#kesusastraan
Explore tagged Tumblr posts
ikankoisposts · 3 months ago
Text
Revitalisasi hati dalam kesusastraan jiwa, menangkan rakjat atas jiwa yang tertantang
82 notes · View notes
mejakerani · 8 months ago
Text
Feminisme dan Otentisitas Lokal dalam Gadis Kretek
Oleh: Muh. Irwan Aprialdy
Tumblr media
Saat mengangkat Gadis Kretek menjadi serial Netflix, Kamila Andini, selaku sutradara, berujar, "Gadis Kretek is a love story." Tak bisa dipungkiri, novel besutan Ratih Kumala ini memang banyak berbicara tentang cinta. Namun, apabila serialnya fokus pada hubungan Jeng Yah dan Soeraja, novel ini fokus pula pada percintaan Idroes Moeria dan Roemaisa, orang tua dari Jeng Yah, yang memulai kisah kasih mereka sejak pendudukan Belanda. Apabila ditarik lebih jauh hubungannya dengan sejarah negara Indonesia, Gadis Kretek, sebagaimana karya-karya sastra lain yang mengambil fakta-fakta dan dampak pendudukan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, hingga pembantaian simpatisan PKI, Ratih Kumala sebagai penulis mengais narasi dari imajinasi tentang suasana masyarakat dan keluarga dalam peristiwa-peristiwa besar yang membekas pada jejak historis bangsa Indonesia. Secara khusus, Ratih Kumala menempatkan mata penanya pada latar materi yang tepat: kemuskilan cinta di tengah konflik dan industri rokok kretek. Bahkan, sebelum menyelami halaman-halaman pertamanya, pembaca mungkin akan terlebih dulu dibuat tergiur dengan otentisitas tema dan latar industri kretek, yang kemungkinan jarang digarap dalam kesusastraan Indonesia.
Dengan alur maju-mundur, Ratih menggulirkan tiap peristiwa secara bebas, sempat terasa terhentak, namun kemudian tetap terbaca mengalir. Hal ini tentunya dimobilisasi dengan pilihan gaya penulisan yang renyah dengan penggunaan gaya tutur modern pada bagian cerita pencarian Lebas dan dua saudaranya, lalu gaya tutur Indonesia dan Jawa tempo dulu pada bagian cerita Idroes hingga Jeng Yah.
Sempat muncul kekhawatiran ketika bagian-bagian awal novel ini menyiratkan kesan cerita yang sangat pop dari gaya bahasa maupun bangunan intrinsik lainnya. Namun, transisi zaman yang terjadi sesudahnya, meski terasa sedikit meloncat di bagian awal, mulai menunjukkan kualitas cerita yang dicari ketika menceritakan babak kisah Idroes Moeria dan Roemaisa.
Selanjutnya, dalam narasi ruang dan waktu yang tumpang tindih tersebut, Ratih membuka tiap-tiap lipatan waktu dengan rapi dan membuat novelnya menjadi lebih dinamis dalam menyiasati problematika lompatan ruang dan waktu tersebut. Sehingga, narasi Lebas, Idroes, hingga Jeng Yah terjalin akur. Itu belum termasuk dengan kompleksitas zaman yang ditandai (atau disiasati) dengan simbolisasi perubahan tren merokok pada masyarakat masa itu.
Riset buku ini nampaknya bukan riset yang dilakukan sekadar bermodal laptop dan jaringan internet saja, melainkan penggalian dari warisan budaya merokok kretek yang mendalam (mengingat keluarga penulisnya memang pernah memiliki usaha rokok kretek di masa lalu). Lebih jauh, novel ini juga menarasikan dampak-dampak yang ditinggalkan pada masyarakat Indonesia yang berulang kali jatuh bangun memaknai kemerdekaan negara dan kemerdekaan hidup mereka masing-masing.
Secara halus, Gadis Kretek, meski dibungkus dengan cerita cinta lintas peristiwa dan generasi, menampar wajah para feminis modern yang selalu menuntut-nuntut kesetaraan antara pria dan wanita. Melalui sosok stoik Roemaisa dan Jeng Yah, anak dan ibu ini bagai berbagi suka dan ketegaran yang sama, baik dalam prinsip hidup hingga kenahasan dalam percintaan. Sebagai induk mereka menghidupi napas kehidupan para lelaki dan diri mereka sendiri dengan bermodalkan logika dan perasaan yang kerap kali diporakporanda konflik negara dan batin. Dua wanita ini menghadirkan sosok feminis tanpa perlu lebih dulu tahu feminisme itu apa dan wanita seharusnya bagaimana dalam masyarakat yang tengah kelimpungan diterjang penjajah atau keganasan pemerintah negara mereka sendiri. Keduanya mendobrak pakem atau pola pikir tradisional dengan insting kewanitaan yang secara naluriah merespons keadaan, bangkit dari depresi, dan berkeras menghidupkan bisnis suami atau keluarga dalam industri usaha yang identik dengan kaum lelaki: rokok kretek.
Keputusan-keputusan yang terilhami dari tekanan luar dan batin itu tentunya lebih menggugah dan mengharukan ketimbang teori pergerakan wanita yang banyak diinisiasi wanita Barat dan sebagian terasa menyimpang dari kesetaraan yang dijunjung atas dasar moral dan hak asasi manusia. Mengingat wanita lokal di masa lalu memang sudah banyak menunjukkan peran-peran wanita, yang lebih dari sekadar rahim dan pendamping bagi kaum pria. Meski, tentu saja, perjuangan Ratih dalam memahat penokohan Roemaisa dan Jeng Yah belum melampaui Pram dalam membentuk Nyai Ontosoroh yang tersohor itu. Namun, usaha Ratih dalam membicarakan sejarah dan tragedi di Indonesia dalam gaya tutur dan narasi yang cerdas tetap patut diapresiasi. Gadis Kretek satu dari sedikit novel yang mampu menyeimbangkan kebutuhan bernapas dan kebutuhan untuk mengerutkan kening dalam membaca. Humor ringan dan konflik serius yang tersebar sepanjang cerita secara bertahap mengingatkan pada karya-karya Dewi Lestari pula.
Berbicara amanat, selain menegaskan pula tentang betapa nihilnya efek kimiawi otak yang kita sebut cinta dan betapa tak berharganya sejarah pembangunan sebuah jenama (merk) dihadapkan dengan realitas zaman yang mudah limbung, Gadis Kretek menutup manis novelnya dengan pesan yang barangkali bisa diimplikasikan secara universal, bahwa sejarah tidak perlu lagi ditulis sepihak oleh para pemenang karena kebenaran dari mulut yang kalah akan selalu menemukan jalan keluar untuk bergaung. Bahwa cara terbaik untuk menerima catatan kelam masa lalu bukan dengan cara bungkam dan lantas menguburnya. Tapi, berdamai dengan kenyataan bahwa semua itu sudah berlalu. Dan peran kita hari ini adalah mengupayakan solusi agar masa lalu memang tak pernah perlu jadi hantu.
2 notes · View notes
lamyaasfaraini · 2 years ago
Text
Day 23, a letter to someone, anyone
30 days writing challenge
Tumblr media
Ngga sengaja abis sahur tadi scroll twitter sebentar dgn drama2 yg ada disana dan keributannya pro kontranya, kebetulan nemu twit org yg mengkritisi lagu yg lg booming soegi bornean - asmalibrasi (asmara dikalibrasi gitu ya kalogasalah) katanya lagunya enak, bagus tp tidak dgn liriknya.. Ah biarkan saja yg ahli sastra yg berbicara krn aku hanya seorang sarjana sastra yg tidak punya jiwa kesusastraan wkwk! Baca replies nya makin seru lagi, banding2in lah sama band2 lawas 90an 2000an, liriknya puitis katanya kaya Sheila on 7, Dewa 19, Padi ya twit replies nya posting video sepenggal lirik Padi - Siapa Gerangan Dirinya, yang itu adalah lagu favorit aku wkt SMA, bida di repeat ratusan kali pada saat itu. Biasa lah ko lg keinget lagu nostalgia langsung ceki2 Spotify yakan..
