadi mereka akan lebih baik.” Dengan kata lain, memberitahu bahwa sifat pemalu mereka alamiah malahan memudahkan mereka mengatasi sifat pemalu tersebut.
  Sepupu dopamin adalah serotonin, serotonin juga merupakan perwujudan kimia kepribadian. Andai kata kamu memiliki kadar serotonin luar biasa tinggi dalam otak, kamu mungkin akan menjadi orang yang kompulsif, msalnya dalam hal kerapian dan kehati-hatian. Sebaliknya orang dengan kadar serotonin luar biasa rendah dalam otak mereka cenderung bersifat impulsif. Para pelaku kejahatan yang sadis akibat dorongan-dorongan impulsif sering kali adalah mereka mereka yang kekurangan serotonin.
Obat bernama Prozac bekerja dengan cara memengaruhi sistem serotonin. Prozac menghalangi reabsorpsi serotonin ke dalam neuron, dan dengan demikian meningkatkan kadar serotonin dalam otak. Peningkatan serotonin meringankan kecemasan dan depresi dan dapat mengubah orang pesimis menjadi optimis. Itu sebabnya sebagai contoh, ada sebuah hubungan menarik antara malam hari saat hujan, hasrat kuat kuat menyantap cemilan, dan mengantuk. Malam-malam yang gelap saat hujan membuat mereka sangat ingin menyantap cemilan karbohidrat menjelang semakin larut malam. Orang-orang seperti itu sering merasakan harus tidur lebih lama padahal ketika bangun tubuh tidak merasa segar seperti harapannya. Penjelasan untuk ini tampaknya adalah bahwa otak mulai membuat melatonin (hormon perangsang tidur) sebagai reaksi terhadap kegelapan yang datang di malam hari. Melatonin terbuat dari serotonin, maka kadar serotonin langsung turun karena sebagian dipakai untuk membuat melatonin. Cara paling cepat untuk menaikkan kadar serotonin adalah mengirimkan triptofan lebih banyak ke dalam otak, karena serotonin terbuat dari triptofan. Cara paling cepat untuk mengirim triptofan ke dalam otak adalah dengan sekresi insulin dari pankreas, karena insulin menyebabkan tubuh menyerap bahan-bahan kimia lain yang sejenis dengan triptofan, dan dengan demikian menyingkirkan para pesaing dalam pemakaian saluran-saluran yang membawa triptofan ke dalam otak. Dan cara paling cepat untuk sekresi insulin adalah memakan makanan yang mengandung karbohidrat. Pesan yang dapat kamu bawa ke perkumpulanmu adalah kamu dapat mengubah kadar serotonin dengan mengubah kebiasaan makan. Sesungguhnyalah, bahwa obat-obat diet yang dirancang untuk memnurunkan kolesterol darah dapat berpengaruh terhadap serotonin.
  Ada sebuah fakta yang sangat menarik bahwa hampir semua studi untuk obat-obat dan diet penurun kolesterol pada orang biasa menunjukkan peningkatan kematian lewat kekerasan dibanding sampel kontrol dengan penurunan kematian akibat serangan jantung. Ketika semua studi digabungkan, pengobatan kolesterol mengurangi kasus serangan jantung sebanyak 14%, tetapi menaikkan kematian lewat kekerasan dengan angka jauh lebih signifikan 78%. Oleh karena itu ada anekdot dua orang yang satu makan tempe dan satunya makan daging, orang pertama disangka akan sehat karena makan tempe mendapat protein, ternyata lebih tinggi emosinya daripada orang yang kedua karena dia hanya makan tempe. Sedangkan orang yang kedua memakan daging yang bisa jadi kaya kolesterol (HDL,LDL,Trig) menjadi lebih tenang. Akhirnya kita tahu penyebab ilmiahnya. Lalu apakah bahan kimia dalam tubuh penyebab atau akibat dari berbedanya kepribadian? Hampir semua orang berpendapat bahwa bahan kimia dalam tubuh adalah penyebab: alasan mereka adalah bahwa perilaku dominan ditentukan oleh kadar serotonin, bukan sebaliknya. Dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya: kadar serotonin berubah-ubah sesuai persepsi tentang kondisi, bukan sebaliknya.
Walaupun demikian, jelas bahwa kepribadian bawaan beragam sekali, dan beragam pula reaksi orang terhadap rangsangan-rangsangan sosial yang diinformasikan melalui neurotransmitter. Ada gen-gen yang berfungsi mengubah-ubah laju pembuatan serotonin. Ada gen-gen yang mengubah-ubah tanggapan reseptor-reseptor pembuat serotonin. Ada gen-gen yang membuat bagian tertentu dalam otak lebih reaktif terhadap serotonin dibanding bagian-bagian lain. Dan sebagainya, dan seterusnya.
Sekali lagi menggarisbawahi kenyataan bahwa yang kita sebut kepribadian sampai batas tertentu terkait sekali dengan kimia otak. Ada sejumlah cara berbeda di mana salah satu bahan kimia bernama serotonin dapat dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan bawaan dalam kepribadian. Semua tadi tampak dari cara serotonin menyikapi segala sesuatu seperti sinyal-sinyal sosial,, misalnya. Inilah realitas dalam hubungan antara gen-gen dan lingkungan: yakni terbentangnya suatu jaringan interaksi yang sangat kompleks antara keduanya. Perilaku sosial bukan sekedar beberapa rangkaian peristiwa atau fenomena luar yang mendadak memengaruhi pikiran dan tubuh kita. Ia sudah menjadi bagian yang melekat bahkan akrab sejak awal, dan gen-gen kita diprogram tidak hanya untuk menghasilkan perilaku sosial, namun juga cara menanggapi pengaruh-pengaruh sosial dari luar.  
11 notes · View notes
ferdianndika · 4 years ago
Text
Bapak Tua Bersepeda Ungu
Tumblr media
Dari arah Masjid Raya Sumatera Barat, di ujung jalan tak jauh dari perempatan lampu merah menuju GOR Agus Salim. Seorang bapak tua berbaju kotak-kotak mengayuh sepeda tuanya yang berwarna ungu membawa sesuatu yang dibungkus kantong plastik hitam di tangan kirinya.
Tidak ada yang tau isi kantong plastik hitam itu apa, mungkin sebungkus sarapan pagi yang telat untuk dirinya dan keluarga yang menunggu di rumah, atau bisa jadi sebungkus tenaga untuk anaknya yang sedang sakit, atau sekantong harapan kosong yang tidak tau kapan akan terealisasikan, dan terkaan terburuk bahwa itu hanyalah sebungkus sampah yang ia coba kumpulkan untuk mendapatkan sedikit recehan demi membeli smartphone termurah untuk si bungsu yang sudah delapan bulan kesulitan mengakses materi pembelajaran karena pandemi dan di rumahkan pihak sekolah.
Sepeda yang tidak memiliki rem itu, telah menemaninya berkeliling kota Padang selama tujuh tahun. Pernah diserempet angkot biru di dekat jembatan di atas sungai yang biasanya digunakan untuk perlombaan dayung perahu itu. Si bapak tua dimaki seolah-olah dia adalah orang yang salah kenapa sopir angkot menyenggol si bapak tua karena terlalu lambat mengayuh sepeda ringkih berwarna ungu yang sudah mulai pudar itu.
Dari kejauhan, si bapak yang tadi mengayuh sepeda ungunya itu berhenti di depan toko tani. Sepertinya ia ingin membeli sedikit bibit untuk ditanam, atau membeli pupuk untuk bibit yang sudah ia rawat sejak dua bulan lalu namun belum juga muncul ke permukaan. Ia lama sekali di dalam toko tani itu, entah karena bingung ingin membeli apa, atau belum cukup yakin dengan rencana yang telah ia bicarakan dengan istrinya di malam senin dua hari yang lalu.
25 menit sudah si bapak dengan sepeda ungu itu di dalam toko tani, akhirnya ia pun keluar membawa sebotol arsenik berwarna putih dengan tutup merah berukuran 200 ml. Tapi, dari raut wajahnya yang lelah dan keras, tersirat rasa takut dan kecewa di balik kelopak matanya yang sayu kurang tidur. Sepertinya ia kecewa tidak bisa membeli bibit baru untuk ditanam hari ini, atau sedikit khawatir bahwa tanaman yang belum juga tumbuh itu ternyata harus ia racun karena ada hama.
Ia putar sepedanya, mengayuh dengan sisa tenaga dan rasa bersalah yang mungkin nanti akan ia sesali selama hidup karena kemiskinannya hari ini dan bayang-bayang masa muda yang berfoya-foya menyisakan dirinya yang bangkrut tanpa tabungan untuk menghidupi si bungsu. Dan dua anak laki-lakinya, kakak si bungsu yang pergi dari rumah tanpa tau terimakasih. Mengayuh sepeda dengan perasaan campuraduk, mencoba yakin, tapi takut tidak berhasil.
Si bungsu sakit. Si bapak yang mengayuh sepeda menuju rumah dengan membawa sebotol arsenik tadi mungkin lupa untuk membeli obat si bungsu yang sudah terbaring sejak minggu lalu. Badannya panas, sakit tenggorokan, sesak napas, dan sakit kepala yang sudah sudah seminggu si bungsu rasakan. Istrinya di rumah mengurus si bungsu, mencoba memberi makan dari apa yang tersisa di dapur rumah mereka yang sudah dua bulan tidak ada lauk, garam dan gula. Hanya ada beras yang tersisa setengah kantong kresek hitam.
20 menit mengayuh sepeda, si bapak tua itu akhirnya tiba di rumah kayu yang atapnya ditembus air ketika hujan. Kakinya bergetar, karena terlalu lama mengayuh pedal melewati jalan menanjak. Ia membuka pintu lapuk yang sudah ditahan dengan kayu kecil agar tak jatuh ditiup angin sembari mengucapkan salam yang mungkin salam terakhir yang dia ucapkan, atau salam terakhir yang di dengar si bungsu dan istrinya.
Sudah pukul 15.27 WIB, waktu ashar sudah masuk sejak dua menit yang lalu. Si bapak tua mengajak istrinya untuk shalat ashar berjama’ah di samping si bungsu yang tertidur karena sudah seminggu menahan sakit. Napasnya berat, tak terdengar. Setelah shalat ashar, si bapak tua pergi ke dapur, mengambil botol arsenik bekas, dan membagi dua isi botol arsenik yang tadi ia beli di toko tani. Satu botol ia letakan di dekat pintu belakang, satu botol lagi ia letakan di dekat termos bekas di dapur.
Si bapak tua mendekati si bungsu. Ia mendekap anak bungsunya itu, sambil mengelus-ngelus rambut panjang yang menutup dahinya itu. Si bungsu masih tertidur, namun si bapak mencoba berbicara dengannya. Sesekali si bapak mengusap air mata yang jatuh dari mata lelahnya itu. Mungkin ia menyesal, merasa takut, atau merasa bersalah karena belum mempunyai uang yang cukup untuk mengobati si bungsu.
Buk Saidah, istri si bapak tua tadi. Ia berjalan menuju sebuah rumah kayu 300 meter dari rumahnya. Ada satu keluarga pemulung yang hidup di sana. Bu Saidah berbicara pelan, sambil sesekali mengusap air mata yang jatuh dari matanya yang lesu. Bu Nurai, ibu dari keluarga pemulung tadi, mendengarkan bu Saidah berbicara sambil sesekali mengelus bahunya. Sepertinya ada masalah yang berat sekali. Di akhir pembicaraan, bu Saidah menitipkan sebuah kalung, tidak emas, hanya kalung biasa. Ia keluarkan dari balik jilbab panjang yang menutupi kepalanya. Ia berikan kepada bu Nurai sambil memberikan pesan yang tak satupun orang tahu kecuali mereka berdua, dan Yang Maha Mendengar di atas sana.
Maghrib sudah terbenam, sudah semakin dekat, sudah semakin sesak. Tubuh si bapak dan si ibu sama bergetar. Di bawah sinar lampu yang redup di dalam rumah kayu yang rapuh itu, bapak dan bu Saidah sedang makan. Si bungsu masih terlelap dengan napas yang berat, dan tak terdengar. Bapak dan bu Saidah makan dengan tangan bergetar, sesekali saling menatap, seolah mereka ragu tapi tidak mungkin lagi menunda apa yang sudah mereka bicarakan senin 2 hari yang lalu. Selesai makan, bu Saidah mengambil kain panjang yang sudah lusuh dar lemari kecil yang sudah usang dimakan rayap. Ia bentangkan kain itu menutupi kaki si bungsu.
Bapak sedang menunggu di kamar sambil membawa dua gelas minuman yang akan mereka nikmati. Sudah lama sekali bapak dan bu Saidah tidak seperti ini. Malam sudah larut, bu Saidah duduk di sebelah bapak. Mereka terdiam, mungkin membayangkan masa-masa saat mereka masih hidup dengan harta kekayaan. Malam sudah pekat, si bapak memegang tangan bu Saidah, mencoba mendekati bu Saidah, sambil berbisik. Bu Saidah hanya menangis tanpa suara, sesekali diusap bapak air matanya.
Tidak lama, bapak dan bu Saidah mengakhiri pembicaraan malam itu. Mereka tutup malam itu dengan meminum segelas arsenik yang dipisahkan bapak sore tadi. Malam itu, menjadi malam yang panjang bagi mereka. Esok pagi, tak ada lagi bunyi sepeda ungu tua yang dikayuh. Esok pagi, tak ada lagi suara bu Saidah membangunkan si bungsu untuk makan. Malam ini semuanya usai, masalah mereka sudah selesai di dunia. Tersisa si bungsu yang masih juga terlelap. Di barzah sana, bapak dan bu Saidah babak belur dilucuti cambuk dan dihantam batu besar oleh sosok hitam besar yang mengerikan. Si bungsu hanya bisa melihat mereka dari atas, ia bersama dua kakaknya memandang bapak dan bu Saidah yang kena siksa. Malam telah usai, bapak dan bu Saidah tak dapat ampunan.
 ***
Pak Bahri, bapak tua yang menenggelamkan 2 anak laki-lakinya di sungai besar di belakang rumah. Menjemput ajalnya dengan sang istri di kamar tua, berharap ada yang memungut si bungsu nanti setelah kematiannya.
Kini, pak Bahri dan bu Saidah menyesal. Selamanya mereka disiksa, sedangkan tiga anak mereka melihatnya dari atas surga.
[CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA]
Padang, 3 November 2020
Ferdian Dika
2 notes · View notes
warnawarnilangit · 4 years ago
Text
Mensyukuri Nikmat Sehat
Beberapa hari ini bapak sedang kurang fit sehingga perlu minum obat. Saya yang jarang minum obat pun agak bingung dengan aturan minum obat 8 jam sekali, sebelum makan atau sesudah makan. Saat itu terlintas dalam hati, masyaallah nikmat sehat itu luar biasa ya.. tanpa perlu memikirkan kapan jadwal minum obat :D. Doakan Bapak lekas sehat yaa..
.
Malam ini saya juga merenung kembali ketika sedang menesteskan obat mata. Alhamdulillah ala kulli hal, yang sakit hanya mata sebelah kiri, bukan keduanya. Alhamdulillah kemarin masih bisa beraktivitas biasa, meskipun kadang nyeri. Alhamdulillah, hari ini sudah tidak timbul nyeri meskipun masih merah. Alhamdulillah puluhan tahun hidup sepertinya baru kali ini harus pakai obat mata..
.
Dengan dua kondisi diatas, semoga setelah ini Fita jadi lebih banyak bersyukur yaa.. Syukur yang ikhlas dari hati, diucapkan dengan lisan dan diwujudkan dengan menambah amal kebaikan.
.
Oh iya, satu lagii.. Alhamdulillah bersyukur dikelilingi orang baik. Konsultasi online beli obat online :). Semangat berlomba menjadi pribadi yang lebih baik karena Allah.
