#kain penutup keranda
Explore tagged Tumblr posts
pasarinternet · 10 months ago
Text
JUAL KERANDA MAYAT/JENAZAH STAINLESS BERKUALITAS
JUAL KERANDA MAYAT/JENAZAH STAINLESS BERKUALITAS   Kami adalah produsen keranda stainless yang memproduksi kain tutup keranda, keranda stainless, tempat pemandian untuk : Masjid- Masjid, Yayasan, Rumah Sakit dan perorangan (donatur wakaf).       JUAL KERANDA MAYAT/JENAZAH STAINLESS BERKUALITAS   Kami Menjamin Kualitas Produk. Pemilihan material dan pengerjaan yang rapi. Alhamdulillah, Produk…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
mysticalcycledelusion · 2 years ago
Text
0812 9254 9816 Jasa karoseri ambulance ekonom Kabupaten Bandung Barat
Bismillah Mudah-mudahan karunia..
Jasa Modifikasi Ambulance Minibus
Part Yang terpasang :
✅ Lampu Ambulan
✅ Mic/Speaker
✅ Sirine Ambulance
youtube
✅ Lantai vinyl Anti Bakterial Standar Klinis
✅ Kursi pengantar diperlengkapi Box
✅ Sretchear / Brangkar Ambulance Kaki Lipat diperlengkapi Seftybelt serta gantungan Infus
✅ Keranda Stainless + Kain Penutup dan Seftybelt
✅ Base Ambulance dengan laci
✅ Rel Prinsip, Penguncian serta Stopper
✅ Apar 1kg dan Bracket
✅ Lampu Sorot Luar / Spotlight
✅ Kotak P3K
✅ Bumper Stainless Steel
✅ Lampu Operasi (lampu sorot dalam)
✅ Tabung Oksigen + Bracket
✅ Gantungan Infus mode Slide pada bagian atap
✅ FREE Branding / Pasang sticker
Part Opsional
✅ Almari FullSize (komplet dengan central oksigen) 11.750.000
✅ Bangku Singgel variasi mobil ambulance / bangku perawat / dokter 1.800.000
✅ Wastafel 2.550.000
UNTUK REQUEST SPESIAL LAINNYA BISA CHAT DENGAN ADMIN.
PART YANG AKAN DIPASANG TERGANTUNG MODEL AMBULANCE YANG DIORDER
PROMO AKHIR TAHUN DISKON GRATIS ONGKOS PASANG!
🔺Harga di atas Privat Minibus (APV, Luxio, Granmax, Dsb)
🔺Part Bermutu / SNI
🔺Proses Pelaksanaan Cepat 3-5 Hari Untuk 1 Unit Mobil (Modif standar)
🔺Pasang Almari dan Full Branding makin tiga hari
🔺Harga Ekonomis
🔺Aman Bisa dipercaya
Al Fath Ambulance - KAROSERI AMBULANCE
Jl. Masjid Al-Khairiyah, Cimuning, Kec. Mustika Jaya, Kota Bks, Jawa Barat
Note* semuanya poin di atas bahannya dasar Stainless Steel
Percayakan keperluan Karoseri ambulance anda cuman di kami 😉
1 note · View note
zekhlin · 7 years ago
Text
Yang Pemalu dan Terjaga
Oleh: Ustadz Hakimuddin Salim, MA dan Istri Beliau (Ustadzah Shofiya Aulia).
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Rasa malu adalah salah satu cabang dari cabang-cabang keimanan” (HR. Imam Muslim).
Dan dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam berkata, “Keimanan dan rasa malu selalu beriringan dan bersama. Jika tercabut salah satu dari keduanya, maka tercabut pula yang lainnya”. (HR. Al-Hakim).
Alloh ta’ala adalah Dzat Yang Maha Pemalu dan Menutupi, juga menyukai rasa malu dan ketertutupan. Sebagaimana termaktub dalam hadits Ya’la, yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam Ibnu Majah.