Membangunkan memori lagi, didalami liriknya.. Duh so sweet bgt ngga sih, terharu gitu.. Seseorang yang mendambakan cinta sejatinya, masih dalam tahap pencarian, apakah cinta sejati itu ada untuknya.. Dibilang sedih iya juga karena baru berharap, tapi pengharapannya itu dibikin indah gitu ngga sih, mendambakan cinta yg begitu dalam.. Ah baper! Waktu dulu dengerin lagu itu pun sebaper itu memang.. Dulu ya emg berandai2 aja siapa sih yang bakal jadi cinta sejatiku cinta terakhirku yang selalu mencintaiku ngga rela ngelepasin aku setia sampe maut memisahkan, bergetar hati ini ngebayangin siapa orgnya, ya gatau juga. Dulu aku cuma anak SMA yg bloon umur 17 thn tapi berharap cinta sedalam itu boleh kan ya haha. Siapa gerangan dirinya heyyyy???
Dear my future husband, semua isi hatiku ada di lirik lagu Padi - Siapa Gerangan Dirinya, coba bisa di cek yah! Semoga kita berjodoh, ditunggu bgt kamu hadir dalam hidupku, semoga kita bisa saling membahagikan satu sama lain dan selalu mencintai dengan indah kaya lirik lagu itu yah. Jangan lama2 cepat tunjukkan dirimu!
Love, your future wife.. Lamya, kelas 2 SMA yg nyari pacar aja gagal terus.. Ngga curcol tp dikit lah
Begitulah kayanya isi suratku buat calon suami waktu itu, ngga secara tertulis.. Ada dipikiran aja. Aku berhenti nulis diary wkt SMP kayanya haha. So, here we are.. Thn 2023 nulis ini sambil dengerin lagunya lagi, sudah menemukan si "siapa gerangan dirinya" @sagarmatha13 halo suamiku! sungguh rahasia Illahi, dia teman SMP ku ternyata, pernikahan kami baru 5 tahun lebih dan baru punya anak 1.
Dear my loving husband, dengerin lagu itu sekarang juga! Semoga kisah cinta kita selalu indah kaya lagu itu ya.. Walapun selalu ada aja obstacle didalamnya, tapi.. Yu bisa yu~
Your wife yang udah nungguin kamu belasan tahun lalu eaa~
4 notes · View notes
zhaf · 2 years ago
Text
One fine day;
Tumblr media
9/5/23
You know, my biggest happiness at the moment. Yes, do romanticizing my piece of day by being alone.
Sesimpel mengelilingi komplek kampus UNS tanpa g-maps yang berarti juga mempersilahkan hippocampus payahku untuk mengingat persimpangan-persimpangan jalannya yang cukup plot-twisted. Kemudian berjalan kaki sendiri mencari bubur ayam untuk sarapan pagi.
Setelah itu menuju perpustakaan besar UNS yang berlantai tujuh. Meminta id card pengunjung baru kepada librarian UNS pagi itu. Walaupun sedikit ngang-ngong karena it's literally my first time to visit that library. Lalu menitipkan Tas ransel 'antep' yang kubawa sedari pagi mengantar sepupuku untuk mengikuti tes SNBT. Aku juga menyempatkan untuk melihat-lihat seberapa banyak koleksi yang mungkin dapat ditampung di bangunan ini lewat informasi yang tertera di samping lift. Museum, Geografi, Kesusastraan, Geologi, Sains, Kedokteran, Pertanian, dan masih ada banyak koleksi lagi.
Bunyi identik dari lift saat berhenti. Pintu yang bergeser otomatis. Udara dingin yang memenuhi ruangan. Kurang lebihnya 20 derajat celcius dan sedikit lembap. Hening yang meramaikan setiap sudut ruangan. Beberapa manusia yang beruntun mulai datang. Mengejar deadline tugas kuliah, mungkin.
Dan aku, memilih untuk berkutik dengan layar notebook yang kubawa secara telanjang dari lantai satu. Feel curious about Virus Dengue yang belum lama ini menyerang adik sepupuku yang baru saja dirawat di rumah sakit. Jadi, perpustakaan tidak lebih dari sekadar tempat untuk menepi waktu itu. Kemudian membaca beberapa jurnal tentang kesehatan.
Pepohonan UNS yang rindang, jalanan yang teduh, satpam yang ramah, panasnya Kota Solo di siang hari, juga turut berkontribusi dalam mengaktifkan dopaminku yang terlampau mager ini {}
6 notes · View notes
iphotophobia · 2 years ago
Text
Ingat, saya dan kamu hanyalah titipan, paling tidak jangan buat mereka mati dengan pengakuan keberhasilan hanya tentang seorang diri. mungkin moralnya sederhana tuan.. "ajak kilupaiki taue, narekko teaki dilupai.."
Dan kelirunya dari dulu sampai sekarang ketika itu peringatan tentang harla kab.sinjai saya belum pernah mendengar tentang kegiatan bentuk kesusastraan yang mengilustrasikan sebuah isi tentang sejarah perkembangan yang kemudian di tampilkan dalam jenis kesenian kesusastraan yang berbeda. Tentang sejarah-sejarah penunjang terbentuknya sebuah daerah, sejarah perebutan wilayah kekuasaan yang telah di perjuangkan para pendahulu, dan tentang hal-hal lain yang menyangkut kebijakan-kebijakan persatuan daerah. bukankah hal seperti itu lebih berakademisi dan berkebudayaan.? dan harusnya hal seperti ini yang dijadikan point utama dalam kegiatan agar empuhnya sebuah daerah lebih kelihatan.
atau mungkin saya yang kurang informasi dalam implementasi yang katanya luar biasa ini?. mohon maaf kalau begitu puang anggap saja saya sedang keliru.
Masyarakat hanya selalu terdoktrin dogma mewah modern, mungkin maksudnya adalah menanamkan visioner dalam mindset berpikirnya. yah mungkin.. namun hanya saja sepertinya hal seperti itu terlalu keliru juga.
Sulit buat anak kecil untuk berjalan ketika memakai sepatu berukuran dewasa. kalau kata francine joy, "untuk apa membelikan sepatu dewasa buang-buang uangji." ingat tolong di maknai analoginya dan kata francine joy lagi "lebih baik belliko beras sama ikan kering dariapa belliko fitzza, suapaya bisa terisi perutmu 3 kali dalam sehari."
Pada dasarnya memang iya, kegiatan yang selaku berlangsung setiap tahunnya ini adalah sebuah target pemasaran yang baik untuk PAD kab.sinjai tentunya. namun bukankah seharusnya hal itu dilakukan di fase yang berbeda saja?, kan ada suatu kegiatan juga yang di sebut pasar malam, konteksnya lebih tepat lagi bukannya di satukan dalam satu kegiatan.
Hari suci menurut para kadarnya bukanlah hari baik untuk dijadikan system perpajakan massal yang baik. kalau mau jual cd bokep jual lah di hari penjualan cd bokep, kan situ pemerintah bisa menentukan system penjadwalan dan penentuan waktu yang tepat namun bukan bijak. semoga masyarakat yang paham tentang strategi pemasaran ini tidak sedang berfikir bahwa pemerintah saat ini sedang mencederai citra rumahnya tamannya sendri hehe.. pisslah
Sinjai. 1 maret 2023
2 notes · View notes
groupe1 · 2 years ago
Text
Pengaruh Perkembangan Kesusastraan Feminisme Terhadap Kondisi Sosial
Andrea Fidella Irta Kusuma
(215110300111024)
Perjalanan panjang perkembangan kesusastraan selalu memunculkan suatu gagasan baru. Salah satunya aliran filsafat eksistensialisme karya Jean-Paul Sartre yang membahas keberadaan individu sebagai manusia. Adapun teori lain yang terinspirasi dari Sartre yaitu mengenai feminisme eksistensialisme karya Simone De Beauvoir yang berkembang pada abad XX. Kajian ini fokus menegakkan kebebasan dan kemandirian dari eksistensi perempuan itu sendiri. Aliran feminisme Beauvoir ini mengecam pandangan dan budaya yang mengasumsikan laki-laki sebagai subyek dan kaum perempuan sebagai objek mereka. Secara tegas, Beauvoir mengatakan perempuan sebagai subjek dapat secara lepas dan otonom memaknai kehidupannya sesuai dengan persepsinya sendiri, terlepas dari paradigma dan stereotipe yang berlaku di masyarakat. Beberapa contoh novel kebebasan karya Beauvoir yakni Le Deuxième Sexe 1949 tentang analisisnya terhadap perempuan dan Les Mandarins 1954 yang membahas pilihan moral para intelektual.