Tumblr media
04/10/2020
2 notes · View notes
nonamendung · 5 years ago
Text
Mengulang Perasaan
1. Manusia Favorit
Hai, aku menulis ini karena rindu. Namanya Zaid. Tepatnya Zaidan Akbar, manusia pecinta kopi favoritku. Aku tidak ingin berlebihan mendeskripsikan bagaimana Zaid bisa menjadi favoritku. Jadi, biarkan kuceritakan pelan-pelan, ya. Lagipula, aku selalu dibuat kesulitan bagaimana menjelaskan Zaid yang kukenal dulu, bagaimana spesialnya dia, bagaimana dia membuatku bergantung dengan eksistensinya.
Zaid adalah salah satu sahabatku. Sahabatku tidak banyak, dan beruntungnya, Zaid adalah orang ketiga yang kupaksa agar mau.
Aku mengenalnya lima tahun yang lalu. Saat itu aku masih menjadi mahasiswa yang hobi minta tebengan sana-sini. Jadi, yang paling sering kurepotkan adalah dua orang sahabatku, Dara dan Apuy. Mereka juga mengadopsiku sebagai anak. Kalau lagi masak enak, aku diundang buat makan. Kalau mau makan enak, aku diajak, ditraktir pula. Belum lagi diantarin kemana-mana. Mereka juga favoritku by the way. Hmm, biar adil saja.
Oke, semua berawal dari ajakan nongkrong malam minggu. Dara mengajak kami melakukan triple dates. Ya, karena waktu itu aku punya pacar. Dan seperti biasanya, pacarku yang super sibuk itu tidak bisa ikut. Setelah membalas pesan Dara dan bersiap menggulung diri di bawah selimut, aku dikagetkan dengan suara klakson motor, disusul suara cempreng Dara yang menyuruhku keluar.
“Ya ampuuun! Masih berantakan anak gadis iniii?” Dara menarik pipi kananku begitu melihatku muncul.
“Aku kan udah bales chatnya. Enggak bisa ikut.”
“Terus mau ngapain di kamar? Kosan sepi begini. Ntar diculik, aku nggak tega.”
Aku meringis, menggaruk-garuk tengkuk.”Enggak ada penculik yang mau repot sama aku.”
“Dasaaar. Siap-siap, sana. Kita tungguin.”
“Sama siapa?” aku melongok ke depan. Hanya tampak dua motor di luar pagar, tak terlihat jelas pengemudinya karena pencahayaan yang kurang terang dari lampu taman.
“Andra, sama Zaid. Apuy nggak bisa jemput, motornya masuk bengkel.”
“Hah? Siapa tuh?”
“Temen Andra. Temenku juga.”
“Andra sama kamu?”
“Ya iya dong, Waaan. Andra kan pacarku.” Dara mulai terlihat tidak sabar, tangannya seperti hendak menarik pipiku lagi.
Ah iya, sebelum semua salah paham. Aku bukan laki-laki dan namaku bukan Wawan atau Iwan. Mamaku tersayang menamaiku Wanita Senja. Aku enggak paham filosofinya, mungkin karena mama ingin aku menjadi sebenar-benarnya “Wanita”.
“Ayo, Waaan.” Dara mendorong-dorong bahuku.
“Aku sama Andra aja, plis?” Aku memohon-mohon, masih tak tahu diri.
“Sialan amat sih Waaan jadi temen!” Sekarang Dara tak bisa menahan diri, dia mencubit pipiku kuat-kuat sambil tertawa.
Lagi-lagi aku pasrah, memegang pipiku yang merah-merah.
Dara belum menghentikan tawanya, mendorong-dorongku masuk. “Ya udah, siap-siap sana! Andra enggak bakal mau bawa cewek pakai piyama kucel gitu.”
Setelah pontang-panting mengganti piyama kesayanganku dengan kaos hitam gombrong, cardigan rajut hitam, celana jogger hitam, boots hitam, aku sekarang kerepotan mencari topi hitamku. Apa masuk ke keranjang baju kotor? Kusempatkan diri mengais-ngais isi keranjang ketika tiba-tiba Dara menerobos masuk.
“Allahu akbar! Ngapain, Wan?”
“Nyari topi.”
Dara berkacak pinggang, satu tangannya kemudian naik memijit pelipis. “Kawan awak kapan sembuhnya iniii. Enggak usah pake topi! Sini, rambutnya digerai aja.” Dara menjulurkan tangan bersiap melepas gulungan rambutku.
Dengan cepat aku mengelak, “Eits, jangan, jangan! Dikuncir aja deh, enggak usah lepas.”
“Ya udah, sini aku rapiin.”
Dengan telaten, persis emak-emak, Dara menyisir rambutku, kemudian menguncirnya menjadi satu. Bahkan setelah dikuncir pun, rambutku hampir mencapai pinggang. itu lah kenapa aku lebih suka mencepol rambut.
“Gini lebih enak dilihat. Senyum dikit, Wan. Ntar Zaid takut sama kamu. Udah bajunya item semua.”
“Bagus deh.”
Aku mengikuti Dara keluar, kemudian mendapati wajah ramah-menawan-baik budi milik Andra, seperti yang biasa kulihat, duduk dengan sabar di atas motornya.
Aku melambaikan tangan dengan semangat, yang lagi-lagi disambut Andra dengan senyum malaikatnya. Jangan-jangan, Dara memang seorang peri di kehidupan sebelumnya, makanya sekarang punya pacar sebaik Andra. Kumantapkan langkahku menuju motornya. Tapi kok? Ekspresi di wajah Andra beru…bah?
“Wawan mau bareng… saya?” Tanya nya hati-hati.
Aku mengangguk, sedikit mengurangi antusiasku.
“Eh?” Andra kini terlihat gelisah. Matanya bergerak-gerak menatap ke belakangku.
Andra kenapa? :(
“Drama apa ini?”
Aku menoleh ke sumber suara. Ah iya, ini dia Si Zaid-Zaid yang disebut tadi. Kuperhatikan lelaki jangkung yang sedang merapatkan jaket kulit yang dipakainya. Aku mendapatinya terang-terangan menatapku bosan. “Ayo, buru! Gua mau nonton bola.” Bahkan aku bisa mendengar nada kesal dalam suaranya.
Aku menatap Dara, meminta pertolongan pada Ibu periku.
“Hmm, gini, Wan. kamu sama Zaid aja ya… aku sama Andra mau mampir ke apotek bentar. Ya?”
Karena tidak diberikan pilihan, aku berjalan terseok-seok menuju motor sport milik Zaid. Aku benci motor itu. Bahkan sebelum duduk aku sudah sakit pinggang duluan.
Zaid menyerahkan helm untukku. Setelah memasang helm, aku susah payah naik ke motornya, dan dia sama sekali tidak terlihat untuk membantuku. Baru kemudian ketika aku berhasil duduk, suara datar itu terdengar, “Aku baru tahu Wawan nama perempuan.”
“Namaku bukan Wawan.”
Kulihat dia buru-buru mengangkat sebelah tangannya, “Enggak usah dibahas. Dan jangan ajak bicara, aku pendiam.”
Sial.
***
Kami tiba lebih dulu di warkop, Zaid masih belum bicara. Dia hanya mengajakku masuk dengan gesturnya. Karena tidak ingin terlihat canggung, kubilang saja aku menunggu Dara dulu.
Setelah dia melepas helmnya, aku baru tahu Zaid punya rambut ikal yang tebal. Kuberanikan diri menatap wajahnya. Kulitnya kecokelatan. Dahi yang mengernyit saat menatapku, alis tebalnya berantakan seperti rambutnya, sepasang mata hitam pekat, tidak terlihat ramah, anehnya juga tidak menakutkan, hidungnya mancung, tapi tak terlihat seperti perosotan. Sialnya, selain sebuah tahi lalat di atas bibir, aku sama sekali tidak menemukan satu jerawat pun di wajahnya. Pfft, jiwa insecure ku terpanggil.
Mungkin karena jengah diperhatikan, Zaid memilih masuk dan meninggalkanku sendiri di parkiran.
***
Aku sama sekali tidak paham konsep triple dates yang dimaksud Dara. Faktanya, setelah masuk, aku menemukan Apuy dan segerombolan lelaki yang kuanggap spesies Zaid. Hmm, Zaid memang lebih enak dilihat, walaupun rambut ikalnya enggak rapi, dan jaket kulitnya yang hanya dia dan Tuhan yang tahu sudah berapa lama tidak dicuci. Begitu melihatku, Apuy dengan semangat memperkenalkan dan menjorok-jorokkan ku untuk duduk di antara mereka. Apa-apaan ini?
Aku memilih duduk di pojokan setelah memesan segelas susu hangat. Sungguh kesialan yang hakiki terjebak di antara geombolan yang berisik ini. Mereka sibuk melemparkan jokes yang anehnya tak mampu membuatku tertawa. Tapi, kucoba juga sesekali tertawa garing.
“Kok lu bisa sih ngajak Roma ngedate malam minggu, Za? Roma, punya pacar kan lu?”
Itu, omongan si botak yang kulihat paling hiperaktif di antara mereka.
Kulirik Zaid yang duduk di seberangku, dari tadi dia memang terlihat asyik ngobrol berdua dengan laki-laki keriting manis di sebelahnya yang kuanggap bernama Roma. Lihat itu, pakai rangkul-rangkul segala.
Zaid dengan santai melepas rangkulannya, lalu membalikkan badannya menatap Roma, sambil bilang, “Karena gua lebih bisa memenuhi kebutuhannya, daripada ceweknya.”
Jawaban santai Zaid disambut gelak tawa oleh gerombolan itu. Yang ditatap mesem-mesem.
“Gua kasih dia tumpangan buat tidur, gua masakin, beliin rokok, ngasih jajan pas akhir bulan, gua isiin bensin lagi buat jalan sama pacarnya. Gua kurang apa coba?”
Lagi-lagi tawa mereka meledak. Roma yang masih mesem-mesem, akhirnya mengeluarkan suara, “Iya, apa jadinya aku kalau gak ada kau ya, Za? Nikahi aku sekarang, Bang.”
“Anjaaay!” Zaid meraup wajah Roma dengan tangan besarnya.
Eh, kok lucu?
***
Mereka mulai berhenti membully Roma ketika pertandingan live bola dimulai. Aku memang tidak ikut teriak-teriak heboh seperti pria-pria kesepian yang kutemui malam itu. Aku akan mendukung siapapun yang menang!
Tapi, perutku sedang tidak bersahabat. Aku memang belum makan malam, ternyata segelas susu tidak cukup membantu malam itu. Aku baru saja hendak memanggil Dara, ketika dia tiba-tiba bangkit lalu mendekat ke arahku, “Wan, aku keluar sebentar ya sama Andra, masih harus nyari obat lagi.” Bisiknya.
Kenapa mereka tiba-tiba jadi tukang obat malam ini?
Baru saja mau protes, Dara sudah melangkah pergi sambil melambai. “Puy, nanti antarin Wawan pulang yaa. Bye semuaaa!”
Kulirik Apuy, dia hanya mengacungkan dua jempol kepada Dara kemudian kembali larut dalam bisik-bisik manja bersama Rio, pacarnya. Sambil sesekali tertawa ngakak sampai memukul-mukul meja. Ah, Apuy itu sebelas dua belas denganku. Sama sama tidak peka. Susah menghubungkan radar. Iya, susah sekali melakukan telepati dengannya.
Ah iya, sebelum pada salah paham lagi. Apuy dan Rio itu bukan pasangan gay. Apuy sahabatku adalah perempuan tulen, aku juga tidak paham kenapa nama manisnya Puteri bisa dipanggil Apuy begitu. Sama seperti orang-orang memanggilku Wawan.
Aku pasrah. Dengan gontai, kukeluarkan laptop dari ransel, lalu membuka game favoritku, mencoba menikmati jam-jam kosong dengan perut yang meledak-ledak minta diisi. Sibuk merapal do’a dalam hati, semoga Apuy membawaku pulang secepatnya.
Jariku berhenti bergerak-gerak ketika menangkap sepiring roti bakar disodorkan ke arahku. Aku menoleh. Mendapati Zaid yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku. Dagunya menunjuk ke arah piring, “Dimakan. Rotinya pakai cokelat, enggak pakai racun.”
“Hah?” aku kembali mélanga-melongo seperti biasa. “Enggak usah.”
“Aku perhatikan kamu belum makan apa-apa dari tadi.” Sekarang dia meluruskan kakinya, mencari posisi duduk yang nyaman, sudah tidak menatapku. “Kalau masih mau nunggu Apuy pulang, bisa sakit perut entar. Mereka paling balik jam 10.”
Wah. Aku terkagum-kagum. Terheran-heran. Do’aku malam ini dikabulkan Tuhan.
Ku comot sepotong roti, lalu mengunyah cepat. Enak. Aku lapar. Dengan cepat potongan ke dua masuk ke mulutku.
Baru ketika hendak mengambil potongan ketiga, aku menimbang-nimbang, mengajak Zaid mengobrol atau jangan. Rasanya tidak sopan kalau aku tidak mencoba berbasa-basi dengannya setelah diselamatkan dari badai kelaparan begini. Jadi kuputuskan untuk bersikap baik padanya. Aku menoleh, bersiap membuka mulut, tapi yang kutemukan adalah wajah serius Zaid yang sedang menatap layar. Oke, ternyata memang tidak mudah. Zaid sama sekali tidak tertarik untuk memulai obrolan. Tapi aku merasa lebih baik, dengan Zaid di sana, duduk di sampingku, hingga akhirnya Apuy mengajakku pulang.
***
3 notes · View notes
shofizr · 5 years ago
Text
Tumblr media
Kamu, yang dulu pernah ada di beberapa bab hidupku
Apa kabar ? E .. salah .. sebenarnya aku tidak benar-benar sedang bertanya tentang kabarmu. Media sosial sekarang memudahkan seseorang untuk tahu kabar seseorang yang lain tanpa harus bertanya langsung, kan ?
10 tahun lalu.. aku kira hidupku akan baik-baik saja. Semulus apa yang aku rencanakan. Semulus masa-masa hidupku saat masih merah putih hingga berganti abu-abu.
Sifatku pun. Masih sama dengan putih abu-abu. Overconfident. Angkuh. Merasa bisa. Looking down to other people.
Hingga tepat lima tahun sesudahnya, Allah Mengajarkan satu hal yang tepat menampar keras hidupku dari berbagai sisi. Ya, bahwa aku tak lebih dari seorang manusia biasa. Yang pandai berencana, pandai berandai, pandai menerka, pandai jumawa, tapi tidak mencoba untuk menyelesaikan apa yang aku mulai. Sebab aku tahu. Aku tak mampu. Aku sampai pada batas limitku. Bahwa aku tak sebisa yang aku pikir aku bisa. Dan ... aku terlalu angkuh untuk mengakuinya.
Masa itu berat. Dan kamu datang. Tanpa sengaja. Kebetulan yang tidak pernah aku duga, pun tidak aku harapkan. Tapi kata seorang teman, tidak benar ada sesuatu yang bernama kebetulan. Ia ada, karena ditakdirkan. Karena garis takdir yang mempertemukan. Entah untuk memberi hikmah pelajaran, atau nikmat kebahagiaan.
Aku ingat betapa malam-malam kita habiskan dengan bercengkerama di depan layar gawai, berbicara ini itu, lalu kita sadar, kita sedang berada di kapal yang sama. Yang merasa kita sedang di ambang batas keputus asaan.
Aku ingat suatu hari tentang lirik yang kau kirimkan. "Waktu tak kan menunggumu.. dunia terlalu ramai untuk manjakanmu.. enyahlah semua tangismu.. kau layak untuk terus bertahan". Ah, aku ingat betapa awan tebal hadir di depan kelopak mataku. Menghasilkan bulir-bulir air mata yang bisa aku rasakan hangatnya sedang mengalir asik hingga kain mukenaku. Saat itu aku merasa, "aku tidak sendiri". Ada seseorang yang sedang berada di kapal yang sama. Yang sedang mengarungi ombak yang sama. Yang sedang melawan sesuatu yang sama; Diri kita sendiri.
Lalu waktu bergulir. Hari-hari itu sudah menjadi standar bagiku. Memulai hari dengan menerima pesanmu. Bercerita denganmu. Lalu menutup hari pula dengan membaca pesan-pesanmu. Jemariku menjadi lebih sibuk dari biasanya. Lebih aktif berdansa di atas layar gawai daripada hari-hari sebelumya.