Bagi seorang perempuan, rasa malu adalah mahkota yang tak ternilai harganya. Keterjagaan dan ketertutupan yang dimilikinya, selain menghalangi terjadinya fitnah, juga akan menjadikannya bunga surga yang indah. Dari rasa malu ini, akan terjaga kehormatan dan kesucian diri. Lalu insya Allah dengan mudah terbangun di atasnya ilmu dan taqwa hati.
Seperti yang dicontohkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Saat itu, ketika hanya jenazah Rasulullah dan Abu Bakar yang dimakamkan di rumahnya, ‘Aisyah terbiasa tak memakai hijab atau kerudung saat berada di dalamnya.
Namun, saat akhirnya jenazah ‘Umar bin Khattab juga dimakamkan di samping suami dan ayahnya, ia mulai mengenakan hijab dan merapatkan kerudungnya. Meski itu di dalam rumahnya sendiri. Ketika ditanya kenapa, ‘Aisyah menjawab, “Ia (‘Umar) adalah lelaki asing (bukan mahram)”.
Seperti juga kisah Ummu Kultsum binti Ja’far, cucu dari ‘Ali bin Abi Thalib. Saat usianya belum genap enam tahun, Ummu Kultsum kecil berjalan keluar rumah dengan hijab dan abaya kepanjangan, yang menjulur ke tanah sejengkal lebih dari kakinya.
Melihat pemandangan lucu itu, ‘Umar bin Khattab yang sudah menua menyapanya. Sambil mencandainya, ‘Umar mengangkat abaya Ummu Kultsum kecil yang menjulur ke tanah, hingga terlihat telapak kakinya.
Rupanya Ummu Kultsum tak suka dengan perlakuan Sang Khalifah itu. Dengan ekspresi malu, ia yang masih sangat belia berujar, “Lepaskan! Andai Engkau bukan Amirul Mukminin, maka akan kupukul mukamu!”.
Ada lagi kisah tentang betapa pemalunya Fathimah, radhiyallahu ‘anha. Saat ia sakit sebelum wafatnya, putri Rasulullah itu menyampaikan kegundahannya kepada Asmaa yang datang menjenguknya.
“Demi Alloh, aku sangat malu jika besok aku mati, tubuhku akan terpapar di hadapan para lelaki, di atas keranda mayat”, curhat Fathimah kepada Asmaa.
Pada masa itu, keranda jenazah hanyalah sebuah papan yang terbuat dari kayu, tanpa penutup bagian samping dan atas. Maka meski sudah dibalut kafan dan ditutup kain, postur tubuh mayat, sedikit atau banyak akan terlihat. Inilah yang membuat Fathimah gundah.
Maka Asmaa pun membuatkan untuknya keranda kayu model Habasyah yang menyerupai kotak panjang, hingga mayat yang terbujur di atasnya tidak terlihat. Melihat kotak kayu itu, Fathimah pun berdoa, “Semoga Alloh menutupi dosamu, sebagaimana usahamu menutupi diriku”.
Pun kisah tentang para perempuan Anshor di Madinah dulu kala. Yang saking pemalunya, saat berjalan di tempat umum, mereka selalu berjalan menepi di pinggiran. Melintas cepat ke depan, sambil menempel pada dinding-dinding bangunan. Meskipun rasa malu itu, tak menghalangi mereka untuk giat menuntut ilmu.
Di hari ini, hari ketujuh dari kelahiran putri kami, selain melaksanakan sunnah ‘aqiqah, memotong rambut, kami juga memberikannya sebuah nama: Hisyma (حشمة). Yang berarti: sifat pemalu, yang tertutupi, nan terjaga.
Semoga ia dikaruniai rasa malu tiada tara, yang akan menjadi mahkota indah tanpa perlu singgasana. Malu kepada Penciptanya, malu untuk bermaksiat dan lengah beribadah kepada-Nya. Pun tertutup rapat aurat fisik dan aurat hatinya. Serta terjaga muruah dan akhlaknya, dari segala dosa dan hal-hal yang dibenci Alloh ta’ala.
(Manhajuna/FM) | 14 Juli 2017
47 notes · View notes
faishalt · 5 years ago
Text
Betapa Hina-nya Manusia.
