groupe1 · 2 years ago
Text
Sejarah Perkembangan Écriture Féminine Prancis dan Dampaknya Terhadap Sastra Feminisme Modern
Shafira Melinda Putri
(215110301111018)
Dalam écriture féminine atau yang juga dikenal “tulisan perempuan” mengedepankan pentingnya bahasa dalam pemahaman psikis tentang diri sendiri yang memaksa untuk mengikuti cerita hingga  akhir dengan gaya penulisan yang sangat puitis dan penuh dengan perasaan yang sangat deskriptif. Dengan tulisan écriture féminine para perempuan menyangkal stigma yang salah terhadap mereka. Tulisan ini bahkan mengekspresikan para perempuan memiliki imajinasi yang kuat, gamblang dalam mengungkapkan perasaan serta merajut intuisi mereka menjadi suatu karya yang menarik perhatian para pembaca, adanya karya-karya seperti inilah menjadi titik terang bagi para perempuan di prancis bahwa mereka berhak untuk mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara.
Perempuan akhirnya sadar bahwa dari sebuah karya tulisan menyelamatkan takdir mereka, yakni dengan mereka bersuara melalui media sastra dan tulis mengangkat derajat, hak dan kewajiban mereka di berbagai aspek kehidupan. Terus-menerus Ecriture Feminine berkembang bukan lagi menjadi karya sastra namun sebuah pergerakan  yang dinamis mengikuti zaman. Berawal dari karya Hélène Cixous berjudul “The Laugh Of Medusa” yang memiliki makna sang Medusa kembali tertawa setelah terlepas dari kekangan dan kutukan yang menjangkiti dirinya. Dari karya tersebut akhirnya muncul banyaknya penulis perempuan yang bahkan menguasai pasar buku dengan pemikiran mereka yang disalurkan bukan lagi hanya sebuah karya sastra novel, namun juga cerpen, essai, bahkan penulis naskah film.
Di Indonesia sendiri banyak penulis perempuan yang terkenal dengan bakat mereka yang lihai dalam menorehkan cerita melalui tinta dan kertas, berkembang menjadi sebuah wujud mahakarya yang diagung-agungkan oleh khalayak umum, terkhusus para penikmat karya sastra. Salah satu contoh yaitu Ayu Utami dan Dewi Lestari yang selalu mengangkat isu-isu perempuan dalam karya-karyanya. Melihat dari fenomena ini, kita dapat mengambil kesimpulan, dari sebuah tulisan perempuan kini kembali “hidup” dari belenggu yang dulunya mendarah daging dan mengkristal di masyarakat, bahwa perempuan hanyalah kepala logistik yang hanya mengurus urusan rumah tangga dan tak berhak memilih pilihannya sendiri.
Selain itu, dengan pergerakan karya sastra écriture féminine, membuka kesempatan perempuan dalam berbagai hal, bukanya hanya di bidang sastra. Namun membuka sudut pandang masyarakat dan memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk melakukan apa yang dia inginkan dan menentukan pilihannya tanpa perlu intrupsi dari pihak manapun. Perempuan akhirnya mengetahui fitranya yang sebenarnya. Kemudian, dengan adanya karya sastra dan tulis dari sudut pandang perempuan, menjadi kekuatan bagi komunitas perempuan untuk tetap bergerak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sampai saat ini belum terpenuhi.
Salah satu komunitas kepenulisan yang sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan adalah Malang Women Writers Society (MAWWS). Komunitas ini berusaha melawan stereotip kultur budaya dan dalam karya sastra. Komunitas ini terbentuk karena keresehan perempuan yakni perihal banyaknya karya sastra yang merendahkan perempuan atau membuat stereotip terhadap suatu budaya atau kelompok tertentu. Aquarina Kharisma sari seorang novelis sekaligus founder dari komunitas MAWWS juga mengkritik bahwa narasi cerita dalam media arus utama itu seakan memberikan standar sendiri apalagi berkaitan dengan gender, agama, dan budaya. Keinginannya yaitu masyarakat tidak terpaku pada narasi tunggal yang dibuat oleh media, tetapi budaya dan daerah dapat bernarasi sendiri-sendiri tanpa adanya pengaruh dari standar yang diciptakan oleh media.
