#kursi untuk orang sakit
Explore tagged Tumblr posts
Text
WA 0811-3791-1115, Distributor Kursi Kantor Ternyaman Jakarta
Tumblr media
Distributor Kursi Kantor Ternyaman Jakarta
WA 0811-3791-1115, PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan Kursi Kerja Jakarta Pusat, Kursi Kerja Jakarta Timur, Kursi Pimpinan Kantor, Kursi Kerja Kantor Terbaik, Kursi Kerja Kantor Tanpa Roda
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Distributor Kursi Kantor Baru Jakarta
Kami juga Distributor Kursi Kerja Yang Kuat Jakarta , Distributor Kursi Putar Jakarta , Distributor Kursi Putar Hidrolik Jakarta , Distributor Kursi Putar Minimalis Jakarta , Distributor Kursi Putar Jaring Jakarta , Distributor Kursi Putar Besar Jakarta , Distributor Kursi Putar Berlengan Jakarta , Distributor Kursi Putar Dari Besi Jakarta , Distributor Roda Kursi Putar Jakarta , Distributor Hidrolik Kursi Putar Jakarta
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT Cahaya Mustika Indonesia.
Kursi Kantor Jakarta
PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
Kursi Kantor Untuk Staff
Kursi Direktur
Lemari Arsip
Filling Cabinet
Meja Kerja
Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
Ada diskon menarik untuk customer
Bisa kirim ke suluruh Indonesia
Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
Bisa order melalui E-Katalog
Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
Bisa order melalui marketplace sekolah
Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT Cahaya Mustika Indonesia dan dapatkan semua benefitnya
PT CAHAYA MUSTIKA INDONESIA Jl. KH. Moh. Mansyur No. 202H, RT 01/RW 06, Tanah Sereal Kec. Tambora, Kota Jakarta Barat Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11210
TELP/WA 0811-3791-1115
Link WA: https://wa.me/6281137911115 Link Website : https://www.cahayamustikainternesia.com/ Link Maps: https://maps.app.goo.gl/o8wZo1M31dycFjaAA
0 notes
supplierkursikantorjakarta · 7 months ago
Text
WA 0811-3791-1115, Supplier Kursi Kerja Roda Jakarta
Tumblr media
Supplier Kursi Kerja Roda Jakarta
WA 0811-3791-1115, PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan Kursi Kantor Reclining, Kursi Kantor Rebahan, Kursi Kantor Sandaran Tinggi, Kursi Kerja Sandaran Sedang, Kursi Kerja Sandaran Tinggi
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Supplier Kursi Kantor Roda Murah Jakarta
Kami juga Distributor Kursi Kantor Besi Jakarta, Distributor Kursi Kerja Besi Jakarta, Distributor Kaki Kursi Kantor Besi Jakarta, Distributor Kursi Kantor Kaki Besi Jakarta, Distributor Kursi Kantor Ergonomis Jakarta, Distributor Kursi Kantor Ergonomis Terbaik Jakarta, Distributor Kursi Kantor Yang Ergonomis Jakarta, Distributor Kursi Kantor Empuk Jakarta, Distributor Kursi Kantor E Katalog Jakarta, Distributor Kursi Kerja E Katalog Jakarta
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT Cahaya Mustika Indonesia.
PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
Kursi Kantor Untuk Staff
Kursi Direktur
Lemari Arsip
Filling Cabinet
Meja Kerja
Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
Ada diskon menarik untuk customer
Bisa kirim ke suluruh Indonesia
Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
Bisa order melalui E-Katalog
Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
Bisa order melalui marketplace sekolah
Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT Cahaya Mustika Indonesia dan dapatkan semua benefitnya
PT CAHAYA MUSTIKA INDONESIA Jl. KH. Moh. Mansyur No. 202H, RT 01/RW 06, Tanah Sereal Kec. Tambora, Kota Jakarta Barat
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
11210
TELP/WA 0811-3791-1115 Link WA: https://wa.me/6281137911115 Link Website : https://www.cahayamustikainternesia.com/ Link Maps : https://maps.app.goo.gl/o8wZo1M31dycFjaAA
0 notes
Text
WA 0811-3791-1115, Distributor Kursi Kantor Yang Kuat Jakarta Selatan
Tumblr media
Distributor Kursi Kantor Yang Kuat Jakarta Selatan
WA 0811-3791-1115, PT. Cahaya Mustika Internesia menyediakan Kursi Staff, Kursi Staff Kantor, Kursi Staff Roda, Harga 1 Unit Kursi Kantor, Jual Kursi Kantor Jakarta
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Kami juga Toko Meja Kursi Kantor Minimalis Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kerja Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kerja Nyaman Murah Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Yang Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Naik Turun Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Paling Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Roda Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Roda Murah Jakarta Pusat, Toko Kursi Kerja Roda Jakarta Pusat
WA 0811-3791-1115, Distributor Kursi Kantor Kuat Jakarta Selatan
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT. Cahaya Mustika Internesia. 
PT. Cahaya Mustika Internesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
1. Kursi Kantor Untuk Staff
2. Kursi Direktur
3. Lemari Arsip
4. Filling Cabinet
5. Meja Kerja
6. Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
1. Ada diskon menarik untuk customer
2. Bisa kirim ke suluruh Indonesia
3. Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
4. Bisa order melalui E-Katalog
5. Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
6. Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
7. Bisa order melalui marketplace sekolah
8. Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT. Cahaya Mustika Internesia dan dapatkan semua benefitnya
PT. Cahaya Mustika Internesia
Gedung Atria Tower @Sudirman Lt. 23
Jl. Jendral Sudirman Kav. 33A, Karet Tengsin
Tanah Abang, Kota Adm. Jakarta Pusat
DKI Jakarta
10220
TELP/WA 0811-3791-1115
Link WA: https://wa.me/6281137911115
Link Maps Jakarta : https://goo.gl/maps/3f8prS634bgtTNARA
Link Web : https://bit.ly/Link-E-Katalog
0 notes
Text
WA 0811-3791-1115, Jual Kursi Kantor Staff Jakarta Pusat
Tumblr media
Jual Kursi Kantor Staff Jakarta Pusat
WA 0811-3791-1115, PT. Cahaya Mustika Internesia menyediakan Kursi Kantor, Kursi Kerja Kantor, Harga Kursi Kerja, Kursi Kerja Minimalis, Kursi Komputer
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Jual Kursi Kantor Roda Murah Jakarta Pusat
Kami juga Distributor Kursi Kantor Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kerja Kantor Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kerja Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kerja Minimalis Jakarta Pusat, Distributor Kursi Komputer Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kerja Ergonomis Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kerja Putar Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kerja Staff Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kantor Biasa Jakarta Pusat, Distributor Kursi Kantor Murah Jakarta Pusat
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT. Cahaya Mustika Internesia.
PT. Cahaya Mustika Internesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
Kursi Kantor Untuk Staff
Kursi Direktur
Lemari Arsip
Filling Cabinet
Meja Kerja
Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
Ada diskon menarik untuk customer
Bisa kirim ke suluruh Indonesia
Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
Bisa order melalui E-Katalog
Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
Bisa order melalui marketplace sekolah
Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT. Cahaya Mustika Internesia dan dapatkan semua benefitnya
PT. Cahaya Mustika Internesia Gedung Atria Tower @Sudirman Lt. 23 Jl. Jendral Sudirman Kav. 33A, Karet Tengsin Tanah Abang, Kota Adm. Jakarta Pusat DKI Jakarta 10220
TELP/WA 0811-3791-1115
Link WA: https://wa.me/6281137911115
0 notes
arwasimiya · 10 days ago
Text
hari ini aku patah, sama seperti dulu lagi.
banyak tugas sedang menumpuk menunggu dikerjakan satu persatu. bahts tarikh, video ta'bir, jumlah qiro'ah, baik berisik, sertifikasi guru, ujian juz 9, uts kitabah, uts nahwu. berantakan. aku berantakan.
bahkan aku sampai mebawa laptop ke mabit nafa meskipun tau tak akan berguna, hanya memberatkan pundak saja. belum lagi tak segera kuputuskan akan langsung pulang atau ikut arahan murobbi. berat sekali rasanya melangkah dengan penuh paksaan.
kenapa harus keras sekali sih, mi? kenapa tidak mencoba sedikit saja membuka hati? tidak bisa kah memberikan ruang pemakluman bagi kami?
maaf mi, aku banyak tidak setuju bagian ini. tapi untuk menyampaikan aku tak berani. takut terlalu kalut. aku juga keras dengan pendapatku. takut seolah aku sedang berhadapan dengan umi di rumah dan perdebatan sengit yang biasa kita lalui. akhirnya aku ikut saja kan.
alhamdulillah direct selling tidak jadi. kami turun mobil dan menunggu ummi menyampaikan suatu pesan rahasia. duduk di kursi registrasi memandangi wamy yang mulai sepi. dan orang-orang yang tersisa entah menunggu apa.
ya rabb, kumohon pertolongan-Mu untuk menjaga hati.
pulangnya biasa saja, sampai kamar aku hendak mengerjakan tugas yang menumpuk itu. tapi ingin menepi dulu. pada buku. pada suara rumah yang kurindu.
aku ingin mengeluh dulu. lalu kubilang, "hwaaa umii tugasku banyakk" sekadar ingin didengar saja, cukup.
"nek ngeluh mending mulih wae, abi susah-susah golek duit ngge kuliah nek kabotan neng kono yo muleh wae."
entah siapa yang sebenarnya patah di sini. maaf, bi.
padahal aku hanya ingin didengar saja, aku sudah tau harus tahan mengerjakan semua. aku juga bukan ingin berhenti, aku masih ingin terus di sini.
tapi satu fakta yang aku syukuri adalah aku sudah tak se-reaktif dulu lagi. sudah hilang aku yang merasa paling sakit sendiri. sudah sembuh aku yang mengira abi jahat sekali, menyuruhku pulang dan berhenti.
mungkin, itu bentuk cinta abi. untuk membuatku tetap bertahan di sini. untuk mengingatkan bahwa keberadaan aku kini adalah impian yang dulu diperjuangkan setengah mati.
aku menangis deras kali ini, bersyukur sudah bisa menyadari bentuk cinta abi ♡.
padahal dulu, aku marah-marah sepanjang hari. memendam sesak merasa tak punya siapa-siapa lagi. harus kemana kubuang semua sampah keluhan ini?!
yasudah, perjalanan memaafkan rumah memang bukan selalu menenangkan. sesak-sesak yang dulu memang harus ada, untuk bisa menikmati kelapangan hari ini.
(22.33 // Jakarta, 3 November 2024)
10 notes · View notes
yasmijn · 1 day ago
Text
Pregnancy notes (1)
Pertama kali aku tau aku hamil adalah tanggal 24 Maret 2024 - biasanya aku mens emang selalu tepat waktu, paling cuma lebih-kurang 1-2 hari aja. Sempet ngerasain sakit-sakit perut kaya mau mens gitu tapi nggak - habis itu beli testpack di Guardian. Cuma satu aja. Coba ngetes pagi-pagi dan ternyata garisnya dua. Nangis dulu sedikit sebelum ngabarin Gio karena.... walau memang ingin punya anak segera, tapi ternyata tetap aja ada rasa ragu sama diri sendiri - aku bisa nggak ya? Aku siap nggak ya? Jadi orang tua?
Minggu depannya pulang ke Bandung karena mau ke obgyn bareng Mama untuk USG pertama kali. Sabtu-Sabtu, cuma ada satu dokter doang yang praktek dan aku dapet nomor terakhir :) Lama banget nunggunya. Udah gitu pas dokternya mulai USG, komennya: "Ini bayi tabung?"
Pertanyaan yang cukup di luar nurul karena hah banget, terus aku bilang "Nggak dok."
"Dua ini kayaknya."
Rasanya campur aduk banget. Kayak I don't know what to feel. Bener-bener nggak kebayang sama sekali. Abis itu kata dokter harus USG transvaginal karena ukurannya masih terlalu kecil (6w) jadi akan lebih akurat kalau dari dalam. Setelah USG itu, dokternya bilang "Wah iya ini bener dua."
Abis itu mau nanya apa juga nggak tahu. Buyar semua. Sama-sama tak bisa berkata-kata sama Mama. Sama dokternya dikasih tau aja kalau hamil kembar itu risiko tinggi, so many things can go wrong - bisa nanti vanishing twin, twin to twin transfusion syndrome (kalau identik 1 plasenta 1 ketuban), mual hebat, dan harus siap-siap aja kalau jadi sering masuk RS. Sungguh informatif dan agak terlalu bikin parno sih sebenernya.
Cuma yaudah buat aku sih itu emang porsi edukasi dari doi sebagai dokter aja, dan bagus juga sih buat aku jadi tau aja upfront what to expect dari kehamilan ini. Lagipula waktu itu masih belum kelihatan kantung janinnya, jadi belum tahu juga apakah benar jadi hamil kembar, satu aja, atau malah nggak berkembang.
Rasanya kesiapan hati dan semua rencana yang sudah aku susun rapi langsung buyar berantakan. Aku menyiapkan hatiku untuk jadi ibu dari satu bayi, bukan dua. Aku punya rencana ini-itu, mau lesin alat musik segala macam, sudah membayangkan antar-jemput satu anak ke tempat les, bukan dua.
Langsung aku mikir - bisa nggak ya aku? Siap nggak ya aku? Berarti semuanya harus dikali dua? SPP kali dua, stroller kali dua, baby crib kali dua, lesnya gimana? Sanggup nggak ya aku?
Jujur takut gimana nanti kalau mereka nggak akur terus jadi saingan, berantem terus kayak Tasya-Tasyi (ril).
Akhirnya sambil nunggu dipanggil kasir untuk bayar, menangislah aku di kursi Borromeus sana. Khawatir banget dan jadi nggak yakin sama diri sendiri. Ibu aku juga jadi ikutan nangis wkokwow katanya jadi khawatir juga sama aku karena kok dari yang diceritakan di dokter itu, sepertinya kehamilan ini akan berat.
(Spoiler alert: alhamdulillah enggak berat)
Dan inilah foto pertama Lumi dan Isla di perut Mama waktu umur 6 minggu:
Tumblr media
11 notes · View notes
ambuschool · 3 days ago
Text
Flashbacking
Ya Allah namanya ujian idup ada aja kan ya :”) tapi rasanya 2024 ini bener2 kaya??? Ada aja gebrakan ujiannya ya Allah??
Ujian adaptasi, ujian akademik, ujian pekerjaan suami, ujian finansial, sampe ujian orangtua meninggal, DAN GONGNYA ORANGTUA MENINGGAL DENGAN KONDISI MASIH BANYAK UTANG 🙃🙃🙃
Kemarin sempet ngerasa hidup Alhamdulillah udh bs menerima kl masih punya utang tp Alhamdulillah pelan2 bs dicicil. Udh bs menerima kehidupan kl emg hrs juggling in between house chores-mengurus anak dan akademik. Udh mulai bs menerima kl suami kerjanya casual buka tetap. Idup udh mulai bs agak santai krn acceptance, eh ditingkatin lg ujiannya sm Allah 🗿🗿🗿🗿
Tapi kemarin ku kaya meditas bentar di kamar mandi. Mencoba flashbacking hal-hal berat yg udh kulalui, buat meyakinkan diri bahwa :
Banyak kok ujian lain yang saat dijalanin berat banget tapi yaudah, emang gak ada miracle Allah yg gimana-gimana sehingga ✨tring✨masalah✨kamu✨menghilang✨ tapi yaudah emang harus dijalanin hidup aja (sambil minta pertolongan Allah tentu saja).
Mungkin, seperti lagunya Done Maula “Tugasmu hanya bertahan.”
2017
Di bulan April, ulang tahun ke 22 gatau kenapa tiba-tiba kepikiran bahwa akan memasuki usia-usia punya hubungan yg serius sama orang. Terus kaya ngebuka kotak pandora di diri gue yg ternyata gue tuh insecure banget sama sebuah relationship.
Abis gitu kaya keinget penyebab kenapa gue punya insecure attachment sama orang karena pengasuhan kedua orangtua gue. Dibesarkan sama bapak yg abusive dan ibu yang punya mental victim.
Setelah bermalam-malam nggak bisa tidur karena kalau tidur mimpi bunuh diri, lompat dari lantai 4 asrama, akhirnya ku memutuskan untuk ke psikolog. Rutin seminggu sekali.
Tumblr media
Inget bgt pernah ngirim email gini ke temen deketku…..
At that moment, Gue kaya Kehilangan banyak minat di dalam hidupku. Menarik diri dari hampir semua kegiatan dengan alasan sakit (mental).
Tapi in betwen the theraphy with my psychologist dan ketidakminatan gue akan apapun, demi Allah gue masih bisa ikut fellowship ke Belgia di bulan november😭 emg wkt itu udh agak lumayan, krn udh 6 bulan lebih terapi sih. Tapi yaAllah kl dipikir2 ujiannya tuh cm hitungan bulan 😭
2020
Bukan pandemi tapi anakku yang pertama meninggal. Bayiku yang kutunggu-tunggu, kurawat sepenuh jiwa, harus meninggal ketika dilahirkan…
Padahal perjuangan hamilnya juga masyaAllah :”) aku ngerjain skripsi sambil mual, muntah, di trimester awal. Tiba-tiba nggak bisa ambil data karena pandemi (dan cm pake data seadanya dr sekolah aja 😭).
Gak punya meja dan kursi yang proper, sambil hamil gede, berjam-jam depan laptop sambil lesehan :”)
Pas bayiku meninggal juga rasanya duniaku runtuh, tapi sialnya ternyata hidup tetep harus jalan.
Semua ruangan udh disiapkan utk menyambut bayi tapi tiba-tiba bayinya gak jadi ada, Demi Allah sakit bgt…..
Belom lagi ASI ku yg terus2an keluar sampe 3 bulan kemudian……..
Hampir tiap malem rasanya nangis, dan tentu salah satu mengelola rasanya adalah dengan journaling sampe Alhamdulillah bs jadi e-book tentang perjalanan healing-ku kehilangan anakku.
But you know what, it just 5 months! Di bulan keenam aku hamil lagi! Walau dengan perasaan masih sedih, trauma dan bahagia, akhirnya kami memutuskan untuk didampingi Doula untuk kehamilan dan kelahiran saat ini. Dan alhamdulillah Allah mampukan :”)
Dan perjalanan melahirkan anak kedua bener-bener masyaAllah banget, hari H nya tuh beneran hampir gak ada effort, tiba2 lahir 😭 Allah maha baik bangettt 😭
2021
Ceritanya agak overlapping sama yang diatas, intinya setelah anakku meninggal aku ambil studi lanjut profesi ners padahal aku gak suka jadi ners 😭
Alhamdulillah nya karena masih pandemi, jadi kelasnya 1 semester online dan 1 semester offline (ALHAMDULILLAH BANGET!!)
Tapi even cm 1 semester rasanya like hell banget!
Dinas malam sambil hamil, gak duduk berjam-jam, tugas yang menggila, agak dibully sama senior-senior! Sehingga hampir setiap hari aku ke rumah sakit tuh rasanya anxiety! Bahkan sampe beberapa kali nangissssss karena se-gak suka itu 😭
Apalagi pas praktik di RS Jiwa Marzuki Mahdi ya Allah 😭😭 udh mah pasiennya ODGJ, susah banget. Supervisornya najis galak dan perfeksionis banget. DAN JAUH DARI SUAMI KRN HARUS STAY DI WISMA RS!
Jujur tiap pagi mau praktik gue kaya meditasi dulu buat nenangin diri bahwa this was just 2 weeks! This too shall pass!
Tapi pas ngejalaninnya gila sih 😭 mana nilainya juga gak bagus2 amat jadi kaya ngerasa percuma bgt belajar ya Allah 😭
Jujur sih, profesi ners itu worse of the worse masa-masa belajar yg gue alamin! Gak lagi2 deh praktik2 di RS dgn modelan jadi kacung kek gitu.
Tapi ya itu, alhamdulillahnya cuman 6 bulan dan Alhamdulillah-nya selama kehamilan baik2 aja gak gimana2 😭
2022
Pindah dari Yogya kita harus co-living sama mertua karena kita nggak bs afford kontrakan rumah 🗿
8 bulan!
Masalahnya rumah mertua gue tuh yang beneran siapa aja bisa masuk, bisa tinggal gitu. Awal2 stres bgt krn aku tuh dtg dr keluarga yg lumayan privat gitu. Belom lagi harus pake kerudung terus, bau rokok, duh!
Tapi ya Alhamdulillah-nya krn ada mertua, di masa-masa ini aku jd bs belajar persiapan sekolah. Les IELTS, ngerjain Essay, dkk 🥺
————
So Ainna, if you are flashbacking. This is just another “check point” that you need to pass!
And just like another check point, there will be sooo many challenges. Tapi kalau kamu lihat lebih dekat, pasti ada hal2 baiknya juga toh? Kamu jadi bs bawa ibu kamu kesini, walau masih ngutang tiket pesawatnya. Kamu jadi gak usah capek sama masak dan house chores, sehingga kamu bs fokus ngerjain assignments?
Ya Allah ampuni kami yg lemah dan masih suka mengeluh ini 😭 sesungguhnya kami nggak ada apa2nya tanpa pertolonganmu dan semoga kami selalu berada dalam rahmat dan kasih sayangMu selalu.
Aaminn yaa rabbal alamiin 😭
3 notes · View notes
menyapamakna1 · 1 month ago
Text
Tumblr media
Cerpen: Merindukanmu.
Hujan turun begitu deras, guntur susul menyusul memekakkan telinga. Jendela ruanganku berembun. Ruanganku gelap, cahaya pun tak bisa menembus ruangan ini. Sangat sepi, aku selalu sendirian di ruangan ini, hanya meja belajar dipinggir ranjang dan buku-buku yang berjajar rapih menemaniku. Terdengar suara mobil masuk ke pelataran rumah. Kakiku melangkah pelan, lalu membuka sedikit tirai jendela. Tak ada cahaya matahari, tak ada sinar keemasan menimbun langit. Yang ada hanya langit mendung, juga gemuruh hujan dan aroma paving blok yang basah. Mataku menangkap mobil yang masuk ke pelataran rumah, berhenti tepat di depan rumah. Keluarlah dua orang ceria, terlihat seperti keluarga bahagia. Satu orangnya sebaya denganku, satu tahun lebih muda malah, satunya lagi berwajah tenang, berkerut dikedua mata namun tegas. Tangannya keriput, tapi putih. Ia cekatan mengambil payung dikursi belakang, lalu perlahan membukanya. Membiarkan perempuan satu tahun lebih muda dariku untuk mendekapnya. Kemudian mereka berjalan kearah pintu. Pemandangan biasa yang sering kulihat berkali-kali. Sementara aku kembali melangkahkan kaki, duduk ditepi ranjang. Ruanganku sepi, tak ada siapapun kecuali diriku sendiri, pemuda penyendiri yang hidup didalam kamar. Sehari-hari bertemankan dinding berwarna abu, langit-langit kamar, meja dan kursi belajar dipinggir ranjang, beberapa buku yang berjajar dirak yang tersimpan disudut kamar, juga beberapa gambar yang terpanjang di dinding. Gambar-gambar itu adalah hasil karyaku. Gambar yang terlihat gelap, suram, juga mungkin sendu kalau orang-orang bisa melihatnya. Tapi bagiku itu sangat indah, sempurna, memesona. Sesekali keluar kamarpun untuk mengambil makanan.
