#nisanggitjourney
Explore tagged Tumblr posts
Text
Empat: Kali Pertama Bertemu Dengannya
Sabtu, 27 Agustus 2016 di Sidoarjo, di rumah seorang ustadz yang menjadi perantara kami.
Hari itu terjadwal untuk melakukan proses taaruf dengan seorang laki-laki yang saat itu saya belum mengenalnya sama sekali kecuali melalui proposalnya. Saya berangkat naik uber ditemani murabbi saya. Rumah ustadz tersebut cukup jauh ternyata, dan kami pun sempat nyasar-nyasar dulu sebelum akhirnya menemukan rumah beliau (ternyata setelah menikah, doi juga cerita kalo waktu itu bingung nyari alamat ustadznya dan nyasar juga, wkwk). Sesampainya disana, saya sholat ashar. Setelah sholat, saya keluar dan… jeng jeng…sudah duduk lelaki tak dikenal itu. Saya lupa persisnya dia memakai pakaian warna apa, bagaimana tampilannya, karena jujur saja saya tidak begitu berani melihat ke arahnya.
Ustadz memulai forum taaruf itu dengan singkat, kemudian mempersilakan kami untuk bertanya jawab. Hening beberapa saat. Saya diam, dia pun juga masih bungkam. Kemudian ustadz berujar, “loh ayo silakan ditanyakan apa yang ingin diketahui. yasudah silakan yang ikhwan memulai dulu.”
Akhirnya dia pun mulai membuka suaranya, memperkenalkan diri secara singkat, kemudian melempar pertanyaan pada saya.
“Anti dari SMP kan jauh dari orangtua, tinggal di asrama, bagaimana hubungan dengan orangtua sampai saat ini?” kurang lebih begitu pertanyaannya.
Surprisingly, berbicara dengan orang ini tidak lantas membuat saya jadi rendah diri, deg-deg an, takut, grogi, dan lainnya (berbeda ketika proses taaruf dengan orang sebelumnya yang mana ketika berhadapan saja saya sudah takuuut sekali, jadi merasa tidak nyaman ketika berdiskusi). Bisa dibilang taaruf sore itu berjalan lancar, dengan sesekali ustadz dan murabbi saya menimpali ketika kami sama-sama diam. Dia bertanya cukup banyak, mulai dari hubungan dengan keluarga, kondisi keluarga, planning saya setelah menikah, setelah lulus, metode pendidikan anak, buku-buku yang saya baca, sampai makanan favorit saya. Saya menjawab sesuai dengan bagaimana adanya (dan parahnya lagi nyeplos-nya saya keluar juga, wkwk, dikira dia bakal ilfeel eh ternyata malah mau lanjut :’D), saya lebih sering diam, paling hanya beberapa pertanyaan penting yang saya ajukan kepadanya.
Menjelang Maghrib, taaruf itu akhirnya diakhiri dengan kesepakatan, seminggu setelah itu kami akan memberi jawaban apakah taaruf itu akan dilanjutkan ke proses yang lain (khitbah) atau dihentikan dan apa-apa yang kami ketahui melalui proses taaruf itu cukuplah bagi kami saja. Seusai shalat Maghrib saya dan murabbi kembali pulang ke Surabaya. Murabbi saya banyak menasehati dan menceritakan pengalaman taaruf dan pernikahan beliau ketika kami dalam perjalanan Sidoarjo – Surabaya malam itu.
Sesampainya di kosan, saya menghubungi orangtua di rumah dan menceritakan bagaimana proses taaruf yang telah dilakukan. Saya juga minta tolong orangtua saya untuk istikharah juga, karena sepertinya orangtua sedikit syok ketika mendengar berapa penghasilannya dan rasa-rasanya ingin menolak. Tapi saya katakan pada orangtua (terlebih sebenarnya menasehati diri sendiri, agar perkara akhirat lebih diutamakan, agar agama dan akhlak yang menjadi patokan utama, bukan hanya berpatokan pada seberapa besar gaji atau kepunyaannya), “matematika nya Allah sama manusia kan beda, Ma. Istikharah dulu aja, kalo memang hasilnya dilanjutkan, ya kita terima dan jalani prosesnya dengan ikhlas, kalau ngga ya berarti belum sekarang waktunya nisa menikah.”