Kini, kita menarik kesimpulan, jika dari sebuah karya tulis yang bersifat melenceng dari standar yang dibuat pada masanya, dapat memiliki dampak yang begitu besar. Bahkan tidak disangka dapat mengubah seluruh dunia. Diawali dari sebuah pemberontakan yang disusun secara indah dengan kata per kata, mengungkapkan perasaan dan keluh kesah kaum perempuan, menjadi sorotan masyarakat yang awalnya memiliki stigma yang selalu mengintil para perempuan, perlahan luruh, berganti menjadi pandangan yang lebih terbuka terhadap hak dan kesetaraan sosial. Sekarang perempuan lebih bebas untuk mengekspresikan dirinya dan berhak melawan stereotip yang dulu menjadi momok bagi perempuan.
Sumber:
Nisa’ul Fithri Mardani Shihab (oktober 2017). Ecriture Feminine dalam Tataran Penceritaan Novel The Powerbook Karya Jeanette Winterson.https://media.neliti.com/media/publications/241019-ecriture-feminine-dalam-tataran-pencerit-fa195b4f.pdf
Gigi Mazda (9 Febuari, 2019). MAWWS, Komunitas Penulis Perempuan Asal Malang yang Menggugat Streotip. Kumparan.
https://m.kumparan.com/amp/tugumalang-admin/mawws-komunitas-penulis-perempuan-asal-malang-yang-menggugat-streotip/
Ghina Atsill. (27 November 2020) Tawa Medusa’ dari Hélène Cixous dan Dampaknya Terhadap Kaum Perempuan. Kumparan. https://m.kumparan.com/amp/ghinaa-atsiil/tawa-medusa-dari-helene-cixous-dan-dampaknya-terhadap-kaum-perempuan/
0 notes
groupe1 · 2 years ago
Text
Awal Kebangkitan Perempuan di Prancis dan Dampaknya Terhadap Dunia (Bagian 2)
Syakira Reina M.
(215110307111005)
Sejarah feminisme di Prancis
Sejarah feminisme di Prancis mengambil langkah pertamanya pada akhir abad ke-19 dan diatur dalam tiga gelombang hingga hari ini. Kata feminisme muncul di bawah pena Alexandre Dumas, sebelum diambil oleh salah satu aktivis pertama pertarungan ini, Hubertine Auclert. Gelombang pertama berlangsung dari tahun 1880-an hingga Perang Dunia Pertama. Dipengaruhi oleh "suffragettes" bahasa Inggris, perempuan dimobilisasi untuk hak memilih, untuk kondisi kerja yang setara dengan laki-laki – sejak saat itu, mayoritas perempuan bekerja – dan untuk hak anak perempuan atas pendidikan yang identik dengan anak laki-laki. Gelombang ini dibawa oleh Maria Desraimes, Louise Michel, Séverine dan Marguerite Durand; dua yang terakhir menerbitkan surat kabar feminis pertama mereka, La Fronde.
Dampak Simone de Beauvoir terhadap sekitar
Pada 5 April 1971, Le Nouvel Observateur menerbitkan di halaman depannya nama-nama 343 pelacur. Manifesto ini, yang menyerukan legalisasi aborsi, ditulis oleh Simone de Beauvoir dan ditandatangani bersama oleh beberapa ratus tokoh perempuan. Idenya: untuk mengingatkan kita bahwa tubuh perempuan masih belum bebas dari dominasi patriarki. 50 tahun kemudian, manifesto ini masih mewujudkan apa yang diwakili Simone de Beauvoir dalam imajinasi kolektif: seorang wanita yang dengan tegas berkomitmen pada perjuangan feminis. 
“Simone de Beauvoir tidak mengenali dirinya dalam feminisme pada waktu itu. Dia menganggap bahwa feminisme tidak pernah, dan tidak akan pernah merupakan gerakan otonom” ucap Françoise Picq, seorang spesialis dalam sejarah feminisme.