Katanya aku seperti monster, orang-orang takut melihatku, setidaknya itu yang digambarkan keluargaku kepadaku. Padahal menurutku tidak demikian, wajahku lumayan, berkulit kuning langsat, bermata tajam, siapa saja yang melihatku mungkin akan terpesona. Alis tebal, rambut pendek hitam legam. Tapi entah kenapa keluargaku sangat takut padaku ketika bertemu, padahal senyumku manis. Tapi aku bagai di iris benda tajam, sempurna menghantam jantungku, hatiku merasa sakit, aku seperti ditusuk ribuan panah, meraba dada, mencengkram baju kuat-kuat, lalu keluarlah air bening nan jernih dipelupuk mata, mengingat adegan nenek tua dan Lili, orang yang satu tahun lebih muda berpelukan. Lihatlah aku kesakitan, aku terluka sendiri, menangis sendiri, tak ada sandaran untukku. Aku adalah burung dalam sangkar, tak bisa kemana-mana, tak bisa menikmati indahnya dunia, menikmati pemandangan jalan, orang-orang berlalu lalang. Tak bisa menikmati aroma dedaunan dan tumbuh-tumbuhan dan bunga yang bermekaran di jalanan, ditaman, dimanapun. Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan. Apakah aku se aneh itu? Seseram itu? Sehingga aku diperlakukan berbeda dari yang lain. Apa yang mereka takutkan? Apa yang membuat mereka berpandangan aneh kepadaku? Sejenak aku selalu berpikir demikian. Hujan sempurna mengguyur seluruh kota, sempurna menyentuh dedaunan, rerumputan hijau, pepohonan, bangunan-bangunan kota. Menawarkan kesejukkan lewat dinginnya angin menembus kulit, menerpa helaian dedaunan. Rintik hujan yang indah, tapi sayang, tak seindah hidupku, tak seindah hari-hariku, tak seindah perjalananku. Aku tak bisa menyaksikan semua itu, menyaksikan keindahan dunia yang orang-orang dengan mudah bisa melihanya. Hanya dengan berjalan kaki keluar dari rumah, sudah bisa menyaksikan indahnya matahari yang menerangi seantero semesta, atau bulan saat senja mulai tenggelam, berganti dengan hitam pekat, lalu bulan siap menampilkan keindahannya dan bintang- bintang siap bertaburan mempercantik langit kota. Melihat gedung-gedung pencakar langit, lampu bundar yang berjajar di sepanjang jalan, mobil yang saling berjajar berdesakkan. Bisa melihat lenskep kota ditempat yang tinggi. Semua dapat disaksikan oleh kedua mata mereka, lalu merekah lah kebahagiaan tidak terhingga. Sementara aku selalu ditempat yang sama. Lihatlah, tak ada yang tahu bahwa aku ada kecuali keluargaku. Keluarga? Entahlah, apakah mereka layak disebut keluarga? Mereka mengurungku seperti tahanan. Aku kembali melihat lukisan-lukisan indah yang ku lukis, setidaknya melukis adalah caraku meluapkan kesedihan. Tuk..tuk..tuk.. seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera menghapus airmata yang datang sembarangan. Membuka pintu, dan lihatlah siapa yang datang. Lili, adik yang paling disayang keluarga, manusia yang terjaga dengan kelembutan oleh keluarga, makhluk murni yang paling dicintai keluarga. Jujur aku benci sekali melihatnya, kenapa dia harus datang kekamarku? Bukankah kalau memiliki sesuatu tinggal telpon saja, atau minta seseorang dirumah menyampaikan pesan padaku. Jaman sekarang dunia semakin canggih dengan berbagai peralatannya. Lili menghambur memelukku, unggingan senyum lahir dibibirnya. Ia memelukku sangat lama, seolah melepas kerinduan tiada tara. Seolah kita tidak bertemu sangat lama, padahal kita selalu dirumah, padahal kamarku tidak jauh dari tempat dimana kakinya selalu ingin berpijak. Di ruang keluarga, di taman, di halaman, dimanapun sekitar rumah. Dia adalah orang yang bebas, orang-orang rumah akan senang ketika melihatnya ceria. Hal yang membuat Lili senang, maka keluargaku juga senang. Tanganku berusaha melepaskan pelukan, tapi gadis riang ini malah semakin erat memelukku.
"Kamu tidak merindukanku Fatih?" Lili masih membenamkan dirinya dipelukanku, bahkan nafasku sesak juga dia tidak peduli. Dia membuncahkan kerinduannya, terlihat sangat nyaman. Matanya tertutup, kedua tangannya merengkuh tubuhku. Pelukan yang sangat kubenci sebenarnya, tapi sangat nyaman bagi gadis yang terpenuhi kasihnya oleh keluarga. Aku membiarkannya, pasrah menunggu ia selesai dengan apa yang dilakukannya. Lili mendongakkan kepala, melihat ekspresiku yang datar, tangannya masih merengkuh, tapi kemudian melepaskannya setelah melihat wajahku. Manyun melihatku yang datar-datar saja.
"Aku bosan hari ini, sendirian menikmati kota. Kamu tahu, hari ini aku banyak mengunjungi gedung-gedung tinggi, melihat univnya Ilyas, cuacanya juga bagus, meski hujan, karena sejuk. Kamu paling suka saat hujan kan?" Aku tertegun sejenak, kupikir keluarga ini sudah melupakan Ilyas. Hatiku terasa sakit lagi, ribuan anak panah diam-diam menusuk, membiarkan diriku kembali meratap, mengambang diantara kejadian-kejadian suram yang menimpa diriku. Aku takut setengah mati, bergetar seluruh tubuh. Tapi berusaha tak memperlihatkannya didepan Lili. Lili masih lanjut berceloteh.
"Hari ini kita juga menjenguk Ilyas dirumah sakit. Kamu tahu keadaannya masih sama, tidak ada perubahan, ekspresinya masih sama, matanya masih terpejam. Bahkan alat-alat rumah sakit yang terpasang ditubuhnya masih ada, tidak hilang. Aku sungguh sangat prihatin" Lili menatapku, melihat wajahku seksama. Memerhatikan ekspresiku yang terlihat biasa saja.
"Kamu tidak merindukannya?" Lili menatapku. Memerhatikan lamat-lamat wajahku.
"Pergilah, kalau tak ada kepentingan, aku butuh istirahat. Lagi pula nenek tidak akan suka kalau kamu disini. Berhenti membuat masalah untukku" Balasku langsung menutup pintu. Lili mendesah pasrah, padahal kerinduan masih membuncah. Lili tahu aku tidak pernah menyukainya sejak kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang menerkamku dengan beribu hantaman kejam keluargaku kepadaku. Lontaran yang siap menyerang mentalku. Menyerang akal, pikiran, hati, bahkan tindakanku. Hari itu semua menjadi berbeda, rumah yang dulu hangat seperti mentari pagi, lenyap seketika. Rumah yang dulu seperti senja yang memanjakan mata kala keindahannya siap memesona langit sore, musnah seketika. Rumah yang seperti bulan siap menyongsong keindahan mempercantik langit malam, semuanya sempurna sirna, sejak kejadian mengerikan dan menyakitkan itu. Nenek bahkan tak memberiku kesempatan berbicara. Baginya aku adalah monster. Makhluk mengerikan yang harus musnah dari dunia ini. Siapa pula yang menginginkan kejadian itu. Keluarga hangat itu tidak ada, keluarga harmonis itu hanya menjadi sejarah. Aku juga kesakitan, bukan hanya nenek, bukan hanya Lili. Tapi kenapa semuanya disematkan kepadaku. Aku bukan keluarga satu-satunya, aku bukan anak satu-satunya. Ada Lili, kenapa dia tidak pernah disalahkan? Kenapa dia tidak dimarahi? Padahal umurnya hanya berjarak satu tahun lebih muda dariku. Apa karena dia lebih muda dariku? Tidak mungkin kan? Aku merajuk, tubuhku perlahan lemas, terkulai dipintu kamar. Aku menangis. Merengkuh lutut, membenamkan wajahku. Lengang, hanya derap langkah Lili yang meninggalkan kamar, menuruni anak tangga yang terdengar.
****
Pagi siap menyambut hangat dengan sinar keemasan menyoroti jendela kamarku lewat ventilasi udara. Semua orang siap memulai aktivitasnya, tak terkecuali Lili yang sudah siap rapih akan berangkat kuliah. Tapi sebelum itu seperti biasa keluarga yang penuh dengan cinta ini berkumpul dimeja makan, meski hanya dua orang. Mereka sarapan dengan tenang, senyum merekah, berbincang satu sama lain. Bercerita tentang apapun yang sudah dilalui. Sungguh keluarga yang bahagia. Setelah selesai Lili naik menuju kamarku, dilihat oleh nenek. Ekspresi nenek cemberut, entah kenapa, sedang Lili tersenyum lembut, riang kearah yang dituju. Setelah sampai gadis itu diam sejenak, berdehem, lalu mulai menceloteh.
"Fatih, aku berangkat ya, ingat untuk sarapan pagi" Lili langsung pergi setelah menyampaikan itu dengan unggingan senyum lembut. Wajahnya amat cantik, tapi aku tidak menyukainya. Penampilannya cukup untuk menarik setiap orang ingin berada didekatnya. Lili menghambur, memeluk nenek lembut. Amat damai, pelukan hangat itu mampu mengambil hati nenek, mampu membasuh hati nenek dengan kesejukan, mampu menyelimuti dengan kesejahteraan. Nenek dialiri ketenangan, senyum nenek penuh damai. Melepaskan pelukan membiarkan Lili berangkat dengan tentram, tanpa beban. Lili menghilang dari pandangan. Dari luar rumah, Lili menatap jendela kamarku beberapa detik. Seolah ingin aku juga memeluknya, mengatakan selamat pagi, melihatnya pergi dan menyambutnya ketika pulang. Lili lanjut melangkah lagi, masuk ke mobil, kali ini benar-benar meninggalkan rumah.
Aku sudah terbangun, kedua tanganku merengkuh lutut, wajahku panik ketakutan. Jantungku berdetak kencang, aku tersengal. Bagaimana tidak, ingatan mengerikan itu kembali bermain dikepalaku. Merenggut awal pagiku yang seharusnya tenang menjadi lautan yang siap melahap bangunan indah yang sempurna rapih dipertengahan kota. Pusaran hitam yang ingin aku lupakan, kejadian yang ingin aku singkirkan dari diriku. Ingatan itu mengikat tubuhku, menerkam hatiku, pikiranku, akalku. Aku bergetar hebat. Bayangan ketika Ilyas berada di atap kampus yang tinggi, memunggungiku, menghadap kedepan. Pandangannya sendu, matanya redup, wajahnya lesu. Ilyas menangis kecil meratapi kehidupannya. Tertekan dengan segala yang terjadi dihidupnya, ia menangis tersedu-sedu, berbalik badan menatapku seolah meminta pertolongan. Tangannya meraba dada lalu mencengkramnya kuat. Lelaki ini bergetar. Ia adalah anak pertama dari keluargaku. Sungguh hari itu aku melihatnya merintih kesakitan, matanya sembab, sesenggukan, tubuhnya lemas. Aku melihatnya seperti ada beban yang tersimpan dipundaknya, ada sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan, tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia redup. Aku menatapnya khawatir, bingung apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.
"Fa, aku ingin pergi, rasanya aku tak sanggup menjalani hidupku. Aku tidak sempurna seperti yang keluarga inginkan, aku gagal. Aku ingin tenang" Angin malam itu sangat dingin, masuk menembus kulit, menyapa aku dan Ilyas yang berada di atap kampus. Langit malam seolah mengerti keadaan kami, lalu membasuhi kami dengan angin sejuk, dedaunan yang meliuk-liuk. Dari tempat kami berdiri dapat terlihat beberapa pohon lebat dan tinggi dengan daunnya yang menari-nari. Gedung-gedung tinggi yang berjajar yang disetiap lantai lampu menyala, berpadu dengan lampu-lampu jalan yang menyala, memperindah kota. Dari tempat kami berdiri bisa terlihat sedikit orang yang pulang dari aktivitas atau beberapa orang sedang bertegur sapa. Mengumbar senyum menenangkan, tanpa beban. Orang-orang yang bersahutan sambil membawa ransel ditangan. Wajah-wajah itu dibalut kebahagiaan tiada tara. Sungguh menyenangkan menyaksikan semua itu, tapi tidak bagi Ilyas. Ada iri yang membuncah, Ilyas ingin seperti mereka, yang bisa bersenang-senang seperti seumurannya. Ilyas malah harus menanggung semua kesedihan itu, memikul beban itu. Saat anak-anak seumurannya bisa bermain bebas, Ilyas harus menanggung keinginan orang lain. Keinginan yang merusak mentalnya, merusak dirinya, mengubur mimpinya. Ia harus berjalan dijalan yang disediakan orang lain, bukan berdiri dikaki sendiri. Tak ada cahaya di dirinya, tak ada sinar diwajahnya, ia redup.
"Fa, bagaimana rasanya ya menjadi mereka" Mata Ilyas menatap orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya. Aku tidak tahu kalau Lili juga sedang mencari kami. Karena kelasnya sudah selesai, lalu bergegas mencari keberadaan kami diberbagai tempat dikampus tapi tak ada.
"Aku kesakitan Fa" Tangan Ilyas bergetar hebat, matanya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Aku mendekat, memperhatikan wajah Ilyas yang sudah merah seutuhnya.
"Ilyas, jangan pernah lakukan hal bodoh, jangan seperti ibu dan ayah ya, aku mohon. Aku dan Lili membutuhkanmu. Jangan menghilang dari hidup kami, aku mohon" Aku meyakinkan. Melihat Ilyas dengan kondisi seperti itu, aku takut dia akan melakukan hal konyol. Sama seperti ayah dan ibu kami. Sudah cukup bagi kami menyaksikan ayah dan ibu mengakhiri hidup mereka. Aku tak ingin Ilyas melakukan hal serupa. Pelan-pelan aku pegang bahunya, menenangkan hatinya yang keruh, pikirannya yang rusuh. Memberitahu bahwa aku dan Lili mendukungnya, aku dan Lili adalah penopang hidupnya. Aku dan Lili adalah kristal yang perlu dijaga. Cahaya yang tak boleh dibiarkan redup. Ilyas hanya tersenyum getir, cukup untuk memberitahuku bahwa dia memang tidak baik-baik saja. Matanya terpejam, merasakan lembut angin yang menerpa wajahnya. Tak ada suara, sunyi. Malam itu bulan dan bintang-bintang dilangit menjadi saksi bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan Ilyas. Beberapa detik kemudian Ilyas tiba-tiba tidak ada disampingku, ia akhirnya terjun kebawah. Aku menatap tempat orang yang disampingku beberapa detik lalu dengan ketakutan. Aku bergetar hebat. Apa yang kuduga terjadi, nafasku tertahan, seketika semuanya pecah. Aku membekap mulut dengan kedua tanganku, ingin sekali aku berteriak, tapi tertahan. Aku terpaku, mencerna segala yang terjadi. Sementara itu suara teriakan orang-orang dibawah tempatku berada, begitu histeris. Kaget sekaligus takut, merinding melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian. Tepat saat itu nenek berada didepan Ilyas yang terjatuh. Matanya sama bergetarnya denganku, melihat ke atap, tepat saat wajahku muncul bermaksud memastikan tubuh Ilyas.
Aku meringkuk ketakutan mengingat kejadian itu. Kejadian yang bisa membunuhku perlahan. Saat kejadian itu pula nenek mulai tak menyukaiku, mulai mengurungku, menganggapku monster. Pembunuh berdarah dingin, julukan itu sudah dilekatkan kepadaku sejak kejadian itu. Dan rasanya sangat menyesak dada, aku tersengal, nafasku tak beraturan. Aku mengambil satu bantal, menutup kedua telingaku. Semakin aku rekatkan bantal ketelingaku, semakin lihai pula ingatan itu melingkariku, mengikatku. Semakin riuh ingatan itu dalam kepalaku. Terasa jelas suara-suara yang tak ingin ku dengar, sayup-sayup percakapan antara kami, kejadian saat Ilyas memilih terjun kebawah. Suara berisiknya orang-orang yang menjerit ketika menyaksikan tubuh Ilyas terkapar. Juga bayangan ketika nenek mendongakkan kepala melihat kearahku, yang saat itu ada di atap kampus. Semuanya sempurna membelenggu diriku, menjadikan diriku tak terkendali, bergetar, aku merasa cemas. Bola mataku membelalak kala ingatan itu masih berkeliaran dikepalaku. Beberapa detik kemudian tanganku kembali merengkuh lutut, aku kembali membenamkan wajahku, aku menangis. Bening-bening kristal turun perlahan. Ku lampiaskan kesedihanku lewat tangis yang semakin lama semakin keras. Semakin menjadi-jadi, semakin membuncah. Nenek terdiam di ruang makan mendengarku menangis. Aku luapkan segala hal yang menyakitkan itu, aku tumpahkan seluruhnya agar perasaanku lega.
****
Malam hari tiba, aku sedang mewarnai lukisanku. Lukisan yang menurutku sangat indah, sangat menawan. Lukisan yang menggambarkan indahnya diri dan indahnya dunia dengan berbagai problematikanya. Lukisan dua orang bersama sedang menikmati langit malam. Yang satu kepalanya tertunduk meratap, yang satu menatap lurus tegak menikmati dunia, wajahnya sendu. Ku oles warna hitam pekat pada langit yang ku gambar, sementara pada dua orang yang ku lukis dilekatkan warna biru dan coklat pada bajunya. Bintang-bintangnya berwarna abu. Setelah menyelesaikan lukisan, kakiku bergerak kearah pintu, bermaksud mengambil makan malam. Karena pada malam hari, rumah ini sepi, nenek selalu berada dikamar. Hal rutin yang selalu kulakukan. Baru juga akan membuka pintu. Suara ketukan pintu terdengar. Membuka pintu dan lihatlah, Lili sudah menarik tanganku menuruni anak tangga cepat-cepat.
"Kamu ini kenapa?" Aku keheranan dengan tingkahnya. Lili memasang wajah tak bersalah. Satu telunjuk nya ditaruh dibibir " shuuttt" Lili tersenyum riang kepadaku, mengendap-endap agar tak berisik. Langkahnya pelan-pelan, tangannya menggandeng tanganku. Ada sentuhan hangat, ada ketenangan yang mengalir saat tangannya menggenggam tanganku. Kami melangkah sepelan mungkin. Sepi, tak ada siapapun di ruang keluarga, di ruang makan, ditaman, dimanapun. Nenek mungkin sudah tidur, karena sekarang-sekarang memang waktunya jam tidur. Bukan untuk rumah ini saja, rumah lainpun begitu. Lili dan aku berhasil keluar rumah, mengendap-endap melewati rumput, melewati jajaran-jajaran bunga yang mekar. Sungguh sangat cantik. Sayup-sayup angin menambah kelembutan pada malam ini. Meleburkan perasaan rindu, perasaan benci, perasaan lelah, perasaan letih. Sungguh menakjubkan, pertama kalinya lagi aku menapakkan kaki keluar, menjejak lagi dunia yang sudah lama tak kulihat. Akhirnya kami sudah berada diluar pagar. Wajah Lili menghadapku, matanya berbinar senang, bibirnya menyungging senyum, amat meneduhkan. Entah bagaimana, aku bisa melihat kalau Lili ini sangat puas dengan apa yang dilakukannya, ia seperti berhasil keluar dari teka-teki game, atau terbebas dari Labirin yang sulit. Wajahnya cantik, merona. Lili melihat wajahku lamat-lamat, membaca wajahku yang teramat senang keluar dari sangkar mengerikan.
"Hari ini aku akan mengajakmu ketempat dimana kamu bisa melepas kerinduan. Seperti aku yang selalu merindukanmu, jujur aku rindu sekali masa-masa lalu. Bermain bebas, menyeletuk apa saja yang membuat kita tertawa, meski hal kecil. Tapi bagiku, masa-masa itu adalah yang paling membahagiakan. Aku rindu kebersamaan kita" Lili tersenyum, aku terdiam. Bila harus jujur, aku tidak ada kerinduan sama sekali. Hatiku terlanjur hancur, cintaku sudah lebur, rasa kasihku sudah menjadi kepingan, amat menyakitkan. Tidak ada yang patut dibanggakan, sungguh.
Lili menarikku menjauh, kita melangkah ke pertengahan kota. Disepanjang jalan kami terdiam. Lengang, sepanjang kami berjalan hanya hawa dingin yang menemani, hanya daun rindang menari-nari menyirami kami yang tenggelam dalam keheningan. Hingga akhirnya aku membuka suara.
"Kamu mau membawaku kemana?" Suaraku memecah keheningan. Nadaku datar. Lili menoleh, memerhatikan wajahku, lalu tersenyum.
"Rahasia, nanti kamu juga akan tahu, tapi sebelum kita sampai, aku ingin kamu menikmati semuanya. Menikmati malam ini. Cahayanya, cuacanya, perasaannya. Lepaskan semua beban itu, aku tahu sangat sulit melalui semua yang kamu alami" Lili tersenyum. Dirinya benar-benar merasa prihatin. Wajahnya memerhatikan sekitar. Melihatku, ia seperti paham sekali bahwa kalimat mutiara itu tidak pernah bisa mengobati luka dihatiku. Tidak bisa menghilangkan rasa perih di dalam batin. Kata-kata penenangnya tak mampu menembus dinding hatiku.
"Maafkan aku, aku tak bisa melakukan apapun untukmu, tak bisa membuat perasaanmu lega, tak bisa membuatmu merasa aman dan nyaman. Aku tahu betapa menyakitkannya ketika seseorang yang kita sayangi, tiba-tiba menjauhi kita, tak mau bertemu dengan kita. Aku tahu kamu sangat mencintai keluarga kita. Kamu sangat peduli padaku, pada nenek, juga Ilyas. Kamu tidak membunuhnya" Lili kali ini tertahan. Suaranya lemah, aku terdiam, sempurna membatu. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Lili berhasil menusuk jantungku, merobek hatiku. Aku ringkih, ada sesak di dada. Aku mulai bergetar diam-diam. Tapi tak diperlihatkan kepada Lili. Lima menit tak ada suara, lima menit keheningan. Lili menatap lurus, kami duduk dihalte bus beberapa detik. Kemudian bus menghampiri kami. Aku dan Lili naik, sangat sepi, hanya satu dua orang yang berada dalam bus. Kami duduk berdampingan. Lili memegang tanganku, aku menoleh.