Perspektif feminisme eksistensialisme memberikan pengaruh yang cukup besar bagi situasi sosial di Prancis pada masa itu. Karya-karya feminis di Prancis berhasil membuka pemikiran masyarakat terkait diskriminasi dan problematika gender yang merugikan perempuan. Terlebih lagi perspektif ini berkembang pada masa Perang Dunia, sehingga mengubah arah sastra dari yang memperlihatkan pesimisme, skeptisisme, dan rasionalisme menjadi lebih menggaungkan semangat solidaritas dan rasa kemanusiaan. Karya-karya perlawanan dan pemberontakan terkait Perang Dunia saat itu disebarkan secara luas pada zona penduduk.
Sejak abad pertengahan, kondisi perempuan seringkali dianggap tidak mempunyai jiwa. Kehadiran feminisme eksistensialisme di Prancis sendiri merupakan wujud tuntutan rakyat yang ingin merekonstruksi kehidupan sosial dan politik, serta pemikiran tidak berdasar seperti itu. Oleh sebab itu, dampak yang ditimbulkan juga berpengaruh. Dampak sosial dari feminisme ini adalah memberikan kesempatan terhadap perempuan-perempuan dalam masyarakat untuk menunjukkan kemampuannya secara intelektual maupun bidang yang lain. Karya feminisme tersebut perlahan mulai menghapus adanya penindasan dan eksploitasi perempuan. Perempuan memiliki hak dan kesadaran untuk memilih peran yang tidak membelenggu kebebasan dan takdirnya. Misalnya dalam kehidupan rumah tangga, apabila mendapatkan kekerasan dari suami, istri berhak menunjukkan keberanian untuk melawan. Secara sosial, perjuangan eksistensialisme dilakukan dalam ranah domestik bukan di ranah publik.
Sumber:
L'Etudiant. (2022, Maret 8). Les huit dates clés de l’histoire des droits des femmes en France. Diakses dari https://www.letudiant.fr/lifestyle/engagement-et-vie-associative/article/les-8-dates-cles-de-l-histoire-des-droits-des-femmes-en-france.html 
Prameswari, N. P., Nugroho, W. B., & Mahadewi, N. M. (n.d.). Feminisme Eksistensial Simone de Beauvoir: Perjuangan Perempuan di Ranah Domestik. 1-12.
3 notes · View notes
beritaindonesia78 · 1 day ago
Text
Menjaga wibawa sarjana sebagai penentu kemajuan bangsa
 Oleh Sizuka
 Selasa, 1 Oktober 2024 15:08 WIB
Tumblr media
JAKARTA (ANTARA) - Merayakan Hari Sarjana Nasional rasanya tidak afdal bila belum berkenalan dengan Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak dari pahlawan emansipasi wanita RA Kartini. Siapa sosok Kartono, hingga begitu penting untuk kita ketahui bersama? Dialah orang Indonesia yang pertama meraih gelar sarjana pada tahun 1899, setelah berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Leiden University, Belanda.
Kartono, yang dalam banyak catatan sejarah digambarkan sebagai sosok yang haus ilmu pengetahuan, juga mengantongi kemampuan lain yang luar biasa. Putra Bupati Jepara itu mampu menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Indonesia.
Tentu tidak berlebihan jika pada akhirnya Kemendikbudristek memilih tanggal kelahiran Kartono (29 September) menjadi momen perayaan Hari Sarjana Nasional sejak 2014. Kini, setelah satu seperempat abad berlalu dan kita hidup di zaman kecerdasan buatan, bagaimana anak-anak muda sekarang memandang pentingnya mengenyam pendidikan hingga lulus perguruan tinggi?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun 2020 menunjukkan persentase penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang memiliki gelar sarjana atau lebih sekitar 9,78 persen dari total penduduk sebanyak 270 juta jiwa.
Persentase yang relatif kecil itu tentu bukan semata-mata pengaruh faktor ketidakmampuan masyarakat atas pembiayaan pendidikan. Sebab bila terkait faktor ekonomi, tersedia banyak jalan untuk mengupayakannya ketika pendidikan diposisikan sebagai kebutuhan prioritas. Apalagi bagi mereka yang berprestasi, banyak peluang memperoleh beasiswa. Dan untuk menjadi siswa/mahasiswa berprestasi hal yang sangat menentukan adalah kesungguhan belajar, bukan oleh berlimpahnya fasilitas dan besarnya anggaran jajan.
Demi menaikkan peluang anak muda memperoleh pendidikan hingga perguruan tinggi, pemerintah pun menghadirkan sejumlah program beasiswa, seperti yang dikelola LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) atau melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, juga berbagai pendidikan kedinasan yang dapat ditempuh secara gratis. Kementerian/lembaga pemerintah banyak pula yang menawarkan program beasiswa, belum lagi perusahaan-perusahaan swasta yang turut melakukan hal yang sama sebagai bagian amal sosial mereka.
Intinya, teramat banyak jalan menuju kampus bagi mereka yang gigih untuk meraih gelar sarjana. Memang, bukan sekadar berburu gelar. Predikat sarjana setidaknya mengindikasikan kualifikasi dan kompetensi SDM di bidang tertentu. Ketika memasuki dunia kerja, seorang sarjana akan menjadi tenaga ahli atau profesional. Jika memilih membangun usaha sendiri, mereka akan mampu mengembangkan inovasi dan kreativitas berbasis pengetahuan yang dimiliki.
Lulusan perguruan tinggi dinilai telah memiliki konstruksi berpikir yang terstruktur menjadikannya mampu membangun konsep program, mengatur strategi sampai pelaksanaan realisasinya secara efektif dan efisien. Sebuah kualifikasi minimal untuk kader kepemimpinan bangsa.
Maka perayaan Hari Sarjana Nasional dimaksudkan sebagai apresiasi peran para intelektual atas kontribusinya terhadap pembangunan dan kemajuan bangsa.
Sarjana atau gaya
Ada perbedaan cara pandang masyarakat dahulu dengan anak muda zaman sekarang. Dahulu, orang berpandangan bahwa anak yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi dan berhasil lulus dengan nilai terbaik adalah sebuah capaian yang membanggakan. Selanjutnya, sang sarjana melamar kerja di kantor pemerintahan menjadi abdi negara dengan mengenakan seragam khasnya. Orang tua akan bangga dan berbunga-bunga melihat itu semua. Foto-foto anak wisuda atau yang berseragam kerja tidak lupa dipajang di ruang tamu sebagai media publikasi untuk menyiarkan tentang kesuksesan anaknya pada tetangga dan sanak saudara yang bertandang.
Kini sebagian generasi kiwari lebih getol memburu popularitas dan ukuran kesuksesan berorientasi pada besaran uang yang berhasil diraup dari menjual ketenaran. Media sosial menjadi ladang karier yang gampang, instan, dan dianggap menjanjikan hanya dengan menggaet pengikut (follower) sebanyak-banyaknya. Padahal keberadaan pengikut itu tidak abadi. Sedikit saja seorang selebritas medsos melakukan kesalahan dan mengecewakan warganet, mereka akan pergi meninggalkannya. Dan pundi-pundi monetisasi akan hilang karenanya.
Memang begitu rumusnya, segala yang mudah datang akan mudah juga untuk menghilang. Karier yang dibangun tidak disertai fondasi pendidikan bersifat temporer, rapuh dan gampang tumbang ketika berada di ketinggian lalu tertiup angin kencang.
