#kareninadaniel
Explore tagged Tumblr posts
Text
Cerbung: memories at night
Satu
.
.
.
“One is loved because one of loved. No reason is needed for loving.”
-;-;-;-
Tak ada yang bisa menentukan takdir sendiri. Elina menerima jika hidup dengan serba kesulitan yang ada di punggungnya. Ayah dipenjara. Sekarang, ibunya sakit keras.
Sebenarnya, sakit sang ibu sudah lama dideritanya, tapi baru sekarang parahnya. Kanker payudara stadium tiga. Jika ibunya tidak menyembunyikan dan membiarkan rasa sakitnya, penyakitnya tidak separah itu.
Nyawanya sekarang di ujung tenggorokan. Untuk menyelamatkannya, harus dioperasi. Tahu, kan, berapa biayanya? Jelas tidak sedikit.
Suster baru saja memberikan tagihan yang harus dibayarnya. Dua puluh juta rupiah, itu yang tertera pada kolom jumlah yang ada di kertas itu.
Elina mendesah. Bagaimana ia bisa mendapatkan uang yang bahkan tak pernah dilihatnya itu, sedangkan pekerjaannya hanya seorang pelayan bar? Meminjam uang? Siapa yang bisa diandalkannya?
Dunia seakan berputar. Kaki dan tubuhnya terasa lemah untuk menegak, hingga hampir terjatuh jika tidak berpegangan pada ujung kursi. Karena tak kuat, ia duduk di kursi ruang tunggu, sebelum memasuki ruangan ibunya. Ia tak sanggup menghadapinya saat ini. Ia tak ingin ibunya melihat wajah muramnya.
Tangisan ini harus mereda sesegara mungkin. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar dengan senyuman yang sebisa mungkin terlihat natural.
“Ibu.” Saat sang ibu menyadari keberadaanya, Elina memanggilnya.
Matanya sayu, pipinya semakin tirus karena kehilangan berat badan, bibir yang menghitam dan kering, rambut menipis. Tangan lemah itu menggapai tangan Elina, menggegamnya dengan sisa tenaga yang dipunyanya.
“Adikmu ke sini?” tanyanya, tersenyum lemah.
“Dia ada kegiatan tambahan.” Elina menjawab, meskipun tidak tahu kebenaran yang sebenarnya.
Ibunya mengangguk sekali. “Kapan Ibu bisa pulang? Ibu ingin masak makanan kesukaanmu dan Frasya. Lihatlah, tubuhmu kurus sekali. Makanmu pasti tidak teratur.”
Bukan hanya tak teratur, Elina dan Frasya bahkan jarang makan. Paling bersyukur bisa makan dua kali dalam sehari. Kadang, mereka berpuasa dan hanya minum air untuk mengisi perut. Gaji Elina tidak cukup untuk biaya kehidupan mereka. Bayar kontrakan, bayar biaya rumah sakit, untuk melunasi utang ayahnya masih sulit. Padahal, preman suruhan renternir itu datang terus untuk menagih.
Bulan sebelumnya, Elina diampuni oleh preman-preman itu. Kemudian bulan berikutnya, Elina berhasil menghindari mereka. Entah untuk saat ini. ketika ia akan mencapai rumah, preman-preman itu sudah ada di depan rumah, menggedor-gedor pintu sembari berseru.
Elina bersembunyi di dinding ujung gang, memperhatikan mereka sambil berpikir. Untuk bulan ini, kesabaran mereka pasti sudah habis, dan tak ada pengampunan bagi Elina. Mau tak mau, ia harus menghindari mereka, walaupun tidak tahu sampai kapan.
Elina berjingkat pelan meninggalkan tempat ini. Sial, seolah memiliki pendengaran tajam, salah satu dari mereka melihatnya sedang berjalan akan berbelok ke luar gang ini.
Seruan keras preman itu menghentak, sontak ingin berlari sekencangnya. Preman itu juga ikut berlari, mengejarnya dengan susah payah karena lebar gang yang sempit. Ini cukup memberi keuntungan bagi Elina, tapi dirinya tetap saja akan terkejar. Dia pelari yang lambat.
Napasnya semakin pendek, bersamaan dengan berkurangnya laju larinya. Sebenarnya, ia ingin menyerah, tapi hatinya terus menerus menjerit minta pertolongan.