"Lihatlah apa yang ingin kamu lihat. Jarang sekali kan mendapat kesempatan ini? Sejak beberapa tahun itu, kamu tidak pernah lagi melihat dunia, melihat tempat-tempat menakjubkan. Jadikan ini moment terbaikmu, aku ingin kamu memiliki kenangan indah" Lili berkata pelan, tangannya tak dilepaskan. Ia memegang tanganku. Aku tahu gadis disampingku ini ingin menenangkan ku, menenangkan gemuruh dihatiku. Tapi sayangnya itu tidak cukup. Aku masih terluka, luka itu masih membiru. Mataku melihat kearah jendela, menyaksikan keindahan dunia, menyaksikan keindahan kota. Menatap takzim beberapa tempat yang dilewati bus yang dinaikki olehku dan Lili. Mataku tak berpaling sedikitpun, lihatlah cahaya kerlap-kerlip lampu di mol sangat cantik, lampunya membasuh mol dengan keindahan. Gedung-gedung tinggi tak kalah menakjubkan, lampunya juga menyala, menambah pesona. Mobil-mobil melintas, satu-dua menyusul. Ada juga yang dibelakang bus yang kami tumpangi. Malam ini sungguh indah, sungguh berisik. Riuh kota tak terhindarkan. Tetumbuhan kecil dipinggir jalan tampak cantik, meliuk-liuk diterpa angin malam. Sungguh menenangkan, aku sungguh menyukainya. Hatiku bagai dibaluri air bening, menentramkan. Lebih dari itu, aku merasa nyaman. Aku fokus melihat jalan-jalan yang dilewati, menatap sedikit orang lewat jendela bus. Lihatlah, aku tidak sadar menyuging senyum, mataku berbinar, sungguh menentramkan. Aku menatap orang-orang yang berjalan bersama seseorang lainnya. Mereka tersenyum, merekah. Berbincang satu sama lain, entah apa yang mereka bicarakan, terpancar kebahagiaan diraut wajah. Aku menyaksikan jalanan yang dipenuhi kendaraan mobil yang berjajar seirama, menyaksikan bagaimana orang-orang bercengkrama, sambil menjejak kaki disisi aspal berwarna abu, mereka dibaluri kedamaian. Siluet lampu-lampu mobil menyoroti mata mereka, sehingga memicing, namun lama-lama terbiasa. Sungguh aku menyukai hari ini. Dunia yang sudah lama tak kulihat, dunia yang aku rindukan, dunia yang setiap hari aku dambakan. Hari ini aku bisa melihat segalanya. Sungguh, rasa rinduku membuncah malam ini. Mengobati hatiku yang sepi, mengobati diriku yang terluka. Bus melintasi setiap ruko-ruko, mol, gedung-gedung pencakar langit. Mataku tak berhenti terkagum-kagum, suara bising kendaraan berlalu lalang memekakkan telinga. Kami turun di pemberhentian berikutnya, melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Lihatlah, perkotaan yang padat ini sangat indah, berbagai cahaya terang menghiasi seluruh kota, lampu-lampu jalan, lampu-lampu mol, lampu-lampu gedung-gedung tinggi berpadu menyeruakkan sinarnya. Langit pun tak kalah menunjukkan keindahan, tak kalah terang. Bintang-bintang bertaburan bercahaya meramaikan langit hitam pekat, juga bulan yang sudah tegak sempurna, sangat menawan. Memanjakan mata siapa saja yang memandang.
Setelah beberapa menit kami berjalan, aku terdiam sejenak. Memandang apa yang kulihat dengan tak percaya. Aku membeku dengan huruf didepanku. Rumah sakit harapan. Gedung putih yang telah ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk, sibuk dengan diri sendiri. Bahkan orang-orang yang menghampiriku, sekedar lewat juga berisik dengan suara-suara obrolan khas rumah sakit. Suara-suara itu menanyakan keadaan seseorang, menanyakan suasana didalam, menanyakan kondisi ruangan dan berbagai hal lainnya. Paling banyak membicarakan seseorang yang dijenguk. Beberapa orang duduk di kursi, membicarakan hal apapun. Terlihat ketegangan diraut wajah mereka. Mereka gelisah, khawatir, cemas. Beberapa orang lainnya berlari kesana-kemari membututi adik-adik kecil yang berlarian. Wajah-wajah asing yang baru ku lihat. Wajah mereka sedang dibalut kesedihan. Aku masih mematung, bergetar. Kali ini Lili melihat keteganganku, menyentuh tanganku, mengusir kecemasan.
"Tidak apa-apa, jangan takut. Ini adalah pertemuan yang indah, tidak mungkin kamu akan menyiakan usaha kita kan?" Lili menatapku. Kata-katanya lembut, setidaknya melepaskan kecemasanku sedikit.
"Ini adalah kesempatan, aku khawatir setelah ini, aku tidak bisa membawamu lagi. Kamu tahu kan, nenek orangnya tegas" Lili menarik tanganku, aku membiarkannya. Kami masuk menelusuri rumah sakit. Sangat dingin, suhu ruangan ini dinginnya menembus kulitku. Orang-orang juga tampak kesana-kemari, sibuk sendiri. Ada yang sedang duduk-duduk cemas, ada yang bergelut dengan lamunan, ada yang sedang memerhatikan ponsel, mengetik cepat, entah apa. Wajah-wajah kusut, wajah-wajah lelah, wajah-wajah letih, wajah-wajah lesu mewarnai ruangan ini. Mereka berantakan dengan pikiran mereka sendiri. Wangi khas rumah sakit tercium, begitu pekat. Aku dan Lili melangkah melewati koridor, melewati orang-orang yang sama mau menjenguk, atau sudah selesai menjenguk. Ada juga yang menjemput orang tersayangnya keluar dari ruang inap untuk pulang. Kami saling berpapasan satu sama lain, saling menabrak, tapi spontan saling maaf-memaafkan. Wajah-wajah panik tak terhindarkan. Kami berdesakkan ke ruang yang akan dituju. Sebenarnya sebentar lagi sampai, tapi ramainya pengunjung untuk membesuk tak kalah memadati setiap langkah kami, jadi kami sedikit lambat. Mereka juga khawatir dengan orang tercinta mereka. Separuh dari mereka ada yang sedang berbincang, membahas mengenai keadaan seseorang bersama seorang dokter. Wajah kusutnya tak bisa disembunyikan. Begitu banyak orang-orang khawatir dengan orang terkasih mereka. Kalau aku sakit apakah keluargaku akan sama cemasnya seperti orang-orang yang kulihat ditempat ini? Suhu dingin pun mendadak tak terasa saking padatnya. Suara bising sekitar memenuhi ruangan. Lili dan aku masuk keruangan dimana katanya aku bisa melepaskan kerinduan, setelah berhasil melewati beberapa orang diluar. Kakiku bergetar melihat siapa yang kulihat. Membatu, mataku berkaca-kaca, bergetar. Kakiku bergerak patah-patah. Inikah tempat yang disebut oleh Lili untuk melepas kerinduan? Inikah yang disebut pertemuan yang indah? Oh tidak, lihatlah siapa yang terbaring lemah. Ilyas! Orang yang tak pernah kutemui lagi setelah kejadian mengerikan beberapa tahun silam. Orang yang dulu selalu bersama-sama setiap selesai kuliah, orang yang matanya selalu redup. Orang yang tak berhasil ku bujuk, menyebabkanku dikurung di sangkar mengerikan itu. Orang yang menumbuhkan rasa benci dihati nenek. Lihatlah tubuhnya, lemah, ditopang berbagai alat rumah sakit, ventilator itu sempurna tepasang dihidungnya. Alat untuk membantunya bernafas, memompa udara ke paru-parunya. Monitor di samping ranjang pasien berbunyi pelan memperlihatkan garis-garis zig-zag. Lihatlah, Ilyas tak berdaya, belalai panjang yang terpasang dihidungnya membuatku miris melihatnya. Mata terpejam, tubuh terbaring, tangan tak bergerak, lihatlah lelaki itu sudah seperti mayat.
Aku menangis. Perlahan tanganku memegang tangan lemah Ilyas, lalu ke wajahnya. Memperhatikan lamat-lamat wajahnya. Wajah itu pucat, sesenggukan memerhatikan setiap tubuh seseorang yang sudah lama tak kulihat ini. Hatiku pilu, rasa sakit kembali menyerang ku, menghujamku dengan ribuan pisau menusuk. Aku linglung, kepalaku pusing. Oh Ilyas, apa yang harus kulakukan?
"Lihatlah wajahmu, begitu pucat pasi. Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Kalau kamu begini, aku tidak bisa membencimu padahal aku ingin sekali mengutukmu. Lihatlah aku..." Aku bergetar, meraba dada. Mata fokus kepada Ilyas yang terpejam. Oh tuhan keadaannya mengerikan untukku. Tersengal, membiarkan airmata menetes semaunya.
"Bagaimana bisa, kamu seperti ini? Kenapa tak sekalian mati saja biar aku sudah sempurna menjadi pembunuh untukmu, aku sudah membunuhmu" Setelah keluar kalimat itu aku tersungkur, tanganku lemas. Sepi, hanya layar kotak dipinggir ranjang yang terdengar tut...tut...tut... Ruangan kecil ini begitu sunyi. Lihatlah peralatan yang terpasang pada tubuh Ilyas, begitu miris. Tubuhnya hangat, tapi tak ada pergerakan, ia sempurna diam. Aku lagi-lagi menatap penuh sendu. Langit-langit kamar berwarna putih, serta dinding berwarna putih telah menjadi saksi bagaimana keadaan Ilyas, bagaimana hari-harinya. Alat-alat itu telah bersamanya selama beberapa tahun, sudah menjadi penopang hidupnya. Wajah putih itu tidak ada sinar, tidak ada cahaya. Ia redup, seperti kehidupan yang sudah dijalaninya beberapa tahun silam, hanya keadaan yang kulihat saat ini menjadi pelengkap pahit kehidupan lelaki muda ini. Pemuda yang didambakan menjadi kebanggaan keluarga, pemuda yang di idamkan mencakrawala dikeluarga, pemuda yang diharapkan menjadi panutan bagi adik-adiknya, lihatlah sekarang, sedang terkapar tidak berdaya. Semua mimpi dan harapan keluarga itu hancur lebur, berserak, tak bersisa. Semua yang ingin digapai keluarga punah sudah, bersamaan dengan Ilyas yang terpejam diranjang rumah sakit. Lihatlah sesuatu berbentuk seperti mangkuk membekap hidung dan mulut, serta belalai panjang yang menyatu sempurna menjadi penopang hidup matinya Ilyas, menjadi bantuan pernapasan Ilyas. Entah kapan ia akan sadar, entah kapan ia akan membuka mata. Tapi setidaknya dari Lili dan nenek yang selalu menjenguk sesekali, aku tahu ada harapan yang menimbun, ada secercah keyakinan yang tumbuh, ada sedikit sinar dihati mereka, kalau orang yang paling dicintai keluarga setelah Lili ini akan bangun. Malam ini bukan pertemuan yang indah seperti yang dikatakan Lili, tapi ini adalah pertemuan menyayat hati, setidaknya bagiku.
Entahlah hatiku bimbang antara senang dan sedih. Separuh hatiku merindukan sosoknya. Sosok yang gagah ketika berpura-pura ceria didepan nenek, sosok yang terbuka ketika ia setiap kali lelah, maka kami akan berbincang sebentar. Mencari tempat sepi untuk menumpahkan segala keresahan yang dialami Ilyas. Iya dulu Ilyas sering berbicara tentang betapa ia lelah dengan kehidupannya. Lelah dengan keinginan nenek yang ingin dirinya seperti ini dan itu. Dan kakak pertama dari keluarga kami ini selalu mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan nenek, walau itu kadang ada yang bertentangan. Iya, nenek menganggap lelaki muda ini adalah sosok sempurna. Sosok yang berani dan penuh kewibawaan, panutan bagi keluarga. Yang tanpa disadari itu malah membuahkan luka. Menyebabkan Ilyas tak bisa mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Membenamkan mimpinya, mengubur perjalanan yang disusun, dirangkai dengan baik. Karena nenek orangnya tegas dan penuh tekanan. Ilyas adalah anak pertama dari kedua orangtua kami. Jujur ketika melihat Ilyas hari ini, seketika aku teringat dengan ayah dan ibu. Bagaimana keadaan getir mereka. Masa-masa mereka bertengkar hebat dengan nenek karena ada yang tak sepemikiran, ada pertentangan, berbeda cara pandang. Ayah dan ibu adalah pekerja kantoran, pekerja keras. Mereka selalu berangkat pagi pulang malam mengurus beberapa kerjaan diluar. Kalau pulang ke rumah pun sering terdengar pertengkaran hebat antara nenek dan kedua orangtuaku. Saat itu aku, Lili dan Ilyas masih sangat kecil, berusia tujuh, delapan, sembilan tahunan. Setelah beranjak dewasa, Ilyas dituntut untuk ini dan itu, menjadi apa yang nenek mau. Seperti robot, mematuhi apa saja yang diucapkan nenek. Apa karena nenek tak berhasil membujuk ayah dan ibu menapaki jalan yang sudah disediakan oleh nenek? Apa karena nenek gagal membawa ayah dan ibu menuruti setiap jengkal keinginannya? Meski aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini adalah karena nenek ingin cucunya menjadi sempurna menurut gambarannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa arti kata bangga bagi nenek? Apa arti kata sempurna dipandangan nenek? Aku benci sekali sebenarnya mengingat kejadian itu. Karena kejadian itu pula aku dikurung dirumah, tidak perbolehkan keluar. Sekali lagi aku adalah burung dalam sangkar. Akupun tak tahu kenapa nenek seperti itu. Yang jelas hari ini adalah malam yang penuh sesak bagiku. Penuh dengan sulaman kesedihan, penuh dengan tikaman tajam yang sempurna menghujam jantung. Aku masih bergetar, terisak menatap wajah kakak pertamaku ini. Lili diam, membiarkanku melampiaskan segalanya, melampiaskan kemarahan atas kesedihan yang kurasakan. Lili menjadi penonton malam ini, menyaksikan bagaimana aku bereaksi dengan keadaan, menyaksikan aku menangis.
"Seharusnya kamu mati saja, biar apa yang sudah kamu alami tidak lagi dirasakan, agar setiap yang membuatmu perih itu hilang. Kamu seharusnya tidak usah bertahan. Kalau seperti ini, aku malah semakin membenci dirimu, dulu kamu berjanji akan menjagaku dan Lili. Lihatlah, bahkan kamu tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa menjadi pelipur lara untuk adik-adikmu, tak bisa menjadi tempat bersandar untuk kami. Seharusnya kamu menjadi pelindung untukku, untuk Lili. Tapi hari ini aku mengerti, mustahil untukmu untuk menolongku. Aku kesakitan" Airmataku tumpah, sesak di dada luruh. Dinding-dinding hati yang menimbun ribuan sesak runtuh satu-persatu. Aku tak bisa menahan emosi. Membuncahkan segalanya yang terpendam, melampiaskan semuanya yang membenam dalam batin. Ruangan kecil ini menjadi saksi atas kemarahanku. Senyap, Lili tertunduk, menahan denting air yang akan jatuh dipelupuk mata.
"Aku dikurung oleh nenek, padahal kamu yang melakukan hal keji itu, kamu yang memilih jalan itu, kamu yang memilih mengakhiri hidupmu. Aku sudah berusaha mencegahmu, mengatakan bahwa aku dan Lili membutuhkanmu! Dan kami memang membutuhkanmu!! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tetap melakukannya, kamu tetap melukai dirimu, kamu tidak peduli kepada kami dan tetap memilih mengakhiri hidupmu, tapi kenapa yang disalahkan adalah aku!! Kenapa yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku? Sungguh Ilyas, kalau kamu berkata dari awal apa sebenarnya keinginanmu kepada nenek, semua ini tidak akan terjadi padaku!! Mungkin kalau kamu berani mengungkapkan impianmu, ketakutan yang kamu rasakan itu tidak terjadi!! Kamu adalah orang paling bodoh yang pernah ada, setidaknya kalau kamu mengutarakan apa yang ada dibenakmu, mungkin nenek tidak akan marah seperti yang selalu kamu bilang, mungkin nenek tidak akan merasa kecewa atas keterus-teranganmu!! Karena kamu adalah orang yang paling dicintai nenek! Kamu orang yang berharga untuk nenek! Kamu terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi! Nenek tidak akan menganggapku seorang pembunuh kalau kamu berani mengucapkan semuanya!! Kamu adalah manusia paling konyol!! kamu yang melakukan, aku yang menjadi korban" Hari ini aku menumpahkan segala isi hatiku, isi pikiranku. Biarkanlah aku merasa lega. Biarkanlah perasaan sesak itu keluar dari tubuhku. Biarkan hari ini tubuh ini merasakan leluasa, merasakan kelegaan, merasakan kelapangan, melepaskan semuanya, aku tak tahan lagi. Aku masih menangis, wajahku memerah, mata sembab, suaraku menjadi serak. Aku lemah hari ini. Dinding yang kubangun untuk diriku hancur sudah, retak sudah semuanya, berserakan. Aku roboh hari ini, aku ringkih, lemah.
"Tapi aku merindukanmu..." Nafasku sesak, tubuh berguncang-guncang karena tangisanku yang tak tertahan. Iya, separuh hatiku merindukannya, merindukan kebersamaan kami bertiga, masa dimana kami bermain bebas, meski saat melakukannya kami sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan. Meski saat melakukannya, kami bertiga selalu ada pertengkaran kecil. Tepatnya aku dan Lili yang selalu bertengkar dan Ilyas yang akan mendamaikan. Diantara kami Ilyas adalah sosok yang dewasa, selalu mengalah, selalu mengerti keinginan kami. Itulah kenapa kami sangat mencintainya setelah ayah dan ibu. Apalagi setelah kedua orangtua kami pergi jauh, cinta kami sudah dilabuhkan kepadanya. Kakak yang penuh cinta, kakak yang penuh tatapan hangat, kakak yang penuh tatapan lembut. Kami mencintainya.
Aku dan Lili memutuskan pulang. Selama kami berjalan, tidak ada suara, aku menikmati kesendirian, tenggelam dalam renungan. Lili berjalan di belakangku, memerhatikan punggungku. Udara dingin membaluri batin, malam ini sempurna menyulam kesedihan, menyulam kenangan yang dulu begitu amat menentramkan. Dulu aku, Lili, dan Ilyas hanyalah anak-anak kecil yang riang, kami selalu bersama setiap waktu. Menghabiskan hari dengan bermain, berlarian, melempar lelucon dan sebagainya. Aku merindukan moment itu, tapi sekarang aku benci perasaan itu. Perasaan rindu yang melapiskan beberapa kejadian antara senang dan sedih menyatu dalam satu ingatan. Mencabik rasa cinta kumiliki menjadi benci berkali lipat. Malam terasa sejuk, menelusup jiwaku yang bersedih, cukup untuk membasuh batinku yang sedang terluka. Lampu-lampu kota masih menyala menerangi seluruh jalan. Bulan yang berdiri tegak pun masih setia menemani. Aku masih tertimbun kenangan, meneteskan air mata. Bagaimana tidak? Setiap kenangan yang berkelibas berhasil menikamku seperti ditusuk ribuan pisau, perih sekali. Malam ini menjadi malam kesedihanku. Lili membiarkan, memperhatikanku, memutuskan malam ini menjadi milikku. Bintang-bintang ikut merayakan kesedihanku, cahayanya tak mampu menembus gelap dalam diriku. Aku redup, sinar bulan dan bintang tak bisa memecahkan gelimang perasaan terluka, rindu, benci. Aku dalam keadaan terlemah, setelah sekian lama kubangun kuat-kuat dinding dihatiku, akhirnya hancur juga. Setelah sampai rumah, kami melangkah kepelataran rumah, membuka pintu, dan lihatlah siapa yang sudah berdiri diruang keluarga. Menatap buas aku dan Lili yang baru kembali. Sungguh melelahkan hari ini, aku sudah malas melihat nenek. Tak peduli apa yang akan terjadi, perpecahan apa lagi yang akan kudengar. Aku mengabaikannya, memilih berjalan ke kamarku. Lili menghentikan langkah, matanya bergetar, bibirnya bergetar, ia panik setengah mati. Aku tak peduli, tatapan buas nenek tak mempan padaku. Entahlah, mungkin karena aku sudah terbiasa. Raut wajah nenek merah padam, seperti siap membunuhku kapan saja. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar.
"Darimana saja kamu?!" Nenek menatap tajam kearahku. Aku masih melangkah.
"Berhenti! Aku sedang bicara denganmu, apa kamu tidak tahu etika dirumah ini?" Tatapan nenek menyeramkan. Sebenarnya aku malas tidak mau berdebat, sudah cukup hari ini aku mengeluarkan seluruh energiku, aku lelah hari ini. Aku menghentikan langkah, lalu melihat wanita paruhbaya dihadapanku.
"Aku lelah hari ini, bisakah bicarakan besok? Kalau ingin memakiku besok saja" Nadaku datar, langkah berhenti dianak tangga. Nenek melempar gelas bening yang ada dimeja kearahku. Brakkkk terdengar keras sekali menghantam dinding beberapa inci disampingku. Tepatnya meleset. Setelah itu nenek melihat kearah Lili yang masih diam didepan pintu. Menatap garang. Lili terkesiap langsung menutup kedua telinga dengan tangan kala pecahan gelas menerpa dinding. Berkeringat dingin. Entah hari ini apa yang merasuki wanita tua ini. Ia seperti ingin menghabisi kami berdua. Lili ketakutan. Aku diam, terbiasa dengan keadaan.
"Sudah kubilang, jangan bergaul dengannya, kenapa hari ini kamu membantah Lili? Kamu tidak sayang nenek lagi?" Perkataan nenek pedas, menusuk jantung. Sungguh amat perih mendengarnya. Tapi aku terbiasa.
"Kamu tidak lupa, dia ini siapa? Dia sudah membunuh kakakmu!! Kamu tidak takut akan mengalami hal serupa seperti Ilyas? Kenapa masih peduli dengan orang tidak berguna ini!! Ilyas dirumah sakit gara-gara siapa? Gara-gara dia!!" Tangan nenek menunjuk-nunjuk padaku. Sungguh aku menahan amarahku. Sudah kelelahan. Lili menatap ketakutan, ragu-ragu berkata.
"Nek.. jangan salahkan Fatih, aku yang mengajaknya keluar hari ini. Aku mengajaknya bertemu dengan Ilyas. Sudah lama Fatih tidak keluar, aku hanya mengajaknya jalan-jalan, maaf, aku bersalah nek.." Lili tertunduk pasrah. Sedu sedan terdengar, satu denting airmata menetes membasahi pipi Lili. Sungguh perempuan satu tahun lebih muda dariku ini terkejut bukan main melihat ekspresi nenek. Baginya nenek yang lembut itu hilang dalam sekejap. Entah bagaimana mata nenek menyalak buas ke arah Lili, siap menghancurkannya, lalu menatapku lagi. Aku melihat tatapan benci dimatanya.
