Tumgik
#jiantizi
sunriseverse · 4 months
Text
scale of best to worst is definitely jiantizi -> fantizi -> japanese like fantizi makes me struggle and gives me a headache but you do not know true cosmic horror until you’re a native chinese speaker and you try and read japanese.
1 note · View note
60b3r · 4 years
Text
Literally Tao #4: Tata Ritual, Kebenaran Moral, dan Welas Asih
Setelah bingung dengan konsep-konsep lain di episode sebelumnya, pada episode kali ini kita akan membandingkan dua konsep yang tampak mirip, sama-sama sering muncul di DDJ tapi penggunaannya seakan-akan berbeda dalam fungsi gramatikalnya. Konsep ini disebut ‘kebajikan’ dalam terjemahan beberapa ahli tafsir yang males, tapi saya ragu kalau konsep ini bisa dilewati begitu saja tanpa meneliti lebih dalam maksudnya. Kedua konsep ‘kebajikan’ tersebut adalah Shan dan De. Iya, si De-nya Dao De Jing. Mari kita bahas satu-satu.
Tumblr media
De (德) memang tidak muncul sesering konsep-konsep lainya dalam DDJ, tapi ia mendapatkan kehormatan untuk bisa bersandingan dengan Dao di judul karya sastra agung ini. ‘De’ berarti harfiah ‘guna’ dan ‘punya’, bukan dalam pengertian bahasa Indonesia ya, tetapi dalam konsep filsafat India kuno. Guṇa dalam filsafat Shamkya (salah satu aliran astika Hinduisme yang paling berkerabat dekat dengan Yoga) menyatakan suatu ‘helaian’ atau ‘untaian’. Meskipun demikian, guṇa juga dapat dimaknai sebagai ‘sifat’, ‘ciri’ atau ‘kualitas’. Punya (Pali: puñña) adalah artefak salah satu turunan filsafat Hindu—filsafat Buddhisme—yang berarti layaknya kata merit dalam bahasa Inggris. ‘Punya’ adalah sebuah perilaku atau tindakan yang dihasilkan dari suatu niat dan aksi kepada Karma (Pali: kamma) sehingga memengaruhi siklus kehidupan seseorang (saṃsāra). Tanpa ‘guna’ atau ’punya’, muncullah kondisi ‘papa’, dalam bahasa simpelnya ‘kemiskinan’ atau karma buruk. Kedudukan De dapat dimaknai sebagai suatu konsep universal yang mendasari hubungan antara alam dan dinamika hidup bermasyarakat, seperti yang bisa kita lihat di di DDJ Ch. 54:
修之: xiūzhī: 身其德乃眞 shēn qí dé nǎi zhēn 家其德乃餘 jiā qí dé nǎi yú 鄉其德乃長 xiāng qí dé nǎi zhǎng 國其德乃豐 guó qí dé nǎi fēng 天下其德乃普 tiānxià qí dé nǎi pǔ
‘xiu’ dapat bermakna menghias, memoles, memperbaiki, dan mempercantik. ‘xiu’ ada dalam setiap baris sajak ini sehingga saya singkat dan hanya tulis sekali di bagian atas berdampingan dengan partikel ‘zhi’. ‘shen’ adalah karakter untuk ‘tubuh’; ‘jia’ secara umum adalah ‘rumah’, tetapi dalam konteks ini berarti ‘keluarga’. ‘xiang’ dan ‘guo’ berturut-turut adalah ‘kampung’ dan ‘negara’; lalu terakhir, ‘tianxia’ yang berarti ‘bawah langit’, kita maknai sebagai ‘seluruh dunia’. ‘zhen’ adalah lambang ‘nyata’ atau ‘asli’; ‘yu’ berarti remain atau left (sisa); ‘chang’ arti literalnya ‘panjang’ namun jika dimaknai dalam konteks ini menjadi everlasting alias ‘tahan lama’. Dua karakter terakhir yang paling saya sukai adalah 豐 (fēng) dan 普 (pǔ). Dengan kompleksitas fantizi yang saya agung-agungkan, kedua karakter ini masih dapat menjaga makna yang diberikan oleh pendahulu-pendahulu kita dalam bentuk piktogram, sebuah penjelasan dari sebab penggunaan fantizi yang saya tulis di episode pertama. ‘Feng’ jelas-jelas menggambarkan mangkuk yang penuh berisi makanan dan bermakna kelimpahan; sedangkan pada ‘pu’, keberadaan radikal 竝 atau 並 (coexistence) yang hadir diatas radikal 日 (’matahari’) jelas menandakan karakter ini menyatakan sifat kebiasaan (umum).  Ketika aksara Mandarin disederhanakan menjadi jiantizi, tentu ada sekian banyak radikal yang dihapus, mengurangi kapasitas mutual intelligibility antara modern script dan ancient script. hal ini seringkali menimbulkan konsekuensi aneh, dimana dua karakter dengan makna beda dan aksara fanti berbeda bisa jadi mendapatkan aksara simplified yang sama persis, menimbulkan fenomena homofon, homoton, dan lain-lain.