Hobi. Menjadi kambing hitam atas interaksi intensif kita yang melebihi waktu konsumsi obat dalam sehari. Dering telpon yang namamu tertera di dalamnya membuat hatiku terbuncah. Lalu, tanpa sadar. Aku menantikan waktu itu. Menanti kapan lagi namamu tertera dalam dering telpon masukku.
Ternyata, kamu memang ada. Ada di beberapa bab kisah hidupku. Tidak penuh memang. Hanya beberapa bab. Tapi halaman-halaman itu penuh bercerita tentangmu. Aku seperti bertemu dengan rengkuhan baru. ( Tidak... kamu tidak benar-benar merengkuh.. ini hanya kiasan ). Aku jadi punya satu hobi baru. Bercerita. Bercerita padamu. Apapun. Tentang debatku dengan ayah ibuku sebelum berangkat ke kampus, tentang olokan teman-teman perihal berat badanku, tentang kopi yang aku seduh pagi sekali tapi lupa aku minum, tentang sparepart kamera kesayanganku, tentang film drama yang haru biru atau bahkan sinetron sinetron picisan di layar tv, tentang.... patah hati terbesarku.. yang kamu membesarkan hatiku dengan berkata "seseorang tidak akan pernah sepenuhnya memiliki takdir". Ya ... yang suatu saat hal itu kembali kita katakan kembali pada masing-masing kita .. dengan derai air terjun versi mini di bawah kelopak mata kita sendiri. Haha .
Hingga suatu hari. Aku tersadar. Ada ketakutan menggelayuti. Bahwa suatu saat kamu akan pergi. Jauh ke masa depan. Bahwa suatu saat semua ini akan henti. Akan hilang. Akan menjadi kenangan. Yang mungkin saja sakit bila diingat. Bahwa aku memang tidak benar-benar sedang memiliki waktu. Bahwa aku sedang tidak memiliki "kita". Bahwa ... ternyata ada satu harapan yang mencuat pelan-pelan.. bahwa alangkah indahnya jika kelak bab-bab hidup kita saling berkelindan.. saling mengisi satu dengan yang lain... mengubah kata ganti "aku" dan "kamu" menjadi "kita". Dan harapan itu... semakin membuatku takut meramu masa depan. Takut .. bahwa bab-bab itu tidak ditakdirkan untuk ada.
Aku putuskan untuk menyingkir pelan-pelan. Menahan diriku untuk memberi kabar berlebihan. Menahan sendu yang enggan untuk pergi. Sial. Ternyata kamu sudah menjadi kebiasaan dalam keseharianku.
Hingga suatu hari. Ketika aku sudah terbiasa dengan kebiasaanku yang baru. Ketika aku sudah akan menjemput takdirku yang baru. Kamu datang kembali. Tidak, kamu selalu datang. Tapi aku sering menepis. Mencoba untuk keluar dari kebiasaan-kebiasaan yang sudah biasa kita lakukan.
Kamu datang. Memintaku untuk berada di lembaran hidupmu. Untuk melanjutkan bab-bab selanjutnya dalam hidupmu.
Aku ingat. Betapa sesaknya senja itu. Aku melihat nanar performance megah senja hari itu. Ah, Allah mengapa sangat Gemar bercanda ? Bukan..mungkin bukan bercanda. Hukuman ? Atau ... didikan ? Seperti seorang guru yang sedang ingin memberikan suatu pelajaran berharga bagi muridnya.
Ada satu sudut hati yang membuncah senang, bahwa ternyata harapanku dahulu tidak bertepuk tangan sebelah. Ada yang merutuk .. ah kenapa baru sekarang. Ada yang menampar, "tidak .. ini sudah menjadi jalan yang baik. Supaya kamu bisa menyelesaikan cerita dengan baik-baik. Menutup lembaran itu dengan akhir yang baik-baik."
Aku memberanikan hati untuk menyapamu. Langsung. Dengan telfon tentunya. Memberi kabar tentang takdir baru yang akan aku jemput. Namun di tengah jalan, aku tercekat. Dadaku sesak. Ah, tidak seharusnya aku memulai bab ini denganmu dulu. Tidak seharusnya aku membuat diriku terbiasa denganmu dulu. Sesak, kan jadinya. Aku diam. Kamu juga. Kita sedang paham apa yang harus kita katakan pada diri kita masing-masing. "Kita tidak benar-benar memiliki takdir" .
Beberapa malam kemudian menjadi malam yang berat. Insomnia. Sialnya otakku merespon dengan baik. Ia kembali memutar memori-memori kita, dengan backsound yang tak kalah sendunya. Sampai membuat aku trauma mendengar beberapa lagu yang pernah kamu dendangkan. Aku takut dhalim pada takdir baruku, yang akan aku jemput di hitungan bulan yang akan datang. Aku bulatkan tekad untuk menyampaikan semua padamu, kan ? Supaya aku bisa mengakhiri bab kita dengan baik-baik.
"Sooner .. or later. What doesn't belong to us, will not be ours"
Cepat atau lambat... sesuatu yang ditakdirkan untuk tidak kita miliki... tidak akan pernah kita miliki, kan ?
Lalu kita bersepakat. Ikhlas. Melepas masing-masing kita untuk mengelindankan kebaikan dengan pilihan kita masing-masing. Ikhlas. Untuk menyelesaikan bab cerita kita dengan penuh hikmah.. juga dengan sudut-sudut kota yang penuh dengan kenangan. Berharap kebaikan akan selalu hadir di masing-masing hidup kita yang baru. Di bab, yang "aku" dan "kamu" tidak akan pernah menjadi satu "kita", tokoh utama yang benar-benar utama.
Maka, ada yang benar-benar membuatku ingin meminta maaf padamu.
Maaf, karena kita pernah terlalu percaya diri sehingga mendahului takdir yang sudah ditetapkan olehNya.
Maaf, karena aku pernah membuat waktumu terbelah saat menghamba padaNya.
Maaf, karena aku membuat sendu sudut-sudut kota yang menjadi favoritmu.
Maaf, karena membuat ikhlas menjadi agak berat. Menjadi penuh dengan derai air mata.
Tapi kawan, jika seandainya aku diberikan kesempatan sekali lagi untuk kembali ke masa lalu, lalu diberi pilihan untuk "kebetulan bertemu denganmu" atau "hanya tahu namamu tanpa mengenali". Aku tetap akan memilih yang pertama. Bertemu denganmu.
Sebab dengan bertemu denganmu, aku kelak bisa merengkuh jagoan dan tuan putriku saat mereka sendu dengan cerita yang mereka khawatirkan akan seperti apa ujungnya.
Semoga kita, selalu bahagia bersama bab baru yang kita pilih untuk melanjutkan cerita masing-masing kita.
Aku,
Yang sudah bisa biasa-biasa saja mendengar lagu-lagu yang lalu
Ehe ~
10 notes · View notes
littlethingsaround · 5 years ago
Text
living in little things.
Dulu-- beberapa bulan lalu, aku mengunjungi seorang teman yang sedang sakit di rumah sakit daerah jakarta. Datang sendiri -seperti biasa-, dan begitulah dia menyukainya. Sejak sakit pada tahun 2013 itu, aku selalu usahakan menjenguk sendirian. Semenjak aku menghabiskan waktu seharian di rumahnya, demi mendengarkan tiap bait kalimat jujur yang dikemukakannya dengan air mata setelah lelah berpura pura. 
berpura pura ceria. mempertahankan citranya ketika sedang sehat dulu. 
Dulu-- beberapa bulan lalu itu, sakitnya sedang dalam masa kritis. Penyakitnya mengenai saraf di kepalanya, sehingga ia tak sadar dengan apa yang dilakukan maupun diucapkannya. Aku datang malam hari, dan bertemu dengan ayah (karena terlalu sering berkunjung, ayahnya sudah seperti ayah sendiri untukku, sehingga aku memanggilnya ayah. beberapa kali kami bercerita di lorong lorong saat menunggu kawanku cuci darah, atau di balkon rumah sakit. Bahkan menjadi saksi saat berkali kali ayah hampir -tidak, beliau tak pernah kulihat- menangis). Ayah kala itu sudah dua hari belum tidur, dan mempercayakanku temani kawanku malam itu--
Aku melihatnya, melihat matanya yang kosong menatap langit langit kamar rumah sakit. Melihat bibirnya yang getar berteriak, meneriakkan nama nama random, dan menyanyikan beberapa lagu yang menyayat hati.. berkata asal tentang segala kemungkinan buruk yang mendengarnya saja hatiku ngilu. 
Malam terasa sangat panjang kala itu. Aku berkali kali mencoba membacakan surah surah yang disukainya, yang biasanya dimintanya dibacakan saat aku imami shalat kala menjenguknya dulu dulu. Ayat dengan arti yang baik baik, yang sungguh lembut diturunkan Allah untuk hati yang tak boleh sarat akan harapan. Berkali kali dia merasa tenang, berkali kali pula suster masuk keluar dan mengganggu ketenangannya. Hingga aku harus mendiamkan dan menenangkannya lagi, berkata semua akan baik baik saja saat perawat mulai mengecek kondisi infus, memberi makan obat, ataupun mengecek tensinya. 
kawanku sedang tak sadarkan diri, boleh kah kami memiliki malam yang sunyi, sebentar saja? agar dia dapat tenang dalam lelap. Untuk satu malam ini saja :( tapi tidak begitu dunia bekerja, ada hal hal yang sebaiknya dilakukan, dan resiko resiko yang akan terjadi jika kita tak melakukannya..
Lampu dimatikan, agar kawanku bisa tidur. aku kembali membaca beberapa ayat kesukaannya, tak peduli dia ingat atau tidak. lama-- sampai dia terlelap. Badanku juga lelih, dan ingin rehat sejenak. Sedari tadi aku duduk di kursi tepat di sebelah kakinya. Beberapa kali memijitinya, beberapa kali menepuk nepuk agar dia stabil. Akhirnya aku rebahkan diri diatas tikar yang ayah beri, memejamkan mata sebentar --
Tiba tiba mesin infus berbunyi, warnanya merah menyala. Lampu kunyalakan. dan hanya ada nafas tertahanku, sebelum aku berlari keluar ruangan meminta pertolongan dari suster -demi melihat jari jarinya yang penuh darah karena mencoba menarik selang yang ditanam di lehernya untuk cuci darah--. Aku tahu, dia lelah dengan bertahun tahun keluar masuk rumah sakit ini, dengan semua kesakitan yang harus ditahannya di sekujur tubuhnya, dengan perubahan drastis dirinya yang menampung cairan, maupun ketahanan tubuhnya akan penyakit penyakit.
Dia berteriak teriak. Dia sudah tidak tahan lagi, ingin semua segera berakhir.
Panik, aku telpon nomor ayah. Tak diangkat. Aku tak tahu ayah dimana. Aku tak tahu ayah tidur dimana diantara banyak gedung rumah sakit yang luas itu. Beberapa kali misscall tak diangkat, aku kembali masuk ke dalam ruangan.
Bergetar. Perlahan aku usap ujung jarinya yang penuh darah, dengan tisu basah mengeluarkan beberapa gumpalan yang nyempil di kuku kuku. “Jangan begini, sayang.. ga begini caranya menerima takdir.. sakit ya? semoga semuanya makin membaik ya ..” aku hanya dapat membisikkan kata kata sederhana. Aku tak merasakannya, aku tak benar benar mengerti apa yang dirasakannya. Namun dalam kondisi demikian, hanya itu hal terbaik yang bisa kulakukan.
Jari jarinya bersih. Aku menatapnya dekat. Menatapnya sampai mata kosongnya menangkap tatapan mataku. Pelan, kuusap usap kepalanya. Aku menangis, tak dapat menahan emosi yang begitu tiba tiba. Tak dapat mengekspresikannya dengan jauh lebih baik. Kuusap usap kepalanya, sampai kawanku tiba tiba membuang muka. Air mata jatuh dari kelopaknya, turun ke pipinya yang putih.
Ayolah..
Bermenit menit kami habiskan dalam diam. Dengan hanya satu kalimat yang kuulang ulang sembari mengelus rambut lembutnya. “Cimeh sayang Lea, le.. cimeh sayang .. sembuh, sembuh insyaAllah ..” hanya itu. dalam kurun waktu yang tak kuingat dengan baik. 
Apa yang terjadi setelahnya tidak lebih baik dari perkiraan. Sejak seorang suster masuk bersama dengan dokter syaraf, semua makin kacau. Temanku mulai berteriak, meneriakiku. Melakukan hal hal kasar padaku, sebelum ia melakukannya pada dirinya sendiri. Temanku berusaha mengakhiri semua. Ruangan penuh dengan suster dan dokter. Tangannya dipaksa diikat. Belum drama dimana aku harus berlari keliling rumah sakit mencari ayah -- sambil menangis tersedu dengan perasaan yang tak keruan--
Aku pulang subuh itu, setelah berhasil bertemu dengan ayah dan menangis tiada henti. Dan lama, aku tak berani mengunjunginya. Belum, sampai aku siap dulu. 
--
Kemarin minggu, akhirnya aku mengunjunginya di rumahnya bersama banyak teman. Aku senang melihatnya, jauh lebih sehat dan berat badannya sudah kembali seperti semula. Sudah bisa jalan, dan makan beberapa macam makanan. Senyum kembali merekah dan pipinya sudah tidak pucat lagi. Aku senang --bisa memeluknya dalam keadaan sehat. dirumahnya, bukan dirumah sakit --
Karena hari itu aku benar benar tepar sejak malam begadang dan mengurus foto kondangan temanku sedari subuh, aku izin tidur di sofa. Kepala kurebahkan diatas bantal, tepat di sebelah temanku duduk.
Teman teman yang berkunjung naik ke lantai dua untuk shalat. Aku terbangun sedikit karena merasa kedinginan, masih bisa mendengar dan merasakan hal hal, meski mata masih berat untuk terbuka.
Lengangnya ruang tamu menyisakan kami berdua diatas sofa bersama gelas gelas yang banyak jumlahnya. Temanku belum bisa banyak naik turun tangga, jadi dia menemaniku tidur di ruang tamu. 
Perlahan, kurasakan tangannya mendarat di kepalaku. Diusap usapnya dengan lembut, dan perlahan. Bahkan tanpa menatap matanya, aku tahu betapa dia menyayangiku. Bahkan tanpa melihat apapun, aku bisa merasakan deras kasihsayangnya lewat sentuhan itu. Rasanya ingin menangis saat itu juga. Kutahan bahuku agar tidak keruan dan temanku tahu aku sudah bangun.
Tiba tiba kudengar kaki lewat, dan berhenti. Suara ayah pelan terdengar, “itu .. cimeh?” Mungkin temanku mengangguk. “yaAllah alhamdulillah, kirain dia masih marah ..” lalu ayah berlalu keluar rumah dengan berkali kali mengucap alhamdulillah. 
Dan tangan temanku, tidak berhenti dari mengelus kepalaku. Ia berbisik “Alhamdulillah ..”
--
Aku tak pandai menjelaskan emosi yang kurasakan saat itu. Aku hanya dapat bersyukur.. bersyukur bisa merasakan emosi itu dalam saat seperti itu di rumahnya, dengan dia yang jauh lebih sehat. Dengan hatinya yang jauh lebih baik. Alhamdulillah.
Elus di kepalaku itu, hingga kini, sungguh berharga. Masih sama hangatnya saat kini aku mengingatnya.
--
(tadi baca tulisan, apa yang dari hati akan sampai ke hati. tiada kebaikan yang melahirkan hal lain selain kebaikan. Lalu tiba tiba ingat ini, kulihat haru menguar dimana mana. Dan tiba tiba saja kutemukan diriku menulis. Terimakasih ya Allah.. sembuh, insyaAllah..)