"Semua yang terjadi kepada Ilyas adalah salahmu, karena kesalahanmu dia menjadi seperti itu! Kamu ingin juga Lili seperti Ilyas? Tidak cukupkah untukmu mengerti kenapa Lili aku larang bersama denganmu! Karena kamu sungguh pembawa sial, kamu orang yang suka membunuh orang! Menyebabkan Ilyas seperti sekarang!! Seharusnya yang mati itu kamu!!" Nenek berteriak membuncahkan kekesalan. Aku mematung, bergetar. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. Seperti ada dentuman yang langsung menghantam tubuhku. Seketika Nenek yang menenangkan untuk Lili hilang, nenek yang selalu senyum merekah dihadapan Lili tidak ada sama sekali, nenek yang selalu bersikap santun kepada Lili sirna. Nenek hari ini lepas kendali, gurat-gurat diwajah nenek terlihat. Lili bergetar. Setelah beberapa tahun lamanya tak melihat nenek semarah ini. Aku tersenyum terluka, menatap nenek redup, dengan sisa tenagaku.
"Bagimu aku adalah orang yang seperti itu? Kalau begitu bunuh saja akuu!! Biar kamu puas!! Biar kalau aku mati, takkan ada yang memakiku!! Karena kamu memang tidak mencintaiku, kamu tidak menyukaiku!! Biar aku sama seperti ayah dan ibu!!" Aku kalap, mataku menyalak, tak kuat dengan lontaran nenek. Tersengal dengan sisa tenagaku. Lili bingung, tak bisa menyembuyikan ketakutan, bergetar. Teriakanku dan nenek menggema keseluruh ruangan. Tanganku kearah dada, bergetar, menepuk-nepuk dada, bermaksud menghilangkan sesak nafas yang diam-diam merangsang tubuhku. Tapi semakin lama semakin tak terkendali, sungguh aku tak bisa bernafas. Bola mataku membelalak keluar, aku semakin bergetar.
"Sebegitunya kamu membenciku, seharusnya kamu tanya dirimu sendiri, ada apa denganmu. Kenapa ilyas jadi seperti sekarang!! Keluarga yang sangat kamu banggakan ini nyatanya hanya kebanggaan untuk dirimu sediri!! Kamu tidak bertanya kepada kami, apa yang kami suka, apa yang kami cinta, kami capai! Kamu hanya peduli dirimu sendiri, semua yang ada dirumah ini adalah milikmu!! Nenek yang membunuh Ilyas!!" Tanganku masih menepuk-nepuk dada. Meluapkan emosiku, kemarahanku. Wajahku merah padam. Lili menutup telinga dengan kedua tangan. Sungguh hari ini aku tak bisa mengendalikan diri.
"Biar aku mati saja!! Agar sama seperti ayah dan ibu. Kamu selalu mengharapkan segala yang ada dalam anganmu menjadi kenyataan!! Ingin menjadi yang sempurna, semua harus mengikuti apa yang kamu inginkan!! Tapi apa hasilnya? Ayah dan ibu pergi!! Gara-gara siapa? Gara-gara nenek!!" Aku semakin tersengal setelah mengatakannya, nafas sesak semakin menyerang. Mataku menatap sekitar kunang-kunang, tubuh tiba-tiba terasa berat, tapi berusaha tetap berdiri. Sungguh aku seperti akan mati. Aku melangkah patah-patah kearah nenek, memegang satu tangannya dengan cepat, mencengkramnya kuat-kuat. Aku kesetanan menatap nenek.
"Nenek kira aku juga mau hidup begini?!! Aku sudah hancur olehmu!! Aku sangat benci rumah ini, kamu sudah mengurungku semaumu, sudah mengunciku semaumu, kenapa tak sekalian bunuh saja aku!! Pukul saja aku!!" Aku berteriak, tanganku mengguncang-guncang bahu nenek. Entah bagaimana aku tak bisa mengontrol diri, lemah, aku terjatuh tepat setelah mengatakan itu.
"Diammm kamu!!!!" Nenek menutup telinga. Ketakutan, melangkah patah-patah ke kamarnya, linglung. Sedang Lili langsung menghambur kearahku, membantuku berdiri. Nafasku masih tersengal. Oh tidak, ada apa dengan tubuhku? Kenapa aku menjadi seperti ini? Tanpa banyak bicara Lili menopangku kekamar. Mendudukkan aku diranjang. Kepalaku bersandar dibantalan tempat tidur. Aku lemah, redup, tak ada cahaya, mataku kosong. Lili khawatir melihatku. Bergegas mengambil minum, menuruni anak tangga kedapur, setelah selesai Lili membantuku minum, membiarkanku terus bersantar dibantalan ranjang.
"Maafkan aku Fatih, seharusnya tidak begini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nenek marah padamu gara-gara aku. Sungguh Fatih aku dan Ilyas menyayangimu. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Meski aku tahu, aku tak sebaik Ilyas yang memiliki keberanian. Kami mencintaimu Fa, maaf..." Lili tersedu-sedu. Aku diam tidak merespon. Merenungi hidupku yang kacau balau.
"Mencintai? Jangan bergurau denganku. Kamu berkata begini, karena hidupmu terpenuhi cinta, penuh kasih. Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan Lili. Karena kamu dan Ilyas hidup dengan kasih yang melimpah" Aku menatap terluka kearah perempuan disampingku ini. Dari tatapan Lili, aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku sudah hancur, keluarga ini tak lagi menumbuhkan rasa cinta dihatiku.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku memalingkan wajah. Lili meninggalkan kamar, aku sendirian sekarang. Aku menangis kecil, bening-bening kristal ini turun lagi, menangis lagi untuk kesekian kalinya. Aku menatap sekitar kamar, dinding, lukisan-lukisan indah, rak buku. Lengang sudah, aku kesepian. Malam ini, malam yang mengerikan.
****
Surya kembali menyapa. Sinarnya menembus sela-sela ventilasi udara kamar, mengenaiku yang terpejam. Pagi yang hangat. Aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang diluar sana, mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan kegiatan hari ini, sibuk berpakaian rapih, pergi ke kampus, atau siap mengantar orang-orang tersayang mereka keberbagai tempat yang dituju. Mungkin sebagian orang juga berjalan kaki sambil menjajakan beberapa dagangan, juga ada yang siap membuka ruko diawal pagi. Mungkin orang-orang juga ada yang siap pergi ke kantor, atau memang sudah ada yang dikantor tidak pulang, menghabiskan seluruh waktunya di perusahaan. Waktu-waktu melelahkan telah merenggut kebersamaannya dengan orang tercinta. Seperti ayah dan ibu yang super sibuk dengan urusan dunianya, pulang hanya sesekali, itu pun kalau selesai pekerjaannya. Kalau tidak, menginap dikantor, dulu ayah dan ibu begitu. Hari ini orang-orang siap menyambut keresahan, keletihan, kekhawatiran setelah melangkah keluar rumah. Siap menggunakan tubuh mereka bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Aku menggeliat, mata remang-remang. Membuka selimut, melangkah gontai kearah jendela, membuka tirai jendela. Sinar keemasan mulai menyoroti kamarku lewat sela-sela, memantul ke dinding. Setelah itu melangkah lagi ke kursi didekat ranjang, duduk, menarik nafas dalam-dalam. Menatap lukisan dengan sendu, lukisan punggung dua orang saudara lengkap dengan biru dan coklat pada baju mereka, sedang duduk menatap langit gelap. Lukisan yang mengharapkan se-embun kebahagiaan, lukisan yang menanti sinar kedamaian, lukisan yang sedang berharap cemas cahaya menentramkan. Sudah seminggu ini aku diam dikamar, keluar kamar hanya sesekali mengambil apa yang ingin dimakan. Rutinitas yang selalu kulakukan. Setelah berdebat panjang lebar seminggu yang lalu, aku, Lili dan nenek tidak bertegur sapa, saling diam. Bagiku hari-hari memang selalu seperti ini, jadi tidak masalah. Lili sesekali menatapku kalau aku sedang mengambil makanan atau minum. Melihatku yang berwajah datar-datar saja. Ragu menyapa dan akhirnya hanya melihatku yang kembali kekamar. Lili menghembuskan nafas pasrah. Aku tidak tahu kalau pagi ini ada kabar membahagiakan bagi keluarga ini. Lili dan nenek sedang menjemput kebahagiaan itu, sedang menanti cinta yang kembali mekar setelah layu beberapa tahun. Terdengar suara mobil meninggalkan halaman rumah. Sementara aku menggelayut dengan lamunan. Mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas dan nenek yang seminggu lalu menginginkanku mati. Andai aku bisa memutar waktu, sungguh aku tak ingin berada dikeluarga ini. Cinta itu tidak ada bagiku, itu hanya berlaku pada Lili dan Ilyas. Mereka lah yang jadi kebanggaan keluarga. Mereka lah yang harum namanya. Bahkan nenek tak segan membicarakan Lili dan Ilyas dengan antusias kalau para tetangga membicarakan soal mereka berdua. Aku hanya nasib buruk bagi mereka. Tidak sadar kembali meneteskan air bening dimata, aku mendongak mencegah lebih banyak kristal-kristal kecil membasahi pipi. Kembali melangkah kearah jendela, membukanya. Sinar matahari langsung menyambutku, menutup mata, merasakan hangat yang ditawarkan mentari. Hangat sekali menerpa wajahku. Setidaknya mengobati diriku yang kesepian, meski tidak benar-benar menyembuhkan.
Aku tidak tahu kalau nenek dan Lili tersenyum merekah tidak sabaran ingin segera sampai kerumah sakit. Setelah mendengar kabar dari dokter bahwa Ilyas sudah bangun. Mobil-mobil dijalanan meramaikan suasana kota. Tidak peduli berdesakan, saling beradu klakson, mobil-mobil itu melaju seirama. Sebagian dikiri dan kanan, sangat ramai. Matahari terbit menambah kelembutan, menimbun kehangatan pada orang-orang yang sibuk menyetir didalam mobil, pada orang-orang yang berjalan, pada orang-orang yang bertegur sapa, pada orang-orang yang sibuk dengan diri sendiri, pada orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan di kantor, di ruko, dimanapun. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti biasa memanjakan mata, beberapa pohon rindang bertiup diterpa angin. Jantung nenek dan Lili berdegup kencang, harap-harap cemas ingin menyaksikan orang tercinta mereka, menyaksikan cahaya yang kembali menyala, setelah sekian lama redup. Meski pagi ini riuh kota begitu memekakkan telinga, mereka tidak peduli, mereka sedang dibalut kegembiraan yang menakjubkan. Awan-awan menggantung di langit biru, amat menawan. Mobil yang mereka tumpangi menyalip beberapa mobil didepan. Layar-layar televisi raksasa yang tertempel di dinding gedung serasi menampilkan berbagai iklan. Semesta telah penuh oleh berbagai aksesoris dunia. Setelah sampai ditempat yang dituju, mereka melangkah girang. Seperti biasa rumah sakit ramai oleh orang-orang yang membesuk. Keluar-masuk dengan berbagai macam ekspresi wajah. Lili dan nenek lihai melewati beberapa orang setelah melewati pintu masuk. Langkah mereka sama cepatnya dengan orang-orang yang berburu hadiah. Lihai melewati koridor, melewati orang-orang, meski harus berdesakan. Sungguh rumah sakit selalu penuh oleh wajah-wajah resah menanti kebahagiaan, wajah-wajah khawatir menanti kesembuhan, wajah-wajah haru menanti keajaiban. Hati Lili dan nenek dibaluri kebahagiaan. Lihatlah, dokter-dokter ditempat Lili dan nenek lewati sibuk menerangkan keadaan seseorang kepada seseorang lainnya. Setelah melewati beberapa kegaduhan akhirnya sampai juga. Melangkah patah-patah kearah Ilyas yang terbangun.
Semburat kebahagiaan terpancar diwajah Lili dan nenek. Mengharu biru dengan apa yang mereka lihat. Oh Ilyas, orang tercinta mereka telah bangun. Siap menggelayutkan kemeriahan dikeluarga, siap menimbun kehangatan dikeluarga, siap menumpahkan kebahagiaan tiada tara. Lihatlah orang yang sudah lama seperti mayat itu akhirnya menunjukkan tanda kehidupan, menaburkan kembali keindahan yang megah. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mereka. Tetes-tetes bening siap tumpah, nenek meraba wajah cucu kebanggaannya. Lihatlah, raut wajah nenek penuh haru. Menggenggam tangan Ilyas, membelai rambutnya pelan, mencium kening, lalu tangan dengan lembut. Diri mereka dialiri kedamaian. Meski terasa berat, Ilyas berusaha membuka mata lebar, tersenyum tenang. Menatap lamat-lamat wajah nenek dan Lili bergantian. Melihat sekitar remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Mata pemuda ini menelisik setiap sudut ruangan. Dinding berwarna putih, sofa yang tersimpan dipinggir ranjang, meja, langit-langit ruangan, lalu kembali menatap Lili dan nenek. Bertanya lemah.
"Mana Fatih?" Ilyas menatap lamat-lamat. Lili membisu, nenek tak menggubris, terlalu berbunga hati melihat cucu kesayangannya akhirnya bangun.
"Dimana Fatih.." Sekali lagi Ilyas bertanya. Lili buru-buru menjawab.
"Dirumah, Ilyas. Tidak perlu khawatir, Fatih ada dirumah, dia menunggumu dirumah" Lili tersenyum lembut. Ilyas menatap nenek, sekali lagi tersenyum. Memegang tangan nenek hangat. Ada ketentraman digenggaman Ilyas. Nenek tak berhenti tersenyum, bersyukur orang yang amat ia cintai kembali kepadanya, siap meramaikan rumah. Ketulusan terpancar dimata nenek, amat menenangkan. Sungguh penantian yang panjang, menunggu beberapa tahun itu tidak mudah. Melewati berbagai kejadian, masa-masa sulit, melewati beberapa tahun kesedihan tapi akhirnya tergantikan oleh harapan yang menjadi kenyataan. Sungguh penantian yang tidak sia-sia, menunggu dengan sabar dan terbayar sudah kelelahan yang panjang dengan cinta yang kembali tumbuh mekar.
"Kami merindukanmu Ilyas, sungguh hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi kami, karena kamu kembali kepada kami. Kita bisa bermain lagi seperti dulu, walau aku tahu kita tidak lagi kecil hehe" Lili teramat senang, wajahnya cerah, secerah matahari. Malu-malu melihat Ilyas. Ilyas membalasnya dengan senyuman menenangkan.
"Aku juga merindukanmu, merindukan nenek, merindukan Fatih. Maaf telah membuat khawatir, terimakasih untuk tak menyerah padaku" Ilyas dengan lembut membelai kepala Lili. Lili merona merah. Setelah beberapa jam berbincang, nenek sibuk mengurus kepulangan Ilyas dirumah sakit, tapi tidak mengapa, karena wanita tua itu melakukannya dengan senang hati. Bagaimana tidak, toh orang yang paling dicintainya kembali menyalakan semangat hidup, kembali menyeruakkan cahaya. Nenek berbinar-binar. Setelah semuanya selesai nenek dan Lili sabar menuntun Ilyas ke mobil, mereka pergi meninggalkan rumah sakit.
Sungguh pagi yang indah, tapi bagiku hari-hari selalu sama, tak ada yang spesial. Kepala mendongak kearah langit, lihatlah formasi awan-awan putih yang menghiasi langit biru pekat berpadu dengan sinar warna kuning disela-sela awan sungguh memesona. Membius setiap orang ingin melihatnya. Aku pun begitu, saking cantiknya selalu memberikan kesan baik kepadaku. Seolah berkata untuk selalu menjalani hidup dengan baik, seolah memberitahu bahwa setiap hari, apapun itu akan terlewati. Tanpa sadar bibirku menyungging senyum, setidaknya hari ini perasaanku jauh lebih baik, karena tak harus berdebat dengan nenek, tak perlu melihat Lili yang selalu mencuri-curi pandang ketika bertemu. Biarlah hari ini aku melepaskan semua beban. Aku menghirup udara, memejam mata lalu membukanya lagi, sungguh menenangkan. Tiga puluh menit berlalu, lihatlah mobil sudah memasuki halaman rumah. Aku melihat dari jendela kamar, memerhatikan kendaraan roda empat seksama. Tepat berhenti didepan pintu, meski berjarak beberapa meter saja. Lili, nenek keluar dari mobil satu persatu, amat hati-hati. Dan lihatlah siapa orang yang kulihat selanjutnya, keluar pelan dengan tangan digenggam Lili. Sungguh hatiku bagai dipanah sempurna menghujam jantung, tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Diam terpekur melihat apa yang kulihat, memerhatikan mereka melangkah kedalam rumah. Nampaknya rumah ini akan ramai lagi. Aku tidak percaya, orang yang semula terbaring lemah, kini telah menjejak lagi dunia, menjejak bumi. Entahlah apa harus senang atau sedih, tapi sungguh itu hal yang baik. Apakah cinta antar saudara akan tumbuh kembali? Kupikir tidak, cinta tidak akan mekar lagi. Ini bukan cinta, aku sudah mengikisnya jauh-jauh. Cinta keluarga itu sudah pupus, aku tidak menyukai keluarga ini. Kembali melangkah ke kursi, duduk, menatap lagi lukisan yang tadi kulihat, setelah itu membalikan lukisan. Ilyas, Lili dan nenek duduk disofa ruang keluarga. Ilyas menelisik setiap sudut, matanya megedar seperti mencari seseorang.
"Lili, dimana Fatih?" Itu kata pertama Ilyas setelah sampai rumah.
"Kenapa aku tak melihatnya?" Mata pemuda ini masih memeriksa sekitar ruangan, kalau-kalau aku mungkin lewat. Lili terdiam, baru akan beranjak dari sofa, tangan nenek mencegah Lili, menyuruhnya untuk tetap duduk menemani ilyas. Ilyas memicing keheranan dengan apa yang dilakukan nenek. Nenek memerhatikan ekspresi Ilyas, lalu cepat-cepat membuka pembicaraan.
"Nak, hari ini kamu sungguh keajaiban yang diberikan Tuhan kepada kami. Kamu tahu, kita tidak pernah lelah menunggu kamu bangun, mencemaskan keadaanmu. Sungguh hari ini kamu adalah hal yang paling membahagiakan. Sudah lama rumah ini sepi" Nenek berkata lembut, menatap Ilyas penuh kasih sayang. Raut wajahnya menunjukkan semua cinta paling dalam. Mata nenek mulai berkaca-kaca, memegang telapak tangan Ilyas. Ilyas terdiam tersenyum. Setelah itu kembali menelisik ruangan.
"Nenek mana Fatih.." Pemuda itu lagi-lagi mencari keberadaanku. Dari tatapannya, nenek tahu Ilyas amat peduli padaku. Keheranan aku masih tak menemuinya. Lili diam, tapi beberapa menit kemudian mengatakan keberadaan ku.
"Dikamar, Ilyas" Lili menempali cepat. Tangan yang semula digenggaman nenek itu terlepas ketika Ilyas langsung beranjak pergi kearah kamar. Nenek menatap Lili, tahu itu tatapan pembunuh, cukup mengerikan. Sementara Ilyas pelan-pelan menaikki anak tangga menuju kamarku. Mengetuk pintuku pelan. Entahlah, terus terang aku benci, tapi juga senang karena dia telah kembali. Setidaknya nenek tak perlu berdebat panjang lebar denganku dengan kehadirannya. Ini bukan karena aku menyayangi Ilyas sebagai keluarga, tapi lebih tidak perlu repot mendengar celotehan nenek kepadaku. Aku tak bergeming meski suara Ilyas terdengar didepan pintu.
"Kamu masih tidur Fatih?" Ilyas terdiam lagi. Tak ada jawaban dariku membuatnya mengetuk lagi berapa kali. Karena masih tak ada jawaban, memutuskan untuk membuka pintu. Dan lihatlah, Ilyas berdiri diambang pintu. Aku diam dikursi, anak pertama dari keluarga ini mendekat, memegang bahu, memerhatikan wajahku yang teramat datar.
"Aku kembali Fatih, aku merindukanmu, merindukan rumah, merindukan keluarga kita" Ilyas mencoba mengajakku bicara, aku tak menggubrisnya. Rasa benci sudah menjalar dalam diriku. Sungguh semua yang dikatakan nya bohong, apa yang perlu dirindukan dari keluarga ini? Tidak ada cinta, tidak ada sama sekali. Keluarga ini mengerikan bagiku.
"Kamu sudah kembali, aku turut senang. Dari penglihatanku kamu masih perlu istirahat. Istirahatlah, aku tak ingin mengganggumu" Jawabku sekenanya. Ilyas diam keheranan, menangkap ekspresiku yang biasa saja.
"Kamu tidak senang aku kembali?" Ilyas masih memerhatikanku. Aku balik menatapnya, memasang wajah datar.
"Itu tidak penting, yang terpenting adalah kamu sudah hadir kembali ke keluarga ini. Nenek dan Lili cukup bahagia, itu sudah cukup. Istirahatlah, kamu masih belum benar-benar pulih" Aku kembali membalikkan badan. Ilyas merasa seperti ada sesuatu denganku.
"Fatih, kata Lili kamu menungguku, kenapa tidak datang ikut bersama nenek dan Lili menjemputku? Kamu tahu, kukira aku sudah mati, kukira sudah selesai semua setelah memutuskan untuk membunuh diriku. Kukira semua selesai setelah aku memutuskan pergi, tapi ternyata sepertinya dunia ini masih belum mengizinkan" Ilyas menghela nafas. Aku diam. Ilyas melangkah kearah ranjang, lalu duduk. Memerhatikan sekitar kamarku lamat-lamat. Melihat lukisan-lukisan sendu, lukisan yang memesona bagiku. Anak pertama dari ayah dan ibu, menatap tak percaya. Seolah mengerti dari lukisan yang ku buat menjelaskan segalanya. Semua yang ku alami.
"Kamu baik-baik saja Fatih?" Ilyas bertanya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. Mungkin memastikan keadaanku. Aku menghadapnya, memerhatikan wajah resah, khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak mungkin, itu hanya wajah yang sedang mencoba mengerti perasaan adiknya, bukan perasaan peduli. Wajah Ilyas masih sama lembutnya, sama tenangnya seperti yang selama ini kulihat, tidak ada yang berubah. Sungguh siapapun yang melihat wajahnya, mengetahui sifatnya, banyak yang akan jatuh cinta padanya. Mungkin teman-temannya dikampus menyukainya.