Selama sepekan itu saya sempat ragu-ragu. Banyak sekali hal yang saya pikir-pikir ulang, saya timbang-timbang, saya hitung-hitung, pokoknya di kepala rasanya penuh sekali. Setelah sholat istikharah beberapa kali pun rasanya saya masih bimbang, apalagi orangtua juga begitu, belum sreg kalau belum ketemu dengan orangnya langsung. Beberapa hari sebelum ‘deadline’ saya memberi keputusan apakah proses itu akan dilanjutkan atau tidak, saya mengunjungi ibu kosan baru untuk mengambil kunci kamar. Surprise! Saya duduk di ruang tamu, disana ada TV menyala, menayangkan acara kajian pagi, dan entahlah kenapa dari semua tema kajian yang ada tema saat itu adalah soal pernikahan! Ibu kosan mencari kunci cukup lama, dan seolah-olah ustadz di TV itu sedang memberi ceramah pada saya, berbicara pada saya, menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala saya, menjawab keragu-raguan dan kebimbangan saya tentang pernikahan.
Ya Allah, was that Your sign?
6 notes
·
View notes
Text
Tujuh: Mitsaqan Ghalidza
Selasa, 17 Januari 2017 saya tiba di rumah. Urusan revisi skripsi saya tinggal untuk sementara waktu. Semakin mendekati hari-H pernikahan, semakin banyak persiapan teknis yang harus saya dan keluarga lakukan. Overall, persiapan sudah 95%, tinggal eksekusi di hari H saja. Tentu saja semakin dekat, harus semakin memperkuat doa juga. Tidak hanya supaya acara berjalan lancar, para tamu undangan hadir, konsumsi tidak kurang dan tidak mubadzir, tetapi juga supaya Allah memberkahi segala proses kami, memberkahi pernikahan kami dan keluarga kami kelak.
Sabtu pagi-pagi sekali, 21 Januari 2017, gubug sederhana kami di ujung desa sudah ramai. Orang-orang yang bertugas di bagian perlengkapan menyiapkan karpet, meja, serta kursi-kursi untuk tamu undangan akad nikah. Saya sendiri sudah bangun sejak jam 2 pagi, lebih tepatnya karena saya tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Rasa-rasanya setiap calon pengantin pasti akan mengalami hal yang serupa.
Prosesi akad nikah dijadwalkan pukul 07.00, dan sebelum itu para saudara, kerabat, keluarga calon besan, serta tamu undangan sudah hadir memenuhi ruangan. Saya berada di ruang keluarga bersama tamu perempuan, sementara prosesi akad nikah dilakukan di ruang tamu, sehingga saya tidak dapat melihat secara langsung bagaimana lelaki pilihan Allah itu menjabat tangan papa saya dan mengucapkan ijab kabul.
Bagaimana perasaan saya ketika sebelum akad nikah? Jujur saja, saya tidak bisa melukiskan dengan kata-kata. Ada debar yang sungguh berbeda, perasaan takut, cemas, khawatir, semuanya terasa hadir bersamaan. Saya tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa saya akan menikah, dengan orang yang tidak saya kenal pula. Biasanya saya hanya hadir di akad nikah saudara atau teman, tapi sekarang Allah takdirkan saya menyaksikan ayah saya mengucap ijab kabul, menyerahkan putri sulungnya ini pada lelaki asing yang baru ditemuinya beberapa bulan lalu.
Pagi hari itu, dengan disaksikan oleh keluarga, kerabat, sahabat, tetangga dekat, penghulu, dan tentunya oleh Allah, perjanjian yang mengikat kuat itu terucap.
Mitsaqan Ghalidza.
Hanya tiga kali Allah sebutkan dalam Al-Qur’an, dan salah satunya terdapat dalam QS. An-Nisaa’: 21, “… dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Mitsaqan Ghalidza bukanlah perjanjian biasa. Ia mengandung komitmen yang tidak main-main. Sebuah janji suci yang tidak hanya melibatkan manusia, tetapi juga Allah. Ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, itu artinya ia telah melakukan perjanjian atas nama Allah, oleh karena itu pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang melahirkan konsekuensi dunia dan akhirat.
Ada kejadian lucu ketika prosesi itu, saya sendiri baru mengetahuinya setelah suami bercerita.
“Biasanya kan ada latihannya atau diarahkan gitu ya sama penghulunya. Lah kemaren itu enggak dek, coba bayangin deh tiba-tiba langsung aja gitu.”
“Trus kenapa kemaren diulang lagi? Mana suaranya ga kedenger lagi. Dengernya pas udah pada bilang sah.”
