#madsolihin
Explore tagged Tumblr posts
Text
Menata Diri
Dia benar dalam berapa hal, meski jujur aku tak suka cara menyampaikannya. Sindiran yang menohok, meski tanpa disindir aku juga sudah tahu. Tapi kenapa pula harus ia katakan lagi, membuat panas hati saja.
Kamu mau tahu apa yang dikatakan? Dia bilang bahwa aku masih suka hura-hura. Gila. Kalau suka jalan-jalan memang iya, tetapi bukan hura-hura juga kali.
Tetapi baiklah, aku tak perlu merutuki kan? Bahkan mungkin harus berterima kasih lantaran banyak ucapannya yang benar adanya. Seperti tak malukah masih meribeti orang tua padahal sudah kerja? Haha Cukup tertawa saja lah.
Pribadinya yang sudah pada level di bawah manager membuatnya matang, berlebih trukanya semenjak lulus SMA sehingga memandangku seolah dengan sebelah mata. Itu dalam amatanku, tentu karena dia berbeda denganku dalam prinsip maupun cara pandang selama ini.
Amatanku, ia memandang dengan kaca mata ekonomi sehingga melihatku seolah hura-hura. Sementara aku, selain karena sedikit ikut arus kehidupan juga karena itulah pilihan yang ada dan harus aku ambil. Minimal jiwa sosial ada dan semoga saja ada dampak untuk orang lain atas laku yang pernah ku lakukan.
“Kalau bukan dirimu sendiri yang menghargai dirimu, siapa lagi?” hatiku menenangkan. Apapun yang aku lakukan, aku sendiri yang harus menghargainya terlebih dahulu. Karena tanpa ada penerimaan, akan muncul rasa bersalah. Maka, sudahkan kamu memafkan dirimu sendiri?
O ya aku juga harus berterima kasih atas nasehat darinya. Setidaknya, mulai sekarang aku sadar bahwa harus menata diri. Jika kemarin masih meraba-raba, maka sekarang harus mulai meluruskan dan fokus pada masa depan.
Pringamba, 5 Juli 2017
2 notes
·
View notes
Text
Berbenah Diri
Beberapa hari yang lalu aku menargetkan, tepatnya memaksakan diri untuk melakukan perbaikan diri, memulai laku yang nantinya semoga menjadi kebiasaan baik. Salah satunya adalah menulis. Termasuk tulisan ini adalah bentuk pemaksaan karena jujur aku tak tahu apa yang harus aku tulis. Namun, aku tetap memaksanya dan membiarkan jemariku mengetikkan sembarang kata. Tentu bukan tanpa alasan. Aku menyadari bahwa pembiasaan-pembiasaan itu akan sangat berdampak. Pastinya tidak hari ini kita merasakaannya, tapi tunggulah 5 sampai 10 tahun kedepan. Saat bintek sore tadi aku menemukan kesadaran tentang betapa sia-sianya waktu yang pernah terlewat. Saat facebook masih menjadi candu yang menyesatkan. Bagaimana tidak? Berjam-jam aku habiskan waktu hanya menscroll status alay dan tak produktif babar blas, bukankah itu kesia-siaan? Andaikan saja dulu aku banyak habiskan untuk membaca, mungkin otakku cukup produktif dalam menulis. Minimal bacaannya tidak ecek-ecek dan inspiratif. Tetapi tak apa, selama nafas belum terhenti berarti tidak ada kata terlambat dalam berbenah. Maka, maukah kamu menemaniku berbenah diri? Pringamba, 11 Juli 2017 ll Mad solihin
1 note
·
View note
Text
Berkeluh Kesahlah pada Sang Pemilik Hidup
Malam ini ku baca salah satu status teman untuk curhat pada sang pemilik hidup bukan pada sesama yang terkadang hanya menjadi angin lalu, atau tersebar bak kapas tertiup angin. Tragisnya, curhat perihal keluhan itu menjadi beban bagi yang mendengarnya. Rasanya, aku sering melakukan itu. Meski aku sering mendengar nasehat untuk mengeluh pada sang pemilik hidup, nyatanya aku abai. Sehingga aku sering dilanda bimbang, apalagi saat melihat orang lain yang lebih. Tak apa kan berbagi beban? Tentu tak masalah. Bercerita perihal keadaan hidup yang dijalani juga tak ada larangan. Hanya saja ketika cerita itu berupa keluhan, tak membebani yang mendengar sudah untung. Dan yang pasti, ketika engkau berharap wajib mendapat solusi maka kecewalah yang didapat saat solusi itu tak ketemu.