"Aku baik-baik saja, cemaskan saja dirimu sendiri. Kamu masih perlu banyak istirahat, lihatlah tubuhmu masih lemah, kamu terlihat kurus" Aku menjawab canggung, melangkah kearah ranjang, duduk disamping Ilyas. Tangan Ilyas mengacak-acak rambutku, tersenyum tenang. Wajah itu menentramkan.
"Berhenti melakukannya, aku bukan anak kecil lagi" Tanganku menurunkan tangan Ilyas dikepalaku. Apakah aku anak kecil? Ayolah umurku saja sudah dua puluh dua tahun, aku sudah dewasa. Seperti biasa Ilyas mampu menghadirkan ketenangan, bahkan aku bisa merasakannya. Kurasa bukan aku saja, siapapun yang bersama dengannya akan merasakan hal serupa. Itulah mengapa mungkin nenek menaruh harap banyak pada Ilyas. Apa rasa sayangku akan mekar lagi? Tidak, aku sudah benci. Apa yang ku alami sudah cukup menjelaskan betapa aku ingin menghabisinya.
"Bagiku kamu masih seperti anak kecil, kamu masih harus dibimbing. Tapi aku serius, kamu adalah cahaya dirumah ini, sama seperti Lili. Aku tidak tahu kalau tidak ada kalian, aku akan seperti apa. Kalian adalah mutiara untukku" Sungguh perkataan Ilyas lembut masuk kedalam hati. Aku terdiam. Ilyas memerhatikan sekitar kembali. Matanya melihat satu persatu isi kamarku. Rak buku, lukisan, dinding berwarna abu, langit-langit kamar.
"Aku sungguh merindukanmu Fatih, sudah lama kita tak berjumpa" Ilyas masih tersenyum. Aku? Entahlah, perasaanku sakit, sempurna seperti ditikam benda tajam.
"Sebenarnya aku kecewa, karena tak berhasil mewujudkan keinginanku. Mati, ternyata aku masih belum mati, masih menjejak bumi, menjejak jalan yang kubenci. Sebenarnya aku takut, takut kalau aku tetap tidak bisa memenuhi keinginan nenek. Takut kalau aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Fatih, sebenarnya aku berharap, aku tak pernah bangun. Rasanya sangat menyesakkan bila mengingat betapa aku tak mampu mengatasi diriku sendiri. Bahkan ketika aku terjun pun betapa sangat menakutkannya itu. Tapi itu pilihanku agar semuanya selesai, agar diri ini tak lagi menghadapi tekanan" Ilyas meratap, matanya sendu kembali. Ternyata situasi pun tak berubah, masih sama seperti dulu. Kukira Ilyas melupakannya, kukira ia akan menerangi keluarga dengan kelembutannya atau apalah dengan peringainya. Aku menyeringai terluka.
"Ternyata kamu masih sama seperti dulu. Berpura-pura bahagia, berpura-pura menjadi kebanggaan nenek. Masih tak berani bicara jujur, sungguh munafik" Aku menjawab sinis. Ilyas memerhatikanku. Wajahnya resah.
"Fatih...." Nada suara Ilyas lemah.
"Sampaikan kepada nenek apa keinginanmu, jangan ungkapkan padaku. Seharusnya kamu bicara pada nenek, kalau kamu ingin mati. Semua yang tersimpan dalam dirimu, utarakan kepada nenek, bukan kepadaku! Sungguh Ilyas, kamu tidak pernah tahu apa yang kurasakan, tidak tahu bahwa aku menanggung kebencian teramat dalam, karena keluarga mengerikan ini. Kamu mengatakannya begitu mudah, karena kamu dan Lili adalah cintanya nenek, pelipur lara nenek. Kamu merasakan bagaimana disayangi, diberikan kesejahteraan oleh keluarga" Entah bagaimana aku mulai tak terkendali lagi. Meluapkan emosiku lagi. Ilyas diam.
"Bahkan kejadian beberapa tahun silam, aku ingin sekali melupakannya. Tapi setiap kali berkelindan, sungguh menyakitkan. Aku telah merasakan kebencian orang-orang kepadaku, kebencian nenek kepadaku amat dalam. Karena orang tercintanya memutuskan mengakhiri hidupnya, membunuh dirinya sendiri, tanpa tahu sebab mengapa kamu memutuskan melakukan itu. Karena kamu amat dicintai, nenek sungguh terpukul dengan apa yang menimpamu, tapi semuanya disalahkan kepadaku, semua yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku" Aku menatap terluka kearah Ilyas. Meraba dada, mencengkramnya kuat-kuat. Lihatlah mataku akan berair lagi, aku sedu-sedan lagi. Mata bergetar. Ilyas masih menatapku.
"Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Bahkan sekarang kamu kembali, nenek tidak akan berbaik hati padaku, tidak akan melihatku sebagai orang tercintanya, tidak akan memberikan cintanya kepadaku. Sejak kejadian kamu memutuskan untuk membunuh dirimu, nenek telah menaruh benci berkali lipat kepadaku. Sungguh Ilyas kamu tidak akan pernah tahu betapa menyakitkannya melewati semua itu, betapa terlukanya aku. Nenek tidak pernah mencintaiku, perlakuannya sama seperti perlakuannya kepada ayah dan ibu. Kadang aku berpikir keluarga ini sungguh gila, berkehendak semaunya, tanpa peduli bagaimana orang-orang disekitarnya, bagaimana perasaan orang-orang disekelilingnya. Sungguh Ilyas perih sekali, menyalahkan hal yang tidak pernah kulakukan, tapi mereka menyematkan hal itu kepadaku" Aku menatap dalam, terisak. Mata berkaca-kaca, bergetar.
"Nenek menganggapku orang yang telah membunuhmu dan aku harus segera disingkirkan. Semua cercaan yang kuterima melewati beberapa tahun, melewati masa-masa sulit. Dan kebencian nenek semakin menimbun. Nenek tidak pernah mengharapkanku, padahal aku ingin sekali dicintai, disayangi, dianggap berarti. Tapi kamu dan Lili adalah nomor satu dihatinya, tidak seperti aku, ayah dan ibu. Kami tidak akan pernah bisa memasuki hatinya, sungguh Ilyas kalau bisa mengulang segalanya, lebih baik jika aku bukan dari keluarga ini" Sedu-sedan terdengar, sempurna menangis.
"Tidak, jangan berkata demikian, kamu dicintai dikeluarga ini. Aku dan Lili mencintaimu, memperdulikanmu, kami tak ingin kehilanganmu. Kami sungguh mencintaimu, maaf kalau semua yang kamu alami disebabkan olehku, aku tak ingin kamu pergi. Kamu dan Lili adalah cahaya bagiku" Suaranya meyakinkan.
"Fatih, sudah cukup kami kehilangan ibu dan ayah. Kami tak ingin kehilanganmu, aku tidak tahu apa yang telah dilewati olehmu, tapi bolehkah untuk tetap bersama kami? Andai Tuhan mengizinkanku memutar waktu aku tak akan membiarkan ayah dan ibu mati, aku akan mencegah ayah dan ibu pergi. Aku akan bilang kepada mereka, aku mencintai mereka. Biar kita pergi kemanapun, asal keluarga kita bahagia" Ilyas berkata cepat-cepat. Raut wajahnya gelisah, aku menatap sendu.
"Jangan mengatakan hal yang tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meninggalkan rumah ini. Berhentilah membual, jangan memberikan harapan yang tidak bisa kamu wujudkan. Kalau aku meminta pergi hari ini, apa kamu bisa melakukannya? Bawa aku dan Lili kemana saja, kamu bisa?" Ilyas membatu, kebingungan.
"Lihatlah, kamu tidak bisa melakukannya. Sudahlah Ilyas, istirahatlah, nenek tidak akan suka kamu berada disini, aku juga ingin istirahat. Pergilah, aku yakin nenek menunggumu, masih merindukanmu" Aku beranjak mendorong tubuh Ilyas keluar pelan-pelan. Setelah itu menutup pintu. Ilyas terdiam beberapa menit, lalu melangkah menuruni tangga, duduk disamping nenek. Nenek tersenyum, membelai rambut pendek Ilyas lalu Mengecup keningnya.
"Istirahatlah nak, aku yakin kamu lelah. Meski aku masih merindukanmu, tapi aku tak tega melihatmu. Istirahatlah, rebahkan badanmu. Nanti-nanti kita akan berbincang lagi. Hari ini sungguh indah, melihatmu didepan mataku, sungguh kerindukanku masih membuncah, tapi aku tahu kamu lelah. Aku juga akan istirahat" Nenek lembut mengusap telapak tangan Ilyas, lalu beranjak ke kamar. Setelah nenek sempurna hilang dari pandangan, Lili melirik Ilyas. Mendekat, sekilas melirik kamarku, lalu kembali melirik Ilyas lagi.
"Kamu kenapa?" Lili membuka suara, Ilyas menggeleng.
"Bagaimana Fatih? Apa yang kamu bicarakan dengannya?" Lili penasaran.
"Entahlah, masih perlu banyak waktu untuk berbicara dengannya. Untuk sekarang dia tak ingin bicara denganku. Biarlah, biarlah dia sendiri dulu" Ilyas redup. Lihatlah meski Ilyas sudah ada dirumah ini, rumah masih sepi. Lengang. Ilyas menatap langit-langit ruangan. Lili berdehem.
"Aku mengerti kenapa Fatih demikian. Nenek selalu membencinya, dia sudah dikurung dirumah ini sejak kejadian kamu terjun membunuh dirimu. Fatih selalu disalahkan atas kejadian beberapa tahun silam. Bahkan dia tak dibolehkan keluar rumah. Paling keluar kamar pun sekedar mengambil makanan dan minuman. Sudah lama sekali Fatih tak berbincang dengan nenek. Karena menurut nenek apa yang menimpamu adalah kesalahan Fatih. Jujur sebenarnya aku mendengar perbincanganmu dan Fatih di rooftop kampus. Mendengar bagaimana kamu saat itu begitu letih, lelah. Aku mendengarnya. Saat kamu memilih terjun, aku juga ada disana, dibalik dinding. Ilyas hari itu juga aku ingin mencegahmu melakukan bunuh diri, tapi kamu terlanjur melakukannya. Dan Fatih, sungguh terkejut, dia bergetar, ketakutan. Entahlah seperti apa perasaannya saat itu. Tapi aku tahu semenjak itu dia lebih tertutup, tidak berbicara kepadaku. Banyak diam dikamar, bahkan nenek membencinya sejak kejadian itu. Jadi aku sedikit mengerti perasaan Fatih saat ini" Lili menerangkan, tatapannya lemah. Ilyas memasang wajah tak percaya, pandangannya beralih ke kamarku, menatap prihatin. Ilyas menghela nafas.
Waktu cepat berlalu, sudah malam lagi. Aku melangkah menuruni tangga, mengambil makanan dan minum. Ilyas menatap kearahku. Aku mengabaikannya. Berjalan lagi kekamar, tapi baru saja setengah anak tangga, Ilyas sudah menghentikan langkahku.
"Bisakah kita bicara?" Kali ini Ilyas menatap serius. Aku menoleh.
"Tidak bisa, aku lelah" jawabku sekenanya.
"Aku mohon padamu, bicaralah denganku diluar. Kalau disini aku tahu kamu tidak akan suka, ada nenek" Lanjut Ilyas meyakinkan. Aku tak bergeming. Sepi.
"Aku ingin bicara denganmu, kita keluar. Sekalian jalan-jalan menghirup udara. Kamu suka keluar kan? Sudah lama juga aku tak berjalan-jalan. Kalau nenek marah, aku yang akan bertanggung jawab" Ilyas memohon. Aku hanya melangkah keluar, tidak memberi jawaban. Ilyas mengikutiku dari belakang. Tersenyum tenang, layaknya seorang kakak yang berhasil membujuk adiknya.
Malam terasa dingin, anginnya menusuk kulit. Aku dan Ilyas berjalan bersisian. Lihatlah waktu-waktu ini adalah jam tidur, amat lengang. Meski lampu-lampu kota menyala indah, tapi sepi. Tidak seperti kemarin-kemarin saat aku bersama Lili sangat ramai. Meski hari ini pun mobil melintas satu sama lain di jalanan meramaikan jalan, tapi tidak ada orang-orang yang berjalan kaki, tidak ada orang-orang yang berbincang, tidak ada orang-orang yang bertegur sapa, mengumbar senyum. Tidak ada sama sekali. Hari ini sunyi. Tapi ada yang sama, bintang-gemintang menghiasi langit bersama purnama yang tegak, amat memesona. Lampu-lampu gedung menyala, kerlap-kerlipnya memanjakan mata. Malam ini aku dan Ilyas berada diatas jembatan. Sangat sepi, hanya ada kami berdua. Angin mengibas-ngibas rambut hitam pendek kami.
"Maaf Fatih, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mendengar semua kisahmu dari Lili. Kamu mengalami kesulitan selama ini, sungguh Fatih aku tidak bermaksud menyulitkanmu. Aku membunuh diriku saat itu, agar semuanya berakhir. Siapa sangka, nenek akan membencimu begitu dalam, mengurungmu dirumah. Kukira dengan aku terjun, semua telah usai seperti ayah dan ibu" Ilyas redup. Aku diam, meski menyakitkan mengingat itu. Tapi aku sudah lelah.
"Fatih, aku dan Lili mencintaimu. Sungguh mencintaimu, kamu adalah hal berharga yang kami miliki. Meski aku tahu kamu sudah membenci keluarga ini, tapi aku dan Lili akan selalu mencintaimu, menyayangimu" suaranya getir.
"Kamu membawaku kesini hanya untuk membahas ini? Memperlihatkan betapa kamu begitu menyedihkan? Agar aku merasa empati kepadamu, dan akhirnya aku luluh? Wahh... lihatlah, kamu sudah pandai menggunakan wajahmu, pandai menggunakan tubuhmu agar aku merasa bersalah dan kasihan kepadamu" Aku tertawa getir, menyeringai terluka. Entah bagaimana kejadian-kejadian menyakitkan itu kembali hadir dibenakku. Aku memegang dada, mencengkram kuat-kuat.
"Tidak Ilyas, kalian sangat mengerikan. Cinta keluarga itu tidak ada bagiku. Itu hanya berlaku padamu dan Lili, tidak kepadaku. Menyesakkan sekali ketika aku disalahkan atas hal yang tidak pernah aku lakukan. Semua yang kamu katakan itu bohong, kalau aku adalah hal berharga seperti yang kamu katakan, seharusnya ketika aku mencegahmu melakukan bunuh diri, kamu menurutinya. Tapi kamu tidak melakukannya, karena kamu lebih peduli dirimu sendiri. Tidak kepadaku yang katanya adalah hal berharga" Lihatlah mataku akan berair lagi. Berkaca-kaca. Ilyas menatap prihatin. Aku lemas. Ilyas menggeleng-geleng, berkaca-kaca.
"Sudahlah Ilyas, jangan membuatku semakin membencimu. Cinta keluarga ini tidak akan pernah tumbuh dihatiku lagi. Kita pulang, nenek akan mencarimu" Malam ini pembicaraan kami hanya itu. Menyisakan sesak. Tidak ada akhir yang membahagiakan diantara perbincangan akhir kami. Kami memutuskan pulang. Ilyas menatap punggungku dari belakang, memerhatikan gerak-gerikku. Sungguh hari ini kami diselimuti kesenduan. Daun-daun meliuk-liuk diantara pohon-pohon rindang. Kami melangkah masuk rumah. Ilyas masih memerhatikanku yang melanjutkan langkah ke ruang makan mengambil makanan dan minuman, lalu aku berjalan lagi ke kamarku sempurna menutup pintu. Tidak ada kata-kata mutiara, tidak ada kata-kata penenang. Malam yang sepi.
****
Pagi menyambut indah, tidak seperti biasanya, kali ini pagi-pagi sekali Ilyas sudah mengetuk pintuku. Tuk....tuk...tuk....Aku yang masih terlelap tentu saja merasa terganggu. Merekatkan bantal ke kedua telingaku. Sial, aku tak bisa tenang. Ilyas dengan wajah ceria antusias membangunkanku, Lili hanya tersenyum. Kepala mendongak melihat Ilyas. Nenek? Seperti biasa dia tidak suka. Terlihat dari raut wajah. Kepalaku membolak-balik ke kiri ke kanan, berharap suara berisik itu hilang. Sampai akhirnya aku menyerah, melangkah gontai, membuka pintu. Lihatlah, Ilyas sudah tersenyum riang, aku memasang wajah suntuk.
"Ayo sarapan, kita makan bersama" Ilyas begitu riang, aku menolak, menggeleng malas. Tapi tanganku sudah ditarik menuruni anak tangga, melangkah ke ruang makan, duduk disamping Ilyas. Muka nenek musam, tapi Ilyas tidak peduli. Aku? Entahlah, menunduk, melihat piring dan sendok. Lili menuangkan nasi dan lauk-pauk ke piringku, sama riangnya dengan Ilyas. Aku membiarkannya. Ini kali pertamanya lagi aku duduk bersama keluarga ini, setelah beberapa tahun. Meski Susana terlihat kikuk. Senyap. Yang akhirnya nenek memaksakan senyum, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, tidak peduli padaku. Nenek beranjak, tangannya cekatan melakukan apa yang seperti Lili lakukan kepadaku. Menyendok nasi dan lauk-pauk ke Lili, ke Ilyas. Nenek amat pandai menyembunyikan kemarahan, lihatlah wajahnya amat tenang, tersenyum merekah kearah Lili dan Ilyas bergantian. Aku? Tertunduk datar. Nenek, Lili, Ilyas berbincang, menceritakan tentang keadaan kakak pertamaku ini, membicarakan bagaimana waktu Lili dan nenek tak henti menjenguk, menceritakan betapa amat sedih melihat Ilyas terkapar dirumah sakit. Menjelaskan bagaimana wajah pias nenek, kekhawatiran Lili. Aku? Diam saja, makan tenang, datar-datar saja. Biarlah mereka puas dengan obrolan paginya, membuncahkan cinta mereka yang terbenam selama beberapa tahun ini.
"Sungguh Ilyas, kamu adalah keajaiban bagi kami. Kamu adalah tanda kebaikan Tuhan kepada kami bahwa memang rahmatNya tak pernah putus, selalu mengiringi kami. Teramat baik" Nenek akan berair lagi. Satu denting airmata akan tumpah lagi. Pagi yang cerah, meski terlihat kaku, terlihat ganjil. Lili melirikku. Makananku separuh habis, bahkan aku hampir menyelesaikan makananku. Lili memerhatikanku, Ilyas? Matanya fokus kepada nenek, memberikan senyum terbaiknya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah di dirinya, menunjukkan ia adalah kebanggaan nenek. Aku membencinya, dia berpura-pura lagi. Makananku kali ini sudah habis, beranjak ke pencucian piring, menyimpannya. Melangkah ke tangga, ke kamarku. Ilyas menoleh kearahku, memerhatikan.
"Sudah selesai?" Ilyas basa-basi.
"Sudah selesai" Aku sinis, melangkah tanpa berbalik badan. Ilyas mendesah, lalu menatap wajah nenek tersenyum tenang, meski dipaksakan. Nenek mengacak-acak rambut Ilyas pelan, tersenyum. Aku terduduk diranjang, mengedar ke langit-langit kamar, lalu menatap lurus lagi. Sepi ini mengajakku berkelana ke beberapa tahun silam, mengukir lagi kejadian mengerikan itu. Itu hal yang paling menakutkan. Lihatlah tubuhku bereaksi ketakutan, aku tegang. Mulai tersengal, tak terkendali. Aku menepuk-nepuk dada, berusaha mengusir sesak nafas. Sial, terjadi lagi. Bayangan Ilyas terjun, suara berisik orang-orang, suara jeritan, bagaimana cara nenek memandangku saat itu sempurna menghantam jantung. Semakin tersengal, terjadi selama beberapa menit. Aku kembali tenang.
Seperti biasa, malam selalu memberikan nuansa yang berbeda. Kali ini aku memberanikan diri keluar. Aku melangkah keluar kamar, melewati ruang keluarga. Ada Lili dan Ilyas diruang keluarga. Nenek? Dia sudah tidur di jam-jam seperti ini. Aku tak pedulikan mereka, berjalan melewati halaman. Aku sudah di luar. Malam ini mencekam, suara-suara mobil beradu. Cahayanya menyatu, menyeruak, mempercantik jalan. Lampu bundar di sisi aspal berdiri tegak, formasi lampu-lampu gedung, mol, lampu-lampu jalan berpadu menyinari kota. Lihatlah bumi ini indah. Tapi tak cukup membaluri ketenangan dihatiku, tak mampu mengusir sendu dalam batin. Aku redup, mata mengedar memerhatikan sekitar. Sepi membalut hatiku. Aku datang ke jembatan kemarin bersama Ilyas. Tapi kali ini aku sendiri, menatap lenskep kota diketinggian, sungguh indah. Memesona. Siapa yang tidak terhipnotis, melihat kerlap-kerlip lampu, rumah-rumah penduduk berjajar rapih, bangunan-bangunan kota tinggi dan pendek memadati diantaranya. Sungguh menawan. Aku tersenyum. Entahlah, bagaimana perasaan ku hari ini. Tapi yang aku tahu, aku selalu sendiri, selalu kesepian. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada yang berubah. Aku memejam mata, merasakan angin menerpa wajah. Mengibas-ngibas rambut hitamku. Meneteskan airmata lagi, sesenggukan terdengar. Biarlah aku menangis lagi, biarlah aku merasa lapang. Semesta membawaku ke kejadian beberapa tahun silam, membawa sulaman kesedihan, membuatku redup. Memori-memori yang ingin aku lupakan, mengikatku. Aku membuka mata, lalu kakiku naik keatas penyangga jembatan, menatap kebawah jembatan beberapa detik, lalu kedua tangan direntangkan, menatap lurus. Biarlah aku mengabulkan keinginan nenek, biarlah aku menghilang dari bumi. Aku ingin tenang. Semesta berbisik lewat angin yang berhembus amat menenangkan. Mengaliri hatiku ketenangan. Aku memejam mata. Dalam beberapa detik tubuhku sudah melayang bersama angin.
"Fatih!!!!!" Lili dan Ilyas berteriak histeris, berlari kearahku yang sudah terhempas. Tanpa kuketahui ilyas dan Lili ternyata mengikutiku dari belakang. Lihatlah, wajah mereka cemas, memerhatikan bawah jembatan.
****
Aku membuka mata, tubuhku sakit semua. Terbaring lemah dirumah sakit. Lihatlah aku tak berdaya, mata, remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Lili, Ilyas dan nenek tepat disampingku. Menatap penuh khawatir. Mata mengedar ke seluruh ruangan. Ruangan serba putih, dulu Ilyas yang berada disini dengan berbagai ketegangan. Dengan berbagai alat rumah sakit yang berada ditubuhnya. Sekarang giliranku, aku mendesah. Aku tidak tahu bahwa kejadian malam itu, Ilyas bertengkar hebat dengan nenek. Telah menuntaskan segala kesalahpahaman yang terjadi antara kami sekeluarga, meski tidak tahu apa persisnya. Aku menatap ketiganya bergantian, lalu melihat tubuhku, melihat tanganku. Ternyata aku belum mati. Tapi ada yang berbeda dari tatapan nenek, ia redup tapi bukan seperti yang selama ini kulihat, ada yang berbeda. Entahlah apa ini hanya perasaanku atau memang nenek sudah berubah? Tidak mungkin, nenek lebih mencintai Ilyas dan Lili. Aku siapa? Berani mengharapkan cinta.