“Yang pertama kan papa dulu, pake mic. Lah pas giliran aku pake mic gitu eh malah mic-nya diambil. Trus waktu mau diulang lagi aku nanya ke penghulunya, ini nanti saya dikasih mic apa engga, dan katanya engga. Makanya cuma suara papa aja yang kedenger dari dalem.”
Dan ketika para saksi mengatakan “sah”, saya langsung memeluk mama yang berada tepat disamping saya sambil menangis. Kalau mengingatnya lagi, rasanya masih ingin menangis. Mengingat momen ketika saya ‘lepas’ dari tanggung jawab papa dan berpindah ke tangan laki-laki itu, ketika saat itu juga tanggung jawab saya pun bertambah, ketika hati telah ditetapkan dan janji diikrarkan untuk mendampingi seorang lelaki pilihan-Nya sepanjang sisa hidup saya. Segala rangkaian perasaan bercampur aduk menjadi satu. Mengharu biru.
3 notes
·
View notes
Text
Dua: Atas Keinginan dan Ridho Orang Tua
“Mama pengen Ramadhan besok kamu sudah menikah.”
Begitu ucap mama ketika kami sedang berdiskusi. Tentu saja saya kaget bukan main. Apakah mencari pendamping hidup bisa ditarget seperti itu? Lagipula saat itu saya benar-benar tidak ada keinginan sama sekali untuk menikah. Setelah saya pikir panjang, saya ingin menjalani hidup ‘normal’ seperti orang lain; lulus kuliah, dapat pekerjaan, berpenghasilan, kemudian baru menikah. Saat itu lulus kuliah pun belum, secara finansial saya juga belum bisa mandiri, lalu bekal apa yang saya punya nanti ketika saya memulai kehidupan berumah tangga?
“Mbok sana kalo memang mau pake proposal, bikin proposal aja trus dikasih ke ustadzahmu,” lanjut Mama saya.
Proposal. Bukan proposal kegiatan atau proposal sponsorship tentu saja. Proposal yang dimaksud disini adalah proposal nikah untuk membentuk keluarga sakinah. Proposal pihak perempuan biasanya akan diberikan kepada pihak laki-laki. Pihak laki-laki bisa jadi menerima lebih dari satu proposal, kemudian dia akan istikharah untuk menentukan pilihan. Setelah mendapat pilihan, pihak laki-laki memberitahu ‘perantara’ proses tersebut (bisa teman, ustadz, senior, dll) kemudian mengabarkan pada perantara pihak perempuan. Perantara pihak perempuan kemudian menawarkan kepada perempuan yang dipilih ini, memberikan proposal pihak laki-laki, kemudian diberi waktu untuk istikharah, berpikir, menimbang, juga berdiskusi dengan orang tua. Pihak perempuan boleh menerima dan berhak menolak jika memang dirasa tidak ada kecocokan.
Saya sebelumnya termasuk orang yang tidak ingin menikah dengan proposal. Saya kurang sreg jika seseorang memilih saya hanya berdasar apa yang saya tulis. Saya ingin, ada seseorang yang memang sudah mengenal saya, kemudian dia merasa bahwa saya adalah orang yang tepat untuk mendampingi sisa hidupnya, dan dia pun langsung mendatangi orang tua saya. Saya ingin ada orang yang memperjuangkan saya, menjadikan saya tidak sekadar pilihan, tapi memang sudah sedari awal menjadikan saya tujuannya.
Sebagai seorang anak, saya ingin menenangkan mama saya, dengan setidaknya sudah nyicil membuat proposal. Maka pada tanggal 18 Juli 2016 saya beranikan diri untuk meminta format proposal nikah pada murobbi saya. Setelah melihat format proposal yang masih kosongan itu, saya rasanya ingin menyerah :’D Alamaaak, yang kosongan aja sudah sebanyak ini. Saya pun minder karena tak banyak yang nantinya akan bisa saya tuliskan. Maka saya urungkan niat untuk menyelesaikan isian proposal itu. Saya baru isi sekedar CV saja, belum sampai penjabaran yang mendetail. Dalam benak saya, “nanti-nanti ajalah, toh niatnya emang mau diberikan ke murobbi kalau kuliah udah selesai.”
Tapi pada tanggal 24 Juli 2016, murobbi mengirim pesan melalui Whatsapp,
“Ukh apakah saya bisa dibantu menyiapkan proposal anti malam ini? Ana coba ikhtiarkan, barangkali ada jodoh anti.”
