Tumgik
#maspunyacerita
maspunyacerita · 5 months
Text
ISLAM
aku muslim
sejak lahir, karena kedua orang tuaku juga muslim
namun, ketika aku sedang dalam kesendirian, sepi, rahmat-Nya datang
aku memilih untuk menjadi muslim
seutuhnya
bukan karena kedua orang tuaku adalah muslim
tetapi karena aku menemukannya
aku tunduk, berserah, dan yakin dengan rahmat-Nya
wahai Yang Maha Membolak-balikkan Hati, tetapkan aku dalam Islam
0 notes
maspunyacerita · 2 years
Text
CERITA DI WARUNG KOPI (Eps. 1)
- CERTIA BAYU -
Sluuurpp… 
Dua gelas sudah kopi hitam yang aku minum sejak siang tadi, entah aku bisa tidur atau tidak nanti malam. Biar lah, nanti malam pun aku akans kencan lagi dengan tugas-tugas kuliah yang harus aku selesaikan.
Aku pun menutup laptopku dan merenggangkan tubuhku yang sedikit kaku.
Ting ning ting ning…
Suara lonceng-lonceng kecil yang dipasangkan pada pintu kafe pun berbunyi.
Seorang wanita bermantel putih dan syal merah muda masuk dengan membawa banyak tas belanja. Di belakangnya ada seorang anak kecil laki-laki yang mengenakan mantel biru dan topi kupluk berwarna krem terlihat menggendong ransel biru kecil bergambar dinosaurus. Ia juga membawa sebuah action figure berbentuk tyrex.
Persis seperti dulu saat aku masih kanak-kanak.
Aku pun teringat pada ibuku.
Teringat juga sebuah kejadian 26 tahun yang lalu, ketika bulan puasa menjelang hari lebaran. Ayahku pun masih hidup saat itu dan masih bekerja di sebuah instansi pemerintahan.
Dahulu, mendiang ayahku memberikan kedua orang anaknya sejumlah uang menjelang lebaran langsung ke tangan anak-anaknya untuk dibelikan baju dan barang-barang lain untuk persiapan lebaran. Lalu, ibuku mengajak kami berbelanja pakaian di salah satu pusat perbelanjaan yang selalu sama setiap tahunnya karena dekat dengan rumah kami.
***
“Ibu, kalau yang ini boleh?” Tanyaku pada ibuku seraya memperlihatkan sebuah kaos berkerah kepada ibuku.
Ibuku melihat tanda harga yang tergantung pada salah satu lubang kancing baju itu.
“Boleh, dicoba dulu, sana.” Jawab ibuku setelahnya.
Pas!
Ibuku pun dengan cepat mengambil beberapa potong lagi dari tempat yang sama, hanya saja ia pilihkan warna dan motif yang berbeda-beda. Setelah itu kami langsung membayarnya di kasir.
“Ini kembaliannya, dek,” Kata seorang kasir kepadaku, “lalu ini ada voucher diskon untuk pembelian berikutnya ya.”
“Terima kasih, Mbak.” Aku memberikan uang kembalian tersebut kepada ibuku, lalu menyimpan voucher itu di saku celanaku.
“Habis ini, mau beli apa lagi, Nak?”
“Emangnya uang dari Ayah masih cukup, Bu?” Ibuku terdiam sebentar, menghitung berapa rupiah yang sudah aku pakai dan berapa rupiah yang masih tersisa.
“Cukup. Ayo!”
Yang kuingat, pada tahun itu aku mempunyai empat potong kaos berkerah, dua potong celana panjang, dan sepasang sepatu baru.
Tetapi saat itu, ibu hanya membeli sebuah gamis panjang berwarna putih dan bermotif dedaunan pada bagian dada.
"Ibuuu... ini voucher-nya kecuci." Kataku sedih.
"Yah... Padahal Ibu mau belikan kamu baju lagi nanti setelah lebaran. Ya sudah lain kali aja ya, nak?" Aku mengangguk.
Ibuku membuang voucher-voucher yang sudah rusak tersebut ke dalam tempat sampah, lalu melanjutkan menyeterika baju-baju yang sebelumnya sudah ibu cuci.
***
Tanpa terasa mataku pun berair, aku sangat merindukan ibu.
Sedang apakah ia saat ini?
Kulihat arlojiku. Jika sekarang pukul 8 malam, maka di Jakarta sudah pukul 2 dini hari. Dua jam lagi ibuku pasti sudah bangun. Akan aku telepon ibuku nanti.
Aku sangat merindukannya. Orang yang selalu lebih memikirkan anak-anaknya daripada dirinya sendiri.
Aku tidak tahu berapa banyak uang yang saat itu ia miliki, tentunya selain uang jatahku dan juga kakakku.
Pasti ayahku juga memberikan ibuku uang untuk dirinya membeli pakaian. Hatinya ingin membelikan juga kedua anaknya pakaian untuk berlebaran. Namun, ia tidak mempunyai penghasilan sendiri untuk dirinya bagikan kepada kami.
Sesampainya di apartemen, aku membuka album foto pada ponselku. Ada banyak foto-fotoku dulu saat masih di Jakarta bersama ibuku dan juga keluarga kecil kakakku.