"Syukurlah kamu baik-baik saja" Celoteh Lili. Disusul Ilyas memberi ekspresi khawatir, nenek hanya melihatku. aku menatap nenek, memerhatikan lamat-lamat. Meski ada yang berbeda dari tatapan biasanya, kesimpulanku adalah apa yang kulihat dari gerak-gerik nenek hanya perasaanku saja. Tidak mungkin rasa sayang itu tumbuh dihati nenek. Aku tidak mungkin bisa menembusnya, aku adalah manusia yang paling dibenci nenek.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku berkata pelan, menatap lurus. Tanpa perlu panjang lebar Ilyas mengerti maksudku. Mereka beranjak keluar. Nenek menatapku sebentar. Sungguh ada apa dengan nenek hari ini? Mereka bertiga meninggalkan ruangan, aku menatap kepergian mereka, mataku berkaca-kaca. Setelah benar hilang, aku menatap langit-langit kamar.
"Maafkan nenek Fatih" Suara nenek pelan. Nenek terduduk dikursi tunggu, mengingat pertengkarannya dengan Ilyas. Terpekur.
Flash back.
"Nek, Fatih dirumah sakit nek, aku dan Lili sudah dirumah sakit" Ilyas panik. Wajahnya resah. Lili juga sama cemasnya. Mondar-mandir di depan ruangan berwarna putih itu. Dokter-dokter sedang menanganiku. Setelah menerima telpon Ilyas, nenek bergegas kerumah sakit. Mobil yang ditumpangi nenek menjejak jalan, menyalip beberapa mobil didepan. Tak peduli omongan kesal orang-orang karena diserobot, mobil nenek melaju cepat, tak peduli bunyi klakson yang seolah memprotes. Setelah sampai ditempat tujuan, mobil terparkir di pelataran parkir, nenek melangkah cepat-cepat melewati beberapa orang yang sama sibuk mondar-mandir, sama cemasnya, sama khawatirnya. Lihatlah begitu melihat Lili dan Ilyas, nenek langsung menghambur memeluk mereka berdua, lalu menatap pintu ruanganku yang tertutup.
"Bagaimana keadaannya? Apa yang sebenarnya terjadi?" Nenek bertanya pelan, setelah memeluk beberapa menit.
"Kami tidak tahu" Lili tersungkur. Ilyas menatap pintu ruangan, harap-harap cemas.
"Aku sungguh takut akan seperti ayah dan ibu. Bagaimana kalau dia mati?" Ilyas menatap nenek linglung. Mata bergetar. Nenek terdiam
"Bukankah ini dejavu? Kita pernah mengalami ini, aku pun pernah mengalami ini" Suara Lili patah-patah, tersedu-sedu menatap nenek. Nenek bergetar.
"Lihatlah, kita mengulang lagi hal serupa. Nenek, aku tahu kamu membenci Fatih, menyalahkan Fatih atas apa yang terjadi kepadaku. Tapi sungguh itu bukan kesalahannya" Ilyas menjelaskan dengan sedu-sedan.
"Sungguh nenek, semua bukan kesalahan Fatih. Aku yang memilih membunuh diriku, aku mencelakai diriku, karena aku merasa tertekan, tak bisa memenuhi keinginan nenek, tak memenuhi syarat kebanggaan nenek. Setiap hari dipenuhi keresahan, kekhawatiran. Takut Kalau semua yang kulakukan bukan standar keinginan nenek. Aku membunuh diriku, karena aku sudah lelah, kalau ingin menyalahkan, salahkan aku, karena aku begitu pengecut, tidak berani. Jujur aku terbebani, makanya waktu itu aku memutuskan membunuh diriku. Setiap hari mengeluh, setiap hari pula aku ketakutan" Ilyas penuh resah, nenek hanya menangis.
"Sungguh nenek, kami mencintaimu. Ayah, ibu, aku, Fatih, Lili mencintaimu, teramat mencintaimu, tapi kesalahanku adalah tidak mengungkap keinginanku yang sebenarnya. Aku membohongimu" Ilyas semakin tak tertahan. Nenek diam, terisak. Lili menunduk.
"Fatih teramat mencintaimu, mungkin cintanya lebih besar dariku dan Lili. Tapi kamu membencinya begitu dalam, karena kesalah-pahaman yang terjadi. Aku mohon nek, biarkan kami bebas, biarkan kami memilih apa yang kami mau. Aku tak ingin kejadian yang menimpa ayah dan ibu terulang kembali" Suara Ilyas lemah.
Nenek menangis kecil mengingat itu, mengingat kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas, juga yang menimpa ayah dan ibu. Sedu-sedan nenek terdengar diantara riuhnya orang-orang yang berada dirumah sakit. Beranjak, mendekati pintu ruanganku. Melihatku yang terpekur. Kali ini nenek benar-benar menyesal.
End.
@menyapamakna1
3 notes · View notes
pyralien · 3 months ago
Text
How Do We Say Goodbye
Aku menolak mendengarkan full version dari lagu Gala Bunga Matahari yang sedang viral belakangan ini. Melodi lagu ini rasanya nggak cocok sama telingaku. Entah kenapa sebagian lagunya Sal Priadi bisa jadi lagu kesukaanku tetapi sebagian lagi bahkan nggak ingin aku dengarkan untuk kali kedua.
Tapi sejujurnya, alasan utamaku adalah ketakutan terbesarku yaitu ditinggal meninggal oleh orang-orang yang aku sayang. Aku sedang nggak ingin mendengarkan lagu itu sambil membayangkan bagaimana jika si dia dan si dia meninggal.
Apalagi belakangan mama sering sakit. Sangat sering, mungkin dalam satu bulan akan ada waktu dua sampai tiga hari mama sakit hingga kesulitan untuk bangun dari tempat tidur. Dan, aku si anak sulung ini bahkan nggak tau harus berlaku seperti apa.
Aku pernah menyesal bertahun-tahun karena nggak mau menerima permintaan eyangku untuk memijit kakinya sebelum beliau meninggal. Bukan apa, aku hanya malu saat itu. Sejujurnya aku takut kejadian itu terjadi lagi—aku nggak sempat merawat mama saat sakit sebelum ia meninggal.
Namun semesta sepertinya mengkhianati usahaku untuk tidak mendengar lagu itu. Iya, lagunya nggak lewat kok, tapi yang lewat lagu lain yang...ya sama aja.
Lagu ini lewat dan aku malah membaca liriknya dengan cermat. Sialnya saat itu aku dan mama sedang berantem dan kami saling mendiamkan satu sama lain. Hal ini sangat sangat sangat jarang terjadi. Dan sialnya lagi, mama tiba-tiba sakit saat aku sedang tidak ingin berinteraksi dengannya.
I fear the worst, but how could you leave us all behind?
There's so much to say but there's so little time
So how do I say goodbye
To someone who's been with me for my whole damn life?
You gave me my name and the color of your eyes
Aku pernah bilang kalau orang yang paling aku takutkan kematiannya adalah Aliya, adikku. Aku sangat dekat dengannya, dia tahu hari baik dan burukku. Saat itu aku bilang kalau aku mungkin bisa hidup tanpa orang tuaku karena gap usia kami jauh dan kemungkinan besar mereka akan mendahuluiku. Tapi aliya? Kami hanya terpaut 2,5 tahun dan dia adalah diary berjalanku.
Namun, setelah mendengar lagu itu, aku jadi sedikit memikirkan ulang, apa mampu aku mengucapkan selamat tinggal di depan liang lahat orang tuaku kelak?
Kemarin aku keras kepala untuk nggak mengucapkan kata maaf duluan. Aku mau kata maaf keluar dari mulut mamaku sesekali. Tapi mendengar lagu itu dan melihat mamaku sakit, aku takut akan menyesal kemudian.
Setelah itu aku masih nggak mau minta maaf sih (haha, gengsi). Hingga kemudian semalam mantan pacarku bilang mamanya masuk rumah sakit karna demam. Kami sama-sama berpikir bahwa mungkin demam berdarah atau tipes. Namun kemudian kondisi berubah buruk dalam waktu cepat. Pagi ini mamanya sudah berpulang.
Aku langsung memesan tiket kereta. Jadwalnya jam 7 pagi. Kemudian menangis kecil di kursi kereta untuk mamanya, dan juga untuk mamaku.
Mengucapkan selamat tinggal untuk seseorang yang memberiku nama, memiliki kepribadian yang mirip denganku, dan membuatku memiliki warna mata coklat yang berbeda antara mata kanan dan mata kiri ini nampaknya nggak akan mudah.
2 notes · View notes
duamusim · 1 month ago
Text
Trauma
Minggu, 22 Sep 2024.
Aku datang ke rumah dr. Mul. Awalnya sekedar memberi salam dan mengucapkan terima kasih. Aku bimbang. Bertanya Mba Ita apakah aku boleh menceritakan apa adanya ke dr. Mul? Mba Ita mengiyakan.
"Ngga apa-apa. Sudah waktunya Zah"
Aku bercerita dari habis maghrib hingga jam 10 malam. Energiku tersedot. Yang awalnya aku duduk di meja makan jadi merasa lemas. Mataku terpejam. Bibirku meracau. Jadinya aku ngomong sambil rebahan di ruang keluarga. Di atas kasur di depan televisi.
Jam 8 malam Mba Ita menyiapkan makan malam. Memintaku untuk makan. Aku enggan. Mba Ita, dengan sabar menata makan malam lesehan. Menggelar tikar di serambi belakang. Menyediakan bantal untuk aku bisa bersandar.
"Ayolah Zah....."
Tangan Mba Ita terulur. Aku bimbang dan akhirnya mengiyakan. Setengah sadar menyeret kakiku. Yah. Lagi lagi aku makan sambil bersandar. Enak. Aneh. Lidahku masih merasakan ayam goreng lengkuas Mba Ita enak. Tapi aku tidak sanggup duduk terlalu lama. Setelah makan, aku kembali lunglai lagi. Tergeletak layu. Di serambi belakang. Mba Ita membereskan peralatan makan. Menatapku prihatin. Membiarkanku demikian. Dr. Mul menghampiri. Duduk diatas kursi di depanku. Yang terkapar menyedihkan. Nyaris 2 jam dr. Mul mengajakku bicara. Kesadaranku timbul tenggelam. Energiku semakin habis.
"Dok, tanganku sakit. Badanku sakit"
"Karena kamu tegang. Rileks ya"
Aku menghela napas.
Tapi lama lama tenagaku pulih. Aku bisa duduk. Berbincang dengan lebih santai. Otot ototku yang tegang menjadi rileks.
Hujan turun tiba-tiba.
"Tidur sini saja Zah. Sama Mba Ita di kamar depan..."
"Tapi..."
"Aku yang minta. Sudah malam dan hujan"
Aku tidak bisa menolak.
_____________
Sembari menunggu Mba Ita di dapur bersama dr. Mul aku rebahan di kasur depan televisi. Bermain handphone. Semuanya begitu cepat. Aku tidak ingat. Aku hanya ingat aku berteriak.
Ketika aku membuka mata terlihat dr. Mul duduk di hadapanku. Memegangiku bersama Mba Ita. Mereka tampak khawatir.
Apa yang terjadi?
Perlahan Mba Ita membimbingku masuk kamar. Rebahan di kasur. Aku berusaha memejamkan mata. Mba Ita di sebelahku. Aku tenang dan merasa mengantuk. Lalu aku tertidur.
_________
Jam 3.30 aku terbangun. Duduk pelan. Keluar kamar dengan berjingkat. Mba Ita masih tertidur sambil memeluk anak anaknya. Aku sholat tahajud di sisa malam sambil menunggu waktu subuh. Aku merasa segar. Lanjut sholat subuh.
Mba Ita terbangun lantas tersenyum di sisa kantuknya.
____________
"Bisa tidur Zah?"
"Uhm"
"Kamu butuh suasana "
Kata dr Mul pagi itu.
"Yeah"
Mba Ita menyapaku.
"Semalam bagaimana mba?"
"Tidak ingat?"
"Tidak"
"Kamu tidur sambil menendang sepeda Safa lalu berteriak histeris. Mas Mul datang. Dan kamu seperti orang pingsan."
Aku tertegun. Ingatanku samar.
"Lalu?"
"Lalu kamu terbangun dalam keadaan bingung. Ketika tidurpun sepanjang malam kamu gelisah"
Aku diam.
"Zah. Ruqyah ya" Mba Ita menatap mataku lembut
Aku mendongak. Apa sudah saatnya?
1 note · View note
Text
WA 0811-3791-1115, Distributor Kursi Kerja Sandaran Sedang Jakarta
Tumblr media
Distributor Kursi Kerja Sandaran Sedang Jakarta
WA 0811-3791-1115, PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan Meja Kantor Kursi Hadap, Kursi Kantor Jaring, Harga Kursi Kantor Jaring, Kursi Kantor Kuat, Kursi Kantor Yang Kuat
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Distributor Kursi Kantor Sandaran Tinggi Jakarta
Kami juga Distributor Kursi Kantor Jakarta , Distributor Kursi Kerja Kantor Jakarta , Distributor Kursi Kerja Jakarta , Distributor Kursi Kerja Minimalis Jakarta , Distributor Kursi Komputer Jakarta , Distributor Kursi Kerja Ergonomis Jakarta , Distributor Kursi Kerja Putar Jakarta , Distributor Kursi Kerja Staff Jakarta , Distributor Kursi Kantor Biasa Jakarta , Distributor Kursi Kantor Murah Jakarta
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT Cahaya Mustika Indonesia.
Kursi Kantor Jakarta
PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
Kursi Kantor Untuk Staff
Kursi Direktur
Lemari Arsip
Filling Cabinet
Meja Kerja
Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
Ada diskon menarik untuk customer
Bisa kirim ke suluruh Indonesia
Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
Bisa order melalui E-Katalog
Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
Bisa order melalui marketplace sekolah
Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT Cahaya Mustika Indonesia dan dapatkan semua benefitnya
PT CAHAYA MUSTIKA INDONESIA Jl. KH. Moh. Mansyur No. 202H, RT 01/RW 06, Tanah Sereal Kec. Tambora, Kota Jakarta Barat Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11210
TELP/WA 0811-3791-1115
Link WA: https://wa.me/6281137911115 Link Website : https://www.cahayamustikainternesia.com/ Link Maps: https://maps.app.goo.gl/o8wZo1M31dycFjaAA
0 notes
supplierkursikantorjakarta · 8 months ago
Text
WA 0811-3791-1115, Supplier Meja Kursi Kantor Minimalis Jakarta
Tumblr media
Supplier Meja Kursi Kantor Minimalis Jakarta
WA 0811-3791-1115, PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan Kursi Kantor Yang Bagus, Kursi Kantor Yang Enak, Harga Kursi Kantor Yang Bagus, Kursi Kantor Biru, Beli Kursi Kantor
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Supplier Kursi Kantor Minimalis Modern Jakarta
Kami juga Distributor Kursi Kantor Yang Bagus Jakarta, Distributor Kursi Kantor Yang Enak Jakarta, Distributor Kursi Kantor Biru Jakarta, Distributor Kursi Kantor Di Jakarta, Distributor E Katalog Kursi Kantor Jakarta, Distributor Kursi Kantor Garut Jakarta, Distributor Kursi Kantor Hijau Jakarta, Distributor Hidrolik Kursi Kantor Jakarta, Distributor Meja Dan Kursi Kantor 1 Set Jakarta, Distributor Meja Kursi Kantor Jakarta
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT Cahaya Mustika Indonesia.
Kursi Kantor Jakarta
PT Cahaya Mustika Indonesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
Kursi Kantor Untuk Staff
Kursi Direktur
Lemari Arsip
Filling Cabinet
Meja Kerja
Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
Ada diskon menarik untuk customer
Bisa kirim ke suluruh Indonesia
Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
Bisa order melalui E-Katalog
Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
Bisa order melalui marketplace sekolah
Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT Cahaya Mustika Indonesia dan dapatkan semua benefitnya
PT CAHAYA MUSTIKA INDONESIA Jl. KH. Moh. Mansyur No. 202H, RT 01/RW 06, Tanah Sereal Kec. Tambora, Kota Jakarta Barat
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
11210
TELP/WA 0811-3791-1115 Link WA: https://wa.me/6281137911115 Link Website : https://www.cahayamustikainternesia.com/ Link Maps : https://maps.app.goo.gl/o8wZo1M31dycFjaAA
0 notes
Text
WA 0811-3791-1115, Distributor Kursi Kantor Kuat Jakarta Selatan
Tumblr media
Distributor Kursi Kantor Kuat Jakarta Selatan
WA 0811-3791-1115, PT. Cahaya Mustika Internesia menyediakan Kursi Staff, Kursi Staff Kantor, Kursi Staff Roda, Harga 1 Unit Kursi Kantor, Jual Kursi Kantor Jakarta
Kami bisa melayani pengiriman ke Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang dan seluruh Kota di Indonesia
Kami juga Toko Meja Kursi Kantor Minimalis Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kerja Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kerja Nyaman Murah Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Yang Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Naik Turun Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Paling Nyaman Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Roda Jakarta Pusat, Toko Kursi Kantor Roda Murah Jakarta Pusat, Toko Kursi Kerja Roda Jakarta Pusat
WA 0811-3791-1115, Distributor Kursi Kantor Minimalis Modern Jakarta Selatan
Kursi kantor merupakan salah satu furniture penting yang harus ada di kantor guna menunjang pekerjaan. Dengan menggunakan kursi kantor yang nyaman dan ergonomis maka seseorang akan lebih optimal dalam melakukan pekerjaannya. Saat ini kursi kantor terdapat banyak model dan type serta dari sisi harga juga bervariasi mulai dari kursi kantor yang murah sampai dengan kursi kantor yang mahal.
Jika Anda sekarang berada di wilayah JABODETABEK dan sedang mencari kursi kantor maka silahkan langsung saja datang ke kantor pemasaran PT. Cahaya Mustika Internesia. 
PT. Cahaya Mustika Internesia menyediakan berbagai macam kebutuhan furniture kantor seperti:
1. Kursi Kantor Untuk Staff
2. Kursi Direktur
3. Lemari Arsip
4. Filling Cabinet
5. Meja Kerja
6. Mobile File dan lain-lain
Ada beberapa keuntungan jika Anda membeli peralatan kantor di CV Cahaya Mustika
1. Ada diskon menarik untuk customer
2. Bisa kirim ke suluruh Indonesia
3. Produk bermerk dan kualitasnya terjamin
4. Bisa order melalui E-Katalog
5. Bisa order melalui Marketplace umum (Shopee dan Tokopedia)
6. Bisa order melalui Marketplace pemerintahan
7. Bisa order melalui marketplace sekolah
8. Ada produk yang sudah ber-TKDN
Buruan order kursi kantor di PT. Cahaya Mustika Internesia dan dapatkan semua benefitnya
PT. Cahaya Mustika Internesia
Gedung Atria Tower @Sudirman Lt. 23
Jl. Jendral Sudirman Kav. 33A, Karet Tengsin
Tanah Abang, Kota Adm. Jakarta Pusat
DKI Jakarta
10220
TELP/WA 0811-3791-1115
Link WA: https://wa.me/6281137911115
Link Maps Jakarta : https://goo.gl/maps/3f8prS634bgtTNARA
Link Web : https://bit.ly/Link-E-Katalog
0 notes
erzulliee · 2 years ago
Text
Jogja dan Hujan Pertama di Bulan September
Jangan lupa follow Wattpad Erzullie ya :)
Babak 1
Masih ku tatap hujan pertama di bulan September.
"Permisi, Mas," ucap seorang gadis manis dengan rambut sebatas bahu.
"Oh, ya, silakan." Aku memberikan celah untuk gadis itu lewat di depanku.
Ia duduk di tepat di kursi sebelahku, menjadi pendamping perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta.
Sejak kereta api berjalan, tak ada kata yang terucap di antara kami. Aku sibuk menatap hujan di luar jendela, sementara ia sibuk menidurkan diri.
Sejak ia tertidur, muncul keberanian untuk sesekali meliriknya. Takdir memang bajingan. Bisa-bisanya menghadirkan orang asing macam begini. Wajahnya tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik untuk terus dipandang.
Perjalananku kali ini bertujuan untuk membasuh luka dari patahnya hati. Namun, September memang unik. Selain hujan pertama, ia juga menyuguhkan pertemuan pertama.
'Seandainya bisa kenal sama dia.' Batinku. Berharap ia singgah sejenak di beranda takdir.
Waktu terus bergulir. Perlahan kepalanya turun hingga bersandar di bahuku.
'Bajigur!' Batinku. Aku takut degup jantungku yang berdebar kencang ini membangunkannya. 'Woilah! Cepet bangun Mbak. Hatiku geter-geter ini hoy!'
Biarpun begitu, sisi kecil hatiku berharap ia terus begitu. Setidaknya pundak pria ini tidak rapuh seperti hatinya.
Tanpa sadar, terukir senyum tipis di bibirku. Hingga tiba-tiba aku merasakan ada air yang mengalir dari bahu menuju lenganku. Ku tatap si manis ini.
'Si jenius! Ngiler anjay!'
Tiba-tiba mata si jenius in—si manis ini terbuka. Ia terkejut dan langsung mengangkat kepalanya. Ditatapnya iler yang berdusun di bahuku.
"Eh sorry." Dengan panik ia ambil sapu tangan dari kantong jaketnya, lalu membersihkan baju dan lenganku.
Aku tersenyum menatapnya. 'Untung manis!' Batinku. "Enggak apa-apa kok."
"Maaf, maaf, enggak sadar saya."
"Kalo sadar mah bukan tidur, Mbak," balasku dengan bumbu guyon.
Ia tertawa. Lesung pipinya membuat senyumnya semakin manis.
"Mau ke mana, Mas?"
"Jogja. Mbaknya?"
"Sama."
"Mau kuliah?" tanyaku
"Emang masih kelihatan kayak mahasiswi, ya?" Ia berpose menempelkan jarinya yang berbentuk huruf v di bawah dagu.
Aku terkekeh. "Iya," balasku.
"Sempet kuliah di sana, tapi udah lulus tiga tahun lalu. Sekarang mau main aja. Masnya mau ngapain?"
Aku tersenyum membuang muka menatap hujan di luar jendela. "Menghapus luka, Mbak."
"Mirip-mirip deh sama aku. Aku main juga karena mau ngubur pilu."
'Jiahahaha menarik!'
