#nama bayi perempuan eropa timur
Explore tagged Tumblr posts
jurnalistik39 · 2 years ago
Text
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Tumblr media
Article by Flora Astia
Pahlawan bukan hanya yang berjuang dalam medan perang untuk meraih kemerdekaan. Tidak semua pahlawan nasional melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata, tapi ada juga dengan menjadi pendidik atau guru. Pahlawan tanpa tanda jasa itu kalimat yang menggambarkan pengorbanan para guru memajukan pendidikan. Perjuangan para guru sekarang tidak kalah dengan perjuangan para guru pada zaman penjajahan.
Pada masa penjajahan, banyak anak-anak pribumi atau asli Indonesia yang sulit mendapatkan pendidikan. Sehingga, beberapa pahlawan nasional melakukan kegiatan belajar mengajar secara sembunyi-sembuyi. Para pahlawan tersebut berjuang keras untuk mencerdaskan anak-anak agar bisa terbebas dari penjajahan. Untuk itu mari kita kilas balik mengenai pahlawan-pahlawan dalam dunia pendidikan.
Ki Hajar Dewantara
Tokoh satu ini tentu tidak diragukan lagi akan perannya dalam dunia pendidikan. Teman-teman juga pasti sudah tahu tentang kehebatan dari Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan, hingga mendapat julukan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Ia bersama dengan teman-temannya mendirikan sebuah sekolah bercorak nasional yang bernama National Onderwijs Institut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa. Sekolah itu berdiri pada 3 Juli 1922 di tempat kelahirannya, yaitu Yogyakarta.
2. Raden Adjeng Kartini
Pahlawan nasional selanjutnya adalah Raden Adjeng (RA) Kartini. Nama RA Kartini tentu sudah tidak asing bagi teman-teman, bahkan hari kelahiran pahlawan perempuan ini pun selalu diperingati setiap tahunnya. Tokoh yang lahir di Jepara pada 21 April 1879, ini banyak memperjuangankan hak-hak perempuan selama masa penjajahan. RA Kartini tumbuh sebagai perempuan yang sama dengan perempuan lainnya pada masa itu. Ia menjalani masa pingitan yang ketat hingga berusia 12 tahun. Walau menjalani pingitan, RA Kartini tetap menjalin hubungan dengan beberapa temannya di Eropa melalui surat. Ia banyak berdiskusi dengan teman-temannya tentang kondisi di sekitarnya dan impiannya membangun sekolah khusus perempuan.
Setelah menikah, RA Kartini tidak berhenti melanjutkan mimpinya untuk mendirikan sekolah. Dengan restu dari suaminya KRM Adipai Ario Singgih Djojo Adhiningrat, RA Kartini mendirikan sekolah yang terletak di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Ia pun sangat senang karena impiannya menjadi guru dan memiliki sekolah tercapai.
3. Dewi Sartika
Dewi Sartika adalah pahlawan wanita asal Bumi Parahyangan. Beliau lahir pada 4 Desember 1884 di Cicalengka, Jawa Barat. Selain Kartini, Dewi Sartika adalah tokoh pahlawan wanita yang memperjuangkan hak wanita, khususnya di bidang pendidikan. Komitmen Dewi Sartika dibuktikan dengan mendirikan Sekolah Istri pada 1904. Sekolah ini diperuntukkan bagi wanita-wanita yang ingin mengenyam pendidikan. Sekolah Istri mengajarkan para wanita berbagai hal, seperti menjahit, merenda, menyulam, memasak, mengasuh bayi, dan juga agama.
1 note · View note
anakperempuannet · 5 years ago
Text
65+ Nama Bayi Perempuan Eropa Dan Artinya
65+ Nama Bayi Perempuan Eropa Dan Artinya
Tumblr media
Nama Bayi Perempuan Eropa — namaanakperempuan.net.  Nama perempuan dari Eropa termasuk dalam daftar nama anak paling keren dan modern. Selain itu ada banyak sekali kombinasi dan gabungan nama unik dari negara-negara benua eropa. Antara lain: Eropa timur, modern, Eropa Islami atau Kristen.