Jeng jeng…..saya pusing bukan main, karena saat itu kebetulan saya sedang bantu kerjaan senior jadi translator dan banyaaaak sekali yang harus saya selesaikan malam itu juga. Saya kemudian menyempatkan diri menulis proposal itu, sebisa saya, semampu saya, senyata bagaimana keadaan saya saat itu. Menjelang pukul 22.00 baru saya kirimkan proposal saya ke murobbi.
5 notes
·
View notes
Text
Satu: Tidak Semua Keinginan Kita Harus Dijawab Dengan “Iya”
Ada kalanya kita mengharapkan sesuatu dengan teramat sangat. Siang malam berdoa, bekerja, berikhtiar demi mendapat apa yang kita impikan. Tak hentinya kita memohon agar Allah mengabulkan apa yang menjadi keinginan kita. Namun ada saat dimana tidak semua doa-doa itu terjawab pada waktu yang bersamaan. Ada yang Allah tangguhkan, dan ada juga yang Allah ganti dengan sesuatu yang lain. Menurut kita mungkin tak baik, kita tak suka, tapi yakinlah bahwa Allah senantiasa memberi yang terbaik untuk hamba-Nya. Maka baiknya penerimaan te rhadap apa yang Allah takdirkan untuk kita menjadi wujud kesyukuran kita akan luas nikmat-Nya.
Pun kaitannya dengan pendamping hidup. Apabila ditanya keinginan, saya justru ingin menikah ketika memasuki semester 5 kuliah. Tetapi ternyata Allah tidak menghendaki demikian. Orang yang saat itu menghadap orang tua saya ternyata bukan yang Allah takdirkan untuk saya.
Memasuki semester 6, saya justru jarang sekali memikirkan soal jodoh ataupun pernikahan. Saya lebih banyak membuat rencana-rencana perihal skripsi, target kelulusan, list perusahaan impian yang saya tertarik untuk bekerja disana, info-info beasiswa S2, info kampus di luar negeri, sampai kepo-kepo bagaimana proses wawancara beasiswa dan wawanca kerja. Di saat yang sama kebetulan juga disibukkan dengan kegiatan kewirausahaan, hingga yang terpikir hanyalah target dan omset yang harus dicapai. Saat itu di benak saya, pernikahan adalah hal yang masih jauh dari jangkauan saya.
Saat itu bulan Syawal. Dan syawal kala itu saya mendapat banyak sekali undangan walimah. Mulai dari kakak kelas, senior kampus, teman seumuran, juga adek kelas. Semenjak dulu saya ingin menikah di bulan Syawal, namun sayangnya bukan Syawal kala itu waktu yang tepat bagi saya. Mungkin Syawal tahun depan, atau tahun depannya lagi, begitu batin saya. Sekali lagi, rasanya pernikahan masihlah hal yang amat jauh dari saya.
Saya menginsafi diri saya sendiri. Apalah yang dipunya oleh seorang saya yang seperti ini? Sedalam apa ilmu dan pemahaman yang saya miliki? Selurus dan sebening apakah niat saya?
Ketika Allah tidak segera memberikan apa yang kita inginkan, bukan berarti Allah tidak mendengar doa kita. Allah Maha Mendengar, tentu tak akan ada yang luput. Hanya saja, apakah diri kita ini sudah pantas mendapatkannya? Apakah diri kita ini sungguh telah siap dengan segala tanggung jawab dan konsekuensi bila Allah meng-iya-kan keinginan kita?
Barangkali, Allah sedang memberi kita waktu untuk benar-benar mempersiapkan, untuk kembali meluruskan niat dan memaksimalkan ikhtiar.
5 notes
·
View notes
Text
Tiga: Kali Pertama Membaca Namanya
Saya sering bertanya-tanya, bagaimana seseorang bisa yakin memilih pendamping hidupnya melalui sebuah lembaran proposal? Apakah dengan membaca namanya saja dapat membuat hati bergetar? Apakah hanya dengan membaca visi misi dan rencana hidupnya saja dapat membuatnya benar-benar yakin orang inilah yang tepat untuk menjadi teman hidup selamanya? Apakah hanya dengan melihat fotonya saja dapat membuatnya tertarik dan berjanji untuk mencintai seumur hidupnya?
***
Sore tanggal 11 Agustus 2016, saat saya sedang melakukan dinas sore di rumah a.k.a nyapu ngepel dan beberes rumah, murobbi saya mengirim pesan lewat Whatsapp.