Aku menyodorkan tanganku. "Riki." Ia membalas jabatan tanganku. "Lena," ucapnya.
Lena. Seperti namanya. Aku dibuat terlena dengan parasnya.
Lena bercerita bahwa ia suka ayam geprek di Jogja. Ayam geprek di Jakarta terlalu culun katanya. Selain geprek, ia juga suka pengamen di Jogja. Menurutnya para pengamen ini adalah orang-orang yang mencari panggung jalanan, bukan sekadar mencari uang dan tidak bertanggung jawab dengan telinga pendengarnya. Jogja memang begitu, kaya dengan seniman.
"Kalo kamu, apa yang paling kamu suka dari Jogja?" tanyanya padaku.
"Enggak ada," jawabku
Ia memicing. "Kok?"
"Aku juga kuliah di sana. Sejak lulus, Jogja enggak lagi sama. Keistimewaannya ikut terkubur bersama masa lalu. Tempat yang sama, tapi dengan waktu dan orang yang berbeda."
"Nyesek ya ... terus ngapain ke Jogja kalo gitu? Masih banyak kota lain," ucapnya.
Aku tersenyum. Suasana mendadak hening diselimuti dinginnya kereta malam. "Aku butuh luka yang lebih besar untuk menghapus luka di hatiku saat ini. Aku mulai menyadari, bahwasanya sakit hati terbesar adalah ketika kita cuma diberikan ketidakberdayaan untuk duduk sambil menikmati secangkir nostalgia tanpa dicumbu sua."
Lena tersenyum mendengar ucapan ku. "Wih, kata-katanya."
"Setelah lulus, aku sadar. Hal yang paling mahal itu adalah kehadiran."
"Sepakat," ucap Lena.
Waktu yang tersisa kami gunakan untuk saling mendekatkan diri. Menyenangkan rasanya mengenal orang baru.
"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Bogowonto akan tiba di stasiun akhir Yogyakarta ...."
Hingga tak terasa kami hampir tiba di penghujung perjalanan. Baik aku dan Lena, kami berdiri. Aku mengambilkan tas miliknya yang berada di atas.
"Makasih." Lagi-lagi ia tersenyum padaku.
"Sama-sama," balasku sembari menyematkan senyum balasan.
Kami berjalan ke depan stasiun bersebelahan. Rasanya nyaman, aku tak ingin jauh darinya. Padahal belum ada sepuluh jam kami saling mengenal satu sama lain. Sepertinya Lena sukses meluluhkan hatiku. Aku jatuh cinta.
"Rik, aku duluan, ya. Makasih udah nemenin ngobrol. Semoga lekas sembuh." Lena masuk ke dalam mobil taksi berlogo twitter sambil melambaikan tangannya padaku. Aromanya perlahan pudar dari hidupku.
Tanpa dosa ia pergi begitu saja. Tak meninggalkan jejak barang secuil nomor ponselnya. Di matanya aku hanyalah sebuah selingan takdir.
Lagi. Aku terluka ditikam anganku sendiri. Lena tidak salah. Aku yang salah karena berharap padanya.
Benar kata orang-orang rupanya. September memang identik dengan hujan. Dengan senyum mendung, aku melangkah pergi. Biar ku anggap semua rasa ini hanyalah bunga tidur semalam.
END
18 notes · View notes
juicy-moonrose · 2 years ago
Text
Tumblr media
Chapter [ 4 ]
2022
Rumah Letta
Letta menuruni anak tangga di rumahnya dengan terburu-buru, saat sampai di bawah dia langsung menuju dapur, dan melihat Nando sang adik, duduk di salah satu kursi pantry yang sedang sibuk dengan Laptop di hadapannya.
“Weekend gini masih sibuk sama kerjaan aja.” Gumam Letta saat melirik layar Laptop Nando yang dilayarnya seperti menampilkan bagan perusahaan, entah lah apa itu Letta tidak begitu mengerti.
“Ayah sama Bunda kemana?” Tanya Letta ketika menyadari tidak ada kehadiran kedua Orang Tuanya.
“Bunda lagi ngurusin catering, Ayah biasa habis anter Bunda main golf sama temen-temennya.” Jawab Nando.
“Mau jalan Kak?” Tanya Nando setelah melihat penampilan Letta yang super duper rapih.
“Ho’oh, kayak biasa.” Jawab Letta.
“Ohh, ngedate sama Mas Dylan?” Tanya Nando tersenyum jahil.
“Apa kata lo Dek!” Kata Letta sambil memutar kedua bola matanya, merasa jengah karena orang-orang terdekatnya selalu berkata seperti itu.
“Lo berdua itu sebenernya kayak gimana sih?” Tanya Nando penasaran. Dia jadi mengalihkan perhatiannya ke Letta, satu-satunya makhluk hidup yang paling jahil dan ga mau kalah dengan dirinya. Tapi jangan salah, Nando sangat menyayangi saudara perempuan satu-satunya ini.
“Kayak gimana apanya?” Letta sebenarnya mengerti arah pertanyaan Nando, tapi dia hanya berpura-pura tidak mengerti.
“Kalian udah temenan lama banget, masa ga ada kemajuan dalam status hubungan?” Lanjut Nando.
“Ga ada ya Nan, Gue sama Dylan cuman sahabatan—” Ucapan Letta terpotong oleh tawa dan ucapan Nando.
“Hahaha cewek-cowok sahabatan, ga mungkin salah satu dari kalian ga ada yang punya perasaan lebih dari sahabat. Apalagi kalian sahabatan udah lama banget, berapa tahun?” ucap Nando.
“Lima Tahun” Jawab Letta singkat.
“Nah!! Lima Tahun bukan waktu yang singkat. Gue sama Aira aja yang tadinya temen berantem, sekarang malah jadian.” Lanjutnya. Setelah berkata seperti itu Nando kembali ke kerjaannya dan hanya melirik Letta, melihat perubahan wajah Letta.
“Puas banget bikin Kak Letta mikir, hahaha.” Gumam Nando dalam hati.
Sebenarnya mereka berdua sama-sama jahil, semakin mereka beranjak dewasa, malah Nando yang makin sering menjahili Letta, ya contoh kecilnya seperti tadi.
Sementara itu Letta hanya terdiam dan memikirkan semua ucapan Nando, tidak lama dari itu terdengar suara mobil. Letta pun mengenali suara mobil tersebut dan beranjak dari dapur sekalian menghindari Nando yang seringkali berkata blak-blakan.
Letta pun membuka pintu kayu rumahnya, saat pintu terbuka ,dan terlihat Dylan yang sedang masuk ke pekarangan rumahnya, kemudian berjalan menuju Letta yang tiba-tiba berdiri terpaku di teras rumahnya.
***
Letta Pov. Start
“Huh Nando ngomong apa sih?” gumam Gue dalam hati.
“Tapi omongan tuh anak ada benernya juga sih. Sial! Gue jadi kepikiran!” Lanjut Gue.
Gue melihat benda cantik yang melingkar di pergelangan tangan Gue, gelang pemberian Dylan. Entah ini barang yang keberapa yang diberikan olehnya, terlalu banyak barang yang dia berikan, “Apa iya Dylan ada perasaan ke Gue? Atau justru Gue?” Gue menggeleng untuk menghilangkan pikiran yang terlintas tadi. Kemudian terdengar suara mobil dari depan rumah, suara mobil yang sangat Gue hapal.
“Dylan!” Gumam Gue senang, Gue pun melangkah keluar untuk menghampirinya, pas Gue udah sampai di pintu depan dan buka pintu, Gue ngeliat Dylan dengan kemeja putihnya yang bergaris-garis hitam berjalan ke arah Gue. Ga tau kenapa Gue jadi terpaku melihat penampilan Dylan yang seperti itu, padahal Gue udah sering ngeliat dia dengan style seperti saat ini.
“Hey, kamu kenapa? Sakit?” Suara Dylan membuyarkan lamunan sesaat Gue tadi.
“Hah— I’m ok.” Jawab Gue setelah sadar kalau Dylan sudah berdiri di hadapan Gue. “Huh! Kenapa tiba-tiba Gue jadi salting gini.” Guman Gue dalam hati.
“Mau langsung?” Tanya Gue untuk mengalihkan ke-saltingan Gue.
“Sebentar ya, mau ketemu Nando dulu. Gapapa kan, nunggu sebentar?” Kata Dylan.
“Gapapa.” Jawab Gue singkat.
Dylan melangkah masuk membelakangi Gue, tapi tiba-tiba dia berbalik dan berjalan mendekat ke Gue.
“Kamu cantik banget hari ini.” Ucap Dylan dengan senyuman khasnya, lalu dia kembali berbalik, dan melangkah menghampiri Nando yang masih ada di dapur.
Ucapan Dylan barusan membuat Gue kembali terpaku. Gue ngerasa muka Gue mulai memanas dan memerah, “Sialan! Gara-gara omongan Nando tadi nih pasti!!” Dumel Gue dalam hati.
Gue mengekori Dylan ke dapur, mengambil segelas air dingin, dan langsung menegaknya hingga habis.
Gue memperhatikan Dylan dan Nando yang sibuk menatap Laptop dihadapan mereka, dan mata Gue berhenti ke sosok Dylan yang berdiri di sebelah Nando.
“Kayak ada yang beda dari Kamu.” Kata Gue dengan mata Gue yang masih ngeliat ke arah Dylan.
“Kamu— cat rambut lagi?” Tanya Gue, ketika menyadari perubahan rambut Dylan kembali menjadi hitam.
“Iya, di tegor Papa. Hehe.” Jawab Dia dan kembali lagi sibuk membantu Nando.
“Lagian udah dikasih tau belagu.” Kata Gue yang masih memperhatikan Dylan.
Kerena merasa bosan, akhirnya Gue meninggalkan mereka berdua, dan menunggu Dylan di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan, urusan para pewaris perusahaan keluarga.
“Udah ngerti?” Samar-samar terdengar suara Dylan yang bertanya ke Nando.
“Udah, makasih Mas, Gue ga tau gimana kalo lo ga bantuin.” Jawab Nando.
“Gue jalan dulu ya.” Kemudian terdengar Dylan pamit ke Nando.
Gue merasakan kehadiran Dylan dibelakang Gue, “Yuk.” Ajak Dylan sambil mengelus pucuk kepala Gue dengan lembut dan Gue merasa ada yang berbeda saat Dylan melakukan hal tersebut.
“Lah malah diem, ayok cantiknya Dylan.” Ucap Dylan, membuat Gue sempat tersipu karena ucapannya.
“Aku tuh emang cantik dari lahir, hohoho.” Kata Gue sambil mengibaskan rambut panjang Gue yang terurai.
“Hahaha, terserah kamu deh Lett,” ucap Dylan tertawa, “ayok, nanti keburu kesiangan.” Ajak Dylan.
***
Gue dan Dylan berangkat menuju ke Toko Furniture langganan Dylan, hari ini Gue bakal bantu Dylan untuk rapih-rapih di apartemen barunya. Yup, mulai minggu depan Dylan akan pindah ke apartemennya sendiri, dia sudah tidak tinggal dirumah Jeff. Begitu pula dengan Jeff, dia juga akan pindah ke apartemennya sendiri yang masih satu gedung dengan Apartemen Dylan.
Jadi, untuk sementara rumah Jeff bakal kosong sampai ada penyewa yang menempatinya. Bakal sepi nih ga ada mereka, apalagi ga ada Dylan yang biasanya kalau weekend pagi selalu ngajak Gue buat jogging.
Gue pun menatap keluar jendela mobil Dylan, menyelam dalam pikiran Gue sendiri, dan tanpa Gue sadari ternyata sejak tadi Dylan memperhatikan Gue.
“Letta, kamu kenapa?” Tanya Dylan khawatir dan membuyarkan lamunan Gue.
Gue menoleh dan tersenyum tipis menatap Dylan, “Aku gapapa.” jawab Gue.
“Yakin? Dari tadi kamu diem aja soalnya, lagi badmood? Apa kita batalin aja rencana hari ini?” Tanya Dylan berkali-kali.
“Yakin, aku lagi ga badmood juga, dan jangan coba-coba batalin rencana hari ini, nanti aku bakal marah sama kamu selama seminggu.” Jawab Gue dan ga tau kenapa, Gue ga mau hari ini kita batal jalan, huhuhu.
“Emang kamu bisa jauh-jauh sama aku selama seminggu?” Ucap Dylan memperlihatkan senyum smirk-nya.
“Hehe ga bisa sih, tapi kamu juga ga bisa jauh-jauh dari aku selama seminggu kan? Ahh jangankan seminggu sehari aja ga bisa, hahaha.” Ucap Gue sambil tertawa lepas.
“AAAWWW!!! Sakit Dylan!!” Gue teriak kesakitan, karena tiba-tiba Dylan mencubit pipi Gue dengan kencang.
“Hahaha, kamu tuh pinter banget ngejawab.” Kata Dylan ga ada rasa bersalahnya sama sekali ke Gue.
“Sakit.” Gumam Gue sambil mengelus pipi Gue dengan tangan sendiri.
“Maaf, kekencengan ya?” Tanya Dylan sambil mengelus pipi Gue dengan lembut.
“Masih nanya lagi,” kata Gue, lalu mengambil tangan Dylan yang mengelus pipi Gue dan menggenggamnya.
Kita berdua emang sedeket ini dan menurut Gue ini adalah hal yang biasa. Tapi ga tau kenapa akhir-akhir ini tatapan, perlakuan, bahkan ucapan Dylan agak berbeda dari biasanya, kalau kata Katty sih dari dulu dia emang gitu, tapi Gue-nya aja yang baru peka dan denial.
Jadi kepikiran lagi sama omongan Nando pas dirumah tadi, Gue menatap Dylan yang sedang berkonsentrasi mengendarai mobil dengan satu tangannya. Gue pun berniat bertanya, tapi dihentikan oleh nada dering handphone Dylan.
Leo Calling…
“Si garong ganggu aje…” Dumel Gue dalam hati.
“Leo tumben nelpon, aku angkat dulu yah.” Ucap Dylan dan melepas genggaman tangan Gue untuk mengangkat telepon dari Leo dengan mode speaker.
“Kenapa bro?” Sapa Dylan setelah panggilannya tersambung.
“Eh bray, nanti habis nge-date sama Letta, Lo langsung mampir ke Cafe—” Kata Leo dari seberang sana dan langsung di potong oleh Dylan. Gue pun langsung menoleh ke Dylan setelah mendengar kalimat dari mulut besar Leo.
“Speaker Leo, ada Letta di sebelah Gue.” Ucap Dylan memotong perkataan Leo dan terlihat telinganya memerah, lalu membuang wajahnya, dan menghindari tatapan Gue, kemudian suasana diantara kita menjadi awkward.
“Oh— sorry sorry, hihihi.” Terdengar suara cekikikan ala Leo.
“Yaa!! Kenapa deh lo nelpon-nelpon, ganggu Dylan lagi nyetir aja!!” Tegur Gue berusaha untuk mencairkan suasana di antara kita berdua.
“Itu— maksud Gue, nanti habis kalian beberes di apart, jangan lupa mampir ke Cafe, mau ada perform band baru disini, udah itu aja.” Kata Leo.
“Itu doang?!” Tanya Gue ke Leo dengan sewot.
“Iya.” Jawab Leo singkat, dia ga tau aja gara-gara mulut besarnya, Gue sama Dylan jadi awkward .
“Lo kan bisa chat aja ke Dylan, ga usah nelpon-nelpon segala garoooong!!!” Ucap Gue.
“Suka-suka Gue Violetta Dara Pramudya, ga usah ngatur-ngatur, emangnya lo siapanya Dylan?” Balas Leo dengan mulut besarnya.
“Leonard Yudhistira Pramudya, bacot lo tolong di kontrol!” Akhirnya Dylan bersuara dan Gue baru denger Dylan manggil nama panjang Leo. Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, Gue pun menatap Dylan tanpa berkedip.
“Jangan dipikirin omongan Leo barusan.” Katanya dan kembali menatap jalanan.
Selama di sisa perjalanan, kita berdua hanya terdiam. Gue baru kali ini liat Dylan marah, selama lima tahun kita temenan, dia ga pernah marah kayak tadi soalnya.
***
Toko Furniture
Akhirnya kita sampai di Toko Furniture langganan Dylan, dia langsung bertemu dengan Ownernya dan melihat-lihat hasil pesanannya yang sudah jadi. Sambil nunggu Dylan, Gue pun berkeliling di dalam toko, melihat-lihat barang yang dijual disana.
Ternyata toko ini ga cuman jualan furniture aja, mereka juga jual hiasan-hiasan unik, ala-ala aesthetic gitu, dan mata Gue tertarik dengan salah satu lampu meja, design-nya itu semacam jeruji besi yang dibentuk kayak botol wine, dan di dalamnya ada lampu bohlamnya. Gue pun cukup lama melihat lampu meja tersebut.
“Buat kado pindahan Dylan kali ya?” pikir Gue, “Dia kan suka banget yang unik-unik kayak gini, pasti dia suka Gue kasih ini.” Pikir Gue lagi.
Akhirnya Gue memutuskan membeli lampu meja tersebut, Gue ngeliat Dylan yang masih sibuk dengan si Owner, diam-diam Gue langsung ambil lampu meja tersebut untuk dibawa ke kasir, dan ga lupa Gue mengambil kotak kado sebagai tempatnya.
Dengan cepat kilat Gue membayar dan meminta staff kasir untuk segera memasukkan ke dalam tas belanja.
“Makasih mba.” Kata Gue tersenyum ke staff kasirnya setelah Gue menyelesaikan transaksi dan kebetulan Dylan sudah selesai dengan urusannya.
“Gimana pesanan kamu?” Tanya Gue ketika Dylan berhadapan dengan Gue.
“Udah bisa langsung diambil, terus langsung dipasang deh.” Ucap Dylan senang. Dia sangat puas dengan hasil pesanannya dan itu membuat mood-nya kembali membaik.
“Kamu beli apa?” Dylan sadar Gue lagi nenteng-nenteng tas belanja dan penasaran dengan apa yang Gue beli.
“Pajangan buat di kamar.” Jawab Gue asal.
“Aku selesaiin sisa pembayaran dulu sama masukin pesanan aku ke mobil, kamu duduk dulu aja di sofa sana.” Kata Dylan sambil menunjuk sofa yang tersedia di Toko tersebut.
“Ok.”
“Gapapa kan nunggu sebentar lagi?” Tanya Dylan.
“Gapapa.” Jawab Gue, Gue pun akhirnya duduk di sofa tersebut.
Sambil nunggu Dylan lagi, Gue membuka handphone dan melihat-lihat Timeline social media Gue. Pas Gue lagi geser-geser layar handphone, tiba-tiba ada notifikasi chat masuk, dan langsung membuka notifikasi tersebut tanpa melihat siapa pengirimnya.
Jonathan Hi!
“Jonathan?” gumam Gue setelah membuka chatnya dan melihat nama yang tertera di sana, sambil mengingat-ingat nama tersebut, nama yang ga asing bagi Gue.
“Ohh Jona festival!” Seru Gue setelah inget cowok nyebelin yang ketemu pas The Rose performance di festival akhir bulan lalu.
“Siapa Jona?” Tanya Dylan yang sudah selesai dengan urusannya tadi dan ternyata langsung nyamperin Gue.
“Nobody,” jawab Gue agak panik, Gue ga tau kenapa jadi panik, “udah selesai?” Tanya Gue untuk mengalihkan perhatian Dylan.
“Udah, oiya ini kan udah mau lunch, kamu mau mampir makan dulu atau pesen delivery aja?” Tanya dia sambil duduk disebelah Gue dan reflek Gue masukin handphone ke dalam tas.
“Pesen delivery aja kayaknya, biar sambil nunggu makanan dateng, kita beres-beres apart kamu.” Jawab Gue.
“Kalau gitu jalan sekarang aja, biar cepet selesai, biar cepet berangkat ke cafe-nya Leo.” Kata Dylan sambil berdiri. Tanpa banyak bicara dia ambil tas belanja Gue, lalu menentengnya, dan ga lupa gandeng tangan Gue.
***
Apartemen Dylan
“Makasih ya Pak, ini ada sedikit ongkos.” Terdengar suara Dylan dari pintu apartemennya ke ruang tengah tempat Gue ngeliat beberapa kardus besar berisi barang-barang Dylan, dia berbicara dengan salah satu satpam gedung Apartemen yang membantunya untuk angkut-angkut barang.
“Barang kamu banyak juga ya.” Kata Gue saat Dylan berjalan ke tempat Gue berdiri.
“Yah ini juga beberapa udah aku loakin, tapi kayaknya masih banyakan barang kamu deh.” Katanya.
“Hahaha bisa aja kamu, kita mulai dari mana nih?” Tanya Gue dan kayaknya Dylan juga bingung mau mulai dari mana.
Akhirnya Dylan memutuskan untuk merakit meja dan kursi terlebih dahulu, merapikan rak yang dia pesan di Toko Furniture tadi, baru membongkar barang-barangnya yang ada di dalam kardus.
Setelah cukup lama kita beberes dan menata barang-barang, akhirnya ruang tersebut terlihat rapi dan lowong, tidak seperti tadi banyak kardus-kardus besar yang menumpuk.
“Laper—” Keluh Gue sambil rebahan di karpet yang ada di lantai dan Dylan mengambil duduk di sebelah Gue yang lagi rebahan.
“Oiya, kita belum pesen makanan ya? Hahaha,” Dylan tertawa dan mengambil handphone-nya untuk memesan makanan, “Mau makan apa Lettanya Dylan?” Tanya dia, ya ini yang Gue maksud ucapan dia yang berbeda, “Cantiknya Dylan,” “Kesayangannya Dylan,” “Lettanya Dylan.” Gue sebenarnya berusaha mengabaikannya, tapi kalau terlalu sering, Gue jadi kepikiran juga, bahkan beberapa kali Gue sempat berharap lebih.
“Hmmm, apa aja deh, yang penting enak dan mahal, hehehe.” Jawab Gue.
“Okk.” Dylan pun sibuk dengan handphone-nya untuk memesan makan siang dan Gue berdiri dengan malas, untuk mengambil handphone Gue yang ada di dalam tas.
Gue pun melihat layar handphone lalu terlihat ada dua chat dan tiga missed call dari orang yang sama, “Jona.” Ucap Gue dalam hati.
“Tadi kayaknya ada yang telepon ke hp kamu, pentingkah sampe tiga kali kalo ga salah?” Tanya Dylan yang masih sibuk memilih makan siang.
“Nothing, paling nawarin credit card. Hehe.” Jawab Gue dan berusaha mengabaikan isi chat Jona.
Jonathan Yuhuu Letta?
Jonathan Kok di read doang?
“Huhh!! Berisik amat nih cowok!! Mana Gue lupa ngedit foto dia lagi, nanti deh Gue balesnya.” Gumam Gue dalam hati.
Setelah selesai cek handphone dan menaruhnya lagi di dalam tas, Gue mengambil tas belanja yang berisi lampu meja yang Gue beli tadi untuk diberikan ke Dylan dan menyerahkannya.