Di ujung gang, ada pertigaan, di mana banyak motor yang sering melintas. Elina hampir saja tertabrak oleh motor seorang wanita, yang ternyata sahabatnya yang bernama Raima.
Mereka sama-sama terkejut. Lalu, Raima merasa heran melihat wajah Elina yang panik. Ia akan menanyakan penyebabnya, dan itu terjawab saat mereka mendengar suara dua orang pria menyerukan nama Elina.
“Ima, entar gue jelasin,” kata Elina, yang kemudian kembali berlari ke jalan sebelah kiri.
Raima mengerti, Elina sedang dikejar-kejar orang. Entah itu siapa, yang mesti dilakukan oleh seorang sahabat adalah membantunya. Ia akan berpura-pura menabrak pria itu saat posisi mereka hampir dekat, lalu ia menghadang mereka agar Elina bisa pergi sejauh-jauhnya.
Raima membuka helm, mengibas-kibaskan rambutnya seperti iklan sampo ditelevisi. Ia mencoba memikat dua kecoa itu dengan tatapan menggoda dan senyuman penuh sensual; dan sepertinya memang berhasil.
“Aduh, maafin Eneng, ya Abang-abang,” katanya sambil turun dari motornya. “Ada yang luka nggak?”
Mereka tersenyum semringah, menjawab secara berbarengan. “Nggak apa-apa, kok, Neng.”
Kemudian, pria yang berkepala plontos menambahkan, “Kalaupun ada yang luka, Abang nggak akan minta ganti rugi, kok, sama Eneng yang cantik.”
Kalau bukan demi menolong temannya, Raima akan patahkan tangan kurang ajar yang mencolek dagunya itu.
“Abang-abang ini mau ke mana? Kok, lari-lari gitu?”
Sepertinya, itu bukan pertanyaan yang tepat. Mereka kembali sadar dari keterpesonaannya dan ingin kembali berlari mengejar Elina. Namun, tipu daya Raima terlalu kuat. Pesonanya yang lewat rayuan juga sentuhan, membuat mereka terbuai lagi.
“Emang, kenapa kejar cewek itu? Abang-abang ini suka sama dia?” tanya Raima pura-pura merajuk. “Apa Eneng kurang cantik dan seksi?”
“Bukan gitu, Neng,” jawab pria yang berbadan kurus. “Bapaknya ngutang sama bos kita, tapi dia nggak mau bayar.”
“Emang berapa utangnya?”
“Sebenarnya, 15 juta. Tapi karena pake bunga, jadinya 30 juta, Neng.” Gantian, sekarang pria yang satunya menjawab.
Dasar lintah darat! Rutuk Raima dalam hati. Mereka menghisap darah korbannya sampai habis. Elina yang malang, dari mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
“Oh, gitu. Em … saya kenal sama cewek itu. Tolong Abang kasih waktu lagi, ya? Tapi, jangan ditambahin lagi bunganya, ya?” bujuk Raima, tangannya dimainkan di sekitar janggut pria yang berkepala gundul.
Temannya menjadi iri. Dia menyikut temannya, lalu menarik tangan Raima agar di elus juga olehnya. Dengan perasaan teramat jijik, Raima melakukannya, tetapi tetap pada aktingnya.
“Ya, udah. Eneng mau pulang, dulu, ya. Nanti saya sampaikan ke cewek itu. Oke!”
Raima menaiki motornya, melajukannya kembali ke rumahnya. Ia tahu, Elina pasti ada di sana karena ia melihatnya masuk ke dalam gang yang mengarah pada rumahnya.
Gadis itu sedang duduk di tepi teras saat Raima sampai di sana. Lantas, ia membuka pintu, tanpa menyuruhnya masuk karena Elina sudah biasa ke sini. Diletakkannya segelas air dingin di depan Elina, yang langsung diteguknya.
“Haus banget emang?” tanya Raima, lupa pada air yang ingin diteguknya karena melihat Elina.
Elina tak menjawab meskipun satu gelas air diteguknya. Ia bersandar sambil menghela napas.
“Gue udah denger dari mereka,” ucap Raima. Tiba-tiba ia merasa geram. “Dasar renternir busuk! Mereka bikin lo jadi bayar dua kali lipat dari jumlah yang sebenarnya! Lagian, buat apa, sih, bapak lo ngutang sampai sebanyak itu?”