Sumber:
Michel Dreyfus (2020, October 25). L’histoire du féminisme en France. Women Today. https://womentoday.fr/histoire-du-feminisme-en-france/
0 notes
groupe1 · 2 years ago
Text
Awal Kebangkitan Perempuan di Prancis dan Dampaknya Terhadap Dunia (Bagian 1)
Deo Pratama Sudri
(215110301111017)
Simone de Beauvoir: Sosok Feminisme Prancis Paling Berpengaruh.
Tumblr media
Simone de Beauvoir
( 1908 - 1986 )Sumber: https://www.laphamsquarterly.org/contributors/beauvoir
Simone de Beauvoir lahir di Paris, 9 Januari 1908. Ia merupakan tokoh feminisme dan ahli filsafat Prancis yang paling berpengaruh di abad ke-20an sekaligus seorang pengarang esai dan novel di bidang politik dan sosial. Simone lahir dari keluarga Borjuis yang menganut agama katolik. Ayahnya merupakan seorang atheis namun ibu nya memiliki pengabdian yang kuat terhadap agamanya. Simone dibesarkan sebagai manusia yang taat beragama, namun seiring berjalannya waktu ia mulai mempertanyakan eksistensialisme dirinya dan tuhan hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjadi Atheis seperti ayahnya.
Simone mulai mendedikasikan dirinya kepada ilmu filsafat dan eksistensialisme yang dibuktikan dengan karya-karya sastranya. Selama hidupnya, Simone selalu memperjuangkan hak-hak wanita dan mengutuk segala tindakan Patriarki melalui kritik yang dikemas dalam bentuk tulisan. Adapun salah satu karya sastranya yang berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second sex dalam bahasa inggris yang dirilis pada tahun 1949 berisikan tentang kritiknya terhadap budaya patriarki dan kedudukan kelas dua  yang selalu diberikan kepada perempuan. Dengan total lebih dari 1000 halaman, buku tersebut dicatat sebagai karya klasik yang memberikan eksplanasi tentang keadaan perempuan dan telah memberikan pengaruh yang cukup substansial dalam mendorong gerakan-gerakan feminisme atau pembebasan perempuan.
Dalam buku tersebut Simone de Beauvoir mengidentifikasikan  bahwa dalam lingkungan bermasyarakat wanita dituntut untuk memahami diri mereka sendiri hanya dalam kaitannya dengan pria, sedangkan pria didefinisikan dengan istilah mereka sendiri. Dengan kata lain, identitas wanita didefinisikan oleh hubungannya dengan pria. Dengan memahami "moralitas eksistensialis".
Tumblr media
Buku "Le deuxième sexe" karya Simone de Beauvoir 
Berkat pendapatnya tersebut buku Le deuxième sexe menuai berbagai macam kontroversi dan ditempatkan ke dalam daftar buku terlarang oleh Vatikan. Akan tetapi, hal tersebut tidak menurunkan semangat para tokoh feminisme dalam meraih keadilan bagi kaumnya hingga akhirnya buku tersebut meraih kesuksesan dan dijuluki sebagai "The Feminism Bible" hingga saat ini.
Sumber:
merdeka.com, (9 Januari 2021). "Peristiwa 9 Januari: Lahirnya Simone de Beauvoir, Filsuf Prancis dan ikon Feminis". Diakses pada 6 Desember 2022, dari https://m.merdeka.com/sumut/peristiwa-9-januari-lahirnya-simone-de-beauvoir-filsuf-prancis-dan-ikon-feminis-kln.html
1 note · View note
groupe1 · 2 years ago
Text
Pengaruh Perkembangan Kesusastraan Feminisme Terhadap Kondisi Sosial
Andrea Fidella Irta Kusuma
(215110300111024)
Perjalanan panjang perkembangan kesusastraan selalu memunculkan suatu gagasan baru. Salah satunya aliran filsafat eksistensialisme karya Jean-Paul Sartre yang membahas keberadaan individu sebagai manusia. Adapun teori lain yang terinspirasi dari Sartre yaitu mengenai feminisme eksistensialisme karya Simone De Beauvoir yang berkembang pada abad XX. Kajian ini fokus menegakkan kebebasan dan kemandirian dari eksistensi perempuan itu sendiri. Aliran feminisme Beauvoir ini mengecam pandangan dan budaya yang mengasumsikan laki-laki sebagai subyek dan kaum perempuan sebagai objek mereka. Secara tegas, Beauvoir mengatakan perempuan sebagai subjek dapat secara lepas dan otonom memaknai kehidupannya sesuai dengan persepsinya sendiri, terlepas dari paradigma dan stereotipe yang berlaku di masyarakat. Beberapa contoh novel kebebasan karya Beauvoir yakni Le Deuxième Sexe 1949 tentang analisisnya terhadap perempuan dan Les Mandarins 1954 yang membahas pilihan moral para intelektual.