2 notes · View notes
majalahforbes-blog · 5 years ago
Text
Cerita Dewasa Sri Si Janda Kembang Yang Menggoda
Cerita Sex ini berjudul ” Cerita Dewasa Sri Si Janda Kembang Yang Menggoda“ Dewasa,Cerita Hot,Cerita Sex Panas,Cerita Sex Bokep,Kisah Seks,Kisah Mesum,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Sedarah,Cerita Sex Janda,Jilbab,Terbaru 2019. Forbes - Telah belasan tahun berpraktek aku di kawasan kumuh ibu kota, tepatnya di kawasan Pelabuhan Rakyat di Jakarta Barat. Pasienku lumayan banyak, namun rata-rata dari kelas menengah ke bawah. Jadi sekalipun telah belasan tahun aku berpraktek dengan jumlah pasien lumayan, aku tetap saja tidak berani membina rumah tangga, sebab aku benar-benar ingin membahagiakan isteriku, bila aku memilikinya kelak, dan kebahagiaan dapat dengan mudah dicapai bila kantongku tebal, simpananku banyak di bank dan rumahku besar. Namun aku tidak pernah mengeluh akan keadaanku ini. Aku tidak ingin membanding-bandingkan diriku pada Dr. Susilo yang ahli bedah, atau Dr. Hartoyo yang spesialis kandungan, sekalipun mereka dulu waktu masih sama-sama kuliah di fakultas kedokteran sering aku bantu dalam menghadapi ujian. Mereka adalah bintang kedokteran yang sangat cemerlang di bumi pertiwi, bukan hanya ketenaran nama, juga kekayaan yang tampak dari Baby Benz, Toyota Land Cruiser, Pondok Indah, Permata Hijau, Bukit Sentul dll.
Tumblr media
Dengan pekerjaanku yang melayani masyarakat kelas bawah, yang sangat memerlukan pelayanan kesehatan yang terjangkau, aku memperoleh kepuasan secara batiniah, karena aku dapat melayani sesama dengan baik. Namun, dibalik itu, aku pun memperoleh kepuasan yang amat sangat di bidang non materi lainnya. Suatu malam hari, aku diminta mengunjungi pasien yang katanya sedang sakit parah di rumahnya. Seperti biasa, aku mengunjunginya setelah aku menutup praktek pada sekitar setengah sepuluh malam. Ternyata sakitnya sebenarnya tidaklah parah bila ditinjau dari kacamata kedokteran, hanya flu berat disertai kurang darah, jadi dengan suntikan dan obat yang biasa aku sediakan bagi mereka yang kesusahan memperoleh obat malam malam, si ibu dapat di ringankan penyakitnya. Saat aku mau meninggalkan rumah si ibu, ternyata tanggul di tepi sungai jebol, dan air bah menerjang, hingga mobil kijang bututku serta merta terbenam sampai setinggi kurang lebih 50 senti dan mematikan mesin yang sempat hidup sebentar. Air di mana-mana, dan aku pun membantu keluarga si ibu untuk mengungsi ke atas, karena kebetulan rumah petaknya terdiri dari 2 lantai dan di lantai atas ada kamar kecil satu-satunya tempat anak gadis si ibu tinggal. Karena tidak ada kemungkinan untuk pulang, maka si Ibu menawarkan aku untuk menginap sampai air surut. Di kamar yang sempit itu, si ibu segera tertidur dengan pulasnya, dan tinggallah aku berduaan dengan anak si ibu, yang ternyata dalam sinar remang-remang, tampak manis sekali, maklum, umurnya aku perkirakan baru sekitar awal dua puluhan. “Pak dokter, maaf ya, kami tidak dapat menyuguhkan apa apa, agaknya semua perabotan dapur terendam di bawah”, katanya dengan suara yang begitu merdu, sekalipun di luar terdengar hamparan hujan masih mendayu dayu. “Oh, enggak apa-apa kok Dik”, sahutku. Dan untuk melewati waktu, aku banyak bertanya padanya, yang ternyata bernama Sri. Ternyata Sri adalah janda tanpa anak, yang suaminya meninggal karena kecelakaan di laut 2 tahun yang lalu. Karena hanya berdua saja dengan ibunya yang sakit-sakitan, maka Sri tetap menjanda. Sri sekarang bekerja pada pabrik konveksi pakaian anak-anak, namun perusahaan tempatnya bekerja pun terkena dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan. Saat aku melirik ke jam tanganku, ternyata jam telah menunjukkan setengah dua dini hari, dan aku lihat Sri mulai terkantuk-kantuk, maka aku sarankan dia untuk tidur saja, dan karena sempitnya kamar ini, aku terpaksa duduk di samping Sri yang mulai merebahkan diri. Tampak rambut Sri yang panjang terburai di atas bantal. Dadanya yang membusung tampak bergerak naik turun dengan teraturnya mengiringi nafasnya. Ketika Sri berbalik badan dalam tidurnya, belahan bajunya agak tersingkap, sehingga dapat kulihat buah dadanya yang montok dengan belahan yang sangat dalam. Pinggangnya yang ramping lebih menonjolkan busungan buah dadanya yang tampak sangat menantang. Aku coba merebahkan diri di sampingnya dan ternyata Sri tetap lelap dalam tidurnya. Pikiranku menerawang, teringat aku akan Wati, yang juga mempunyai buah dada montok, yang pernah aku tiduri malam minggu yang lalu, saat aku melepaskan lelah di panti pijat tradisional yang terdapat banyak di kawasan aku berpraktek. Tapi Wati ternyata hanya nikmat di pandang, karena permainan seksnya jauh di bawah harapanku. Waktu itu aku hampir-hampir tidak dapat pulang berjalan tegak, karena burungku masih tetap keras dan mengacung setelah ’selesai’ bergumul dengan Wati. Maklum, aku tidak terpuaskan secara seksual, dan kini, telah seminggu berlalu, dan aku masih memendam berahi di antara selangkanganku. Aku mencoba meraba buah dada Sri yang begitu menantang, ternyata dia tidak memakai beha di bawah bajunya. Teraba puting susunya yang mungil. dan ketika aku mencoba melepaskan bajunya, ternyata dengan mudah dapat kulakukan tanpa membuat Sri terbangun. Aku dekatkan bibirku ke putingnya yang sebelah kanan, ternyata Sri tetap tertidur. Aku mulai merasakan kemaluanku mulai membesar dan agak menegang, jadi aku teruskan permainan bibirku ke puting susu Sri yang sebelah kiri, dan aku mulai meremas buah dada Sri yang montok itu. Terasa Sri bergerak di bawah himpitanku, dan tampak dia terbangun, namun aku segera menyambar bibirnya, agar dia tidak menjerit. Aku lumatkan bibirku ke bibirnya, sambil menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya. Terasa sekali Sri yang semula agak tegang, mulai rileks, dan agaknya dia menikmati juga permainan bibir dan lidahku, yang disertai dengan remasan gemas pada ke dua buah dadanya. Setalah aku yakin Sri tidak akan berteriak, aku alihkan bibirku ke arah bawah, sambil tanganku mencoba menyibakkan roknya agar tanganku dapat meraba kulit pahanya. Ternyata Sri sangat bekerja sama, dia gerakkan bokongnya sehingga dengan mudah malah aku dapat menurunkan roknya sekaligus dengan celana dalamnya, dan saat itu kilat di luar membuat sekilas tampak pangkal paha Sri yang mulus, dengan bulu kemaluan yang tumbuh lebat di antara pangkal pahanya itu. Kujulurkan lidahku, kususupi rambut lebat yang tumbuh sampai di tepi bibir besar kemaluannya. Di tengah atas, ternyata clitoris Sri sudah mulai mengeras, dan aku jilati sepuas hatiku sampai terasa Sri agak menggerakkan bokongnya, pasti dia menahan gejolak berahinya yang mulai terusik oleh jilatan lidahku itu. Sri membiarkan aku bermain dengan bibirnya, dan terasa tangannya mulai membuka kancing kemejaku, lalu melepaskan ikat pinggangku dan mencoba melepaskan celanaku. Agaknya Sri mendapat sedikit kesulitan karena celanaku terasa sempit karena kemaluanku yang makin membesar dan makin menegang. Sambil tetap menjilati kemaluannya, aku membantu Sri melepaskan celana panjang dan celana dalamku sekaligus, sehingga kini kami telah bertelanjang bulat, berbaring bersama di lantai kamar, sedangkan ibunya masih nyenyak di atas tempat tidur. Mata Sri tampak agak terbelalak saat dia memandang ke arah bawah perutku, yang penuh ditumbuhi oleh rambut kemaluanku yang subur, dan batang kemaluanku yang telah membesar penuh dan dalam keadaan tegang, menjulang dengan kepala kemaluanku yang membesar pada ujungnya dan tampak merah berkilat. Kutarik kepala Sri agar mendekat ke kemaluanku, dan kusodorkan kepala kemaluanku ke arah bibirnya yang mungil. Ternyata Sri tidak canggung membuka mulutnya dan mengulum kepala kemaluanku dengan lembutnya. Tangan kanannya mengelus batang kemaluanku sedangkan tangan kirinya meremas buah kemaluanku. Aku memajukan bokongku dan batang kemaluanku makin dalam memasuki mulut Sri. Kedua tanganku sibuk meremas buah dadanya, lalu bokongnya dan juga kemaluannya. Aku mainkan jariku di clitoris Sri, yang membuatnya menggelinjang, saat aku rasakan kemaluan Sri mulai membasah, aku tahu, saatnya sudah dekat. Kulepaskan kemaluanku dari kuluman bibir Sri, dan kudorong Sri hingga telentang. Rambut panjangnya kembali terburai di atas bantal. Sri mulai sedikit merenggangkan kedua pahanya, sehingga aku mudah menempatkan diri di atas badannya, dengan dada menekan kedua buah dadanya yang montok, dengan bibir yang melumat bibirnya, dan bagian bawah tubuhku berada di antara kedua pahanya yang makin dilebarkan. Aku turunkan bokongku, dan terasa kepala kemaluanku menyentuh bulu kemaluan Sri, lalu aku geserkan agak ke bawah dan kini terasa kepala kemaluanku berada diantara kedua bibir besarnya dan mulai menyentuh mulut kemaluannya. Kemudian aku dorongkan batang kemaluanku perlahan-lahan menyusuri liang sanggama Sri. Terasa agak seret majunya, karena Sri telah menjanda dua tahun, dan agaknya belum merasakan batang kemaluan laki-laki sejak itu. Dengan sabar aku majukan terus batang kemaluanku sampai akhirnya tertahan oleh dasar kemaluan Sri. Ternyata kemaluanku cukup besar dan panjang bagi Sri, namun ini hanya sebentar saja, karena segera terasa Sri mulai sedikit menggerakkan bokongnya sehingga aku dapat mendorong batang kemaluanku sampai habis, menghunjam ke dalam liang kemaluan Sri. Aku membiarkan batang kemaluanku di dalam liang kemaluan Sri sekitar 20 detik, baru setelah itu aku mulai menariknya perlahan-lahan, sampai kira-kira setengahnya, lalu aku dorongkan dengan lebih cepat sampai habis. Gerakan bokongku ternyata membangkitkan berahi Sri yang juga menimpali dengan gerakan bokongnya maju dan mundur, kadangkala ke arah kiri dan kanan dan sesekali bergerak memutar, yang membuat kepala dan batang kemaluanku terasa di remas-remas oleh liang kemaluan Sri yang makin membasah. Tidak terasa, Sri terdengar mendasah dasah, terbaur dengan dengusan nafasku yang ditimpali dengan hawa nafsu yang makin membubung. Untuk kali pertama aku menyetubuhi Sri, aku belum ingin melakukan gaya yang barangkali akan membuatnya kaget, jadi aku teruskan gerakan bokongku mengikuti irama bersetubuh yang tradisional, namun ini juga membuahkan hasil kenikmatan yang amat sangat. Sekitar 40 menit kemudian, disertai dengan jeritan kecil Sri, aku hunjamkan seluruh batang kemaluanku dalam dalam, kutekan dasar kemaluan Sri dan seketika kemudian, terasa kepala kemaluanku menggangguk-angguk di dalam kesempitan liang kemaluan Sri dan memancarkan air maniku yang telah tertahan lebih dari satu minggu. Terasa badan Sri melamas, dan aku biarkan berat badanku tergolek di atas buah dadanya yang montok. Batang kemaluanku mulai melemas, namun masih cukup besar, dan kubiarkan tergoler dalam jepitan liang kemaluannya. Terasa ada cairan hangat mengalir membasahi pangkal pahaku. Sambil memeluk tubuh Sri yang berkeringat, aku bisikan ke telinganya, “Sri, terima kasih, terima kasih..” Kisah Seks,Cerita Sex,Cerita Panas,Cerita Bokep,Cerita Hot,Cerita Mesum,Cerita Dewasa,Cerita Ngentot,Cerita Sex Bergambar,Cerita ABG,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Sedarah,Cerita Sex Pasutri. Read the full article
3 notes · View notes
cake-with-cherry-on-top · 2 years ago
Text
Koffie Oorlogsdrama—Drama Perang Secangkir Kopi
.
Chapter 1
.
1865
Jemari lentik itu terus mengaduk kopi dalam cangkir porselen cantik. Perlahan, memastikan gula menetralisir sedikit demi sedikit pahit dari biji-biji yang dipanen langsung oleh kaumnya dari Residen Bantam [1] sana. Ia mengecap setitik air kehitaman itu dan tersenyum puas kala rasa pahit-manis itu tercecap lidahnya.
—sejujurnya, ia bisa mengecap asin darah kaumnya yang didera demi terkirimnya biji-biji hitam ini ke broker-broker kopi di Amsterdam sana.
Tiga ketukan di pintu jati berukir, “Ned, kopinya sudah siap,” dan yang bisa didengarnya hanya hardikan pemuda berambut pirang itu dalam sederet bahasa ibunya.
“Verdamnt!”
Ada suara orang lain juga, menjawab takut-takut hardikan itu dalam bahasa Belanda berlogat Jawa yang terbata, sebelum satu bentakan final mengantarkannya keluar kerja sang Nederlander. Sorot mata jati itu menggelap sesaat ketika matanya bersirobok dengan sang inlander [2]. Bergidik, pribumi itu segera menggumamkan pamit padanya dan berlalu secepat kakinya membawa. Seringai sinis terulas sekilas di bibir merah jambu perempuan bermanik sewarna jati itu, sebelum ia membuka pintu dan memasang senyum termanis yang ia punya.
—nikmati permainanmu atas pion rakyatku selagi bisa, sebelum api putra bangsaku menjeratmu dalam abu.
“Indie...”
Sorot mata jati itu lembut, meski juga curi-curi pandang pada buku bermata zamrud itu coba sembunyikan darinya, Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappij [3], menenangkan sang pemilik mata zamrud.
“Istirahatlah sebentar. Sudah kubuatkan kopi. Dan, ah, ada kue talam juga. Jangan mengharap poffertjes. Aku tak bisa memasaknya.”
“Dank u [4],” diiringi senyum tipis maha langka yang hanya beberapa di dunia ini yang bisa melihatnya—dan perempuan ini salah satunya, suka tak suka.
“Sama-sama.”
Hidung mancung itu membaui aroma kopi dan beragam rempah di dalamnya—jahe, cengkeh, kapulaga, dan daun salam—yang masih mengepulkan uap panas, “Kopimu selalu nikmat, Indie.”
Perempuan yang dipanggil ‘Indie’ hanya tersenyum saat bibir kasar itu mengecup dahinya—sekarang ia hanya terpaut sekepala dari pria itu. 
—tentu, biji kopiku yang menyejahterakan negaramu, bukan?
—biji kopi yang berselimut darah rakyatku. 
Teruslah begitu.
Anggap aku boneka manismu
yang akan selalu menuntut sekehendak belai jemarimu.
Teruslah begitu. 
.
.
Januari 1909
Malam sudah larut kala derap kuda membelah salah satu pojok School tot Opleiding van Indische Artsen [5]—STOVIA—dan berhenti di belakang asrama siswa. Segera setelah turun dari kuda dan menambatkan tali pengikatnya ke pancang hanya dengan bantuan sebuah obor, perempuan berambut hitam ikal itu memasuki asrama dan tanpa ragu menaiki tangga menuju lantai atas. Ia sudah ditunggu di kamar ketika di sebelah kiri tangga.