Belum lama ini Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS mengungkap data bahwa sebanyak 9,89 juta generasi Z menganggur, dalam artian tidak sedang mengikuti pendidikan atau pun bekerja. Di antara pengangguran itu sebanyak 5,2 juta orang tinggal di perkotaan dan 4,6 juta orang berada di perdesaan. Angka dari perkotaan justru lebih besar, disinyalir sebagian dari mereka tengah berkarier di media sosial, baik sebagai pemengaruh maupun sebagai kreator konten.
Uang dan popularitas begitu memikat generasi kini karena menjanjikan kehidupan gemerlap, sesuatu yang menghadirkan kesenangan. Gengsi dan gaya menjadi hal utama yang perlu diperjuangkan pemenuhannya.
Sementara orang tua masih berpegang teguh pada nilai-nilai substantif, seperti spiritualitas, idealisme, budi pekerti, adab, dan hal-hal fundamental lain, termasuk pentingnya pendidikan
0 notes
cacatotoofficial12 · 10 days ago
Text
Tumblr media
Metrum (bahasa Latin: metrum), juga disebut sebagai meter, adalah sebuah istilah dalam ilmu kesusastraan yang mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah baris puisi. Metrum juga bisa didefinisikan sebagai satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi.[1] Kaidah metrum berbeda-beda antara bahasa dan tradisi.
0 notes
m1totoslot · 26 days ago
Text
Menjaga wibawa sarjana sebagai penentu kemajuan bangsa
Tumblr media
Merayakan Hari Sarjana Nasional rasanya tidak afdal bila belum berkenalan dengan Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak dari pahlawan emansipasi wanita RA Kartini. Siapa sosok Kartono, hingga begitu penting untuk kita ketahui bersama? Dialah orang Indonesia yang pertama meraih gelar sarjana pada tahun 1899, setelah berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Leiden University, Belanda.
𝐁𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐋𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚 : Klik disini
0 notes
cacatoto7 · 27 days ago
Text
Tumblr media
AKU INGIN aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Sapardi Djoko Damono, 1989 Sajak-sajak 1971 umumnya adalah sajak-sajak yang bila dibaca penyair lain akan menimbulkan seru, “Mengapa saya tidak menulis seperti itu tentang itu!”. Dengan kata lain, merupakan puisi-puisi yang harus (karena layak) dicemburui… (Goenawan Mohamad) …ia telah menciptakan genre baru dalam kesusastraan Indonesia, yang sampai kini belum ada nama yang sesuai untuknya… Ia seorang penyair yang orisinal dan kreatif, yang eksperimeneksperimennya —inovasi yang sangat mengejutkan dalam segala kesederhanaannya… (A.Teeuw)
1 note · View note
punteuet · 2 months ago
Text
Lirik Ya Imamarrusli Lengkap Dalam Bahasa Arab Latin Dan Artinya
Ahmad Alfajri | Lirik Ya Imamarrusli Lengkap Dalam Bahasa Arab Latin Dan Artinya Kasidah “Ya Imamarusli” dikenal luas dalam tradisi lirik sholawat, yang sebenarnya adalah bentuk pujian mendalam terhadap Nabi Muhammad Saw. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kasidah merupakan sebuah puisi yang berasal dari kesusastraan Arab. Kasidah ini biasanya bersifat pujian, baik berupa satire…
0 notes
ikankoisposts · 5 months ago
Text
Tumblr media
Cinta bukan hanya sekedar berfikir tentang mu, ber celoteh hamba pada keinginanmu
Ini masalah kesusastraan yang hakiki
Seperti atau bahkan mirip dengan ketidak seimbangan kata bermakna seiman dan berbagi
Kupinang kau dengan logika reinkarnasi
49 notes · View notes
kobongkastrol · 3 months ago
Text
Dari Kartini hingga Kini, Bertungkus Lumus di Jalan Literasi
Jam tujuh pagi tanda bel berbunyi masih beberapa menit lagi di madrasah tempat saya mengajar sejak lima tahun lalu. Di lapangan, anak-anak OSIS dengan sigap menghamparkan terpal plastik agar bisa diduduki oleh siswa-siswa yang lain.
Di bagian depan, dekat tiang bendera, tiga orang guru bahasa Indonesia telah bersiap. Bu Lia, Bu Fifit, dan Bu Susi. Mereka akan memandu kegiatan pembiasaan yang sudah kami rutinkan. Kami menyebutnya sebagai "Serasi". Akronim dari Selasa Literasi. Sebuah acara sederhana dimana seluruh siswa diwajibkan membawa buku bacaan non pelajaran.
Lalu, seorang guru bahasa Indonesia meminta secara bergilir, dua sampai tiga siswa, untuk mengikhtisarkan hasil bacaan dari buku yang dibawanya di depan seluruh siswa. Terkadang, guna memantik motivasi siswa agar berani maju ke depan, ada hadiah kecil-kecilan yang disediakan oleh guru. Misalnya cokelat, alat tulis dan semacamnya.
Tak jarang juga diselingi pertanyaan trivia ihwal buku dan kesusastraan di akhir pembiasaan. Ada yang antusias mendengarkan, beberapa cuek saja, satu dua orang sibuk dengan telepon genggamnya. Tak apa. Oh, ya. Di akhir semester, setiap siswa mesti meresensi satu buku fiksi atau non fiksi dan kemudian dikumpulkan kepada guru bahasa Indonesia. Yang dianggap terbaik ada hadiahnya.
Barangkali aksi kami hanyalah setitik usaha menghidupkan gerakan literasi yang sudah dikampanyekan oleh pemerintah sejak lama, dan juga mengajarkan kepada siswa kemampuan membaca tingkat lanjut agar mereka sedikit demi sedikit bisa memahami sesuatu yang sederhana hingga kompleks.
Mungkin, apa yang kami praktikkan masih jauh apa yang diimpikan oleh Kang Maman Suherman, aktivis literasi dan perbukuan. Di sebuah reels Instagram, Kang Maman mengatakan bahwa literasi itu bukan hanya bisa membaca dan menulis, karena buta huruf di Indonesia tinggal sedikit lagi. Yang menjadi titik tekan apakah setelah membaca itu siswa bisa menuliskan apa yang ia baca, dan selanjutnya apakah siswa bisa mempraktikkan apa yg telah ia tuliskan.
Literasi itu, lanjut Kang Maman, sejatinya adalah mencerahkan, memperkaya wawasan, dan memberdayakan. Kang Maman optimis bahwa literasi masyarakat Indonesia akan meningkat sesuai apa yang kita harapkan.
Tak mudah mencapai tujuan literasi seperti apa yang dipersyaratkan oleh Kang Maman, akan tetapi dengan usaha dan kreativitas yang dilakukan oleh organisasi, komunitas atau individu yang terlibat dalam kegiatan literasi, bukan tak mungkin kita bisa menggapainya.
***
Menjadi bangsa yang melek huruf dari arti luas memang tak bisa diraih secara instan. Pelan tapi pasti kita sedang melangkah ke arah itu. Mari kita tengok sejarah perkara literasi yang disuntikkan perlahan, kurang lebih sejak seratusan tahun lalu.
Permulaan awal abad ke dua puluh adalah "angin segar" bagi kaum pribumi. Walaupun tetap saja secara de facto pemerintah kolonial Belanda masih mencengkeram wilayah Nusantara.
Sejumlah politisi di negeri Belanda menggagas apa yang disebut sebagai Politik Etis, yang bertumpu pada tiga hal, yakni edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Hal ini dilakukan sebagai upaya balas budi atas "kebaikan" yang telah dilakukan oleh penduduk Hindia Belanda selama ratusan tahun.
Di awal fajar abad ke dua puluh, muncul seorang perempuan yang berkemajuan melampaui zaman bernama Kartini. Ia mendobrak kebiasaan dan tradisi-tradisi yang berlaku pada masa itu dengan harapan bisa meningkatkan derajat perempuan. Ia memilih berjuang dengan tulisan, yang di kemudian hari pikiran-pikirannya itu menginspirasi perempuan bahwa mereka bisa menjadi apapun sepanjang mempunyai kemampuan.
Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja bertungkus lumus menulis sepak terjang Kartini. Menurut Pram bahwa Kartini dikenal orang justru karena statusnya sebagai pengarang melalui karangan-karangannya, baik dalam bentuk surat, catatan harian, puisi, maupun prosanya. Kartini sebagai seorang pengarang perempuan, pada waktu itu memang belum terlalu lumrah untuk diketahui oleh khalayak ramai.
Pernah suatu ketika, menurut Pramoedya, ia menulis tentang antropologi perkawinan yang terjadi di kalangan pembesar pribumi yang bahannya diambil sewaktu adiknya Kardinah kawin pada tahun 1903. Sebuah majalah di terbitan Nederland berkali- kali meminta izin untuk menerbitkannya, tetapi Kartini menolak. Redaksi majalah tersebut kembali mendesak, sekiranya Kartini tak setuju namanya dicantumkan, nama itu boleh dibuang. Kartini tetap menolak, dengan alasan biar dibuang nama itu, orang akan tetap tahu siapa penulisnya. Dan menurut Pram, alasan itu memang tepat, karena waktu
itu terlalu sedikit orang Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Belanda, lebih sedikit lagi yang karangannya sampai bisa diumumkan.
Namun, hal yang menjadi bagian penting dari kepengarangan Kartini adalah surat-menyurat. Surat-menyurat inilah yang kemudian dihimpun oleh Mr. J.H. Abendanon, pada waktu itu bekas Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda, dan diterbitkannya dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Indonesianya, yang dikenal selama ini: Habis Gelap Terbitlah Terang.
Bersamaan itu pula mulai timbul kesadaran kebangsaan, barangkali efek samping Politik Etis yang menyengat pada bangsawan pribumi, yang kemudian oleh Abdul Rivai disebut bahwa saat ini tak hanya bangsawan usul tetapi juga telah hadir bangsawan pikiran.         R.E Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan menyebut nama Raden Mas Tirtoadisuryo yang sangat yakin dengan kekuatan pendidikan barat dan gagasan baru, serta pentingnya pers dalam menyebarkan keduanya.
Tirtoadisuryo sendiri sudah mendirikan koran pribumi pertama pada tahun 1903 dan terkenal karena mendirikan koran mingguan Medan Priyayi di Bandung pada 1907. Penulis masyhur cum kandidat Nobel Sastra, Pramoedya Ananta, Toer tak ragu lagi menyebutnya sebagai Sang Pemula. Peran Tirtoadisuryo dengan media cetaknya menginjeksi para pembacanya perihal munculnya rasa kebangsaan sebagai kaum pribumi yang ditindas oleh kaum kolonial.
Dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, kebijakan Redaksi Medan Prijaji yang diambil Tirto adalah dengan memberi kelonggaran kepada pembacanya menulis apa saja dan mengadukan hak-haknya yang dicurangi. Kalau ada surat-surat seperti itu, tugas Tirto memberi komentar. Itu artinya, pada masanya, Tirto memperlakukan Medan Prijaji betul-betul sebagai pengawal pendapat umum. Sepak terjang Tirto itu kemudian membuat sosok Tirto dalam kurun yang sama menjadi manusia berbahaya bagi pemerintahan kolonial lantaran ia telah mengubah cara berkeluh kesah publik dengan cara paling modern, yakni lewat koran.
Setahun setelah terbitnya Medan Priyayi, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan Komisi Bacaan Rakyat yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka, sebuah institusi yang berdiri di Batavia sejak 15 Agustus 1908. Balai Pustaka, tulis P Swantoro, dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu merupakan salah satu
lembaga kebanggaan pemerintah Hindia Belanda karena dinilai berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan buku-buku bacaan di Masyarakat Hindia Belanda.
Terlepas ada motif politik atau tidak dalam memilih dan memilah mana bacaan yang boleh dan tidak boleh, Balai Pustaka barangkali telah berjasa menyuburkan minat membaca masyarakat pada waktu itu. Keberadaan Balai Pustaka, tulis Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, berperan penting dalam penyediaan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia.
Roman-roman seperti Atheis, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat dan lain-lain menjadi bacaan populer yang dinikmati oleh kaum pribumi saat itu. Pengarang-pengarangnya dalam sejarah kesusasteraan Indonesia bahkan dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar dan lain sebagainya.
Selain menerbitkan buku-buku, masih menurut P Swantoro, Balai Pustaka menerbitkan majalah Pandji Poestaka, juga mengeluarkan mingguan berbahasa Sunda, Parahiangan, dan majalah berbahasa Jawa, Kejawen. Di samping itu ada lagi produk Balai Pustaka yang tak kalah populer dibandingkan ketiga berkala tersebut yakni Volksalmanak, Almanak Rakyat yang terbit setahun sekali dalam tiga bahasa: Melayu, Jawa, Sunda. Setiap edisi bertiras seratus ribu eksemplar, tebal sekitar 300 halaman. Lumrah jika terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda, karena secara demografis banyak yang menjadi penuturnya.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan Balai Pustaka sebagai lembaga yang memproduksi bacaan rakyat sedikit banyaknya telah menumbuhkan minat baca pada kaum pribumi, terutama pada mereka yang mengenyam pendidikan masa kolonial imbas dari politik etis. Hasil-hasil bacaan itu, pada sisi lain, menggemakan apa yang disebut kesadaran kebangsaan yang tertanam kepada sejumlah bangsawan-bangsawan fikiran hasil sekolahan. Sebutlah misalnya Tan Malaka yang menulis traktat Menuju Indonesia Merdeka atau Sukarno yang menulis pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan di pengadilan Bandung.
Musim semi cara-cara baru mengalahkan kolonialisme Belanda selain-meminjam istilah Ben Anderson-kapitalisme cetak, juga memunculkan organisasi-organisasi politik dan massa. Inilah salah satu strategi menghadapi kolonialisme versi abad kedua puluh. Muhammadiyah adalah salah satunya.
Organisasi massa Islam yang berdiri pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan ini tergolong pionir setelah Sarekat Dagang Islam yang bersalin rupa menjadi Sarekat Islam. Muhammadiyah awalnya hanya beroperasi di Yogyakarta dan kemudian Jawa. Lambat laun mulai menjangkau ke seluruh Hindia Belanda.
Untuk menjaga dan mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah, secara cerdas dan visioner Kiai Dahlan merintis bahwa dakwah tak hanya omongan belaka yang sifatnya terbatas, namun mesti diimbangi dengan dakwah bil qalam atau melalui pena yang bisa menjangkau segmentasi umat yang lebih luas.
Tak lama sejak pendirian Muhammadiyah, ormas Islam ini kemudian merintis pendirian majalah Suara Muhammadiyah, yang menurut temuan sejarawan Kuntowijoyo bahwa majalah Suara Muhammadiyah tertua yang bisa ditemukan secara fisik di perpustakaan Universitas Leiden Belanda adalah nomor 2 tahun ke-I tahun 1915 M/1333 H.
Menurut Sejarah Seabad Suara Muhammadiyah Jilid 1 (1915-1963), penemuan Kuntowijoyo itu mengubah pandangan tentang jejak Suara Muhammadiyah untuk seterusnya. Diakui bahwa Suara Muhammadiyah mulai lahir pada Januari 1915. Sejak edisi 1990, tahun 1915 inilah yang dipakai sebagai patokan dalam menentukan kelahiran majalah ini dan umurnya kemudian.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang sejak awalnya ingin memajukan Islam secara modern dan berkemajuan, meyakini bahwa suasana zaman pada waktu itu oleh Kiai Dahlan jauh tertinggal oleh kaum penjajah. Umat Islam mengalami inferior dan tidak percaya diri menegaskan identitas keislamannya.
KH Ahmad Dahlan mendidik umat dengan sedikit pendekatan yang bisa jadi tak “umum”, melalui sekolah, amal usaha kesehatan, dan bacaan-bacaan keislaman yang di produksi oleh Taman Pustaka Muhammadiyah agar umat Islam tak ketinggalan zaman dan juga wawasan.