1 note
·
View note
Text
Hari Pertama di SMK Taruna Negara
17-07-2017. Bukankah itu angka istimewa? Seistimewa hariku memulai untuk pertama kalinya meresmikan diri menjadi guru di SMK Taruna Negara. Kamu tahu apa rasaku? Ternyata tak semenakutkan yang kubayangkan dulu. Gerogi dan takut itu hanya ilusi yang tercipta ketika aku membayangkan bagimana reaksi anak-anak sewaktu bertemu denganku. Kamu tentu tahu ceritaku perihal PPL dulu bukan? Aku yang merasa tidak begitu berhasil menguasai diri membuatku takut. Tetapi tahukah kamu bahwa pengalaman dulu ternyata membuatku lebih menguasai diri. Setidaknya sewaktu masuk kelas aku tak mengatakan hal-hal yang akan menjatuhkan citraku sebagai guru. Menjatuhkan kepercayaan murid-murid atas peranku sebagai guru. Sungguh, aku belajar dari masa lalu. Guru-guru disana juga welcome. Ramah dan tak menakutkan seperti drakula. Aku pun merasa nyaman, meski itu juga tergantung diriku dalam beradaptasi. Setidaknya pergulatanku dalam organisasi berbuah manis, semanis senyummu. He Tetapi yang jelas, berada disana membuatku harus belajar lagi. Dan semoga saja akan membawa kebaikan yang mengantarkan kepada kebaikan-kebaikan lainnya. Doakan ya, semoga aku bisa menjadi guru yang menginspirasi. Tidak hanya sekedar mengajar tetapi mendidik. Menjadi orang yang bermanfaat. Pringamba, 17 Juli 2017 ll Mad solihin
0 notes
Text
Bayangan untuk Merantau
Keinginan untuk merantau masih begitu membayangi. Bertahan dalam keadaan saat ini memaksa otakku untuk merasionalkan hubungan sebab akibat. Banyak mimpi yang harus dipenuhi, orang sekitar yang mengetuk hati agar dibantu dan rasa penasaran untuk menguji ketahanan dalam mengarungi hidup. Mimpi kuliah S2 di luar negeri sulit tercapai jika aku tak ikut kursus bahasa inggris. Karena kursus tentu tudak gratis, belum lagi biaya tes toefl sampai 500 ribu per tes. Itu yg toefl, ada yang IELT'S atau ITB yang biayanya lebih mahal sampai 4 juta an. Tak mungkin kan membebankan kepada orang tua? Mimpi menjadi penulis juga akan kandas karena sebelum akhirnya tulisan-tulisanku tercetak menjadi buku minimal aku harus mengeprint terlebih dahulu dan memintakan saran masukan pada orang-orang yang terlibat dalam tulisanku. Pun pada orang-orang yang mampu mendongkrak agar bukuku lebih menarik. Dan itu juga tak gratis. Apalagi jika nanti aku harus mencetaknya secara indie, butuh biaya lebih mahal lagi bukan? Membeli buku juga hal yang tak bisa dihindarkan jika tulisanku ingin lebih bernas dan renyah dibaca. Karena tanpa membaca, seorang penulis akan banyak mengalami kemandekan dalam proses menulis sekaligus tulisannya akan membosankan. Dan buku tidak bisa dibeli dengan daun bukan? Orang disekitar, ibu dan bapak yang selama ini telah truka tak mungkin aku bebani lagi dengan rengekan minta saku demi memenuhi kebutuhanku. Bahkan sebaliknya, merekalah yang harus aku bantu sebagai rasa ta'dzim atas jasanya yang tak ternilai. Ya, hanya sebagai rasa ta'dzim karena jika memilih balas jasa, sebesar apapun yang kuberikan tak sebanding dengan secuil kotoran hitam pada kuku. Dan bagaimana mungkin aku bisa membantu jika kebutuhan sendiri saja belum tercukupi? Ada juga Lulu, keponakanku. Anak dari Mba'ku, Inti Rohimah yang tahun depan meminta kuliah karena sekarang sudah kelas XII, padahal ekonomi keluarga juga pas-pasan. Ada pula Khoiriyah, ia putri bu lik Nisem. Kemenerimaannya pada keadaan sekarang membuatku iba. Dua kakaknya yang sudah tak sekolah, maka dialah penerus yang minimal bisa kuliah. Dan membantu mereka tak mungkin hanya sekedar omongan bukan? Nasehat tak berimbas banyak selain balasan debat yang akan membuatku terkena skakmat. Itu seklumit cerita yang membuatku merasionalkan keadaan. Tentu ada orang-orang disekitar lainnya yang juga ada dalam anganku. Maka, rantau adalah jalan yang hari ini membayangi untuk kupilih. Tapi yang jelas aku harus "Do the best anytime, anywhere and everything." Melakukan yang terbaik dalam keadaan apapun, dimanapun dan kapanpun. Karena itulah kunci dalam segala hal. Saat hal itu abai, maka kepercayaan orang-orang pun sulit didapatkan kembali. Pringamba, 14 Juli 2017
0 notes
Text
Bisa Karena Terbiasa
Sudah menjadi rutinitas antara bapak dan dua pak lik, Lik Nur & Lik Surip ketika panen salak pasti ketiganya saling membantu. Entah kapan kesepakatan itu terjadi, hanya saja saat salah satu dari ketiganya panen pasti yang dua membantu, kecuali saat ada acara.