Elina hanya menjawab, “Judi.”
Sekarang, Raima terlalu kesal, hingga gelas dihentakkan ke meja. “Kok, bisa, Tante Yanti nikah sama Om Suprapto yang nggak bertanggungjawab begitu? Pasti karena cinta?”
Dan makanya itu, Raima tak percaya pada cinta. Walaupun awalnya menjadi pelacur karena ketidaksengajaan, tapi ia melakukan ini demi biaya hidupnya dan tak ingin dimiliki seutuhnya oleh pria manapun. Melajang sampai tua lebih baik, daripada menderita karena pernikahan yang katanya berawal dari cinta.
Cinta itu mengikat. Jika hati telah terpaut, maka susah untuk lepas. Dan bahkan, siapapun akan melakukan hal bodoh ataupun rela menderita karenanya. Katanya dulu.
Elina setuju. Tapi, siapa yang tahu bahwa Tuhan bisa melunakan hati yang keras sekalipun. Dengan hanya jentikan jari, Dia bisa memasukkan perasaan cinta ke dalan hati seseorang dengan mudahnya.
“Sori, Lin. Gue nggak maksud,” kata Raima kemudian, setelah menyadari bahwa kata-kata itu tak pantas.
Sebenarnya, Elina tak masalah. Toh, yang dikatakan Raima memang benar; ayahnya brengsek, ibunya terlalu baik dan bodoh. Dulu, Elina dan Frasya pernah membujuk ibunya untuk bercerai. Tetapi rasa cintanya terlalu besar dan merasa kasihan jika ibu menceraikan ayah. Ibu sering memberikan kesempatan, tapi ayah selalu memanfaatkannya dengan terus mengulangi kesalahan.
Elina benar-benar tak tahan! Geram. Ibu takkan menderita dan sakit, kalau ayah tak ada dihidup mereka.
“Jadi, apa yang mau lo lakuin?” tanya Raima memecahkan kesunyian. “Gue udah bujuk mereka untuk memberikan kesempatan pada lo bulan depan.”
Entahlah, itu juga yang sedang dipikirkannya. Tak ada satu pun tempat untuk bernaung. Tak ada seorangpun yang bisa dimintai pertolongan. Raima memang ada, tapi ia tak ingin menyusahkannya.
“Gue bisa minjemin lo duit, tapi nggak banyak—paling 5 juta,” kata Raima lagi.
“Nggak usah, Ima. Gue pinjem ke tempat lain aja,” jawab Elina, suaranya terdengar lesu.
“Terus, lo mau pinjam ke siapa? Bos lo?”
Itu lebih nggak mungkin. Pria itu memang bisa meminjamkannya uang sebanyak itu, tapi dengan syarat yang tak pantas. Selama ini, pria itu telah beberapa kali hampir melecehkannya. Dengan meminjam uang, itu jadi kesempatan baginya untuk berbuat tak senonoh pada Elina.
Elina menghela napas berat. “Apa lo nggak punya kenalan buat dipenjemin duit?”
Raima menggeleng kecewa. Namun, ia memberikan sebuah saran yang mungkin adalah solusi terburuk yang pernah di dengar Elina: menjual keperawanan.
“Gila lo!” seru Elina marah sembari berdiri. “Nggak mau gue.”
“Minjem sama Mami Sarah juga percuma, pake syarat juga,” jawab Raima. “Lagian, gue nggak nyuruh lo jadi pelacur. Cuma jual keperawanan. Mami mau, kok, jual dengan harga tinggi.”
Sahabat macam apa yang membujuk sahabatnya ikut terperosok ke lubang hitam. Sekalipun menggiurkan, Elina tidak akan mau menerima ide buruk itu.
Elina mengambil tasnya. “Gue balik,” katanya masih agak kesal.
Dikira akan mendapat pencerahan atas semua masalahnya, kedatangannya ke rumah Raima justru hanya sia-sia saja. Buruk sekali jika meminta saran dari teman seperti dia. Tapi siapa lagi teman yang bisa diajak berbagi? Sedangkan Elina tidak memiliki teman selain Raima.