Mengutip dari mpi.muhammadiyah.or.id, H.M Mokhtar, ketua bagian Taman Pustaka Muhammadiyah menyampaikan dengan tegas di depan KH Ahmad Dahlan bahwa “Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguh- sungguh berusaha menyiarkan agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cuma-cuma, atau dengan Majalah bulanan berkala, atau tengah bulanan baik yang dengan cuma cuma maupun dengan berlengganan; dan dengan buku
agama Islam baik yang prodeo tanpa beli, maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah.
Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka, harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam, ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud. Bahagian Taman Pustaka hendak membangun dan membina gedung Taman Pustaka untuk umum, dimana-mana tempat dipandang perlu. Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam.”
Inilah bentuk sumbangan kreativitas literasi Muhammadiyah yang turut andil dalam menyadarkan umat dan juga masyarakat. Bahkan, lanjut Sejarah Seabad Suara Muhammadiyah Jilid 1 (1915-1963), di paruh pertama dekade 1930-an, umpamanya, ada beberapa majalah yang diterbitkan oleh organisasi maupun warga Muhammadiyah. Seperti majalah Moetiara, Wali Songo (dengan kantor administrasi di Muhammadiyah Cabang Wates), Pemimpin Moeballigh (dengam kantor administrasi di Kepandaian 13, Palembang), Sentosa (Konsul Bengkulu), dan Menara Koedoes (Bagian Taman Pustaka Cabang Kudus). Tak ketinggalan majalah bulanan bertajuk Pantjaran Amal yang diterbitkan oleh Muhammadiyah Cabang Betawi Bagian Tabligh.
Kombinasi antara kerja-kerja organisasi politik, ormas berbasis agama, dan tulisan-tulisan yang menyadarkan bahwa kolonialisme harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, membawa Indonesia ke dalam- meminjam istilah Bung Karno-jembatan emas bernama kemerdekaan. Walaupun hanya sedikit yang baru bisa membaca dan menulis di awal kemerdekaan, tak menyurutkan Bung Karno dan Bung Hatta pantang mundur ke belakang.
Sejumlah penulis dan sastrawan Angkatan 45 justru memanfaatkan momentum ini untuk mengobarkan semangat perlawanan. Penyair Chairil Anwar hadir lewat “Karawang Bekasi”, “Diponegoro”, dan “Siap Sedia”. Idrus menyodorkan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dalam merekam kisah-kisah revolusi yang mungkin saja terjadi kekonyolan di sana sini. Kepengarangan Pramoedya Ananta Toer juga diawali sejak masa revolusi.
Ia pernah menyerahkan naskah Sepoeloeh Kepala NICA dan kemudian hilang di tangan penerbit Balingka. Suasana kemerdekaan dan liku-likunya ia rekam dalam Di Tepi Kali Bekasi. Namun yang kemudian membawa namanya melambung tinggi adalah ketika Tetralogi Buru edisi pertama terbit oleh Penerbit Hasta Mitra. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca dibaca secara sembunyi-sembunyi oleh para aktivias mahasiswa pada saat itu.
Barangkali ada semacam rasa tak lengkap kalau aktivis tak membaca karya Pram. Zaman kemudian berubah, beberapa waktu lalu, saat Kemendikbud merilis Sastra Masuk Kurikulum, Bumi Manusia masuk ke dalam buku yang direkomendasikan untuk dibaca.
***
Mungkin tak terbayangkan bahwa kita akan mengalami revolusi digital yang begitu rupa pada saat ini. Internet di Indonesia yang mulai diperkenalkan pada tahun 1990-an mulai mulai mereduksi relung-relung kehidupan bahkan yang paling subtil sekalipun.
Jarak dan waktu tak menjadi soal yang berarti. Surat elektronik menggantikan surat dalam bentuk lembaran kertas yang mesti dikirim oleh pos atau kurir. Paket data internet membawa aplikasi apapun guna mempermudah apa yang kita inginkan.
Menulis yang dulu misalnya harus lewat media konvensional macam buku, majalah, dan koran, seolah menjadi ketinggalan zaman. Tergantikan dengan blog, medium, platform media sosial yang menyediakan fitur "note", hingga aplikasi menulis yang mempermudah orang untuk berkarya.
Banyak sekali penulis-penulis yang lahir akibat kecanggihan revolusi internet. Raditya Dika, seorang penulis, youtuber kondang, dan pendiri stand up comedy di Indonesia mengawali karirnya dengan menulis cerita-cerita lucu di blog. Lalu dibukukan dan sebagian diangkat ke layar lebar.
Agustinus Wibowo, penulis cum penjelajah menuliskan pengalaman mengeksplorasi tempat-tempat di seluruh dunia mulanya dari halaman-halaman internet dan kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol, Jalan Panjang untuk Pulang menjadi buku-buku laris. Harus diakui bahwa penulis-penulis generasi mutakhir memengaruhi begitu banyak orang yang ingin berkarier pada jalur yang sama walaupun tentu saja akan memberikan hasil berbeda.
Paling terkini adalah ketika Martin Suryajaya yang dikenal sebagai dosen, penulis filsafat, novelis dan juga kritikus sastra memanfaatkan kecanggihan Artificial Intelligence (AI). Ia, pada tahun 2023 meluncurkan buku yang bertajuk Penyair sebagai Mesin.
Dari froyonian.com disebutkan bahwa buku itu membuka mata pembaca soal perkembangan dunia sastra dari kacamata AI. Buku yang disusun 2,5 bulan tersebut dibalut dengan ilustrasi penyair legendaris Chairil Anwar dengan beberapa bab yang salah satunya membahas eksperimen Martin dalam mengumpulkan korpus puisi-puisi Indonesia dan melatih mesin AI untuk melihat bagaimana teknologi ini bisa membuat karya serupa. Kecerdasan artifisial apakah menjadi “ancaman” atau berkah di segala bidang kehidupan, itu semua bergantung pada kita sebagai manusia di belakang kemudi AI.
Dari perjalanan literasi bangsa yang sudah dikemukakan di atas, setidaknya kita bisa melihat adanya tonggak-tonggak pembentukan, lalu perkembangan, dan kemudian merespon konteks zaman yang terus menerus berubah. Tujuannya tak lain adalah memberikan pencerahan, memperkaya wawasan, memberdayakan lalu menggerakkan. Menghidupkan literasi mungkin seperti melangkah di jalan sunyi, namun percayalah, majunya peradaban sebuah bangsa dimulai oleh segelintir orang yang bersikeras mengajarkan huruf, angka, dan juga aksara.
0 notes
ziaziia · 4 months ago
Text
Pendidikan dan Sastra
Saya tidak sengaja tecemplung dalam dunia kesusastraan Arab. Atau sengaja menyemplungkan diri? Ntah lah karena apa, yang jelas sejak pertama kali belajar bahasa Arab dengan Pak Sobari alias Pak Obay saat MTs dahulu, hati saya langsung merasa terpikat.
Pun dengan obrolan bersama teman-teman di kelas saat duduk di bangku kelas dua Tsanawiyah, Ada sebuah obrolan yang memiliki hikmah besar bagi saya saat ini. Yaitu ketika kita saling mendebatkan perkara membaca Al Qur'an. Yap. Membaca/menyentuh alquran bagi wanita haid. Saat itu adalah masa-masa dimana kami para remaja-remaja perempuan baru merasakan baligh. Di tengah perdebatan yang sengit diantara kami saat itu, yang ternyata perdebatan terkait perempuan haid membaca/menyentuh Qur'an sudah ada sejak lama. Saya tetap pada prinsip bahwa "Quran itu petunjuk, jika memang Allah menurunkannya untuk menjadi petunjuk kehidupan, kenapa kita tidak boleh membacany."
Ternyata perdebatan tersebut sudah ada sejak lama. Dan para ulama pun telah beberkan dalil terkait hukum tersebut. Yang mana saat semakin dewasa saya menemuka jawabannya di pesantren tempat saya menimba ilmu ketika SMA dan di pesantren tempat saya menghafal quran ketika kuliah.