Hari ini giliran Pak Lik Nur panen. Karena aku dirumah maka aku pun turut andil seperti biasanya. Seolah aku pun terlibat dalam kesepakatan tak tertulis itu.
Kali ini aku merasa pundakku tak terasa sakit seperti dulu awal-awal membawa beban berat meski tak banyak. Tapi beda dengan hari ini, pundakku terasa biasa saja. Sepertinya sudah kebal dengan beban berat.
Dari kejadian ini aku merasa ada nilai yang bisa ku ambil, yaitu kebiasaan. Jika sekarang aku memikul dan tak terasa sakit itu tak lain atas laku memikul yang sudah terbiasa. Seperti ungkapan, “Alah bisa karena terbiasa.”
Begitulah, sesuatu yang awalnya terasa sulit akan menjadi ringan ketika telah dilakukan berkali-kali. Maka mari memantik laku kebaikan agar menjadi kebiasaan.
Pringamba, 8 Juli 2017
0 notes
Text
Kini Aku Menyadarinya
Semakin kesini aku semakin mengerti, setidaknya ikut merasakan atas apa yang aku angankan dulu. Aku pernah mengangankan sebuah pertanyaan kenapa pemuda di tanah kelahiran ibuku banyak yang merantau? Kenapa banyak anak yang tidak lanjut sekolah setelah lulus SD? Atau ketika dulu mengangankan kenapa banyak anggota IPNU berhenti karena alasan kerja? Atau tidak hadir karena tidak ada teman atau tidak punya uang? Entahlah, dulu mungkin karena aku masih sangat bergantung kepada orang tua sehingga aku tak mengalami apa yang mereka rasakan. Kini, setelah selesai kuliah dan umur semakin dewasa, sedikit demi sedikit aku mulai memahaminya. Atau pernah mengangankan, ah masa mantan ketua IPNU masa ngajar di SD? Sekarang aku paham, dulu aku hidup dalam angan-angan. Aku hidup dalan gambaran ideal atas nama keinginan. Maka, ketika tak sesuai dengan anganku seolah ada yang salah. Kini saat aku sudah terjun dalam realita sebenarnya, aku memahaminya bahwa idealisme akan kalah dengan realisme. Seideal apapun anganku dulu ketika masih kuliah, kini harus kalah dengan benturan kenyataan. Sebenarnya bukan kalah, melainkan aku harus memulainya dari nol. Memulai dari yang dulu tak masuk dalam hitungan anganku. Maka wajar saja aku sedikit kaget. Kenapa? Karena dulu aku tak membayangkan bagaimana trukanya harus memulai. Dalan anganku, yang ada hanya pencapaian puncak. Tak ada catatan tentang bagaimana benturan-benturan proses saat pendakiannya. Kesimpulannya, kenyataan itu tak semudah angan. Pencapaian impian tentu saja bisa, namun harus sadar bahwa dalam realitanya akan ada banyak benturan yang menguji seberapa tahan aku menggenggam impian tersebut. Pringamba, 7 Juli 2017 ll Mad solihin
0 notes
Photo
Cerita hari ini cukup sederhana. Berawal dari perkenalan sewaktu menjadi relawan di Jemblung, Karangkobar sewaktu musibah longsor. Kini menjadi teman yang sampai hari ini silaturahim itu masih terjaga. Namanya Mutya, dulu sewaktu ketemu masih menjadi Ketua PAC IPPNU Kalasan. Dan hari ini ia kembali berkunjung ke Banjarnegara, tempat sahabatnya, namanya Rini. Karena membawa rombongan dari IPNU Madiun, akhirnya ia menghubungiku untuk meet up dan suruh mengajak teman IPNU IPPNU. Maka ku ajak Rekan Singgih, Rekanita Fitri dan Nurul. Belakangan gabung Rekan Eman, Rekan Slamet dan temannya. Sederhana memang, tetapi cukup berkesan karena agendanya dadakan. O ya, dari Madiun ada Rekan Subianto, Pras dan satu temannya aku lupa. Semoga silaturahim ini terjaga dan membawa berkah. Aamiin Lokasi Meetup, Kedai Kopi Banjarnegara. Pringamba, 4 Juli 2017 ll Mad solihin