Prosesi pemakaman kemarin menjadi refleksi besar untuk saya pribadi. Banyak hikmah yang dapat saya ambil pada setiap prosesnya. 
Saya melihat dari bagaimana seorang manusia terbaring tidak berdaya di ranjang terakhirnya. Kemampuan mengikat oksigennya terus menurun, hingga akhirnya ajal pun tiba. 
jenazah yang tidak berdaya kemudian sampai ke rumah duka. keluarga histeris semenjak terdengar suara ambulan datang dari kejauhan. Ia diturunkan, diletakan ditengah ruang keluarga tetap tidak berdaya.
Keluarga yang lain bersiaga, meminjam peralatan untuk memandikan jenazah ke mesjid terdekat. Yang lain, mencarikan lahan untuk menguburkan jasadnya.
Setelah semua siap, jasad diangkat, tujuh hingga delapan orang bersama-bersama sekuat tenaga, berjalan bersama-sama ke arah belakang rumah yang terbuka untuk mulai memandikannya.
Ibu saya menyuruh saya bergabung. Saya katakan Bismillah. Saya yakin banyak hikmah yang dapat saya ambil pelajarannya.
Ternyata dibelakang betul-betul sudah siap, dari mesjid keluarga meminjam tempat berbaring seperti keranda dari besi alumunium, namun ditengahnya seperti ada solokan, jalur untuk air apabila turun ke bawah tubuh jasad. Ember-ember seluruhnya terisi air, ada satu ember yang berisi cairan berwarna putih, belakangan saya mengetahui bahwa ember tersebut berisi cairan kapur. Mungkin untuk menyamarkan bebauan dari jenazah.
Kemudian kain penutup tubuh pun dibuka.. ikatan dari kain kafan ditangan dibuka, entah suster di rumah sakit yang terlalu kencang menalikannya, atau memang begitu adanya, ketika ikatan tersebut dibuka terdapat bekas ikatan yang dalam. Yang kalau manusia hidup pasti sudah protes karena ikatannya terlalu kencang. Kemudian, aurat ditutupkan oleh handuk yang lebih besar.
Air kemudian mulai disiramkan, sanak keluarga pada awalnya terlihat enggan untuk menyentuh jenazah, hanya yang dengan sarung tangan dan handuk saja. Tapi setelah melihat pak ustadz tanpa enggan mulai memberikan sabun dan shampo kepada jenazah, seluruhnya mulai membantu.
Saya pun begitu.. perlahan saya mengusapi bagian kaki dengan sabun.. kemudian perutnya.. kemudian kepala.. telinganya, hidungnya.. 
jenazah tidak bergerak sama sekali.. seolah-olah tidak percaya, bahwa betul ruhnya sudah terlepas dari jasadnya.. bahwa yang dihadapan saya sudah tidak bernyawa. 
Ia tidak merasakan geli ketika orang lain menyentuh tubuhnya, mengeluarkan kotoran dari tubuhnya. Ataupun tersedak, ketika sebagian air tidak sengaja masuk kedalam mulut. Atau matanya tidak merespon rasa perih ketika air terus mengalir.. 
Rasanya.. percaya tidak percaya.. Bahwa suatu saat saya juga akan berada disana.. tapi percaya tidak percaya tersebut juga menguatkan bahwa manusia dan kematian itu sangat dekat. sangat dekat.
0 notes
kepoinus · 5 years ago
Text
Dorce Gamalama Sudah Siapkan Kain Kafan dan Penutup Jenazah untuk Dirinya
Dorce Gamalama Sudah Siapkan Kain Kafan dan Penutup Jenazah untuk Dirinya
[ad_1]
Kepoin.us – Dorce Gamalama mengaku sudah menyiapkan kain kafan untuk membungkus jenazahnya jika kelak dipanggil Yang Maha Kuasa. Bahkan, kuburan serta penutup keranda juga dipikirkan oleh artis serba bisa berusia 56 tahun itu.
“Itu sudah lama. Itu (kain kafan) memang dari sebelumnya saya sudah nyiapin kain kafan, saya punya kuburan, saya punya penutup jenazah,” ungkap Dorce Gamalama.