Semenyenangkan itu ternyata berdekat-dekat dengan Al Qur'an. Dan selama masa SMA-Kuliah, saya buanyak sekali belajar berhikmah bagaimana menjalani hidup ini sesuai panduan syariat sesuai tuntunan Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasalam. Meskipun ternyata saya harus menjalani hari dengan cara yang berbeda dengan orang lain karena karunia Allah berupa sakit yang tidak biasa menurut pandangan orang awam. Saya yakin bahwa Allah lah yang menuntun saya sampai pada titik sejauh ini. Sebagaimana fitrah saya sebagai perempuan.
Allah pilihkan saya diterima kuliah pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab tidak lah mungkin tanpa sebab. Meski saya tidak berlatar belakang sekolah dengan bahasa Arab aktif, saya malah memilih jurusan 'jurang' yang mungkin menjadi seram bagi sebagian orang. Dan ternyata saya paham kenapa jurusan tersebut menjadi seram bagi sebagian orang setelah saya masuk ke dalamnya. Niat sederhana saya ingin kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Arab adalah hanya untuk agar saya dapa memahami isi panduan kitab suci Al Qur'an. Sesederhana itu. Tapi ternyata Allah karuniakan banyak hal dengan niat sederhana tersebut. Allah tempatkan saya menjadi orang paling tinggi dalam organisasi tingkat jurusan pada tahun kedua masa kuliah. Allah bantu saya menyelesaikan tugas akhir yang sudah seperti hari akhir dengan banyak dukungan dari keluarga dan teman.
Banyak sekali ruang belajar yang saya masuki pada masa kuliah terserbut. Terutama ruang belajar tentang keberlangsungan kehidupan di dunia ini. Yap. Meski aktif di tingkat jurusan, saya juga aktif di unit kegiatan dakwah kampus. Lembaga yang akhirnya menguatkan saya menjalani hari sebagai pribadi muslim yang sejati. Yang benar niatnya, tulus hatinya, indah caranya, bermanfaat ujungnya. Pribadi yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tapi juga umat. Nahnu Dua Qobla Kulli Syai (Kita adalah Dai sebelum menjadi apapun). Kalimat ini begitu kuat tertanam dalam diri saya yang akhirnya membawa saya kepada jalan yang Allah bimbing ini. Yap. Jalan pendidikan berbasis sastra. Ternyata pendidikan berbasis kesusastraan bukanlah hal yang baru. Ia telah ada sejak masa lalu. Allah yang ngaturnya, yang menjaganya, yang membimbing Nabi-Nya melalui Kalam-Nya. Yap. Kalam Allah adalah sastra tertinggi dalam kehidupan ini. Yang membuatnya terjaga dan terus mengalir dari generasi ke generasi melalui pendidikan keumatan ini. Melalui syariat Islam ini. Semoga Allah mampukan saya berkecimpung dan beraktivitas pada latar pendidikan dan minat yang Allah tuntunkan hati saya ini. Aamiin
0 notes
ubr30 · 10 months ago
Text
Lapis Realitas Penyair Kini (Tanggapan atas Hasan Aspahani dan Binhad Nurrohmat) [Kompas, 5 Sept 2021]
Walau puisi itu sebuah dunia rekaan, namun pada dasarnya tidak berjarak dari keseharian. Imajinasi yang utuh dalam puisi tersusun dari aneka serpihan pengalaman, remah angan, dan juga pengharapan.
Jauh sebelum masa pandemi, di halaman budaya Kompas Minggu ini saya menulis sebuah esai bertajuk ”Ilusi Globalisasi, Mantra Visual dan Mimikri yang Mengelabui” (2009), mengungkapkan bahwa kemajuan dunia audiovisual di era digital memang tak selamanya menjadi rahmat. Melekat dalam media-media modern itu sebentuk kecanggihan yang penuh godaan manipulasi; melalui ketajaman mata kamera dan seperangkat teknologi di studio, sebuah peristiwa nyata bisa dikemas sedemikian rupa sehingga hadir lebih estetis, lebih imajinatif dari realitas yang sebenarnya.
Kehadiran teknologi informasi memicu perubahan segala lini. Dan gawai adalah keniscayaan tak terelakkan; secara serentak dan seketika dapat menghubungkan manusia dari belahan bumi mana pun melalui streaming ataupun suguhan peristiwa secara daring—mengubah konsep ruang dan waktu; disadari atau tidak, menghadirkan realitas baru; sebentuk realitas virtual.
Seturut itu, Covid-19 merundung masyarakat, berikut penerapan social distancing (pembatasan sosial) dan kewajiban prokes (prosedur kesehatan). Tidakkah hakikatnya pandemi sejagat ini kian menegaskan keberadaan realitas virtual, selain realitas senyatanya yang kasatmata dan realitas imajiner (dunia imajinasi pemicu kreativitas). Pada galibnya, realitas virtual bukanlah tiruan keduanya.
Dunia rekaan virtual yang bahkan lebih nyata dari kenyataan menampilkan sebuah rekayasa audiovisual yang kerap bersifat ’manipulatif’, mengaburkan batas yang fiksional dan yang faktual. Penyedia layanan aplikasi berlomba-lomba menawarkan ’dunia fantasia’ tak terbayangkan kepada para pengguna media sosial. Misalnya, seseorang kini bisa berduet nyanyi dengan siapa saja melalui gawai lalu ditonton jutaan orang. Dengan mudahnya siapa saja bersalin rupa menjadi tua atau muda, perempuan menjelma laki-laki atau sebaliknya; menyerupai aktor/aktris idamannya. Bahkan dapat menghapus serta mengganti latar belakang foto, berikut hal menakjubkan lainnya.
Pada dunia simulacra kini yang menghamba digitalisasi ini, bagaimanakah kehidupan kreatif kesenian, khususnya susastra, apakah mengalami dinamisasi atau stagnasi? Pada esainya di Kompas Minggu (8/8/2021), Hasan Aspahani mempersoalkan perihal belum mengemukanya inovator dalam ekosistem kesusastraan, utamanya karya puisi. Tulisannya menyiratkan nada prihatin sesuai seruan tajuknya, ”Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian?
”Binhad Nurrohmat, dalam tanggapannya (Kompas Minggu, 22/8/2021) ”Fundamentalisme Puisi”, juga menyoal ada atau tidaknya serta bagaimana reka-baru (innovation) dalam dunia susastra, seraya mengungkapkan bahwa konteks reka-baru puisi pada masa ini berbeda dengan masa lain, misalnya zaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Diungkap pula sejauh mana peran pihak legitimator sebagaimana HB Jassin dalam meneguhkan sosok-sosok sastrawan atau penyair ’terpilih’ itu untuk ditahbiskan menjadi ikon-ikon zaman.
***
Di sisi susastra, realitas virtual yang membanjiri keseharian kita dengan labirin kenyataan (melampaui rasa, nalar, dan imajinasi); pada hakikatnya menohokkan tuntutan tentang kebutuhan akan suatu bahasa ungkap baru yang lahir dari suatu cara pandang baru pula. Banyak nilai yang harus dikaji ulang; segala yang dulu dipandang baku dan memuaskan, kini tak kuasa memenuhi hasrat pencaharian akan kesejatian ”kebenaran”. Bahkan, dalam peristiwa bahasa pun, yang dulu terbaca mencekam, kini boleh jadi terbaca datar dan wajar saja.
Perubahan cara pandang itu hanya mungkin diraih apabila telah rekah kesadaran baru betapa berlapisnya realitas yang dihadapi hari ini. Upaya pencarian dan pembaruan itu tidak cukup hanya dengan mengedepankan inovasi (reka-baru) sebatas penggalian stilistik, estetik, ataupun ragam tematik, melainkan menyarankan pentingnya paradigma baru.
Percepatan perubahan yang dipicu laju kemajuan teknologi informasi itu mendorong terjadinya ’chaostic sosial kultural’, di mana identitas diri tertransformasikan menuju sebuah wilayah sosial kultural yang tak berjuntrung atau tak jelas arahnya, bahkan tak tertutup kemungkinan banyak pribadi teralienasi, kehilangan sikap kritis dan terbawa dalam beragam bentuk amnesia sosial. Tampilan audiovisual dalam gawai bersifat ritmis dan sugestif, lambat laun ’menyulap’ pemirsa, dari sang subyek yang merdeka berubah menjadi obyek yang tersandera; melahirkan masyarakat yang kian obsesif dan delutif.