“Nona Raya, Anda-uhuk-uhuk.”
Ini STOVIA, dia sudah menduga jika akan disambut aroma obat dan bendel-bendel buku beraroma apak. Namun disambut semburan batuk si empunya kamar begitu masuk—lagipula, kenapa dia sendirian di sini?—hal ini tak pernah terlintas dalam benaknya.
“Saya nemen laramu, War [6].” Raut cemas melintas di wajah si manik jati.
“Kula mboten ‘napa-napa, kok [7].” Senyum lugas terpampang di wajah tuan rumah.
“Bocah keras kepala.” Dengusan, diiringi gelengan kepala antara heran dan maklum.
“Anda juga bukan, Nona?” Saling pandang, dan keduanya larut dalam tawa.
“Raden Mas Suwardi Suryaningrat, engkau berada di sekolah untuk dididik calon dokter. Tidak seharusnya pula engkau sakit begitu,” tegur sang nona bermata sewarna jati seraya mengacak-acak rambut hitam mahasiswa senior STOVIA itu.
Merengut, tidak suka dianggap layaknya anak kecil, Suwardi menyahut, “Tidak mengapakah anda datang kemari, Nona?”
Perempuan yang dipanggil Raya itu mengangguk, “Tidak mengapa. Dia tengah kembali ke Eropa,” meletakkan buntelan bawaannya di atas ranjang bertingkat kamar yang Suwardi dan kawannya tempati, “Di mana pula kawan-kawanmu?”
“Sutomo tengah bertemu pamandanya. Yang lain tidak bisa berkumpul hari ini. Kami diawasi.” 
Mendengus, dia sudah menyangka ini yang akan diperbuat pemerintah kolonial atas kelompok bentukan para putra bangsanya—dia menghenyakkan pantatnya ke atas kasur seraya membuka buntelannya.
“Padahal aku telah berpenat-penat membawakan kalian buah tangan.”
Alis sentono [8] Keraton Pakualaman itu berkerut sejenak demi mendengar gerutuan perempuan yang baru dikenalnya setahun terakhir itu, sebelum mata cokelatnya yang khas pribumi melebar.
“Ini... buku ini dilarang beredar bukan?” Pemuda pandai yang aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo [9] itu tergagap, tumben, “Bagaimana —?”
“Ada banyak sekali buku ini di rumahku. Hilang satu atau dua tidak akan ada yang menyadari,” Raya nyengir, seraya mengambil sebendel buku dari tumpukan yang dia bawa dan menyodorkannya pada Suwardi, “Kalian pasti ingin membacanya, bukan?”
Pemuda yang baru menginjak usia dua puluh itu menyambar buku legendaris yang pertama kali diterbitkan langsung menggemparkan Benua Biru itu dari tangan Raya dan langsung membalik lembar demi lembarnya, “Tentu! Tentu saja! Takkan ada mahasiswa STOVIA, terlebih Boedi Oetomo, yang akan menolak membaca Max Havelaar! Multatuli sudah kami anggap kawan seperjuangan kami sendiri.”
Anak kecil, pikirnya seraya tersenyum melihat raut girang bumiputera [10] yang satu itu, sebelum sekelebat imaji menyambar benaknya...
.
“Enak?”
Ia menatapmu sayang, bertanya tentang sebentuk makanan yang barusan disodorkannya kepadamu.
.
Sosok itu jauh lebih tinggi darimu. Ya, dulu memang begitu. Kau masih sepinggang pria itu kala pertama kali ia datang ke pesisirmu dengan kapal-kapal besar dan wajah disetel kelewat datar. Ia bilang datang dari daratan yang sangat-sangat jauh. Dan ia juga bilang ia dayang hanya untuk menemuimu.
Sesungguhnya, banyak pula yang sudah menemuimu sebelumnya. Kakak berambut panjang yang mengajarimu berhitung. Kakak berkulit gelap yang menceritakan beragam kisah dewa-dewi. Kakak berpakaian serba panjang yang mengajarimu tentang Tuhan yang satu. Kakak yang kelewat ceria dan menanyaimu macam-macam tentang rempah dan kegunaannya. Namun ia berbeda. Ia tidak hanya datang sejenak. Ia terus ada di sampingmu, menggendong tubuh mungilmu ke mana-mana. Ia memeluk dan mengecupmu. Ia begitu memperhatikanmu.
.
Tanpa takut, kau menggigit secuil makanan dalam genggamanmu dan tersenyum ketika sebentuk rasa menggelitik lidahmu, “Hem. Ini manis...”
Pria itu mengacak rambutmu lembut.
.
Namun entah sejak kapan—dan sepertinya saat kau mulai tumbuh hingga setinggi dada pria itu—ia mulai tak lagi sekadar memeluk serta mengecup pipi dan dahimu. Ke bibirmu yang merah ranum, ke lehermu yang sewarna sawo matang, ke telinga mungilmu yang dinaungi rambut ikal hitam nan lebat, hingga... ah, tak bisa kau menjabarkannya. Dan pelukan itu tak lagi sekadar mengandung afeksi. Namun juga... birahi.
.
“Tentu saja. Ini kan kue, mijn Indie [11]. Dan namanya poffertjes.”
.
Dan namamu berganti. Tak lagi engkay dikenal sebagai Nusantara yang berjaya dengan semua kerajaan adidayanya. Sekarang kau beralih nama menjadi Nederlandsch Indie, Hindia Belanda.
Nama yang melambangkan bahwa kau milik pria itu—kau milik Koninkrijk der Nederlanden. Dan, ya, untuk sesaat kau merasa bahagia--karena kau belum tahu apa-apa. Kau dicintai, dilindungi, diajari beragam hal olehnya. Kau mempercayainya. Dan perlahan kau... jatuh cinta. 
.
“Pop-poppe—”
Ia tertawa mendengar pelafalanmu yang lucu. Bahasanya terlampau sulit kau lafalkan. Kau mengerti ucapannya. Tapi kau tak bisa—belum—bisa mengucapkannya.
.
Dan perlahan pula kau mengetahui segala yang ia sembunyikan mati-matian darimu—bagaimana pun ia menempatkanmu di kediaman megang yang ia dirikan di tanahmu, di pinggiran Batavia namun jauh dari mana-mana, tak mengherankan kalau kau tak bisa mendapatkan kabar tentang dunia luar. Rakyatmu, ia mendera mereka semua demi rajanya. Beragam peraturan yang ia bilang padamu akan mengatur bangsamu dengan lebih baik, yang ia bilang akan membuat rakyatmu lebih sejahtera, ternyata hanyalah kedok untuk mengeruk keuntungan bagi bangsanya sendiri. Landelijk Stelsel, Regeeringsreglement, Cultuur Stelsel, Agrarische Wet [12]. Segalanyahanyalah kepalsuan, topeng yang ia kenakan pada usahanya demi memeras emas dari tanahmu, demi menyarikan gulden demi gulden dari darah rakyatmu.
.
“Sudahlah. Tak masalah kalau kau kesulitan mengucapkannya,” tangan kirinya mengangkat dagumu dengan lembut, tangan kanannya menyeka remah kue di mulutmu, “Yang penting, kau suka?”
Ia menyunggingkan senyumnya yang langka itu—saat itu kau tak tahu, bahwa kau, terlepas dari segala yang ia lakukan padamu, adalah sosok yang teramat berharga baginya.
.
Puncak dari segalanya adalah saat kau bertemu salah satu rakyatnya di tanahmu. Ia tersesat saat hendak kembali ke kediamannya di Lebak sana dan ia sangat butuh pertolongan. Ia heran melihatmu ada di rumah semegah ini, sendiri pula—si mata zamrud sedang pergi ke pusat kota, mengurus beberapa hal dan meninggalkanmu sendiri bersama beberapa ambtenaar [13] yang ditugaskannya untuk menjagamu dan babu untuk melayanimu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Eduard dan menceritakan segala yang ia dengar, lihat dan alami padamu di tempatnya bekerja sebagai asisten residen di Lebak, Residen Bantam. Juga tentang bagaimana ia melihat kekejian rakyatnya terhadap rakyatmu, bahkan rakyatmu terhadap sesamanya sendiri di perkebunan kopi di Preangan [14]. Kau terkejut bukan kepalang. Amarah menggelegak di sekujur tubuhmu.
Sekarang segala pertanyaanmu terjawab. Kenapa dia sela setiap sentuhannya yang memabukkan ada friksi pedih dan perih yang juga membuncah, kenapa kau sering merasakan sakit tak tertahankan di sekujur tubuhmu padahal tidak terjadi apa-apa—ia bilang itu karena kau sedang ‘tumbuh’, semua yang tumbuh akan merasakan sakit yang sama, katanya—juga apa yang ia tutup-tutupi darimu selama ini.
.
“Hem.”
Senyum tersungging di bibirmu. Semanis madu, selembut beledu. Hanya untuknya. Hanya untuk pemuda bermata hijau pucuk nyiur di pesisirmu dan rambut merona lazuardimu tatkala senja tiba.
.
Kau mulai menanyai para babumu, tentu dengan diam-diam saat ia tak ada di rumah. Kau juga mulai membaca semua dokumen yang ia simpan di luar jangkauanmu—terima kasih kepada para babumu yang berterus terang kepadamu tentang di mana ia meletakkan semua dokumen itu. Kau tetap tersenyum pedanya seperti biasa, kau tetap merengkuhnya dalam peluk cumbumu seolah tak ada apa-apa. Namun di balik itu, tiap kali ia pergi, kau pun menyelinap dari kediamanmu. Kau singgahi perkebunan demi perkebunan, kau sambangi kampung demi kampung, kau datangi sekolah demi sekolah, kau hampiri markas demi markas pejuang bumiputera. Kau kobarkan semangat juang rakyatmu, kau ajarkan pada mereka segala pengetahuan yang ia beri padamu, kau suplai mereka dengan segala informasi yang kau tahu. 
Ya, di atas semua perasaan bernama ‘cinta’ yang terpatri arat dalam benakmu sebagai seorang Raya, kau sepenuhnya ingin lepas dari genggamannya—sang penjajah Koninkrijk der Nederlanden—sebagai sang Nusantara. 
Sebagai pewaris dua kerajaan luar biasa—kakek dan nenekmu, Majapahit Yang Agung dan Sriwijaya Yang Masyhur—sebagai kristalisasi jiwa seluruh nyawa di tanah airmu, kau sudah memutuskan, bertekad, bahwa kau, sang Nusantara, akan merdeka...
... atau mati.
.
“Nona Raya?”
Raya terhenyak dari lamunannya.
“Panjenengan mboten punapa-punapa? [15]” tanya Suwardi sebelum kembali tebatuk. 
Raya tersenyum, menggelengkan kepala dan berdiri, “Wong lara aja nguwatirna wong liya. [16]”
Suwardi mengernyitkan alisnya dengan wajah aneh—upaya gagal untuk menahan raut wajah yang hendak merengut. Raya heran, bagaimana pemuda yang dinilai para sahabatnya sebagai sosok yang kras maar noit grof—keras namun tidak kasar—itu bisa tampak layaknya bocah di hadapannya. 
Inikah rasanya sebagai seorang perinsanan negara—menganggap tiap rakyat adalah anak dan tiap individu adalah bakal sel yang membentuk jiwa dan raganya?
“Aku pergi dulu. Aku ada janji lain pula. Titip salam untuk teman-temanmu, War,” menyunggingkan senyum seraya menepuk sang priyayi Keraton Pakualaman, Raya berlalu.
“Inggih, Nona.”
.
.
Maret 1910.
Kertas itu hampir remat di antara jemari pemuda bermanik sewarna jati. Kertas putih bertuliskan rapi aksara Jawa bersandi dari salah satu putra bangsanya. Mengabarkan bahwa pergerakan mereka makin dipaksa tiarap dan mengharuskan mereka untuk berorganisasi dengan cara gerilya. Juga mengabarkan bahwa salah seorang anggota inti mereka telah rehat dari STOVIA dan organisasi mereka karena sakit, membuat mereka makin kesusahan. 
Perempuan itu mengeratkan genggamannya hingga buku-buku jarinya memutih. 
—kekang aku dengan segala dayamu, selagi kau mampu, selagi aku masih menunggu.
KRIEET.
Derit pintu membuat pemuda itu refleks menjejalkan deluang di tangannya ke dalam laci meja. Tepat sebelum pintu terbuka dan sosok tinggi itu memasuki kamarnya—kamar mereka, klaim si tinggi. 
“Aku pulang, Indie.”
Perempuan itu berbalik badan, tersenyum begitu rupa dan menyambut kedatangan sang pemuda Eropa. Begitu keduanya berada dalam jangkauan lengan satu sama lain, satu pelukan mesra dan satu kecupan panjang dipertukarkan. 
Rindu. Perasaan manusiawi ketika orang terkasih pergi—perasaan yang tak pernah semestinya masih ia miliki setelah mengetahui segala yang telah disembunyikan darinya. Aah, ternyata bagaimana pun juga ia tak bisa menyangkalnya. Ia memang mencintai pemuda di hadapannya—tapi ia lebih mencintai rakyatnya. 
“Welkom, Ned,” demikian lembut ucapnya ketika akhirnya bibir mereka tak lagi saling taut, “Bagaimana perjalananmu?”
“Luar biasa. Kau tahu, aku menemukan naga di ujung timur tanahmu [17],” kisahnya dengan nada riang, terdengar datar bagi orang awam, tapi tidak bagi mereka yang sudah bersamanya tiga ratus tahun, sepertinya.
Aah, warita yang menyenangkan lainnya. Ia hanya akan menceritakan kisah-kisah ceria, petualangan mendebarkan, dan cerita-cerita mengangumkan tatkala kembali dari perjalanan—bukan fakta bahwa rakyatnya telah ia dera—pada si manik jati.
—tipu aku dengan segala mantra katamu, aku akan pura-pura tak tahum demimu. 
“Benarkah? Bisa tidak kau perlihatkan padaku? Aku ingin melihatnya,” celetukan polos terlempar—disengaja, tentu saja.
Senyum, “Ja”, dan lengan itu merengkuh tubuhnya lebih dekat, lebih dekat sebelum bibir kasar itu memerangkap bibirnya lagi. Di antara desah dan engah tatkala tangan besar sang kolonialis mulai menjelajah tubuhnya, ia hanya bisa berharap bahwa esok ia masih akan bisa bangkit dari ranjang—karena bisa dipastikan malam ini tubuh sang perempuan bermanik sewarna jati tak hanya akan menjadi miliknya pribadi. 
—aku akan menahan diri, seperti Adinda terus menanti Saidjah [18] hingga mati.
—aku akan menahan diri, sampai tiba hari. 
.
.
Desember 1912.
“Nona Raya!”
Pemuda berusia 23 tahun itu menghampiri Raya yang baru saha turun dari kudanya di depan gedung apartemen mungilnya dan menjabat tangannya dengan semangat. Di sampingnya berdiri dua orang pria—yang kemudian dikenalkannya pada Raya dengan nama Tjipto Mangunkusumo dan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker—yang wajahnya tak lagi asing bagi Raya. 
“Kowe iki—! Cah gemblung! Metu sekolah ora kandha-kandha, saiki malah ngadegna partij! [20]”
Tertawa-tawa, Raya memeluk dan berusaha menjitak Suwardi—yang hengkang dari STOVIA dua tahun lalu karena sakit—yang jujur saja agak sulit mengingat tinggi badan Raya tak melebihi target jitakannya. Dia terkejut, saat tadi memperoleh surat yang mengabarkan bahwa telah terbentuk National Indische Partij, partai politik pertama dari kalangan bumiputera—belum disahkan pemerintah kolonial memang, Raya berani bertaruh gunung Krakatau bakal meledak lagi kalau kelompok revolusioner ini mendapat izin pengesahan. Dan yang lebih mengagetkan, salah seorang pendirinya adalah bocahnya yang satu itu! Segera ia menyambar kudanya—untung saja pemuda berambut pirang jabrik itu sedang pergi ke pusat kota, dia harus kejar-kejaran dengan waktu memang, tapi persetan sajalah—dan bergegas pergi ke alamat yang ditunjuk surat yang ditulis dalam aksara Jawa bersandi itu. 