Do…
View On WordPress
0 notes
irfansyuhu · 7 years ago
Text
Ghirah : Jiwa Masa lalu dan Saat Ini
Tumblr media
Assalaamu'alaykum warohmatullohi wabarokaatuh 
Mungkin banyak yang sudah melupakan buku Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam karya Buya Hamka. Buku itu memang tipis saja, nampak tidak sebanding dengan koleksi masif seperti Tafsir Al Azhar, namun tipisnya buku tidak identik dengan kurangnya isi, apalagi pendeknya visi. Sesuai judulnya, buku tersebut membahas masalah-masalah seputar ghirah dengan bercermin pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Meskipun buku ini diterbitkan pada awal tahun 1980-an, pada kenyataannya masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan di masa kini.
Buya Hamka memulai uraiannya dengan sebuah kasus yang dijumpainya di Medan pada tahun 1938. Seorang pemuda ditangkap karena membunuh seorang pemuda lain yang telah berbuat tidak senonoh dengan saudara perempuannya. Sang pemuda pembunuh itu pun dihukum 15 tahun penjara. Akan tetapi, tidak sebagaimana narapidana pada umumnya, sang pemuda menerima hukuman dengan kepala tegak, bahkan penuh kebanggaan. Menurutnya, 15 tahun di penjara karena membela kehormatan keluarga jauh lebih mulia daripada hidup bebas 15 tahun dalam keadaan membiarakan saudara perempuannya berbuat hina dengan orang. Dalam sejarah peradaban Indonesia, suku-suku lain pun memiliki semangat yang tidak kalah tingginya dalam menebus kehormatan.
Menurut Hamka, bangsa-bangsa Barat sudah lama mengetahui sifat ini. Mereka telah berkali-kali dikejutkan dengan ringannya tangan orang Bugis untuk membunuh orang kalau kehormatannya disinggung. Demikian pula orang Madura, jika dipenjara karena membela kehormatan diri, setelah bebas dari penjara ia akan disambut oleh keluarganya, dibelikan pakaian baru dan sebagainya. Orang Melayu pun dikenal gagah perkasa kalau sampai harga dirinya disinggung. Bila malu telah ditebus, biasanya mereka akan menyerahkan diri pada polisi dan menerima hukuman yang dijatuhkan dengan baik. Di masa lalu, anak-anak perempuan di ranah Minang betul-betul dijaga. Para pemuda biasa tidur di surau untuk menjaga kampung, salah satunya untuk menjaga agar anak-anak gadis tidak terjerumus dalam perbuatan atau pergaulan yang menodai kehormatan kampung. Pergaulan antara lelaki dan perempuan dibolehkan, namun ada batas-batas tegas yang jangan sampai dilanggar. Kalau ada minat, boleh disampaikan langsung kepada orang tua. Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa (yang mungkin dianggap) kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah. Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”. 
Penjajahan kolonial di Indonesia membawa masuk pengaruh Barat dalam pergaulan muda-mudi bangsa Indonesia. Pergaulan lelaki dan perempuan menjadi semakin bebas, sejalan dengan masifnya serbuan film-film Barat. Batas aurat semakin berkurang, sedangkan kaum perempuan bebas bekerja di kantor-kantor. Demi karir, mereka rela diwajibkan berpakaian minim, sedangkan keluarganya pun merasa terhormat jika mereka punya karir, tidak peduli bagaimana caranya. Tidak ada lagi kecemburuan. Tidak ada yang boleh marah melihat anak perempuannya digandeng pemuda yang entah dari mana datangnya. Suami harus lapang dada kalau istrinya pergi bekerja dengan standar berpakaian yang jauh dari syariat, karena itulah yang disebut “tuntutan pekerjaan”. Sesungguhnya ghirah itu merupakan bagian dari ajaran agama. Pemuda Muslim yang membela saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ menjawab jerit tangisnya karena adanya ikatan aqidah yang begitu kuat. Menghina seorang Muslimah sama dengan merendahkan umat Islam secara keseluruhan. 