“Ini ada ikhwan yang mau proses taaruf sama anti. Tolong infonya di keep untuk anti dulu ya ukh.”
Saya langsung kaget dan lemes saat itu juga. Secepat itukah?! Padahal belum ada sebulan saya mengirim proposal ke murobbi. Menurut cerita yang saya dengan dari para senior, proses seperti itu cukup lama, ada yang sudah berbulan-bulan bahkan bertahun menyerahkan proposal tapi belum juga proses taaruf. Senior yang lain bilang “proposal akhwat tuh numpuk-numpuk, padahal proposal ikhwannya cuma dikit.”
Malam itu juga murobbi saya mengirimkan proposal laki-laki yang tidak pernah saya ketahui di kehidupan saya sebelumnya. Saya membacanya pelaan sekali.
Halaman pertama, semacam pembukaan.
Halaman kedua, hanya ada nama dan tanggal penyerahan proposal.
Halaman ketiga, muncullah data-data mengenai dirinya.
Halaman selanjutnya mengenai karakter diri, keluarga, visi misi, rencana hidup kedepan, kriteria yang diinginkan, hingga pada halaman terakhir ada dua foto dirinya.
Jujur saja, setelah selesai membaca proposalnya saya tidak merasakan apa-apa. Belum ada rasa tertarik dengan lelaki asing ini. Saya masih takut dan sedikit trauma juga dengan proses yang sebelumnya, karena sudah telanjur ketemu eh tapi akhirnya tidak jadi dan orang itu menikah duluan (xD). Saya takut dan ragu-ragu untuk memutuskan, hingga akhirnya saya berusaha untuk menetralkan hati saya kembali, menyerahkan sepenuhnya pada Allah.
Esok paginya saya sampaikan ke orang tua. Kami sekeluarga banyak menimbang, istikharah, dan berdoa supaya diberi petunjuk yang jelas, diberi ketetapan dan takdir yang baik. Saya meminta waktu satu pekan pada murabbi untuk berpikir. Selama sepekan itu berbagai perasaan timbul tenggelam. Ada waktu ketika saya ingin mengakhiri saja prosesnya, namun ada juga perasaan bahwa saya bisa melanjutkan ke proses selanjutnya. Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2016, dengan keyakinan yang insha Allah datang dari Allah, saya beranikan diri mengatakan pada murobbi,
“….bismillaah, nisa bersedia untuk melanjutkan proses taarufnya, amah…”
Sejujurnya, proposalnya adalah yang pertama dan pada akhirnya menjadi satu-satunya proposal yang saya terima. Karena sebelumnya saya sedikit ‘enggan’ taaruf menggunakan proposal, hehe. Setelah mengalaminya sendiri, saya jadi percaya bahwa taaruf dengan proposal merupakan salah satu (bukan satu-satunya lho ya) cara yang ahsan ketika kita telah berniat untuk menikah.
Dan pertanyaan-pertanyaan saya diatas terjawab ketika pada akhirnya saya mengalaminya sendiri. Jawabannya: bisa, dengan izin Allah :)
5 notes
·
View notes
Text
Enam: Persiapan
Persiapan pernikahan yang kurang lebih hanya tiga bulan beriringan dengan persiapan kelulusan saya. Kira-kira sepekan setelah khitbah, ketika dokter sudah mengizinkan saya untuk berhenti medikasi, saya memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Dari pagi hingga malam saya berkutat di depan laptop, membaca referensi, pergi ke perpustakaan kampus, serta bimbingan dengan dosen. Alhamdulillah tidak lama setelah itu, saya diizinkan untuk mendaftar seminar proposal. Segera saya siapkan semua berkas, hingga akhirnya di bulan November saya terjadwal seminar proposal.
Proposal skripsi saya disetujui namun ada beberapa revisi, termasuk judul, tapi Alhamdulillah saya masih bisa mengambil objek yang sama. Setelah surat-surat perizinan untuk penelitian selesai, saya berangkat ke Jogja untuk melaksanakan penelitian selama kurang lebih satu pekan. Tentunya saya pulang dulu ke Solo, untuk membantu mempersiapkan acara akad dan walimatul ‘ursy.