“Kula mboten pengin panjenengan kuatir, Non. [21]”
“Dalam situasi seperti ini, akan sangat aneh jikalau aku tidak khawatir, War. Dan, Meneer Douwes Dekker?”
Sayang sekali Raya tidak dapat mengatakan sebab dia senang bertemu pria separuh Nederlander-separuh Indo di hadapannya ini. Tentu ia tak bisa katakana bahwa puluhan tahun lalu ia bertemu dnegan sesepuhnya yang menuliskan buku terkenal yang memicu Yang Mulia Ratu Wilhelmina menerapkan ethische politiek—politik etis—di negerinya sini bukan?
“Ja. Het is een groot genoegen om jij [22], Nona Raya. Suwardi banyak bercerita tentang Anda.”
“Het genot is van mij [23], Meneer Douwes Dekker. Kutebak dia menceritakan yang buruk-buruk tentangku.”
Raya senang, sungguh senang. Suwardi, bocah penyakitan itu, kini menjadi pendiri politiek partij—partai politik—pertama yang pernah didirikan bumiputera, dengan cucu jauh Edward Douwes Dekker pula. Hah. Mulai sekarang, perlawanan kepada pemerintah kolonial akan semakin gencar. Pasti. Ia yakin itu. Dan mereka yang ada di hadapannya kini, mereka semua akan menjadi tokoh kunci.
.
Raya tak menyadari, dalam kereta kuda yang lewat dengan kecepatan tinggi di jalanan di sebelahnya, sepasang mata sewarna zamrud terbelalak melihatnya bersama dengan seorang pemuda berbusana khas Jawa. Raya tak menyadari, sosok itu tak sempat menghentikan kereta kudanya dan turun mengejarnya karena tak cukup percaya dengan apa yang dilihatnya. Raya tak menyadari…
.
“Waar is zij? [24]”
Bentakan itu membahana begitu keras saat engsel pintu keretanya menjeblak terbuka. Para babu yang menyambutnya tentu saja kebingungan.
“M-meneer…”
“WAAR IS INDIE?!”
Naik dua oktaf setidaknya dan semua orang mundur teratur, berusaha keluar dari jangkauan laras pistol yang tersemat di pinggang sang majikan. Tahu begini mereka tidak akan membiarkan saja saat sang ‘tawanan’ melarikan diri untuk sementara seperti biasa. Tahu begini mereka akan menentang mati-matian meski harus disepak kuda hitam tunggangan sang ‘tawanan’.
“Ned? Je thuis al—kau sudah kembali?”
Sapaan lembut itu sangat kontradiktif dengan ucapannya. Terlampau berlawanan. Apalagi diserta air muka sang pengucap juga dibandingkan—barang luar biasa versus kalem tiada tara, tiada banding, bukan?
“Indie…”
Hampir ia tak mempercayai matanya sendiri. Indie-nya ada di sini? Dia ada di rumah? Lalu yang dilihatnya di jalanan pusat kota Batavia tadi? Matanya sehat dan awas, dia yakin—dia tak perlu kacamata seperti maniak musik tertentu di Eropa sana—jadi, itu tadi siapa?
Para babu sudah menghembuskan napas lega. Anda luar biasa tepat waktu, Nona.
Perempuan pribumi itu tersenyum, tangannya memeluk baskom berisi rumpun-rumpun melati—tampaknya akan ia gunakan sebagai pengharum pakaian seperti biasa—dan menghampirinya, “Tahu kau pulang cepat begini sudah kujerangkan air untuk membuatkanmu kopi. Baru saja kita mendapat kiriman—dari Preangan—kau pasti—hmph!”
Perempuan bermata sewarna jati itu tak diberinya kesempatan menyelesaikan kalimatnya. Bibir merah delima itu dikuncinya dengan bibirnya sendiri tanpa ada aba-aba. Di depan mata semua para ambtenaar dan babu. Tak mempedulikan semua tabu dan aturan yang ia buat sendiri—kecupan intim mereka hanya terjadi di balik kelambu, bukan untuk dipertontonkan di hadapan para babu. Rumpun melati dalam wadahnya di pelukan sang perempuan tadi? Sudah tercecer terlupakan tersaput lumpur debu.
Kecupan itu beringas, menutut, putus asa. Gesek gigi-geligi, kecap lidah dan pertukaran saliva, remasan jemari di rambut panjang perempuan yang ia dominasi—ia ingin meyakinkan diri. Bahwa bukan Indie yang dilihatnya tadi. Ia ingin meyakinkan diri—bahwa semua fakta masih tersembunyi.
Jangan sampai, jangan sampai Indie-nya tahu. Ia tak mau. Sungguh.
.
Sungguh keputusan tepat ia menolak ajakan bocahnya untuk masuk dan menikmati secangkir the seraya memperbincangkan langkah ke depan partai mereka. Sungguh tepat.
Karena jika tidak, ia takkan sempat kembali tepat waktu—ia memilih jalan pintas menerobos hutan saat kembali, kuda kesayangannya itu tahan banting, untung saja. Sebab jika tidak, ia takkan sempat menyambar baskom berisi rumpun melati di dapur sebagai bukti ia tak meninggalkan kawasan kediaman mereka. Karena jika tidak, ia tak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Melihat sikapnya, apa dia sudah tahu bahwa ia sudah tahu?
Jangan, mohon jangan dulu. Momentum belum datang. Rakyatnya belum siap. Sampai kesempatan bertemu dengan kemampuan, sampai itu tiba… ia mohon dengan sangat, jangan dulu…
—kini belum sampai waktu, janganlah dulu tahu.
.
.
.
Catatan kaki:
[1] nama lama Provinsi Banten dalam peta wilayah pemerintah kolonial Belanda—diambil dari Bab V Max Havelaar oleh Eduard Douwes Dekker.
[2] sebutan untuk warga pribumi dalam bahasa Belanda.
[3] Max Havelaar Atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Novel karya Eduard Douwes Dekker yang menggemparkan Eropa saat diterbitkan pertama kali di tahun 1960—meski sudah melalui revisi yang tidak diketahui Eduard dan editornya—karena menyoroti kekejaman pemerintah kolonial Belanda atas rakyat Hindia Belanda.
[4] terima kasih (Dutch)
[5] Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Merupakan perguruan tinggi kedokteran khusus untuk pribumi di masa penjajahan Hindia Belanda dulu.
[6] semakin parah sakitmu, War (Jawa)
[7] saya tidak apa-apa, kok (Jawa)
[8] kerabat keraton. Raden Mas Suwardi Suryaningrat merupakan cucu dari Sri Paku Alam III
[9] organisasi nasional pertama Indonesia. Didirikan Minggu, 20 Mei 1908, pukul 09.00 pagi di salah satu ruang belajar STOVIA. Meski bertitel nasional, para founder organisasi ini kesemuanya orang Jawa—kebanyakan priyayi atau bangsawan keraton.
[10] sebutan lokal untuk warga pribumi.
[11] Hindia-ku (Dutch)
[12] Landelijk Stelsel: sistem sewa tanah buatan Raffles (1811-1816). Regeringsreglement (1854): pembaruan konstitusional untuk daerah Hindia Belanda, memuat pula pemisahan yang ketat antara warga Eropa dan kaum Inlander. Cultuur Stelsel (1830): kata lain dari sistem Tanam Paksa. Agrarische Wet (1871): kata lain dari UU Agraria, merupakan kebijakan politik pengganti sistem Tanam Paksa.
[13] nama lain bagi pegawai negeri di zaman Hindia Belanda.
[14] nama lama Priangan dalam peta wilayah pemerintah kolonial Belanda—diambil dari Bab V Max Havelaar oleh Eduard Douwes Dekker.
[15] anda tidak apa-apa? (Jawa)
[16] orang sakit jangan mengkhawatirkan orang lain (Jawa)
[17] Ekspedisi Belanda ke Pulau Komodo melaporkan penemuan komodo kepada masyarakat di Eropa untuk pertama kalinya di tahun 1910
[18] Kisah cinta sepasang pribumi yang diangkat E. Douwes Dekker dalam bab XVII Max Havelaar. Disebut-sebut sebagai kisah Romeo versi Hindia Belanda.
[19] Douwes Dekker sang Multatuli dan Douwes Dekker yang beralias Danudirja Setiaboedi adalah dua orang yang berbeda.
[20] anak ini—! Bocah bodoh! Keluar sekolah tidak bilang-bilang, sekarang malah mendirikan partai! (Jawa—kata terakhir bahasa Belanda)
[21] saya tidak ingin Anda khawatir, Non (Jawa)
[22] ya. sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bisa bertemu Anda (Dutch)
[23] aku yang senang (Dutch)
[24] di mana dia? (Dutch)
.
.
p.s.: tulisan ini, (gimana bilangnya ya) adalah cerita tentang dua sosok yang menjadi representasi sebuah nation/negara—di sini, tentu, Belanda sama Indonesia—dan itulah kenapa Raya dan Ned (yep, diambil langsung dari nama negaranya, Nederlandsch) berpuluh tahun bersama, dan mereka berwujud pasangan muda; karena mereka hasil manifestasi lain yang disini jadi tokoh. Tokoh yang membaur sama manusia-manusia faktual yang tertulis di buku sejarah, hahaha. Tidak terlampau kompleks untuk dipahami, kan? Ini cuma fragmen-fragmen sejarah yang di-blend sama fiksi, so, that’s it. 
1 note · View note
jualjahemerahbubuk · 3 years ago
Text
GRATIS KONSULTASI, CALL 0856-4020-0020 Obat Anti Peradangan Non Steroid
KLIK https://wa.me/6281327377648, Obat Rematik Herbal Asam Urat, Obat Rematik Herbal Anak, Obat Herbal Rematik Dari Tumbuhan, Obat Herbal Rematik Jantung, Obat Herbal Rematik Untuk Ibu Hamil
Tumblr media
CELTE Agarillus Herbal Drink yang lebih disempurnakan dengan menambahkan 2 kandungan yang berbeda, yaitu kayu manis dan air kelapa. Memiliki cara kerja dan cara konsumsi yang sama.
Melayani konsultasi GRATIS
CV. Mutiara Berlian Jl. Ahmad Yani 267 Kelurahan Manahan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, Jawa Tengah (Sebelah Barat Terminal Tirtonadi, Solo)
G-Maps CV. Mutiara Berlian (https://g.page/agarillusherbal)
Konsultasi GRATIS : 0856-4020-0020
Website : https://mutiaraberlian.id Kesaksian Pengguna CELTE : https://youtu.be/EgBveOr9ZQY
#obathepatitissumedang #obathepatitistiens #obathepatitistradisional #obathepatitisternate #obathepatitisuntukrakyat #obathepatitisuntukibumenyusui #obathepatitisuntukibuhamil #obathepatitisungaran #obathepatitisyogyakarta #obathepatitis2
0 notes
adinda-sn · 7 years ago
Text
Visus: No Light Perception
Pagi itu saya bersiap ujian mini clinical examination atau biasa disingkat Mini C-Ex, yaitu ujian dimana kami melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik kepada pasien sungguhan. Setelah itu, kami dan penguji sekaligus preseptor kami akan berpindah ruangan untuk mendiskusikan kasus yang baru saja didapatkan beserta diagnosis, tatalaksana, dan prognosisnya. Penyakit yang akan diujikan tidak akan jauh dari materi bed site teaching (BST) pada hari-hari sebelumnya. Mulai dari konjungtivitis atau keratitis yang mungkin mudah tertebak ketika mata pasien terlihat merah, selaput yang sudah jelas merupakan pterigium, bercak merah yang mengindikasikan perdarahan subkonjungtiva, lensa keruh atau putih yang hampir bisa dipastikan katarak, hingga benjolan di kelopak mata yang tidak lain adalah hordeolum atau kalazion.
Setelah peserta pertama dan kedua yaitu Kak Eunice dan Dhani kembali dari ujian dan menceritakan hasil temuan mereka barusan, tidak lama kemudian dr. Mayang menelpon Rafi. Itu berarti, kini waktunya saya dan Rafi yang ujian. Kami pun berjalan dari gedung asrama menuju poli di lantai dua sesuai instruksi. 
Setelah bertemu dr. Mayang, kami diminta menunggu selagi beliau memanggil sang pasien. Datanglah seorang anak perempuan berusia kira-kira enam hingga delapan tahun. Saya perhatikan matanya, tampak tidak ada masalah. Tidak ada kemerahan, benjolan, kekeruhan lensa, maupun kelainan lainnya. Saya berasumsi bahwa ini hanyalah suatu kelainan refraksi, sampai akhirnya saya menyadari bahwa si anak ini datang bersama ayahnya. Hanya dalam sepersekian detik, saya menyadari bahwa ada kelainan pada mata sang ayah.
“Waduh, (penyakit) apaan nih,” kira-kira demikianlah yang langsung terbesit dalam hati saya. Matanya bengkak, bahkan sudah melebihi ruang yang disediakaan rongga orbita, sampai-sampai menghalangi kedua kelopak (superior dan inferior) untuk menutup mata. Bagian sklera yang normalnya berwarna putih, kini seluruhnya merah. Bahkan, bagian kornea yang seharusnya bening, kini tampak keruh dilengkapi dengan warna keputihan.
Sang bapak dipersilakan duduk. Dokter Mayang meminta ijin kepada beliau untuk kami anamnesis dan periksa. Setelah disetujui, Rafi pun mulai mengambil alih. Awalnya, matanya hanya merah sekitar tiga minggu yang lalu. Kemudian, untuk mengatasinya, sang bapak menggunakan obat tetes yang sebenarnya adalah kortikosteroid! Bukannya membaik, mata si bapak justru semakin bengkak, merah, nyeri, dan bahkan mengeluarkan cairan. Nyeri dan mata berair pun diakui bertambah apabila terkena cahaya langsung.
Setelah anamnesis dirasa cukup, sekarang giliran saya yang melakukan pemeriksaan fisik. Saya mulai dengan pemeriksaan Hirshberg. Mata kanan tidak ada masalah, namun mata kiri tidak dapat dinilai karena kornea sudah tidak jernih. Ingin melanjutkan pemeriksaan, tapi keparahan penyakit si bapak seolah menguapkan ingatan saya.
“Sekarang periksa visus ya,” Dokter Mayang mengingatkan saya. Saya justru balik bertanya, “Visus, Dok?” Kemudian dijawabnya lagi, “Iya, visus.” Pikiran saya buyar. Bingung harus memeriksa dengan apa, karena di ruangan itu tidak terdapat Snellen chart. “Tutup mata kanannya,” Dokter Mayang melanjutkan instruksinya. Saya pun lantas melakukannya. Butuh sekian detik bagi saya untuk menyadari bahwa pemeriksaan visus yang dimaksud adalah hand movement. Tangan kiri saya lambaikan di depan mata kiri si bapak, sambil bertanya, “Keliatan ngga, Pak?” Beliau justru balik bertanya, “Apanya?” Mendengarnya begitu miris. Perasaan saya semakin tidak karuan melihat penderitaannya. Saya langsung ambil penlight dari saku kiri jas koas, menyalakannya, dan mengarahkannya ke mata si bapak. Saya bertanya kembali, “Keliatan ngga, Pak, cahayanya?” Beliau kembali menjawab, “Nggak.” Dengan demikian, visus beliau termasuk no light perception, dimana matanya bahkan tidak bisa melihat cahaya. 
Pemeriksaan pun belum berakhir. Masih ada pemeriksaan eksternal bola mata. Saya awali dengan inspeksi kelopak mata kiri dan kanan yang tampak tak bermasalah. Mau memeriksa konjungtiva tarsalis inferior atau superior, rasanya tidak akan nyaman bagi mata pasien. Saya lanjutkan ke pemeriksaan bola mata, mulai dari kornea, sklera, iris, pupil, hingga lensa yang rasanya sudah mustahil dilakukan karena tidak ada satupun yang berada dalam batas normal. Saya kembali menghela napas sambil mematikan penlight, mengingat kata beliau, matanya terasa sakit ketika disinari secara langsung. Tampak pula cairan purulen keluar dari mata kirinya. Saya semakin tidak tega rasanya. 