Simak selengkapnya dalam artikel nama bayi perempuan Eropa di bawah. Ayah dan Bunda bisa mendapat banyak ide…
View On WordPress
0 notes
ngawipost-blog · 7 years ago
Text
Dr. Tjipto dan Wabah Pes di Hindia Belanda
New Post has been published on https://ngawipost.com/2017/06/dr-tjipto-dan-wabah-pes-di-hindia-belanda/
Dr. Tjipto dan Wabah Pes di Hindia Belanda
NgawiPost.com || Pada 1910, wabah pes melanda Malang. Epidemi lewat kutu-kutu tikus kepada manusia itu menyebabkan kematian. Ini adalah kejadian besar. Di Eropa, pada abad 14, sepertiga penduduknya tewas akibat wabah pes. Dan, jika digabung dengan peristiwa serentak di Asia, India, Timur Tengah, plus Tiongkok, pandemi itu menelan 75 juta nyawa.
Orang menyebutnya dengan nama mengerikan: Maut Hitam. Pada awal kemunculannya, wabah pes mengubah struktur sosial Eropa. Penyakit ini ditandai lewat pembengkakan kelenjar getah bening di leher korban, ketiak, atau pangkal paha. Bentuknya bisa sebesar telur sampai apel. Orang bisa selamat, tetapi banyak yang mati tak sampai seminggu.
Tetapi, meski marabahaya membayang, para dokter Eropa di Batavia enggan turun ke Malang buat mengobati pasien pes yang rata-rata orang pribumi.
“Dokter-dokter Eropa yang bekerja pada dinas pemerintah banyak yang menolak untuk dikirim ke daerah Malang,” tulis M. Balfas dalam Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati (1952).
Masa itu adalah masa penuh rasisme. Politik pembelahan masyarakat berdasarkan warna kulit dan asal-usul menjangkiti kaum borjuasi Belanda maupun orang-orang bule yang cari peruntungan, ditopang oleh pemerintahan kolonial. Itu bikin sulit memberantas penyakit pes mengingat tak banyak orang pintar dengan ilmu modern, bukan klenik, yang mengobati kaum terprentah.
Jangankan mendekati tikus pembawa pes atau orang-orang pribumi yang terkena penyakit pes, bule-bule ini ogah berdekatan dengan orang-orang pribumi sehari-hari. Kalau bisa, mereka pengin hidup nyamannya, yang ditopang pengisapan antar-manusia, tetap bisa dijaga dari orang berkulit cokelat, tetapi mereka butuh buat jadi babu, gundik, kuli, dan pekerja kasar lain.
Itulah sebabnya, wabah pes di Malang, kalau tidak cepat ditangani, bisa menyebar ke daerah lain. Bisa-bisa, pemerintah kolonial kekurangan kuli dari orang-orang kulit cokelat karena mampus terkena kutukan Maut Hitam. Dan, dampaknya, buruh kasar yang dipakai buat bekerja di perkebunan-perkebunan gede, pertambangan-pertambangan mineral, dan jalan-jalan, yang semakin meningkatkan percepatan arus duit kolonial, bakal menyusut.
Dari situlah Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo punya peran. Waktu wabah pes melanda Malang, dr. Tjipto yang lulusan STOVIA itu sedang jenuh bekerja di jawatan kolonial. Ia lantas mengajukan diri.
Baginya, seperti dalam pidatonya di sidang raya Den Haag pada saat statusnya dalam pengasingan di Belanda tahun 1914, “… adalah tidak bertanggungjawab membiarkan beribu-ribu orang jatuh jadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya menjadi bosan sendiri minta korban orang Jawa. Tidak. Kita tidak boleh lengah!”
Selama Malang masih merupakan pusat wabah pes, ujarnya, selama itu pula Hindia Belanda dalam “ancaman bahaya besar.”
Tanpa memakai masker atau tutup hidung dan mulut, dr. Tjipto tanpa gentar memasuki pelosok-pelosok desa di Malang guna membasmi pes. Seperti ditulis Balfas: Ia sudah menyerahkan dirinya kepada nasib.
Selama pemberantasan pes itu, Tjipto menyebut bahwa pemerintah Hindia Belanda telah meminta 20 orang dokter. Dua orang dari kawan-kawannya telah menyatakan kesediaan.
“Saya menyatakan hormat kepada mereka, sebab mereka telah menjawab panggilan Ibu Pertiwi,” ujarnya. Tak hanya Tjipto, Soetomo yang lulusan STOVIA pada 1911 pun ikut berantas pes di Malang. Di kota itu Tjipto mendirikan RA Kartini Club.