Saya dan keluarga kecil saya jujur saja harus gerak cepat untuk mencari gedung, catering, seragam keluarga, undangan, souvenir, juga tentunya persiapan administrasi di KUA. Kami sebenarnya tidak ingin ribet, karena saya juga masih punya adek yang saat itu usianya belum genap 1 tahun, sementara di rumah hanya ada mama papa yang tentunya harus mempersiapkan semuanya, maka dari itu kami ingin menyelenggarakan akad nikah saja. Tapi nampaknya keluarga besar tidak setuju, apalagi ini mantu pertama. Akhirnya dengan segala ikhtiar dan kekuatan yang datang dari-Nya, kami akan menyelenggarakan walimatul ‘ursy sederhana.
Tidak terhitung saya bolak-balik Surabaya-Solo untuk mengurus administrasi di KUA, fitting baju, cetak undangan, dan sebagainya. Sementara skripsi saya harus segera selesai dan kalau bisa sidang skripsi sebelum akad nikah, agar setelah nikah, setidaknya satu amanah sebagai mahasiswa sudah hampir selesai. Alhamdulillah, Allah berikan saya kekuatan, kemudahan, dan kelancaran selama proses itu. Saya semakin percaya, bahwa ketika Allah menghendaki sesuatu terhadap hamba-Nya, maka akan Ia mudahkan segala prosesnya dan ringankan jalannya. Saya pun tidak merasa berat hati, yang ada hati saya menjadi lebih tenang dan lebih lapang ketika saya menyerahkan semuanya pada Allah.
Apakah ada kendala atau ujian-ujian ketika mempersiapkan pernikahan?
Kendala teknis Alhamdulillah tidak kami (saya dan orangtua) rasakan, tetapi ujian yang berupa ‘nyinyiran’ atau sindiran atau omongan dari orang-orang tentu kami dengar. Saya dan orangtua sudah sepakat untuk saling menguatkan, apapun yang dikatakan orang lain atau bahkan keluarga sendiri. Niat saya lillaah untuk beribadah pada Allah, menjalankan ketentuan-Nya, dan hanya berharap pada keridhoan-Nya. Niat orangtua pun lillaah untuk menjalankan kewajiban sebagai orangtua, hanya berharap pada ridho Allah dan keberkahan pernikahan putri mereka.
Kalau kata saya mah, ibadah yang besar, tentu ujiannya besar juga. Tapi kalau kita bisa melewatinya, in sha Allah akan ada banyak hikmah yang dapat dijadikan pelajaran hidup berharga.
Selama proses dari mulai proposal, taaruf, hingga persiapan akad nikah, saya sama sekali tidak ada komunikasi dengannya. Mama saya yang sering chatting whatsapp dengannya. Ibu mertua juga yang biasanya telpon ke saya. Sosial medianya pun saya tak punya. Saya justru tau dari teman-teman saya yang ‘kepo’ mulai dari blog hingga instagramnya.
Pendapat orang lain mungkin berbeda, tapi saya lebih nyaman dan rasanya saya bisa lebih ‘menjaga’ ketika saya tidak ada komunikasi dengannya. Saya hanya takut apabila yang dibicarakan adalah hal-hal yang tidak penting yang justru dapat menjerumuskan. Toh sebentar lagi juga menikah, setelah itu bisa leluasa chatting atau telpon-telpon. Dan Alhamdulillah, tanpa adanya komunikasai dari kami berdua, persiapan hingga acara pernikahan dapat berjalan dengan lancar. Cukuplah melalui orangtua bila memang ada yang perlu disampaikan.
Kok ribet banget sih harus pake perantara segala?
Alhamdulillah saya tidak merasa ribet, justru sebaliknya, biidznillah, Allah mudahkan dan lancarkan semua proses kami. Semoga Allah pun memberkahi dan meridhoi setiap langkah yang sudah dan akan kami tempuh.
**
Saya terjadwal sidang skripsi hari Senin, 16 Januari 2017 sementara akad nikah saya akan dilaksanakan tanggal 21 Januari 2017. Teman-teman saya ramai berkomentar,
“Gile lu, skripsi kelar resepsi digelar”
“Beehh, h-5 akad nikah eh sidang skripsi dulu coy”
“Jan sampe lo balik Solo barengan ama kita-kita yang mau dateng kesono”
Dan berbagai komentar serta doa ketika saya menyampaikan undangan pernikahan kami.
Saya deg-deg an luar biasa. Tiga tahun lima bulan setelah saya menjalani rangkaian perkuliahan, akhirnya saya bisa menjalani sidang skripsi juga. Tiga tahun lima bulan yang rasanya singkat sekali untuk saya beramanah di kampus, dan setelah ini akan berganti amanah lain menjadi seorang istri.
3 notes
·
View notes