Rekahnya kesadaran baru itu didasari kenyataan sekaligus pertanyaan, tentang bagaimana rasa kemanusiaan bekerja dalam diri manusia di era digital ini. Ketika peristiwa kematian belum luas ditayangkan dan diviralkan di media sosial, sebuah esai Czeslaw Milosz, pemenang Nobel dari Polandia, yang mengisahkan bagaimana ia menyaksikan seorang gadis remaja Yahudi yang tewas ditembak tentara Nazi, terasa dramatis. Akan tetapi, boleh jadi kini tulisan tersebut, jika dibaca ulang, tak sepenuhnya seberpengaruh dulu. Atau malahan menimbulkan sensasi rasa yang tak jauh beda dengan ketika pemirsa ”menikmati” tayangan kekerasan yang setiap hari hadir di televisi atau aneka kanal media sosial.
Demikian pula halnya puisi Catetan Th. 1946 atau Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar, atau sajak-sajak pamflet WS Rendra, dan sejumlah puisi penyair kanon lainnya, boleh jadi hadir menyapa khalayak luas era realitas virtual ini dengan sentuhan cita rasa yang tidak sedalam sebagaimana dihayati masyarakat pada era-era sebelumnya.
Tertaut hal ini, walau puisi itu sebuah dunia rekaan, namun pada dasarnya tidak berjarak dari keseharian. Imajinasi yang utuh dalam puisi tersusun dari aneka serpihan pengalaman, remah angan dan juga pengharapan—bagian tak terpisahkan dari cara kita bersikap menghayati hidup dan keseharian. Puisi adalah dunia yang kompleks, bukan rumit akibat kerancuan berbahasa ataupun bernalar dalam menghayati lapis demi lapis kenyataan. Sang ”aku” dalam sajak tak pelak masih memiliki kemerdekaan, tetapi tipisnya batas antara ruang publik dan ruang pribadi menyulitkan siapa pun untuk menjadi sosok individual yang sepenuhnya soliter.
Penyair yang tanggap, dengan kesadaran dan cara pandang baru atas realitas kini yang berlapis itu, barulah terbuka kemungkinan kreatifnya untuk menciptakan karya-karya yang tidak semata dipicu oleh pengalaman berbahasa (intrisik), melainkan juga oleh sensitivitasnya akan suatu percepatan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan sosial-globalnya (ekstrinsik). Melalui bahasa puisinya yang otentik, berkarakter, serta universal berupaya mengungkapkan renungannya secara sistematis melalui sarana artistik serta intelektual dalam suatu dialektika di mana ’sang aku’ adalah cerminan masyarakat, pelaku yang sesungguhnya yang mengalami dan menghayati perubahan.
Warih Wisatsana
Penyair dan kurator
0 notes
anormalbinsan · 1 year ago
Text
Mengungkap Kekuatan Cerpen: Saatnya Merenungkan
Tumblr media
Cerpen, atau cerita singkat, adalah salah satu bentuk sastra yang telah ada sejak dulu dan tetap menjadi salah satu media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, memukau perasaan pembaca, dan menggambarkan kompleksitas manusia. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi kecantikan dan kekuatan cerita pendek dalam dunia sastra.
Kisah pendek, sebagai singkatan dari cerita pendek, adalah karya sastra yang berfokus pada kisah yang pendek, namun seringkali penuh dengan makna yang mendalam. Saat ini, cerpen telah menjadi jenis kesusastraan yang sangat populer, dengan penyair dari segala lapisan masyarakat mengeksplorasi potensinya untuk menghadirkan berbagai cerita yang beragam. Namun, apa yang memberikan daya tarik kepada cerita pendek sangat menawan, dan apa yang membuatnya penting dalam alam sastra?
Bisa dipastikan cerpen memiliki kemampuan untuk menggambarkan berbagai motif dan konsep dalam lingkup yang tersempit. Meskipun kisahnya singkat, cerpen mampu meneruskan pesan tersirat yang kuat dan kompleks kepada penggemar. Penulis cerpen wajib seleksi kata-kata dengan teliti, menjaga alur cerita agar teratur, dan menggabungkan elemen-elemen cerita ke dalam keseluruhan yang kohesif. Inilah yang menjadikan cerpen sebagai jenis seni sastra yang mengesankan.
Lalu, cerpen memegang keahlian untuk merangkum kehidupan dan perasaan manusia dengan cara yang dalam komprehensif. Dalam cerpen, kita bisa melihat berbagai bidang kemanusiaan, mulai dari perasaan sayang, kehilangan diri, pertumbuhan, hingga pertikaian dan kemelut sosial. Seorang penulis cerpen dapat membuat karakter yang kompleks dan dalam, menjadikan mereka begitu nyata sehingga para penikmat merasa terhubung secara perasaan. Dalam cerpen, kita bisa menyaksikan gambaran miniatur dari kehidupan yang lebih besar.
Di samping itu, cerpen juga memiliki keahlian untuk menginspirasi, merangsang pikiran, dan memprovokasi perdebatan. Karya cerpen seringkali menimbulkan pertanyaan yang menekan pembaca untuk berpikir tentang makna kehidupan, moralitas, atau realitas sosial. Dengan kata lain, cerpen bukan hanya menyenangkan, tetapi juga mendorong pemikiran analitis dan refleksi.
Keindahan cerpen juga ada dalam ketrampilannya untuk memanfaatkan bahasa dengan indah. Penulis cerpen mesti menguasai seni merangkai kata-kata agar ceritanya bisa berbicara kepada pembaca dengan kekaguman yang luar biasa. Setiap kata dan kalimat dipilih dengan teliti untuk menciptakan nuansa dan atmosfer yang sesuai dengan cerita. Itulah sebabnya cerpen seringkali menjadi referensi yang bagus untuk mempelajari menulis dengan efektif.
Dalam catatan sastra, banyak cerpen yang telah menggetar dunia dengan gdaya Ilustrasi klasik seperti "The Tell-Tale Heart" oleh Edgar Allan Poe, "The Lottery" karya Shirley Jackson, dan "The Gift of the Magi" karya O. Henry tetap menjadi bacaan yang tak terlupakan. Mereka menggunakan gdaya cerpen untuk menyelidiki sudut gelap manusia, menonjolkan ketidakpastian hidup, atau mengungkapkan makna moral dengan metode yang menantang.
Kisah pendek juga memiliki keunikan dalam kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai sarana. Bukan hanya dalam format teks yang dapat kita nikmati cerita pendek, tetapi juga dalam bentuk film pendek, podcast, atau bahkan pertunjukan panggung. Cerpenesia punya pesona yang luas dan mampu memotivasi berbagai macam seni lainnya.
Di dunia modern, jaringan internet telah bertransformasi menjadi tempat yang vital bagi sasterawan cerpen untuk menyebarkan karya mereka dengan audien yang lebih besar. Banyak portal dan komunitas penulis online memberikan kesempatan kepada penulis untuk menerbitkan cerpen mereka independen, tanpa wajib menggunakan penerbit besar. Ini menyediakan peluang bagi penulis pendatang baru untuk memperoleh pengakuan dan mendapatkan umpan balik dari audien.
Dalam kesimpulan, cerpen merupakan bentuk sastra yang memikat dan kuat. Dalam kata-kata yang cukup sedikit, cerpen mampu mengungkapkan pesan yang kaya makna, menjelaskan kehidupan manusia dengan elok, dan mendorong pemikiran kritis. Keindahannya ditemukan dalam keahliannya untuk mengutilisasikan bahasa dengan teliti dan merangkai kata-kata dengan baik. Cerpen adalah salah satu bentuk sastra yang telah menjadi dan akan terus menjadi bagian integral dari dunia sastra, karena kekuatannya untuk menyatukan kita dengan aspek-aspek paling terdalam dari manusia.
0 notes