Entah karena pemeriksaannya memang dicukupkan sampai di sini atau Dokter Mayang menyadari bahwa kedua mahasiswanya ini sudah mulai kehabisan ide, pemeriksaan pun dihentikan. Kami berterima kasih kepada si bapak, lalu pindah ke ruangan lain untuk mendiskusikan kasus tersebut.
Diskusi dimulai dari pelaporan hasil temuan, baik dari anamnesis maupun pemeriksaan fisik. Lalu beliau menanyakan diagnosis banding ke Rafi. Awalnya Rafi menyebutkan adanya konjungtivitis, keratitis, iritis, lalu kebingungan karena pada pasien ini, tampaknya semua penyakit-penyakit itu ada. Dokter Mayang bertanya juga kepada saya, apakah saya setuju dengan Rafi atau tidak. Saya jawab, diagnosis bandingnya adalah mata merah dengan visus menurun. Saya sebutkan uveitis dan panuveitis, lalu beliau justru bertanya, “Emangnya kayak gitu uveitis?” Saya jawab dengan sedikit ragu, “Hmm kalau yang ini lebih parah sih, Dok.” Saya kembali menyebutkan diagnosis banding mata merah dengan visus menurun lainnya yang saya ingat. Endoftalmitis! “Kalau endoftalmitis itu kan bola matanya aja. Ini kan udah sampai ke jaringan sekitarnya,” ujar beliau. Iya juga ya. Bahkan pasien kami tadi sudah mengeluhkan sakit di bagian kepala sebelah kiri. Saya dan Rafi pun terdiam, saking sudah tidak tahu penyakit mata apalagi yang lebih parah dari itu. Ternyata, jawabannya adalah panoftalmitis, alias peradangan di seluruh bagian mata, mulai dari intraokuler hingga jaringan sekitar! Wah, sangat tidak terpikir ya, apalagi karena kami mengira bahwa kasus yang muncul hanya kasus-kasus “ringan” yang ada di BST saja.
Dokter Mayang melanjutkan diskusi dengan menanyakan prognosis dan tatalaksana. Saya dan Rafi sepakat menjawab dubia ad malam. Ternyata, pasien ini harus dirawat untuk diberikan antibiotik karena infeksinya yang sudah cukup parah. Setelah itu, bola matanya harus diangkat. Iya, diangkat, tanpa sisa. Prognosis sudah benar-benad ad malam tanpa dubia sedikit pun. Saya hanya bisa kembali menghela napas. Tidak terbayangkan oleh saya jikalau mata saya harus diambil sebelah. Rasanya saya teringat kembali pertanyaan Dokter Bambang ketika lecture Vision 2020 sewaktu semester tujuh lalu. “Siapa hari ini yang bersyukur bisa melihat?” Nyatanya, kemampuan melihat merupakan anugerah luar biasa yang Ia titipkan, yang seyogyanya dapat kita manfaatkan dan kita jaga dengan sebaik-baiknya. Dan jangan lupa, bersyukurlah akan dua bola mata yang masih setia menghuni rongga orbita secara tenang dan fungsional.
Bandung, 26 Maret 2018 ASN
2 notes · View notes
anasamrotuli · 4 years ago
Text
KET #2
13.09.20
Hari ini, aku sedang terbaring lagi di ruang rawat inap salah satu RS. Karena KET lagi. Allah memang baik sama aku, aku tak mau berburuk sangka terhadap takdir-Nya. Aku tahu ketika diberi sakit, maka dosa-dosa kita menjadi gugur. Ketika diberi sakit, derajat kita naik. Aku yakin, akan ada hikmah yang bisa aku ambil.
02.09.20
Seminggu telat haid, aku banyak berharap. Semoga inilah yang selama ini kami tunggu sebagai pasangan suami istri. Setelah kejadian sebelumnya, kami sekarang makin siap dalam menghadapi apapun yang akan terjadi sekarang. Alhamdulillah ketika di TP aku positif hamil, saking senangnya tiap hari aku testpack. Hehe hari ke 8 telat haidku, aku pergi ke dokter kandungan, baru 5w dan masih penebalan rahim. Karena aku riwayat KET, dokter nanya ada keluhan gak? Dan aku jawab tidak ada keluhan apa-apa. Dokter pun menyarankan aku untuk kontrol ulang 3 minggu lagi. Sambil berdoa yang baik-baik semoga ini jodohnya.
10.09.20
Seminggu kemudian, hari kamis sore, aku tiba-tiba sakit perut. Aku mengira ini hanya sakit maag, karena sakitnya ada dibagian atas perut. Ya seperti kita telat makan aja yang bikin perut perih, dan juga seperti rasa mules ketika kita pengen BAB. Seperti itu sakit yang aku rasakan. Berbeda rasanya dengan sakit ketika KET sebelumnya. Waktu itu UK 6W. Karena sedang hamil, obat yang aku minum hanya sebatas paracetamol dan antasida. Gak berani obat yang lainnya. Sakit makin parah, bahkan tidur miringpun aku gak bisa. Jam 11 malam aku dan Aa memutuskan untuk ke UGD. Karena naik motor, aku dan Aa pelan-pelan banget, kena polisi tidurpun sakit banget. Akhirnya aku sampai jam 12 malem di UGD.
11.09.20
Aku diinfus, diberikan anti nyeri dan obat maag, ya anti nyerinya sebatas paracetamol. Karena lagi hamil, gak bisa masuk obat yang lainnya. Sakit makin parah, bahkan aku susah napas, ketika tarik napas, dadaku berasa tertekan dari arah bawah. Udah gak kehitung berapa kali aku teriak-teriak di UGD karena gak bisa napas. Paru-paruku seperti gak bisa mengembang menerima oksigen dari luar. Hari itu adalah hari pertama aku lihat Aa nangis. Nangis keluar air mata sambil pegang dan cium aku. Sakit sekali. Akhirnya aku diberi oksigen, lumayan gak terlalu sakit. Meskipun masih jarang-jarang aku teriak gak bisa napas. Ditambah, perutku juga sakit, kembung, dipegang pun keras. Kentut, kencing dan BAB pun gak bisa. Hari itu juga aku di USG seluruh perut, katanya banyak cairan bebas di perutku. Aku di cek darah dan urin juga. Siangnya aku diperika dokter obgyn yang periksa aku seminggu yang lalu. Dia juga melihat ada cairan bebas di perutku, awalnya USG dari atas kemudian USG transvaginal, masih penebalan rahim dan belum terlihat kantung kehamilannya. Karena belum puas dia pun memeriksa langsung dengan tangannya ke dalam. Setelah masuk, dia bertanya sakit gak? sambil menekan ke segala arah. Ada di satu posisi ketika dia menekan itu terasa sakit. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa aku kena KET lagi, dan posisinya di saluran tuba sebelah kanan. Hancur. Saking sedihnya aku gak bisa nangis. Aku hanya bisa diam. Aku hanya melihat Aa udah berkaca-kaca dan matanya merah hendak menangis mendengar kabar ini. Tuba kiriku sudah tidak ada, sekarang harapan satu-satunya yaitu tuba kanan, masa harus diambil lagi?? Aku sudah gak bisa hamil normal lagi?? Aku gak nangis, aku sadar kalau aku nangis, aku akan tambah sakit dan gak bisa napas. Aku tahan sekuat tenagaku. Dokterpun merujuk aku ke RS di Serang, dokter kandungan dengan sub spesialis K.Fer. Entah dokter apa itu.
Sorenya aku dipulangkan, sampe rumah aku cuma bisa tidur, bangun untuk duduk pun gak kuat dan langsung muntah kemudian pingsan. Tidur, muntah, pingsan. Berulang-ulang begitu saja. Aku pasrah, sepasrah-pasrahnya. Setelah dapat kabar bahwa dokter yang di Serang adanya hari Rabu, kami memutuskan untuk mengurungkan niat kesana. Terlalu lama, dengan keadaanku yang seperti ini. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke RSIA di Pandeglang yang dokternya ada selalu. Malam itu juga, aku diinfus dan dibawa ke RS itu. Dari kamar ke mobil pun butuh waktu lama, karena aku pingsan terus. Akupun digendong Aa dibawa ke mobil.
12.09.20
Karena di jalan pelan-pelan sampe RS ini sekitar pukul 12.30 tengah malam. Langsung USG, diambil darah, di beri obat pereda nyeri yang dimasukan lewat belakang. Aku langsung masuk ruang rawat, pagi-paginya aku diperiksa dokter obgyn. Ya sesuai diagnosa sebelumnya banyak cairan bebas dan cairan itu adalah darah yang memenuhi rongga perutku. Inilah penyebab aku sakit, bukan sakit maag. Dan yang lebih sedih memang benar aku KET lagi dan di tuba kanan. Dokter menguatkan bahwa kami masih bisa ikut program bayi tabung. Dokternya super ramah dan baik, bikin kami tenang.
Pagi, sekitar jam 9 aku masuk ruang operasi lagi, kali ini Aa ikut menemani aku ke ruang operasi. Alhamdulillah, rasanya aku tidak berjuang sendirian. Ada Aa yang menemaniku. Biusku cuma setengah badan, aku masih bisa ngobrol dan becanda sama dokter-dokter yang ada di ruang operasi. Banyak banget darah yang disedot dari rongga perutku.
Dan keajaiban pun terjadi, ketika di buka perutku, ternyata KET nya bukan di tuba sebelah kanan tapi kembali di sebelah kiri. Allah sungguh Maha Baik. Sungguh, Aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada Allah. Aku sangat bersyukur, dokternya menunjukkan ke Aa, bahwa tuba kananku masih sehat dan aku masih bisa hamil normal. Lupakan saja bayi tabung yang ketika periksa tadi sudah direncanakan.
Selesai operasi, seperti biasa efek biusnya habis. Sakitnya benar-benar sakit, lebih sakit dari sakit apapun yang aku rasakan. Obat anti nyeri sudah diberikan lewat belakang, tapi seperti gak ada pengaruhnya. Aku langsung ditransfusi darah, karena Hb ku rendah banget dan karena banyak darah di rongga perutku yang disedot ketika operasi tadi. Aku transfusi sampai 3 kantong darah. Supaya Hb ku naik. Sorenya, sakit bekas operasinya mulai berkurang. Namun masih terasa perih. Ya Allah, aku akhirnya melewati drama sakit yang paling menyakitkan. Sampe nangis sesegukan, omonganku meracau kemana-mana. Aku bilang gak mau gini-gini lagi. Tolongin ana, ana sakit banget. Dan keluargaku hanya bisa menenangkan sambil elus-elus aku.
13.09.20
Hari ini, Alhamdulillah sakitnya sudah tidak terasa. Hb ku pun sudah naik. Aku sudah bisa tidur miring kiri kanan dan duduk. Tinggal belajar jalan sendiri.
Aku bersyukur dikelilingi orang-orang yang baik kepadaku. Aa yang kurang tidur karena mengurus aku dan mengurus ini dan itu. Keluargaku yang tak kenal lelah membantuku. Aku sangat bersyukur.
Alhamdulillah, aku sudah melewati masa-masa sulit selama 3 hari ini. Aku yakin, Allah sedang menyiapkan skenario terhebatnya untuk aku. Allah Maha Baik. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Aku berserah kepadaNya. Semoga, setelah ini kami diberikan rizki lagi berupa keturunan yang baik, sehat dan selamat. Tanpa kurang satu apapun. Insya Allah.
Aku banyak belajar dari kejadian yang menimpaku saat ini. Tentang rasa syukur, sabar dan tawakal. Bahwa apapun yang terjadi adalah karena kehendak Allah. Manusia hanya bisa berencana dan berbaik sangka terhadap takdir yang sudah Allah tentukan. Manusia hanya dapat berdoa dan berusaha, sisanya biar jadi urusan Allah. Aku merasa dengan kejadian ini, aku semakin dekat dengan Allah. Bahwa kita tidak akan kemana-mana lagi selain kepada Allah.
Begitulah, cerita tentang aku yang sempat mengalami KET hingga dua kali di tempat yang sama. Semoga setelah ini tidak terjadi lagi. Semoga jadi pembelajaran juga untuk kita semua. Semoga ada hikmah yang bisa kita ambil dari kejadian ini.
Sungguh, Aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada Allah.
0 notes
laconicproject · 5 years ago
Text
Mereka yang Pergi Meninggalkan Omelas
Dengan suara bel yang terdengar hingga ke penjuru kota, Festival Musim Panas di Kota Omelas dimulai. Kapal-kapal di pelabuhan terlihat bersinar, penuh dengan bendera warna-warni. Di antara rumah-rumah beratap merah dan tembok berwarna, kebun-kebun kecil dan bawah pohon, juga di antara taman besar dan gedung-gedung umum, jalanan penuh oleh arak-arakan. Beberapa orang bersikap sopan: orang tua dengan jubah panjang abunya, para pekerja keras diam bergembira, para ibu menggendong bayi mereka, berjalan sambil berbincang. Di jalan lain musik mengalun lebih kencang, ada lantunan gong dan rebana, dan orang-orang menari berdansa, bersuka ria. Anak-anak kecil berlari-lari di antaranya, seperti burung walet terbang melintas musik dan bernyanyi. Iring-iringan ini menuju ke sebelah utara kota, ke Green Fields, bukit subur penuh dengan anak-anak perempuan dan laki-laki telanjang bermain di ruang lepas. Lumpur memenuhi kaki-kaki kecil mereka sembari mereka berlatih kuda untuk perlombaan. Tidak ada peralatan apa pun pada kuda, kecuali tali kekang pendek. Rambut-rambut kuda itu dikepang dengan pita perak, emas, dan hijau, Mereka mendengus dan melompat, berlaga satu sama lain. Mereka sangat antusias, kuda adalah satu-satunya hewan yang mengambil festival kami sebagai milik mereka. Jauh di ujung utara dan barat, pegunungan mengilingi teluk di sekitar Omelas. Udara pagi hari sangat bersih, salju masih memahkotai Puncak Delapanbelas dengan terik putih-keemasan sinar matahari bermil-mil jauhnya di bawah langit biru hitam. Angin berhembus tenang cukup untuk membuat spanduk-spanduk perlombaan berkibar-kibar. Dalam keheningan bukit hijau, musik terdengar mengalun di sepanjang jalanan kota, semakin dekat suaranya, suara riang gembira terdengar, perlahan bergemuruh dan memecah sepi bukit dengan suara bel riuh riang.
Inilah kebahagiaan! Bagaimana seseorang dapat menggambarkan kesenangan ini? Bagaimana menceritakan para penduduk Omelas?
Kau tahu, mereka bukan orang-orang yang sederhana meskipun mereka bahagia. Kita sudah tidak perlu menggunakan kata “riang”. Senyumannya adalah sejarah. Dengan penjelasan ini, mungkin ada beberapa asumsi. Mungkin kau berpikir tentang Raja yang memerintah kota ini, diiringi oleh kereta kuda dan para ksatria agungnya, atau mungkin di dalam timbunan emas terdapat para budak berotot. Tapi Omelas tidak memiliki raja. Mereka tidak menggunakan pedang, atau memiliki budak. Mereka bukan orang bar-bar. Aku tidak tahu peraturan dan hukum apa saja yang mengikat mereka, namun curigaku, tidak banyak peraturan di tempat ini. Mereka bukan masyarakat monarki yang hidup dari perbudakan, juga tidak hidup dari jual-beli saham, iklan, polisi rahasia, atau bom. Dan aku harus mengulangnya lagi, mereka bukan masyarakat sederhana, bukan para gembala lembut, bangsawan biadab, atau para utopis hambar. Mereka sama rumitnya dengan kita. Masalahnya, kita punya kebiasaan buruk. Kita menganggap kebahagiaan sebagai sesuatu yang agak bodoh, dan kebiasaan ini didorong oleh para terpelajar sombong dan dogma-dogmanya: hanya rasa sakit yang intelektuil, hanya kejahatan yang menarik. Ini adalah pengkhianatan seorang seniman: penolakan terhadap banalitas kejahatan dan kebosanan dahsyat dari rasa sakit. Jika kau tidak bisa menang terhadapnya, bergabunglah, dan jika menyakitkan, ulangi lagi. Pemujaan terhadap kesengsaraan adalah kutuk terhadap kegembiraan, merengkuh kekerasan adalah melepaskan segala hal lainnya. Kita hampir kehilangan segalanya; kita tidak bisa lagi menggambarkan seseorang yang bahagia, tidak juga dapat melakukan perayaan kegembiraan. Lalu bagaimana aku dapat menjelaskan padamu tentang penduduk Omelas? Mereka bukan bocah naif dan bahagia – meskipun anak-anak Omelas memang pada faktanya bahagia. Mereka adalah orang-orang dewasa yang matang, cerdas, bergairah; hidup mereka sama sekali tidak malang. Oh, ini benar keajaiban! Aku berharap aku dapat menjelaskannya dengan lebih baik. Aku harap aku dapat meyakinkanmu.