Perspektif feminisme eksistensialisme memberikan pengaruh yang cukup besar bagi situasi sosial di Prancis pada masa itu. Karya-karya feminis di Prancis berhasil membuka pemikiran masyarakat terkait diskriminasi dan problematika gender yang merugikan perempuan. Terlebih lagi perspektif ini berkembang pada masa Perang Dunia, sehingga mengubah arah sastra dari yang memperlihatkan pesimisme, skeptisisme, dan rasionalisme menjadi lebih menggaungkan semangat solidaritas dan rasa kemanusiaan. Karya-karya perlawanan dan pemberontakan terkait Perang Dunia saat itu disebarkan secara luas pada zona penduduk.
Sejak abad pertengahan, kondisi perempuan seringkali dianggap tidak mempunyai jiwa. Kehadiran feminisme eksistensialisme di Prancis sendiri merupakan wujud tuntutan rakyat yang ingin merekonstruksi kehidupan sosial dan politik, serta pemikiran tidak berdasar seperti itu. Oleh sebab itu, dampak yang ditimbulkan juga berpengaruh. Dampak sosial dari feminisme ini adalah memberikan kesempatan terhadap perempuan-perempuan dalam masyarakat untuk menunjukkan kemampuannya secara intelektual maupun bidang yang lain. Karya feminisme tersebut perlahan mulai menghapus adanya penindasan dan eksploitasi perempuan. Perempuan memiliki hak dan kesadaran untuk memilih peran yang tidak membelenggu kebebasan dan takdirnya. Misalnya dalam kehidupan rumah tangga, apabila mendapatkan kekerasan dari suami, istri berhak menunjukkan keberanian untuk melawan. Secara sosial, perjuangan eksistensialisme dilakukan dalam ranah domestik bukan di ranah publik.
Sumber:
L'Etudiant. (2022, Maret 8). Les huit dates clés de l’histoire des droits des femmes en France. Diakses dari https://www.letudiant.fr/lifestyle/engagement-et-vie-associative/article/les-8-dates-cles-de-l-histoire-des-droits-des-femmes-en-france.html 
Prameswari, N. P., Nugroho, W. B., & Mahadewi, N. M. (n.d.). Feminisme Eksistensial Simone de Beauvoir: Perjuangan Perempuan di Ranah Domestik. 1-12.
3 notes · View notes
groupe1 · 2 years ago
Text
Perburuan Penyihir di Eropa; Salah Satu Latar Belakang Munculnya Karya Sastra Sebagai Bentuk Perlawanan Perempuan.
Nevia Roxanne Belva Mazidah
(215110307111009)
Latar belakang kebangkitan perempuan di Prancis tak lepas dari masa kelam perempuan di benua Eropa. Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi pembahasan dunia sejak abad ke-14, tepatnya pada masa perburuan penyihir di Eropa. Hal ini menjadi trauma dan ketakutan bagi masyarakat Eropa, khususnya kaum perempuan, karena banyaknya korban pembantaian disini adalah perempuan.
Dalam pemikiran masyarakat kuno di Eropa pada abad ke-14 sampai abad ke-16, penyihir dianggap sebagai pembawa bencana dan pembawa sial bagi masyarakat di suatu kota. Hal ini dikaitkan dengan adanya bencana-bencana, wabah, dan kematian. Oleh sebab itu, kebencian terhadap penyihir semakin membabi buta sebab ketakutan berlebih yang dirasakan oleh masyarakat. Mereka berlaku kejam terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyihir. Kebanyakan mereka yang menerima tuduhan menyeramkan ini adalah perempuan.