-;-;-;-
Frasya tersentak dan langsung menyembunyikan sebuah kertas ketika pintu masuk terbuka. Matanya terbelalak melihat kakaknya muncul, lalu tersenyum kaku.
“Kakak baru pulang?” tanyanya terbata-bata.
Elina tak langsung menjawab. “Kapan kamu pulang?”
“Tadi, jam 4.”
“Oh.” Elina berjalan menghampiri Frasya, tapi untuk mengambil gelas yang ada di dalam kulkas. Dituangkan air yang ada dibotol hingga hampir penuh, lalu meminumnya sambil berjalan ke arah sofa panjang.
“Besok kamu jenguk ibu?” tanyanya setelah air ditenguknya setengah gelas.
“Iya.” Frasya sedikit kikuk saat menjawabnya. “Gimana keadaan ibu?”
“Masih kayak biasa, nggak ada perkembangan.”
Suasana yang begitu kaku tercipta hari ini. Frasya merasa tak nyaman juga tak ingin kertas ini sampai diketahui oleh Elina, jadi ia memohon diri untuk ke kamar.
Hanya saja, Frasya lupa bahwa sulit menyembunyikan sesuatu dari Elina. Frasya tak berbalik saat Elina memanggil namanya. Kertas itu berusaha dilipat sekecil mungkin dan akan disembunyikan di dalam saku celananya. Tapi terlambat, Elina menghentikan gerakan itu dengan menggenggam lengannya.
“Berikan padaku.” Elina mengulurkan tangan.
Frasya tetap bergeming. Tangannya sejak tadi berada di dalam sakunya. “Itu bukan apa-apa, kok, Kak,” jawabnya, masih berusaha menyangkal.
“Terus, kenapa diumpetin?”
“Ya … karena ….”
Elina tak mau mendengar alasan apa pun, yang malah membuat adiknya sebagai pendusta. Elina memaksa tangan Frasya keluar dari dalam saku, mengambil kertas itu, lalu membacanya.
“Surat peringatan dari sekolah”, itulah yang sedang disembunyikannya. Frasya tidak mau membebani kakaknya dengan memikirkan jumlah uang SPP yang harus dilunasinya.
“Aku memilih untuk berhenti sekolah,” gumam Frasya pahit. “Besok, aku mau cari kerjaan buat mencukupi kehidupan kita dan biaya operasi ibu.”
Tak ada tanggapan dari Elina. Sejak tadi, ia masih menunduk sambil meremas ujung kertas itu. Frasya menduga, kakaknya sedang bergulat dengan pikirannya, dan merasa sedih.
“Kak, jangan dipikirin lagi, ya?” katanya lagi, mengelus pundak Elina. “Aku….”
“Kamu tetap harus sekolah,” potong Elina tiba-tiba. “Kamu nggak akan bisa kerja, kalau kamu nggak lulus SMA.”
“Tapi, Kak….”
Ucapan Frasya belum selesai, tapi Elina masuk ke dalam kamarnya dan langsung menguncinya. Tak pernah keluar sampai Frasya menyuruhnya untuk makan malam. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Elina baru keluar secara diam-diam.
-;-;-;-
Jam sembilan malam adalah waktu bagi sang kupu-kupu malam untuk keluar. Raima telah bersiap dengan dandanan yang sangat cantik dan berpakaian seksi. Ia akan memulai pekerjaannya, mejajakan tubuh pada para pria hidung belang.
Pintu rumahnya ditutup, lalu digembok. Saat berbalik, ia dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang baru saja merajuk padanya.
Ia tidak menyambutnya dengan wajah masam, tapi dengan senyuman. Ia tak merasa bersalah. Ia sudah mengerti dengan sikap Elina. Gadis itu memang sangat teguh pada prinsip dan keimanan yang telah tertanam sejak kecil, makanya sarannya itu ditolaknya dengan keras.
“Ada apa, lin?” tanyanya.
Dalam beberapa waktu, Raima tak kunjung mendapat jawaban dari bibir Elina. Ia juga tidak bisa mendesak, sebab ia tahu bahwa gadis itu tengah dalam keadaan bimbang.
Elina menegakkan kepala, menatap tanpa ada keraguan lagi.
“Gue mau jual keperawanan gue.”[]
5 notes
·
View notes