Dalam bahasaku, Omelas terdengar seperti sebuah kota di negeri dongeng yang jauh-jauh sekali, pada suatu ketika. Mungkin akan lebih baik jika kamu membayangkan sendiri kota impianmu itu, dan kamu sedang menuju ke sana, karena penjelasanku bisa jadi tidak sesuai dengan bayanganmu. Sebagai contoh, teknologi. Aku pikir Omelas tidak memiliki mobil dan helikopter di jalanan. Tentu ini aku simpulkan pada fakta bahwa penduduk Omelas adalah orang-orang berbahagia. Kebahagiaan didasarkan pada diskriminasi adil terhadap apa yang perlu, apa yang tidak perlu tapi juga tidak merusak, dan apa yang merusak. Kategori kedua—tidak perlu tapi juga tidak merusak—itulah kenyamanan, kemewahan. Mereka dapat memiliki alat penghangat, kereta bawah tanah, mesin cuci, dan semua peralatan-peralatan canggih yang belum diciptakan seperti alat tenaga surya, energi non bahan bakar, penyembuh demam. Atau mereka bisa saja tidak memiliki semua itu. Tidak penting. Sesukamu saja. Aku cenderung berpikir bahwa orang-orang dari atas kota dan pesisir pantai telah datang ke Omelas beberapa hari sebelum Festival. Mereka datang dengan kereta-kereta kecil cepat dan trem dua tingkat. Stasiun kereta Omelas adalah gedung paling keren di kota, meskipun lebih polos ketimbang Pasar Petani yang luar biasa itu. Namun meskipun memiliki kereta, aku khawatir Omelas memberikan kesan sok baik. Senyuman, lonceng, parade, kuda, cih! Jika kamu mau, tambahkan pesta seks. Jika sebuah pesta seks membantu, jangan ragu untuk membayangkannya. Bagaimanapun, kita jangan membayangkan sebuah kuil berisi pendeta-pendeta tampan dan cantik telanjang, setengah mabuk ekstaksi dan siap bersenggama dengan pria dan wanita mana pun, kekasih atau orang asing yang mendambakan penyatuan dengan tuhan dalam darah. Ya, meskipun itu adalah ide awalku, Tapi sepertinya akan lebih baik jika tidak ada kuil apapun di Omelas – setidaknya, bukan kuil berpenghuni. Agama, ya. Pendeta, tidak. Tentu saja para sosok indah telanjang itu dapat berkeliaran ke mana saja, menawarkan dirinya seperti roti luhur kepada orang lapar yang membutuhkan, layakanya pengangkatan tubuh. Biarkan mereka bergabung dalam arak-arakan. Biarkan rebana ditabuh di atas persenggamaan, dan kemuliaan hasrat dinyatakan melalui gong, dan (juga poin penting) biarkan keturunan-keturunan dari ritual ini dinantikan dan diharapkan oleh semua orang. Satu hal yang tidak aku dapati di Omelas adalah rasa bersalah. Hmmm apa lagi ya yang seharusnya ada di sana? Aku pikir awalnya tidak ada obat-obatan, tapi itu terlalu puritan. Untuk siapapun yang menyukainya, Omelas memiliki drooz manis yang dapat mengharumi jalanan kota. Drooz dapat memberikan rasa ringan dan cemerlang pada kepala dan anggota tubuh lain, dan setelah beberapa jam, ada ketenangan mimpi setengah sadar, dan penglihatan luar biasa tentang astral, misteri alam semesta, juga ada nikmat seperti kenikmatan seks yang tak pernah dipercaya; dan semuanya itu tidak berbentuk. Untuk mereka yang berselera sedang, aku pikir mereka dapat menikmati bir. Apa lagi ya, apa lagi yang dimiliki oleh kota senang? Rasa kemenangan, ya pasti, perayaan akan keberanian. Seperti yang kita lakukan terhadap pendeta, mari kita singkirkan prajurit. Kesenangan yang muncul dari pembantaian bukanlah kesenangan yang tepat. Rasanya tidak cocok karena menakutkan dan itu sepele. Kepuasaan tak terbatas, rasa penuh, sebuah kemenangan luar biasa yang tidak dirasakan ketika sedang melawan musuh dari luar tapi didapati dalam persekutuan dengan jiwa-jiwa manusia, yang terbaik, yang paling adil, di manapun; juga kemegahan musim panas. Inilah yang membesarkan hati penduduk Omelas, dan kemenangan yang mereka rayakan adalah kemenangan hidup. Aku pikir tidak banyak dari mereka yang membutuhkan drooz.
Hampir semua arak-arakan sudah mencapai Green Fields. Bau harum masakan tercium dari tenda-tenda berwarna merah dan biru. Wajah anak-anak kecil lengket; dan remahan roti tersangkut di janggut abu seorang pria. Anak-anak muda dan para gadis menggiring kuda mereka dan mulai mengelompokkan diri di garis awal perlombaan. Seorang perempuan tua, kecil, tambun, sambil tertawa membagikan bunga dari keranjang, dan pria-pria muda berbadan tinggi mengenakan bunga itu di rambut mereka yang berkilau. Seorang anak berusia sembilan atau sepuluh duduk di ujung keramaian, sendiri, sambil memainkan seruling kayu. Orang berhenti sebentar untuk mendengarkan, mereka tersenyum, namun mereka tidak berbicara pada anak itu. Anak itu tidak berhenti bermain dan juga tidak melihat orang-orang itu, mata pekatnya tersedot pada alunan manis, nada magis nan lembut.
Permainannya berhenti, dan perlahan ia menurunkan lengannya dari seruling kayu.
Seakan keheningan kecil itu adalah sebuah sinyal, seketika suara terompet dari paviliun dekat garis awal berbunyi: kencang, melankolis, menusuk. Kaki-kaki ramping kuda berderak, dan beberapa dari mereka meringking menjawab. Dengan wajah tenang, seorang penunggang muda menyentak pelan leher kuda dan menenangkannya, sambil berbisik, “Ssshh tenang, tenang, cantikku, harapanku ….” Mereka mulai membentuk urutan di garis. Kerumunan penonton seperti padang rumput dan bunga tertiup angin. Festival Musim Panas dimulai.
Apakah kamu percaya? Apakah kamu menerima festival, kota, kesenangan? Tidak? Maka izinkan aku menjelaskan padamu satu hal lagi.
Di lantai bawah tanah sebuah gedung cantik di Omelas, atau mungkin di sebuah gudang bawah tanah rumah besar, ada sebuah ruangan. Ruangan itu hanya memiliki satu pintu, tanpa jendela. Sedikit cahaya menembus debu dari antara celah-celah papan, bekas jendela bersarang laba-laba yang terletak di seberang ruang bawah tanah. Di salah satu sudut ruangan ada beberapa alat pel dengan ujung kain kaku, menggumpal, dan bau, berdiri di sebelah ember berkarat. Lantainya kotor, sedikit lembap, layaknya kotoran gudang bawah tanah. Ukuran ruangan ini hanya tiga kali dua: seperti ruang sapu atau ruang alat-alat tak terpakai. Di dalam ruangan itu, seorang anak kecil duduk. Entah anak laki-laki atau perempuan. Usianya seperti enam tahun, walaupun sebenarnya ia berusia sepuluh. Pikirannya lemah. Mungkin ia lahir cacat atau mungkin menjadi dungu karena ketakutan, kurang nutrisi, dan terabaikan. Ia mengupil dan sesekali meraba-raba jempol kaki atau kemaluannya. Ia duduk di sudut paling jauh dari ember dan dua alat pel itu. Ia takut dengan alat pel. Ia menganggapnya menakutkan. Ia menutup matanya, namun ia tahu bahwa alat pel itu masih berdiri di sana; dan pintunya terkunci; dan tidak akan ada seorang pun yang datang. Pintu itu selalu terkunci; dan tidak pernah ada yang datang. Anak itu tidak paham soal rentang waktu meskipun ia tahu sesekali pintu bergoyang dan terbuka, dan seseorang, atau beberapa orang ada di sana. Salah satu dari mereka datang dan menendang anak kecil itu agar berdiri. Yang lain tidak pernah mendekat, namun menatapnya dengan ketakutan, dan pandangan jijik. Mereka mengisi mangkuk makan dan kendi air dengan tergesa-gesa. Pintu dikunci, dan mata-mata itu menghilang. Orang-orang di pintu tidak pernah berkata apapun, namun anak itu, yang pernah tidak tinggal di gudang, dan ingat akan cahaya matahari juga suara ibunya, sesekali berbicara. “Aku akan jadi anak baik,” katanya. “Tolong keluarkan aku. Aku akan jadi anak baik!” tapi mereka tidak pernah menjawab. Anak itu pernah berteriak-teriak pada malam hari mencari bantuan, dan menangis sekencang-kencangnya. Tapi sekarang itu semua hanya terdengar seperti erangan, “eh-haa, eh-haa,” dan lama-lama semakin jarang terdengar. Tubuhnya kurus kering; perutnya menonjol; ia hanya hidup dari setengah mangkuk jagung dan gandum setiap harinya. Tubuhnya telanjang. Pantat dan pahanya membusuk karena ia terus menerus menyimpan dan menduduki kotorannya sendiri.
Mereka semua tahu, anak itu ada di sana. Semua orang Omelas. Beberapa dari mereka datang untuk melihat, yang lain cukup tahu saja. Mereka semua tahu bahwa anak itu harus ada di sana. Beberapa dari mereka paham mengapa, dan beberapa tidak. Namun mereka semua tahu bahwa kebahagiaan mereka, keindahan kota mereka, persahabatan tulus, kesehatan anak-anak, kebijaksanaan para sarjana, keahlian para pembuat, dan bahkan hasil panen berlimpah juga udara dan langit yang baik, bergantung sepenuhnya pada penderitaan anak itu.
Mereka biasanya menjelaskan hal ini pada anak-anak ketika berusia delapan sampai dua belas, usia di mana anak-anak mulai bisa memahami, dan sebagian dari mereka yang melihat anak kecil itu adalah orang-orang muda, meskipun beberapa orang dewasa juga beberapa kali datang untuk melihatnya. Seberapa pun baiknya hal ini dijelaskan, para anak muda selalu terkejut dan muak terhadap apa yang mereka lihat. Mereka merasa jijik. Terlepas dari semua penjelasan itu, mereka merasakan kemarahan, kebiadaban, ketidakmampuan. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk sang anak. Tapi tidak ada yang dapat mereka lakukan. Jika anak itu dibawa keluar dari tempat yang buruk ini merasakan sinar matahari, jika anak itu dibersihkan, diberi makan, dan diberi kenyamanan, tentu itu adalah hal yang baik. Namun jika semua hal itu dilakukan, pada hari itu jugalah semua kesejahteraan, keindahan, dan kesenangan Omelas akan musnah dan hancur. Itulah aturannya. Menukar semua kebaikan dan anugerah seluruh kehidupan Omelas untuk perbaikan kecil; membuang kebahagiaan ribuan orang dengan kesempatan satu orang saja untuk berbahagia, sama artinya dengan membiarkan rasa bersalah itu memasuki relung-relung tembok Omelas.
Aturan ini ketat dan mutlak; bahkan tidak boleh ada seorang pun yang memberikan kata-kata baik kepada anak itu. Sering kali anak muda pulang ke rumah sambil menangis, atau marah tanpa air mata ketika mereka melihat sang anak dan menghadapi paradoks mengerikan ini. Mereka akan merenungkannya beberapa minggu atau beberapa tahun. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyadari bahwa meskipun anak itu dapat dilepaskan, ia tidak akan banyak mendapatkan kebebasan: kesenangan kecil yang didapatkan dari kehangatan dan makanan, tidak diragukan lagi, tapi hanya sedikit lebih dari itu. Terlalu cacat dan idiot untuk tahu kesenangan yang sesungguhnya. Ia sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan untuk bisa dibebaskan dari rasa takut itu sendiri. Tempat kediamannya terlalu buruk baginya untuk dapat merespon perlakuan manusiawi. Tentu setelah sekian lama, anak itu bisa jadi malang tanpa tembok yang melindunginya, dan kegelapan di matanya, juga kotoran untuk diduduki. Air mata mereka terhadap ketidakadilan pahit ini mengering ketika mereka mulai mengerti keadilan buruk sebuah kenyataan, dan menerimanya. Namun air mata dan kemarahan merekalah; usaha kemurahan hati dan penerimaan atas ketidakberdayaan merekalah, yang mungkin adalah sumber sejati kemegahan hidup mereka. Tidak ada kebahagiaan yang hambar dan tidak bertanggung jawab. Mereka tahu bahwa mereka, seperti anak kecil itu, tidak sepenuhnya bebas. Mereka tahu welas asih. Karena kehadiran dan pengetahuan mereka akan eksistensi sang anak, mereka mampu melahirkan luhur mulia dalam aristektur mereka, musik mereka mampu menyadarkan kesedihan, dan ilmu pengetahuan mereka memiliki kedalaman. Karena anak itulah, mereka menjadi sangat lembut dengan anak-anak mereka. Mereka tahu jika si kecil malang tidak terisak di dalam kegelapan, si kecil lain—pemain suling itu—tidak dapat menyanyikan lagu bahagia ketika para penunggang muda berlomba dengan indahnya di bawah sinar matahari pada pagi pertama musim panas.
Apakah sekarang kau percaya pada mereka? Apakah menurutmu mereka masuk akal?
Ada satu hal lain lagi yang ingin kuceritakan padamu, dan menurutku ini cukup luar biasa.
Pada suatu ketika, salah satu remaja perempuan atau laki-laki yang pergi mengunjungi anak kecil itu tidak pulang untuk menangis atau marah. Faktanya, mereka tidak pulang sama sekali. Kadang-kadang juga seorang pria atau perempuan yang lebih tua diam dalam kesunyian sehari atau dua hari, lalu meninggalkan rumah. Orang-orang ini pergi ke jalan, dan menyusuri jalan itu sendirian. Mereka terus berjalan, dan terus berjalan keluar dari kota Omelas, melewati pintu gerbang yang indah. Mereka terus berjalan melalui tanah pertanian Omelas. Tiap orang berjalan sendiri, pemuda atau gadis, laki-laki atau perempuan. Malam tiba; para penjelajah itu harus melewati jalanan desa, di antara rumah-rumah dengan jendela kuning dan dalam kegelapan padang. Masing-masing, sendiri, mereka pergi ke barat dan utara, menuju pegunungan. Mereka terus melangkah. Mereka meninggalkan Omelas, mereka berjalan menuju kegelapan, dan mereka tidak kembali lagi. Tempat mereka pergi adalah tempat yang lebih tidak dapat dibayangkan oleh kita ketimbang membayangkan kota kesenangan. Aku tidak dapat menjelaskannya sama sekali. Ada kemungkinan tempat itu bahkan tidak ada. Tapi sepertinya mereka tahu ke mana mereka pergi, ya mereka, mereka yang pergi meninggalkan Omelas.
Tumblr media
0 notes