Ketika berada di sebuah desa, Tjipto mendengar tangisan bayi dari sebuah gubuk yang nyaris hangus terbakar. “… Ternyata memang seorang bayi perempuan yang telah yatim piatu karena semua orangtuanya telah meninggal dunia akibat pes. Dipungutlah bayi perempuan itu menjadi anak Tjipto dan diberi nama Pesjati,” tulis Soegeng Reksodihardjo, dkk. dalam Dr. Cipto Mangunkusumo��(1992).
Anak itu kemudian dibesarkan dan dididik oleh Tjipto bersama istri Tjipto, Ny. de Vogel. Nama Pesjati adalah pengingat wabah mengerikan itu. Pesjati dibesarkan dengan baik hingga mengenyam Sekolah Kepandaian Putri. Ketika Pesjati menikah, Tjipto bertindak sebagai wali.
Soal anak-anak, Tjipto punya perhatian khusus. Ia dokter yang telaten mengurusi pasien anak. Supaya tidak bawel, dr. Tjipto memberi si anak dengan permen atau mainan. Ada cerita sampiran: saat tinggal di Bandung, sewaktu berjalan-jalan di kampung, ia menemukan anak kecil merangkak seorang diri. Si anak dibawanya pulang, lalu dimandikan oleh Ny. Vogel, kemudian diberi pakaian dan minum susu. Dengan membawa bekal makanan, Tjipto kemudian mengembalikan si anak ke rumah orangtuanya.
Berkat usahanya membasmi wabah pes di Malang, Kerajaan Belanda memberinya bintang penghargaan. Koran Perniagaan edisi 15 Juli 1912 memberitakan bahwa seorang dokter Jawa bernama Mas Tjipto Mangoenkoesoemo telah dianugerahi Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Tetapi bintang emas itu tak sampai setahun di tangannya. Ia pindah dari Solo ke Bandung pada 1912. Di Solo juga dilanda wabah pes sewaktu dr. Tjipto buka praktik, tetapi pemerintah kolonial melarangnya ikut membetantas pandemi itu. Di Bandung, bersama Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dr. Tjipto mendirikan Indische Partij. Mereka dikenal sebagai “Tiga Serangkai”.
Pada 1913, ketika Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaan dari Perancis, suratkabar Indische Partij De Expres menerbitkan pamflet Soewardi berjudul “Als ik een Nederlander was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda” pada edisi 13 Juli 1913.
Itu bikin marah besar Kerajaan Belanda. Sebulan berikutnya, tiga serangkai itu diasingkan ke Belanda.
Soal anugerah bintang emas itu, dr. Tjipto punya humor besar buat kekuasaan kolonial: ia bawa si bintang itu ke Batavia untuk dikembalikan ke si pemberi. Si bintang itu ia taruh di dekat pantat. Jadi, bila ada serdadu yang harus hormat pada anugerah Ratu Belanda Wilhelmina, si serdadu harus hormat kepada bokong Tjipto.
0 notes
hilman734 · 8 years ago
Text
Thought via Path
Kenapa Kartini diusulkan oleh Gerwani??? Potret Buram Anak Kartini Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat Meski bukan ahli siasat yang menguasai berbagai macam teori perang, Soesalit tetaplah tentara pejuang.Tak hanya punya saudara-saudara sedarah komunis, Soesalit juga cukup populer di kalangan laskar-laskar kiriMeski sudah berjuang habis-habisan untuk negara, bahkan setelah dituduh terlibat makar, ia masih membela republik       Lain dari sang ibu, Kartini, nama Soesalit hampir tak dikenal publik. Padahal, ia prajurit yang memperjuangkan kemerdekaan RI. Laju kariernya berhenti setelah Peristiwa Madiun. Tentara yang dianggap kiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur menguasai Madiun dan sekitarnya. Lantas, sebuah dokumen yang dianggap milik kaum pemberontak jatuh ke tangan tentara pemerintah. Bayi itu lahir di Rembang pada 13 September 1904. Ia dinamai Soesalit. Ayahnya saat itu ialah Bupati Rembang: Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat. Sedangkan ibunya adalah perempuan Hindia yang membuat takjub orang-orang di Belanda karena surat-suratnya tentang perempuan dianggap mendahului zamannya. Malang, saat sang bayi baru berumur empat hari, ibunya, Raden Ayu Kartini yang legendaris itu meninggal dunia.  