0 notes
Text
Cobalah Membuka Komunikasi
Hari ini seusai shalat dhuhur, aku mencoba membuka pembicaraan dengan bapak. Sesuatu yang selama ini ku simpannya sendiri, kali ini aku tumpahkan. Perihal tak enak hati, tentang kegelisahan maupun keinginan untuk merantau. Nyatanya bapak juga sama denganku. Beliau lebih suka menyimpannya sendiri dan akan mengutarakannya ketika ada yang mengetuk. Dan andai saja aku tak mau membuka pembicaraan, mungkin rasa yang tersimpan tak pernah terucap. Aku jadi teringat nasehat teman, ketika bapak tak memulai pembicaraan terlebih dulu, maka akulah yang harus memulainya. Bapak juga sama, menyimpan kegelisahan sepertiku. Sehingga ketika ku utarakan niatku untuk merantau, beliau tak menolaknya. Menyerahkan sepenuhnya padaku. Bahkan beliau langsung memuntahkan kegundahannya. Ternyata komunikasi itu sangat penting. Apalagi antara anggota keluarga, anak dan bapak atau suami dan istri. Ada yang harus memulai, karena tanpa ada yang membuka maka tak akan pernah ada yang tahu apa mau anak dan bapak. Terakhir, jika bapak atau ibumu tak membuka komunikasi maka kamulah yang harus memulai. Pringamba, 4 Juli 2017 II Mad Solihin
0 notes
Text
Masih Meraba
Jujur aku belum terlalu ngeh dengan pekerjaan yang kujalani saat ini. Menjadi guru SD, meski sesuai dengan backgroud sewaktu kuliah dulu, namun ini terasa menyiksa. Aku yang suka bertualang, berorganisasi dan sedang mengembangkan diri serasa terkurung. Ibarat burung, ingin terbang tetapi tak punya sayap. Repot kan? Salah satu penyebabnya adalah karena menjadi guru itu mengabdi bukan mencari materi. Maka, betapa kecewanya diriku ketika mengandalkan guru sebagai sandaran untuk menopang hidup. Sungguh, itu menyakitkan. Kecuali memang aku tak punya mimpi lain dan ingin hidup tenang, stay in zona nyaman. Kondisi keluarga yang sudah menuntutku untuk mandiri bahkan bisa membantu serasa menyesakkan dada. Pasalnya aku belum bisa memenuhi harapan itu. Dan jika bertahan sebagai guru, kalaupun aku sabar, sabarkah ibuku? Sindiran yang menohok dari cucu Uwa membuatku merasa lebih bersalah. Lebih tepatnya tartantang untuk membuktikan bahwa apa yang ku lakukan saat ini bukanlah hal yang sia-sia tanpa makna, soalah selama ini aku hanya menghamburkan uang. "Tak usah kau simpan api marahmu. Ambil saja sisi positifnya. Mungkin itulah cara Allah menyadarkanmu. Bukankah yang ia katakan memang fakta?" kata hati kecilku menenangkan. Baiklah, mulai hari ini aku harus membatasi diri. Setidaknya untuk tidak selalu menuruti semua yang kuinginkan. Hal lain yang harus kulakukan adalah berani mengambil keputusan. Aku tak mungkin menghabiskan masa mudaku dengan sesuatu yang monoton, jatah gagalku masih harus kuhabiskan selagi masih muda. Perihal resiko, itu hal yang wajib dan aku harus berani menghadapinya. Bukankah setiap keputusan selalu berbuntut resiko? Banjarnegara, 4 Juli 2017
0 notes