Ayahku sudah lama tidak ada. Ayah terkena serangan jantung sesaat setelah pulang dari kantor. Semenjak itu, ibu hanya mengandalkan pensiunan ayah yang jumlahnya tidak seberapa. Walaupun kakakku juga sudah bekerja saat itu, tetapi untuk keperluanku, ibu mengambilnya dari pensiunan ayah.
Setelah lulus kuliah, kuputuskan untuk langsung bekerja dan menggantikan posisi ayahku untuk membiayai keperluanku sendiri dan juga ibuku.
Beberapa tahun yang lalu, aku diterima bekerja di sebuah instansi pemerintahan, berkat doa dari ibu dan tahun lalu, aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku di sini, Utrecht.
Ia terlihat bugar walau usianya sudah lebih dari 65 tahun.
Air mataku pun menetes.
Ah! Sudah jam 10 lebih 5 menit.
“Assalamu alaikum, Bu.”
“Wa alaikum salam, Nak.” Ibuku terdiam sejenak, “Kamu belum tidur?”
“Belum, Bu. Ada tugas kuliah yang harus Bayu kumpulin minggu depan. Doakan supaya cepet selesai dan nilainya bagus ya, Bu.”
“Insya Allah, Nak. Nilainya bagus, cepat lulus, dan pulang ke Jakarta, terus nikah deh, hehehe..." Kekeh ibu.
“Amin… Oh iya, Ibu sehat kan?”
“Alhamdulillah, paling lutut aja nih yang suka pegel kalau udah kelamaan jalan.” aku tersenyum mendengarnya.
"Makanya terus dibiasain jalan pagi ya, Bu."
“Iya, iya. Yaudah, Ibu mau sholat subuh dulu, ya? Kamu juga jangan lupa sholat ya, Nak.”
“Iya, Bu. Insya Allah.” jawabku, “Ya udah, Bu. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam, daag sayang.”
“Daag, Bu.”
Walau singkat, namun rasanya sangat senang mendengar suaranya yang terdengar sehat dan segar.
Aku meletakkan ponsel di atas meja belajar, membuka laptopku, dan kembali mengerjakan tugasku untuk dikumpulkan minggu depan.
Semoga saja tahun depan aku bisa menyelesaikan kuliah magisterku ini dan kembali berkumpul bersama ibuku.
Tuhan… sehatkan badannya, pendengarannya, juga penglihatannya. Panjangkan usianya, Tuhanku.
***
“Halo, Buuu. Apa kabar?” Sapa riang seorang pemilik toko emas di sebuah pasar.
“Alhamdulillah. Makin seger aja nih si Enci.” Jawab seorang wanita berpakaian sederhana yang baru saja masuk ke dalam toko emas itu.
“Ah bisa aja nih si Ibu. Ohiya, ada apa nih? Mau beli emas? Udah mau lebaran nih, banyak model-model baru loh, Bu.”
“Wah… Iya, Ci. Eh, tapi saya bukan mau beli. Saya malah mau jual giwang saya nih, Ci.”
“Kok dijual sih, Bu, sayang tau, Bu. Ini modelnya bagus. Cakep deh buat lebaran.”
“Hahaha… Bener sih, Ci. Masih ada satu lagi kok, Ci, yang emas putih. Yang ini buat nambah-nambahin angpao anak-anak, Ci. Buat nambahin beli baju lebaran.”
“Haiya… Oke-oke. Sebentar saya timbang dulu, Bu.”
Alhamdulillah, aku bisa nambahin buat beli baju lebaran buat Anjani dan Bayu. Pasti mereka seneng tahun ini bisa punya baju baru lebih banyak.
0 notes
maspunyacerita · 2 years
Text
Telinga, Mata, & Mulut
Pernahkah kita memikirkan, mengapa Tuhan menciptakan sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan, dan sepasang kaki, tetapi Tuhan hanya menciptakan satu buah mulut?
Artinya, Tuhan menginginkan kita untuk lebih banyak melihat, mendengar, dan mengerjakan sesuatu daripada berbicara.
Tuhan menginginkan kita untuk melihat, mendengarkan, dan ,tentunya, mengerjakan hal-hal yang baik.
Tuhan pun juga menginginkan kita untuk mengatakan perkataan yang baik. Itulah sebabnya, mengapa kita bisa mengontrol mulut kita. Kita bisa mengatur kapan kita akan bersuara dan kapan kita harus diam.
Untuk menghasilkan sesuatu yang baik, kiranya kita dapat mencontohkannya terlebih dahulu, ketimbang kita menyuruh orang lain untuk berbuat baik.
Berbuat sesuatu yang baik agar orang lain lihat, agar orang lain dengar, dan agar orang lain tiru.
Tentu kita dapat menutup mulut kita, tidak bersuara, menjaga sesuatu yang buruk untuk dikatakan. Akan tetapi, kita tidak bisa menutup sebelah mata kata, agar kita bisa melihat dari berbagai macam sudut pandang.
Terlebih, kita tidak akan pernah bisa menutup telinga kita, agar kita bisa mendengar jerit orang lain yang membutuhkan kita.
1 note · View note