Sepeninggal ibunya, Soesalit sempat diasuh oleh neneknya: Ngasirah atau Nyonya Mangunwikromo, sebelum kembali diasuh sang ayah lagi. Saat Soesalit berumur delapan, kemalangan datang lagi: ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian diurus oleh kakak tiri tertuanya, Abdulkarnen Djojoadiningrat, yang kelak menggantikan sang ayah menjadi Bupati Rembang. Meski tidak terlahir dari rahim yang sama, Abdulkarnen peduli atas kehidupan Soesalit muda. Tak hanya pendidikan, pekerjaan Soesalit pun diatur oleh kakak tirinya. Putra Kartini ini sekolah di Europe Lager School (ELS), seperti ibunya dulu sebelum dipingit. ELS adalah sekolah elit untuk anak Eropa dan pembesar pribumi.  Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya Kartini: Sebuah Biografi (1979), Soesalit lulus dari ELS Rembang tahun 1919. Setelah itu, Soesalit masuk Hogare Burger School (HBS) Semarang. Ia lulus dari HBS pada 1925. Dari PID ke Daidancho PETA  Tamat HBS, Soesalit sempat belajar di sekolah tinggi hukum kolonial: Recht Hoge School (RHS) Jakarta. Setahun belajar di sana, ia meninggalkan bangku RHS. Soesalit diterima sebagai pegawai pamong praja kolonial yang diperbantukan kepada kontrolir di Rembang.  Baru beberapa tahun bekerja, kakak tiri Soesalit kembali menawarinya pekerjaan. Padahal, Soesalit nyaris jadi asisten wedana di sana. Jabatan itu cukup bagus untuk karier seorang calon bupati, apalagi kakek dan ayahnya adalah bupati Rembang.  Ternyata, Abdulkarnaen memasukkan Soesalit ke Politieke Inlichtingen Dienst (PID), dinas polisi rahasia Hindia Belanda. Tugas PID adalah mematai-matai kaum pergerakan nasional dan mengantisipasi spionase asing, termasuk Jepang yang masuk Hindia sejak 1916.  Menurut Sitisoemandari, Soesalit merasa tertekan dengan pekerjaan yang dijalaninya. Masa-masa berdinas di PID dianggapnya sebagai masa suram. Soalnya jelas: Soesalit tak mampu memata-matai dan menangkapi bangsanya sendiri.  "Soesalit sedapat-dapatnya selalu berusaha melindungi para pejuang kita dan seringkali 'tutup mata' terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh mereka," tulis Sitisoemandari. Karena itu, setelah Jepang datang ke Indonesia, Soesalit memutuskan meninggalkan dunia spionase dan bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Berdasar catatan singkat Harsya Bachtiar, Soesalit menjadi daidancho—komandan batalyon setara mayor atau letnan kolonel—PETA Banyumas II di Sumpyuh, 1943-1945.  Panglima Diponegoro  Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Soesalit dan bekas bawahannya di PETA pun bergabung ke Republik Indonesia. Soesalit, dengan bekal militernya, masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang lalu berubah jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Karena tentara Indonesia saat itu kebanyakan tak terlatih sebagai militer profesional, Soesalit melatih milisi-milisi rakyat, termasuk sebuah laskar kampung di Tegal.  Menurut Sitisoemandari Soeroto, ketika menjadi Komandan Resimen di Tegal, Soesalit pernah ditugasi melucuti senjata tentara Jepang. Istimewanya, tugas itu bisa diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Rupanya, komandan pasukan Jepang Kido Butai di sana adalah kenalan baiknya.  Meski bukan ahli siasat yang menguasai berbagai macam teori perang, Soesalit tetaplah tentara pejuang. Ia memang tak belajar ilmu perang layaknya lulusan akademi militer, tapi Soesalit adalah salah satu perwira yang menyusun strategi dalam perang-perang kemerdekaan. Setelah Agresi Militer Belanda Pertama, misalnya, Soesalit ikut mengorganisir serangan balik terhadap Belanda. Tentara Belanda diserang secara terus-menerus untuk menguras tenaga mereka.  Teknisnya, Soesalit mengirimkan beberapa orang komandan resimennya, di antaranya Letkol Sarbini dengan Letkol Soeharto sebagai peninjau untuk menyertai pasukan. Ia menyasar kompi-kompi Belanda yang berada di kampung-kampung dan gudang-gudang perkebunan sebagai pos terdepan sekitar Ambarawa, Salatiga dan Tuntang.  "Malam demi malam pos-pos ini diganggu dengan tembakan mortir dan senapan mesin dari TNI.... Seminggu [Pasukan Belanda] tak bisa memejamkan mata, dan praktis sudah kehabisan tenaga karena kelelahan," tulis Sejarawan Belanda, Pierre Heijbor dalam Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945-1949 (1995).  Soesalit dianggap orang kuat di militer Republik. Meski Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Jenderal Soedirman tak setuju, Amir Sjarifoedin pernah berkeras menjadikan Soesalit sebagai Panglima Divisi III Diponegoro, Oktober 1946-Maret 1948. Wilayahnya meliputi daerah operasi sekitar Kedu dan sekitarnya. Ketika itu, Yogyakarta sudah menjadi ibukota Republik Indonesia, sehingga posisi Soesalit merupakan salah satu yang terpenting.  Abdul Haris Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 2A Kenangan Masa Gerilya (1977) mencatat, Soesalit pernah menjadi Panglima Divisi I Diponegoro juga. Divisi ini merupakan gabungan antara Divisi II dengan Divisi III pada Maret 1948. Sejarah KODAM Diponegoro mencatat Soesalit sebagai panglima kedua mereka, setelah Gatot Subroto. Dicopot Sebagai Panglima Pada September 1948, terjadi Peristiwa Madiun, di mana kaum komunis memberontak. Tentara yang dianggap kiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur menguasai Madiun dan sekitarnya. Lantas, sebuah dokumen yang dianggap milik kaum pemberontak jatuh ke tangan tentara pemerintah. Dalam dokumen itu, nama Soesalit disebut sebagai "orang yang diharapkan".  Kebetulan, Soesalit memang punya kedekatan dengan beberapa orang kiri Indonesia di masa revolusi kemerdekaan. Kakak tirinya yang lain, Abdulmadjid Djojoadiningrat, juga berpaham komunis sejak bersekolah di Belanda. Ketika menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, Abdulmadjid berkawan akrab dengan Amir Sjarifoedin. Keduanya menjadi menteri pada kabinet Sjahrir. Nama pertama menjadi menteri pertahanan, sedangkan yang kedua menjabat menteri muda urusan sosial.  Di sisi lain, Soesalit juga bisa disebut sebagai “orang favorit” Amir. Setelah Amir tidak lagi menjabat perdana menteri usai Perundingan Renville yang dianggap merugikan Indonesia, Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Amir berhubungan dengan Musso yang memimpin Peristiwa Madiun. Amir sendiri akhirnya dianggap terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang berujung eksekusi mati oleh tentara pemerintah. Sekitar Peristiwa Madiun adalah masa sulit bagi Soesalit. Sepupu Soesalit, Raden Mas Moedigdo yang menjabat komisaris polisi, dihukum mati karena ia dianggap komunis. Moedigdo adalah ayah dari Soetanti, yang belakangan menikah dengan Ahmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI terakhir. Hubungan baik Moedigdo dan Soesalit dilanjutkan oleh putri dan menantunya: Soetanti dan Aidit. Iwan Aidit, salah seorang putra Aidit dan Tanti, bahkan memanggil Soesalit dengan panggilan “Eyang.”  Tak hanya punya saudara-saudara sedarah komunis, Soesalit juga cukup populer di kalangan laskar-laskar kiri, yang separuhnya memang terlibat dalam Pemberontakan Madiun. Soesalit sendiri pernah mewakili laskar dalam Komisi Tiga Jenderal yang mengatur kepangkatan karena kedekatannya itu. Tak terlalu mengherankan jika kedekatan itu membuat banyak orang-orang kiri yang terlibat Peristiwa Madiun berharap padanya.  "Soesalit itu seorang yang betul-betul dianggap menghayati Revolusi. Dari kedinasan Pamongpraja ia sudah membawa jiwa-jiwa revolusioner. Kepribadiannya membawa kewibawaan dan gaya revolusioner yang tinggi. Oleh sebab itulah ia dianggap dapat mendekatkan diri pada laskar-laskar. Ia juga terkenal sebagai orang yang sederhana. Umpamanya, bajunya selalu tertutup tinggi, seperti Mao Tze Tung," puji Nasution seperti tertulis dalam buku Kartini:Sebuah Biografi (1979) karya Sitisoemandari Soeroto.  