“Nihh buat kamu.” Kata Gue menyodorkan tas belanja tersebut dan mengambil duduk disebelah Dylan.
“Ini bukannya yang kamu beli tadi ?” Tanya Dylan memasang wajah bingungnya.
“Iya, ini aku beli buat kamu, buka deh.” Pinta Gue, dia pun mengambil kotak yang berada di dalam tas belanja tersebut dan membukanya.
“Wow!!” kata Dylan tersenyum memperlihatkan eyes smile-nya, “kamu tau aja aku ngincer lampu ini,” Lanjutnya.
“Jadi, tadi pas kita masuk ke toko, aku udah ngincer ini lampu, tapi sebelum aku ambil, Koh Juna keburu nyamperin aku. Pas selesai ngobrol sama dia, aku langsung balik ke tempat lampu ini, tapi udah ga ada. Ternyata kamu yang beli.” Jelasnya panjang lebar.
“Makasih Lett, suka banget.” Lanjutnya.
“Syukur deh kalau kamu suka.” Ucap Gue lega, Gue sempet takut dia ga suka sama pemberian dari Gue. Dylan melihat-lihat lampu tersebut dengan memasang wajah seperti anak kecil yang baru dapet mainan baru.
“Lucu.” Puji Gue dalam hati.
Raut wajah Dylan berubah saat melihat dasar lampu meja tersebut, Gue pun penasaran dan mendekatinya.
“Kenapa, ada damage?” Tanya Gue.
“Ga kok aman semua.” Jawabnya.
“Terus?”
“Ini masih ada harganya, hahaha.” Kata Dia sambil menunjukkan bagian bawah lampu yang masih tertempel label harga.
“Astaga!! Aku lupa nyopot, sini aku copot dulu.” Tangan Gue langsung meraih lampu meja yang ada di tangan Dylan, tapi ga dapet karena tangan Dylan mengangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian berdiri menghindari Gue.
“Dylaaaannn!!!!” Gue pun ikutan berdiri untuk berusaha meraihnya.
“Udah aku liat juga harganya berapa, hahaha.” Kata Dylan, dia berjinjit dan makin mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat Gue meloncat-loncat kecil untuk meraihnya, tapi masih ga bisa.
Karena ulah Gue, Dylan terpeleset karpet, kemudian terkejut dan menarik pinggang Gue untuk mencegah dirinya tidak jatuh, tapi kita berdua malah jatuh ke atas sofa, dengan posisi setengah badan Gue menindih Dylan.
“Untung ada sofa.” Kata Gue sambil mendongak ke arah Dylan.
Kedua mata Gue sama Dylan saling bertemu dan menatap satu sama lain, Dylan tersenyum dan mendekatkan satu tangannya yang bebas ke depan muka Gue.
“Berat!! Awas!!.” Kata Dylan sambil menoyor jidat Gue.
“Ishh Dylan nyebelin!!” Kata Gue sambil menyingkir dari Dylan dan mengambil posisi duduk, begitu pula dengan Dylan.
Ting ting!! Notifikasi handphone Dylan berbunyi.
“Makanan udah sampe, aku ambil kebawah dulu ya.” Kata Dia sambil berdiri.
“Jadi beli apa?” Tanya Gue.
“Sushi kesukaan kamu.” Jawab Dia dan kemudian keluar Apartemen ninggalin Gue sendirian disini.
Selagi Dylan turun ke bawah untuk mengambil makan siang kita, Gue melihat-lihat sekeliling Apartemennya, dan mengambil lampu meja tadi, dan menaruhnya di meja tinggi dekat jendela Apartemen. Gue pun duduk di kursi, pasangan dari meja tersebut, dan terduduk melamun melihat keluar jendela yang memperlihatkan langit cerah disertai gedung tinggi di sekitar Gedung Apartemen.
“ga mungkin salah satu dari kalian ga ada yang punya perasaan lebih dari sahabat. Apalagi kalian sahabatan udah lama banget,” tiba-tiba terngiang di kuping Gue sepenggal ucapan Nando tadi.
“Lo-nya aja yang ga peka Lett, Dylan itu dari dulu emang udah kayak gitu sama Lo dan menurut Gue dia emang ada rasa sama Lo, tapi Lo masih denial.” ucapan Katty beberapa hari lalu pun terngiang juga di kuping Gue.
“Masa sih?” tanya Gue ke Katty saat itu, Katty mengedikkan bahunya dan berkata, “Menurut Lo aja gimana.”
Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Gue, terlihat Dylan menenteng paper bag berisi makanan. “Yuk makan, habis makan langsung ke cafe-nya Leo.” Ajak Dylan sambil menaruh paper bag tersebut ke atas karpet, lalu duduk di atas karpet tersebut, dan menepuk tempat kosong di sebelahnya, menyuruh Gue untuk duduk disana. Kami pun menikmati makanan tersebut dengan candaan Dylan dan melupakan semua lamunan Gue tadi.
Letta Pov. End
***
Senada Cafe (Cafe Leo)
Setelah menghabiskan makan siang di Apartemen Dylan, mereka berdua langsung berangkat menuju Cafe-nya Leo, dan akhirnya sampai walaupun sedikit telat. Letta pun berjalan cepat dari parkiran mobil menuju Cafe, “Ayo Dylan, itu band-nya udah mulai.” Ucap Letta excited saat mendengar suara musik dari dalam Cafe telah mulai.
“Iya Letta sayang, tapi ini tolong bantuin aku dulu bawa titipan Leo.” Kata Dylan sambil menenteng dua tas belanja isi titipan Leo, tadi mereka sempat mampir ke Supermarket karena Leo tiba-tiba nitip beberapa bahan untuk Cafe-nya,
“bisa-bisanya tuh anak ga cek stok bahan dulu, udah tau malam minggu, apalagi ada band baru di Cafe-nya, pasti bakal rame, nyusahin tuh anak.” Dumel Letta saat di Supermarket tadi. Dylan menenangkan Letta dengan membelikan coklat kesukaannya, setelah itu Letta cukup tenang walaupun masih sedikit mengomel.
“Hahaha, sini satu aku bawain.” Kata Letta ketika melihat Dylan kesusahan membawa dua kantong belanjaan dan Letta mengambil salah satu dari tas belanjaan yang Dylan bawa.
Begitu sampai di depan Cafe, Dylan langsung membuka pintu dan menyuruh Letta masuk duluan, ga lama dia menyusul di belakang Letta.
Di dalam Cafe sudah cukup ramai dan terdengar alunan musik dari band baru tersebut, sekilas Letta melihat ke arah Vokalisnya yang ada di atas panggung.
“Postur badannya kayak ga asing.” Gumamnya dalam hati dan memperlambat langkahnya supaya bisa melihat jelas wajah Vokalis band tersebut, tapi Dylan keburu menggandeng Letta untuk segera berjalan ke dapur dan menaruh belanjaan titipan Leo.
Setelah selesai menaruh kedua tas belanja tadi di dapur, Letta dan Dylan langsung keluar untuk menemui Leo dan yang lain, saat itu juga musik pun berhenti dan terdengar suara dari Vokalis band tersebut memperkenalkan diri dan band-nya.
“Selamat malam, kita dari Onewe yang bakalan menemani malam minggu teman-teman Senada Cafe.” Ucap vokalis tersebut.
“Kok suaranya ga asing di kuping gue?” Gumam Letta.
“Gue Jonathan, kalian bisa panggil Jona. Vokalis dan Leader di Onewe.” Lanjutnya dan kemudian dia memperkenalkan member band lainnya.
Langkah Letta pun terhenti sesaat setelah mendengar Vokalis tersebut menyebutkan namanya dan tanpa sadar tubuhnya berbalik menghadap ke panggung yang sekarang dengan jelas memperlihatkan wajah Vokalis Band tersebut, yaitu Jona.
“Jona—”
—tbc
8 notes · View notes
pwrettyxoul · 1 year ago
Text
01. Nyawa Tak Bernyawa
Tumblr media
Hidup dan mati.
Banyak hal yang terjadi dengan analogi bak dua sisi koin yang berbeda. Pun sama halnya tentang kehidupan serta kematian. Antara hidup dan mati memiliki perbedaan alamiah yang cukup jelas. Lalu baik hidup atau mati adalah siklus peristiwa yang berlaku untuk semua makhluk tanpa terkecuali. Sebab tiap-tiap yang bernyawa kelak akan tak bernyawa.
Namun, siapa sangka jika ternyata di negeri fana ini justru banyak manusia hidup yang tidak benar-benar hidup? Lebih jelasnya perihal mereka yang menderita dan merasa asing dengan kehidupan mereka sendiri hingga seolah merasa sudah mati. Jiwa yang tak mempunyai lagi gelora, hasrat, dan rasa. Terlampau hebat luka yang bersarang di batin mereka sampai berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental.
Seorang gadis muda berkalung kupu-kupu biru melangkahkan kakinya masuk ke sebuah ruangan serba putih dengan cahaya minim yang merupakan salah satu kamar inap untuk pasien di Rumah Sakit Jiwa Kita Sehat. Sejenak Azura hanya terdiam memandangi dari arah samping seorang pasien yang tengah terduduk di atas kursi dengan mengarah ke arah jendela. Terlihat pasien itu sedang asyik bermain boneka, meskipun sebenarnya usianya sudah menginjak setengah abad.
"Ibu..." panggil Azura dan suaranya memecah keheningan.
Tidak ada jawaban. Tyas mendengar, tapi tidak menghiraukan Azura. Wanita paruh baya itu masih sibuk dengan kegiatannya bermain boneka diiringi celotehan riang seolah mengajak benda mati itu berbincang yang Azura sendiri tidak mengerti. Hati Azura teriris ketika melihat pemandangan menyedihkan yang berada di hadapannya.
Wajah Ibunya tampak pucat dan tubuh semakin mengurus seiring berjalannya waktu. Namun, dibanding kesehatan fisik, ada yang lebih dikhawatirkan Azura perihal kondisi Ibunya ini. Azura cemas pada kesehatan jiwa sang Ibu yang tidak menunjukan signifikan, meskipun sudah menjalani perawatan mental sejak 13 tahun terakhir.
"Azura datang, Bu" kata Azura lagi bersuara.
Masih sama seperti sebelumnya. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Ibu Tyas untuk menimpali ucapan Azura. Bahkan hanya sekedar menoleh pun tidak. Entah tidak tahu atau memang kehadiran Azura tidak digubris oleh Ibu Tyas.
Azura mengubah posisinya dari berdiri menjadi berjongkok dan membuka suara tanpa peduli tidak dihiraukan oleh Ibunya. "Apa Ibu baik-baik saja di sini? Apa Ibu bermimpi buruk? Apa Ibu kesepian? Azura dengar dari Dokter dan Perawat di sini jika kemarin malam Ibu sempat memberontak lagi. Ada apa, Bu? Apa yang menganggu pikiran Ibu?"
Hening setelahnya. Helaan nafas pelan keluar dari mulut Azura sebelum melanjutkan perkataannya yang sebetulnya bisa dikatakan adalah monolog sendirian.
"Ibu, tahun ini Azura menginjak semester tujuh pendidikan kuliah. Mungkin kurang dari satu tahun lagi, Azura sudah menjadi Sarjana Psikologi. Doakan semoga segala urusan Azura lancar ya, Bu"
Sudut bibir Azura terangkat membentuk lembayung yang terlihat jelas jika itu merupakan senyum dipaksakan.
"Azura ingin bercerita banyak hal tentang hidup Azura selama ini. Azura ingin jujur kalau sebenarnya Azura tidak baik-baik saja. Meskipun ada Eyang dan teman-teman yang selalu ada di samping Azura, namun sebetulnya Azura juga membutuhkan sosok Ibu. Sepertinya hidup Azura akan jauh lebih indah jika Ibu pulih dan menjalani hidup bersama Azura seperti anak dan orang tua pada umumnya. Jadi, ayo lekas sembuh. Ibu sudah terlalu lama seperti ini. Dunia tidak semengerikan yang Ibu pikirkan. Masih banyak kebahagiaan yang bisa Ibu rasakan bersama Azura" lirih Azura hampir berbisik.
"Seorang Dosen di kampus pernah memberi wejangan yang sampai sekarang masih Azura ingat betul. Katanya, dunia bisa mengambil apapun yang kita punya, tapi dunia tidak bisa mengambil asa. Karena kita boleh kehilangan apapun milik kita, tapi sebetulnya kita sendiri tidak boleh kehilangan harapan bahwa keadaan akan membaik dan semua akan baik-baik saja"
Lalu Azura beranjak dan kembali mengubah posisinya untuk kembali berdiri. Hening kembali mengisi suasana. Tak ada suara Azura lagi yang berusaha mengajak Sang Ibu berbicara. Ibu Tyas masih asyik bermain boneka dan Azura hanya memandangi secercah cahaya di tengah ruangan gelap gulita itu. Harapan Azura layaknya kegelapan yang menunggu agar sinar bisa sepenuhnya datang dan menyalurkan cahayanya.
Di tengah kepelikan hidupnya selama ini, tak lelahnya Azura untuk memanjatkan harapan. Azura berusaha keras untuk mencari cahaya sebab sadar betul jika dirinya tengah berjalan di dalam kegelapan yang terkadang bisa sangat seram mencekam. Tapi, sayangnya cahaya yang ditemukannya adalah sinar kecil dan masih tetap kecil hingga sekarang ini.
Walaupun seperti itu, Azura masih berharap dan berusaha mencari sinar yang bisa sepenuhnya menjadi lentera di dalam kegelapan hidupnya. Karena di sisi lain gadis muda itu paham jika yang bisa dilakukannya sebagai manusia negeri fana hanyalah menjalani ketentuan takdir pemberian Sang Mahakuasa. Entah hidup yang penuh dengan jenaka atau trauma, Azura tidak memiliki kuasa untuk menolak dan hanya mampu untuk menerimanya.
***
Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar. Julukan ini didapatkan karena dari banyaknya pusat-pusat pendidikan yang berdiri di Yogyakarta. Pusat-pusat pendidikan itu secara otomatis menarik minat para pelajar dari daerah lain untuk menuntut ilmu di sana. Salah satu institusi pendidikan tinggi yang berada di Kota Yogyakarta adalah Universitas Bhinneka Nusantara. Didirikan pada tahun 1967 dan merupakan bukti dari kancah perjuangan bangsa Indonesia guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kepopulerannya sebagai salah satu universitas terbaik di negeri ini membuat banyak orang berdatangan dari berbagai daerah, suku, etnis, agama, dan ras untuk menuntut ilmu. Universitas yang menggunakan warna almamater biru tua ini adalah salah satu dari banyaknya perguruan tinggi terbaik di Indonesia yang terkenal sudah mencetak banyak prestasi dan melahirkan tokoh-tokoh penting.
Di hari Senin yang cerah ini adalah hari pertama segenap civitas akademika Universitas Bhinneka Nusantara memasuki semester ganjil. Setelah menikmati libur semester selama kurang lebih tiga bulan lamanya, kini datanglah semester baru yang sudah siap menanti. Lingkungan kampus Universitas Bhinneka Nusantara tampak begitu ramai dipenuhi oleh puluhan ribu orang yang terdiri dari para pendidik profesional, mahasiswa lama, dan mahasiswa baru yang sedang menjalani kegiatan orientasi studi.
Sebuah motor sport berwarna putih yang dikendarai oleh seorang mahasiswa lelaki memasuki area parkir Universitas Bhinneka Nusantara. Suaranya menderu sehingga suaranya menghasilkan kebisingan yang berkebalikan dengan suasana tenang nyaman khas Yogyakarta.
Kedatangan seorang Sagara Atmawinata berhasil menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan berada di area itu. Ada yang sekedar menoleh dan ada pula yang secara terang-terangan memandangi dengan tatapan kagum laki-laki muda tampan bertubuh tinggi nan tegap itu. Tepat saat motor selesai diparkirkan, Sagara segera disambut oleh seorang lelaki muda berambut gondrong dan berpenampilan terkesan urak-urakan yang juga merupakan mahasiswa di Universitas Bhinneka Nusantara ini.
"Woy, mahasiswa abadi!" sapa Baron khas anak muda sembari menepuk bahu Sagara.
Lantas Sagara hanya menoleh sesaat sebelum membuka helm dan menyimpan di atas motornya.
"Lanjut kuliah juga lo? Gue kira lo mengundurkan diri karena nggak lulus-lulus" lanjut Baron dengan nada kentara mengejek.
Sagara memutarkan bola matanya malas dan menatap Baron dengan posisi masih terduduk di atas motor. "Mengundurkan diri sama aja kayak gue bunuh diri buat dibakar hidup-hidup sama nyokap gue
Tawa Baron terdengar. Lalu Baron menghentikan tawanya dan kembali melontarkan perkataan yang mengejek Sagara. "Udah tahun keenam, tapi masih belum juga lulus lo. Nggak malu apa lo sama keluarga besar lo yang semuanya orang-orang sukses semua. Lo ini bodoh, tolol, atau oon, sih?"
Maka selanjutnya sebuah tamparan tak cukup keras bersarang di pipi kiri Baron. "Sadar! Kalo gue tolol, terus lo apa? Kita masuk ke sini di tahun yang sama, tapi lo juga belum lulus, 'kan? Banyak-banyak ngaca deh lo!" timpal Sagara tak mau kalah.
Baron tersenyum menyengir. "Kalau buat anak teknik, mustahil hukumnya bisa lulus tepat waktu" elaknya lalu pandangannya beralih pada motor sport putih milik Sagara dengan sorot mata kagum. "By the way, ada motor baru nih! Uang dari hasil menang balapan kemarin lo masukin buat beli ini? Selagi teknisinya gue, bisa-bisa lo ngalahin Marc Marquez. Gaya amat balap liar terus teknisinya mahasiswa universitas terbaik di negeri ini. Pantes aja kecepatan motornya bagus sampai juara terus"
Sagara berdecak jengah mendengar kesombongan Baron sembari turun dari motornya sebelum kembali menatap sahabatnya itu. "Terlalu pede lo! Gue menang karena gue hebat aja dan bukan karena motor gue yang selalu di-handle sama lo. Karena semua itu balik lagi ke penggunanya"
"Iya deh si paling hebat" balas Baron memutar bola matanya malas lalu tak lama setelahnya menatap Sagara serius ketika teringat sesuatu. "Eh, bro. Gue ada info balapan lain nih. Duit hadiahnya besar banget dan gue ingin banget ngeliat lo ikutan atau bahkan menang di sana"
"Balapan? Di mana? Berapa duitnya?" tanya Sagara.
"Masih di daerah Jogja. Duitnya dua kali lebih besar dari balapan kemarin. Ketua panitianya sendiri yang nyuruh gue buat ngasih tau ke lo dan bahkan dia juga minta ke gue buat ngebujuk lo biar ikut balapan itu. Tapi, gue nggak yakin lo bakal ikut" Baron berucap lesu di kalimat terakhir.
Mendengarnya membuat Sagara mengerutkan kening merasa bingung sekaligus penasaran. "Kenapa menurut lo, gue nggak bakal ikut? Letak permasalahannya di mana? Lawan-lawannya? Trackrace-nya? Atau karena balapannya liar? Ya elah, Ron. Masalah lawan, trackrace, atau ilegal itu urusan belakangan. Makin besar resikonya, makin gue suka. Lo 'kan tau gue udah banyak melewati pahit manisnya resiko balapan. Mulai dari baku hantam sama lawan, jatoh, cedera, sampai ditangkap polisi. Karena yang paling penting itu gue harus ngeluapin stress lewat balapan" ujarnya diakhiri dengan tawa pelan.
"Bukan itu masalahnya, Gar. Tapi, lomba yang gue tawarin tadi itu lomba balap mobil dan bukan lomba balap motor"
Perkataan terakhir Baron sontak membuat senyum Sagara luntur seketika. Dalam beberapa detik, Sagara hanya menunduk tertegun dengan raut wajah sendu yang menyiratkan kesedihan. Sebab sebetulnya Sagara memiliki trauma akibat sebuah peristiwa buruk di masa lalu yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mentalnya hingga sekarang ini. Baron yang melihat Sagara tampak murung pun merasa bersalah.
"Udah. Nggak apa-apa, Gar. Lain kali mungkin lo bisa ikut balapan mobil. Gue paham kok" ujar Baron seraya menepuk-nepuk bahu Sagara berusaha memberi kekuatan.
"Gue benci sama diri gue sendiri karena hidup dalam ketakutan terus kayak gini tanpa mau menghadapinya. Gue pengecut ya, Ron?" gumam Sagara pelan.
"Pengecut apaan sih, Gar? Mulai deh dramatisnya. Menjalani hidup itu harus banyak santainya. Jangan terlalu serius. Hidup cuma sekali, jadi let it flow aja" kata Baron lagi menghibur diiringi senyum lebar.
Lalu Baron merangkul Sagara dan menarik masuk ke dalam lobi utama lalu menuju lapangan berukuran besar yang berada di dalam area Universitas Bhinneka Nusantara. "Daripada mikirin masalah yang kita nggak tau kapan kelarnya, mending kita menghibur diri liat dedek-dedek emes di dalem sana yang lagi diospek. Gue denger katanya banyak selebgram sama seleb tiktok yang masuk ke sini. Jadi, ayo kita ngeluarin jurus buaya kita"
"Tapi, gue harus ke gedung FH buat minta izin ikut kelas ngulang matkul" ucap Sagara melepaskan rangkulan Baron, namun dengan segera Baron kembali merangkul dan menariknya secara paksa.
"Ya elah. Kuliah kok serius amat sih? Jangan terlalu rajin atau nanti cepet lulus. Kalau lo duluan lulus, nanti gue temenan sama siapa lagi? Mending kita senang-senang dulu sebelum masuk ke neraka akhlias pembelajaran kuliah"
Maka selanjutnya Sagara hanya bisa pasrah dipaksa oleh Baron yang kini terus menariknya untuk mendekat ke arah sebuah lapangan besar. Di sana tengah dilaksanakan kegiatan orientasi yang dimana terdapat belasan ribu orang memenuhi lapangan Universitas Bhinneka Nusantara itu. Mereka berada di jarak yang terlalu jauh dari sana.
Baron terlihat begitu antusias memandangi para mahasiswa baru atau peserta orientasi, terkhususnya perempuan-perempuan muda nan cantik. Tetapi berkebalikan dengan Baron, Sagara tampak tidak tertarik sama sekali dan hanya berdiri di samping Baron dengan raut wajah tanpa ekspresi andalannya. Meskipun banyak gadis menawan di sana, tidak ada yang bisa menarik perhatian atau bahkan membuat Sagara jatuh hati. Itu karena Sagara Atmawinata sedang berada di fase mati rasa atau tidak ingin menjalin hubungan asmara karena suatu hal yang terjadi di masa lalu.
TO BE CONTINUED...
6 notes · View notes