Orang-orang yang dituduh sebagai penyihir ini kemudian dimusnahkan (pada umumnya dibakar hidup-hidup). Akibatnya, lebih dari 600 ribu orang di Eropa tewas, dan 85% nya adalah perempuan. Hampir seluruh perempuan yang dianggap penyihir ini memiliki kriteria yang sama yaitu perempuan tua, atau janda yang selalu protes dengan keadaan yang menyiksa. Bisa dikatakan bahwa mereka merupakan perempuan tertindas yang sebenarnya ingin mendapatkan keadilan, lalu sumpah serapah yang keluar dari mulut mereka kemudian dianggap menjadi sebuah kutukan yang harus sesegera mungkin diatasi. Mereka dibunuh melalui proses peradilan dan sebagian lagi diadili begitu saja tanpa melalui proses peradilan. Dikatakan bahwa sebagian besar dari para pembunuh adalah kaum laki-laki yang ditugaskan untuk mengadili serta memutuskan penetapan eksekusi terhadap orang-orang yang mendapat tuduhan sebagai penyihir.
Masa-masa yang menjadi sebuah teror bagi perempuan itu tidak bisa terus berlanjut. Sebab akan terus ada bentuk-bentuk baru terhadap kekerasan dan juga eksploitasi perempuan yang mengakibatkan ketidakseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan. Berbagai upaya dilakukan untuk menyuarakan hak perempuan dengan tujuan untuk mengubah persepsi terhadap perempuan. Hal ini nyatanya mampu membawa perubahan sedikit demi sedikit, dimulai dari berakhirnya masa perburuan penyihir di Eropa saat itu.
Gebrakan besar akan perubahan terjadi setelah pemikiran masyarakat terbuka, dimana hal ini hanya bisa dilakukan ketika masyarakat mendapatkan amunisi yang bisa membuka pikiran serta memperbesar rasa simpati dan empatinya. Berbagai upaya akhirnya dilakukan, hingga akhirnya muncul karya sastra yang berpengaruh besar terhadap terbukanya pikiran serta perilaku masyarakat. Karya sastra sangat berpengaruh terhadap cara pandang seseorang mengenai sesuatu, sebab pada dasarnya karya sastra ini merupakan salah satu cara seseorang untuk mengekspresikan dirinya melalui tulisan, yang berdampak pada perasaan orang-orang yang membacanya.
Kondisi sosial mempengaruhi bagaimana karya sastra itu tercipta. Hal tersebut berpengaruh terhadap genre, gaya bahasa, serta isi dari karya. Dari situ akhirnya memunculkan kritik sastra yang berpengaruh terhadap perkembangan kesusastraan. Demikian pula dengan adanya perburuan penyihir ini yang kemudian menjadi salah satu latar belakang kenapa kaum perempuan harus berani memulai untuk melawan dengan cara yang baru. Sebab belajar dari masa perburuan penyihir ini, perempuan tertindas belum memiliki cara yang efektif untuk melawan ketidakadilan mereka, yang menjadikan mereka pelampiasan ketakutan dan kemarahan masyarakat akan cara perempuan-perempuan tertindas ini melawan ketidakadilan.
Prancis menjadi negara awal yang memulai adanya karya sastra. Karya sastra dari sastrawan-sastrawan disini kemudian selalu mendapat perhatian dan juga kritik yang membawa adanya perkembangan dalam bentuk sastranya. Hingga kemudian muncul écriture féminine, yaitu ajakan kepada para perempuan untuk bisa menuliskan tentang perempuan dari sudut pandang mereka sendiri. Perburuan penyihir yang juga terjadi di Prancis ini kemudian juga menjadi salah satu latar belakang adanya gerakan kebangkitan perempuan yang selanjutnya muncul perlawanan melalui karya sastra. 
Sumber:
Federici, S. (2020). Perempuan dan Perburuan Penyihir. Yogyakarta: Penerbit Independen.
Lianawati, E. (2020). Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan. Yogyakarta: EA BOOKS.
Hariyanti, R., & Harwati, L. N. (2022). Modul Bahan Ajar: Sejarah Kesusastraan Prancis. Malang: tidak dipublikasi.
1 note · View note