Tapi tak pernah jelas apakah Soesalit benar-benar komunis atau bukan. Keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun juga tak pasti, karena tak pernah melalui proses peradilan. Tapi, Soesalit ujungnya tetap diamankan oleh para petinggi tentara akibat pecahnya Peristiwa Madiun. Ia tadinya dijadikan tahanan rumah, sampai kemudian dibebaskan oleh Presiden Soekarno.  "Gubernur Militer Bambang Sugeng kemudian terpaksa memerintahkan tahanan rumah terhadap Jenderal Mayor Soesalit dalam Peristiwa Madiun, karena dalam sebuah dokumen PKI, ia disebutkan sebagai yang bisa diandalkan. Memang di kalangan laskar Jenderal Mayor Soesalit cukup populer. Kemudian, dengan kebijakan presiden, ia disuruh menginap di kompleks Istana (Gedung Agung Yogyakarta). Seperti diketahui, bahwa ia adalah putra tunggal Ibu Kartini," tulis Abdul Haris Nasution dalam bukunya Memenuhi Panggilang Tugas Jilid 2A Kenangan Masa Gerilya (1977).  Saat itu, nama besar ibunya-lah yang menyelamatkan Soesalit dari tahanan rumah. Tapi, keberuntungan Soesalit sebagai anak Kartini cukup sampai di situ. Karier militernya yang sudah sangat tinggi tak bisa diselamatkan.  Setelah Peristiwa Madiun, Soesalit tak lagi menjabat sebagai panglima militer di Jawa. Ia “diparkir” di Kementerian Pertahanan sebagai perwira staf angkatan darat saat usianya 44 tahun. Namun, meski Soesalit non-aktif sebagai panglima, ia masih membantu gerilya di pegunungan Kedu Selatan melawan Belanda. Dia memasangi sekitar tempat tinggalnya dengan bom yang siap meledak saat ditekan detonatornya, jika tentara Belanda datang.  Soesalit, Gerilyawan Tanpa Bintang Meski sudah berjuang habis-habisan untuk negara, bahkan setelah dituduh terlibat makar, ia masih membela republik, Soesalit tak langsung beroleh bintang atas kiprahnya. Menurut Sitisoemandari, Soesalit memang tak menginginkan penghargaan apapun. Tanda bukti sebagai veteran pun ia tak punya. Yang dimilikinya hanya surat tanda jasa POPDA (panitia yang mengurusi kepulangan tentara Jepang).  Padahal, selain karier militer, Soesalit pernah menduduki jabatan-jabatan lainnya. Sejak Januari 1950, Soesalit Djojoadiningrat diangkat sebagai Kepala Penerbangan Sipil. Pada kabinet Ali Sastroamodjojo pertama (1953-1955), oleh Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri, Soesalit diberi posisi penasihat dengan pangkat kolonel.  Jenderal Nasution adalah salah satu yang bersaksi bahwa Soesalit amat bersahaja. "Soesalit tidak pernah menonjolkan diri. Ia tidak pernah mau minta hak-haknya. Padahal sebetulnya itu soal yang biasa di masa sesudah penyerahan kedaulatan. Lain-lain orang mengajukan permohonan untuk mendapat apa yang ia anggap sudah haknya," aku Nasution. Sitisoemandari pun menulis, “Sampai akhir hayatnya, Soesalit tetap hidup sederhana dan tak pernah mau mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa ialah satu-satunya putra Ibu Kita Kartini, sehingga taktala dia meninggal, dia satu dari beberapa jenderal yang meninggal dalam keadaan melarat.”  Akhirnya, Soesalit meninggal sebagai gerilyawan tanpa bintang pada 17 Maret 1962. Tidak banyak yang mengetahui apa perjuangannya, meski ia adalah salah satu anak Kartini. Itu karena memang dia tak mau menonjol. Hal itu pula yang selalu disampaikan kepada anaknya. Boedhy Setia Soesalit, sang anak, mencamkan satu pesan penting dari ayahnya semasa ia hidup: “Jangan suka menonjolkan diri sebagai keturunan Kartini!” – Read on Path.
0 notes
anakperempuannet · 4 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Ceko Paling Unik Dan Keren
Nama Bayi Perempuan Ceko Paling Unik Dan Keren
Tumblr media
Nama Bayi Perempuan Ceko– namaanakperempuan.net. Ceko adalah sebuah negara yang berbentuk republik. Oleh karena itu biasanya disebuat sebagai republik ceko. Letak dari republik ceko berada di eropa timur. Bahasa yang digunakannya pun terbilang sangat unik yaitu menggunakan bahasa Ceska. Nah pilihan nama perempuan ceko pun terbilang masih sangat jarang dijadikan rekomendasi. Padahal dibalik nama…
View On WordPress
0 notes