Ghirah adalah konsekuensi iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini. Perlahan-lahan, dikulitinyalah ghirah umat. Jika rasa cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya. Buya Hamka mengkritik keras umat Muslim yang memuji-muji Mahatma Gandhi tanpa pengetahuan yang memadai. Gandhi memang dikenal luas sebagai tokoh perdamaian yang menganjurkan sikap saling menghormati di antara umat beragama, bahkan ia pernah mengatakan bahwa semua agama dihormati sebagaimana agamanya sendiri. Pada kenyataannya, Gandhi berkali-kali membujuk orang-orang dekatnya yang telah beralih kepada agama Islam agar kembali memeluk agama Hindu. Kalau tidak dituruti keinginannya, Gandhi rela mogok makan. Itulah sikap sejatinya, yang begitu cemburu pada Islam, sehingga tidak menginginkan Islam bangkit, apalagi memperoleh kemerdekaan dengan berdirinya negara Pakistan. 
Dua dasawarsa lebih berlalu dari wafatnya Hamka, nyatalah bahwa hilangnya ghirah adalah salah satu masalah terbesar yang menggerogoti umat Islam di Indonesia. Sekarang, orang tua pun rela menyokong habis-habisan anak perempuannya untuk menjadi mangsa dunia hiburan. Para ibu mendampingi putri-putrinya mendaftarkan diri di kontes-kontes model dan kecantikan, yang sebenarnya hanya nama samaran dari kontes mengobral aurat. Kalau kepada putri sendiri sudah lenyap kepeduliannya, kepada agamanya pun begitu. Makanan fast food dikejar karena prestise, tak peduli keuntungannya melayang ke Israel untuk dibelikan sebutir peluru yang akhirnya bersarang di kepala seorang bayi di Palestina. Kalau dulu seluruh kekuatan militer umat Islam dikerahkan untuk mengepung Bani Qainuqa’ hanya karena satu Muslimah dihina oleh tukang sepuh, maka kini jutaan perempuan Muslimah diperkosa, jutaan kepala bayi diremukkan dan jutaan pemuda dibunuh, namun tak ada satu angkatan bersenjata pun yang datang menolong. Luar biasa generasi anak-cucu Buya Hamka, karena mereka telah benar-benar mati rasa dengan agamanya sendiri. Ketika anak-anak muda dibombardir dengan pornografi, maka umatlah yang dipaksa diam dengan alasan kebebasan berekspresi. Tari-tarian erotis digelar sampai ke kampung-kampung yang penduduknya tak punya cukup nasi di dapurnya, hingga yang terpikir oleh mereka hanya jalan-jalan yang serba pintas. Ramai orang mengaku nabi, sementara para pemuka masyarakat justru menyuruh umat Islam untuk berlapang dada saja. Padahal yang mengaku-ngaku nabi ini ajarannya tidak jauh berbeda: syariat direndahkan, kewajiban-kewajiban dihapuskan, para pengikut disuruh mengumpulkan uang tanpa peduli caranya, orang lain dikafirkan, bahkan para pengikutnya yang perempuan disuruh memberikan kehormatannya pada sang nabi palsu.
Atas nama Hak Asasi Manusia, umat disuruh rela berbagi nama Islam dengan para pemuja syahwat. Atas nama toleransi, dulu umat Islam digugat karena penjelasan untuk Surah Al-Ikhlash dalam buku pelajaran agama Islam dianggap melecehkan doktrin trinitas. Kini, atas nama pluralisme, umat Islam dipaksa untuk mengakui bahwa semua agama itu sama-sama baik, sama-sama benar, dan semua bisa masuk surga melalui agamanya masing-masing. Maka pantaslah bagi kita untuk merenungkan kembali pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan makna dari ayat ke-9 dalam Surah Al-Mumtahanah: ...orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam. "Kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta." Dan apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan. (Buya Hamka) Wassalaamu'alay kum warohmatullohi wabarokaatuh 
“Wahai yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi kedua kakimu?” ~ Ibnu Qayyim al-Jauziyah ~ 
0 notes