Tumblr media Tumblr media
Format dasar dari inti sekuens ini adalah “ 修之 A, 其德乃 B”. Urutan kata-kata ‘qí dé nǎi’ diantara B memang agak asing karena aksara ‘nai’ merupakan karakter yang lebih sering dipakai di karya sastra kuno (bersifat archaic). ‘Nai’ dapat kita maknai tipis-tipis sebagai partikel penghubung: thus, only then, atau hence (maka). Untuk itu, dapat disederhanakan menjadi “Pupuklah A, maka De akan B”. Terjemahan lengkap bagian ini dapat disajikan sebagai berikut: “Latihlah dirimu, maka De akan jadi sejati. Bangunlah keluargamu dan rasakan De yang selalu cukup. Berbakti pada masyarakat dan De akan menjadi awet. Berjuang untuk negara, maka De akan menjadi berlimpah. Bubuhi dunia dengan De yang universal.” Dengan latar belakang studi teologi Kekristenan, saya berani mengambil kesimpulan bahwa ini sangat mirip dengan perumpamaan Yesus tentang terang dan garam dunia (Matius 5:13-16). Lha, tadi bilangnya kan De berhubungan dengan sosial politik suatu kedaulatan? I need more proof! Pada DDJ Ch. 38, kita akan melihat kedudukan De dalam tatanan semesta ini:
失道而後德 shī dào érhòu dé 失德而後仁 shī dé érhòu rén 失仁而後義 shī rén érhòu yì 失義而後禮 shī yì érhòu lǐ 夫禮者忠信之薄 fū lǐ zhě zhōngxìn zhī báo 而亂之首 ér luàn zhī shǒu
Menurut bab ini, De itu satu tingkat dibawahnya Dao, tapi masih mengatasi konsep-konsep duniawi yang lain. Struktur dasar keempat baris pertama dari sajak ini adalah “ 失 A 而後 B”; dimana urutan seperti ini akan menunjukkan konsekuensi antara A dan B yang berada di baris-baris yang mendahuluinya. ‘Shi’ berarti ‘kehilangan’; sementara ‘hou’ (’ekor’, ‘belakang’) dalam konteks ini merupakan ungkapan then afterwards diawali dengan partikel multifungsi ‘er’ untuk ‘lantas’/’tetapi’. Empat baris pertama dimaknai menjadi: “Kehilangan Dao diikuti oleh De. Kehilangan De diikuti oleh welas asih (ren). Welas asih diikuti oleh kebenaran moral (yi). Kebenaran moral diikuti oleh peraturan etika/tata ritual (li).” Disini, kita bisa melihat analogi dengan aliran Sufisme dalam filsafat Islam Taṣawwuf (Arab: التَّصَوُّف‎ ) bahwa untuk membimbing suatu masyarakat, kita tidak bisa serta-merta menjejalkan Dao (kita anggap disini sebagai ’kesucian tertinggi’ alias unio mystica) kepada awam. Kenapa? Karena Dao yang bisa disebutkan atau dicapai bukanlah Dao yang sejati. Untuk itu, diperlukan tangga bertahap untuk mencapainya. Mari kita coba draw parallels ya. Bukan asal sekadar ilmu cocoklogi lho, tapi ini saya berusaha untuk melakukan praktik comparative philosophy. Terdapat empat tataran kesucian dalam ajaran Buddhisme, dan layaknya demikian, Sufisme juga mengenal empat tahapan menuju kesucian:
Pertama, hukum sharia ( شريعة ) dapat kita sandingkan dengan Li (禮) karena ciri mereka sama: eksoterik dan koersif. Mereka merupakan set ritual dan aturan-aturan yang harus ditaati tanpa kecuali. Hal ini digunakan untuk menimbulkan efek deterrent (usaha preventif) jika suatu kesalahan belum terjadi dan memberi hukuman (usaha korektif) jika kesalahan tersebut telah terjadi. Hal ini termasuk dalam set Aḥkām (Arab: أحكام‎, bentuk jamak dari ḥukum) yang meliputi farīḍah/wājib dan ḥalāl atau ḥarām-nya sesuatu untuk dilakukan. Contohnya, harus ingat salat Jumat, wajib menjalankan sedekah dan infaq, dan lain-lain. Pengikut arus ini dinamai sotāpanna dalam ajaran Buddha.
Yang kedua adalah jalur ṭarīqat; kelanjutan dari tahapan syariat dan mungkin satu level dengan Yi (義) dengan ciri yang serupa: esoterik dan introspektif. Dalam fase ini, seseorang menjadi insyaf ( إنصاف ) dan menjadi mawas diri terhadap hati nuraninya. Kesadaran atas kebenaran moral yang ada dari dalam ini juga dapat ditemui pada sifat para sakadāgāmi, yang memiliki ciri khas melemahnya niat jahat (byāpāda) dan nafsu ragawi (rāma-rāga).
Hakekat ( حقيقة‎, ḥaqīqa) selanjutnya di tahapan ketiga, maknanya setara dengan Ren (仁) ketika seluruh pemikiran dan kesadaran dari pengikut aliran ajaran tersebut dipenuhi dengan sattva (Sansekerta: सत्त्व) atau welas asih. Pada tahapan ini mereka fokus pada mementingkan kebutuhan yang penting saja (subsistent) daripada terus memikirkan keinginan sejenak (transient). Hal ini merupakan salah satu syarat utama seorang yang ingin mencapai anāgāmi.
Akhirnya sampai kepada marifat ( معرفة‎ ) yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang telah mencapai pengetahuan tertinggi De (德) dan dicapai dengan mendapatkan pengalaman ekstatik layaknya seorang arhat (Pali: अरहन्त् ) saat mencapai nirwana. Pengalaman ini adalah capaian tertinggi (Latin: summum bonum) bagi seseorang yang mendekati manifestasi Dao, yakni De. Belum sampai Dao sih. Kalau sampai Dao, ia sudah menjadi Yang Tercerahkan.
Dua baris terakhir DDJ Ch. 38 berbicara selanjutnya bahwa kesetiaan dan kejujuran (忠信, zhōngxìn) hanyalah manifestasi kelemahan atau ‘kepalsuan’ (薄, báo). Keempat tahapan dibawah Dao tersebut adalah tataran kesucian, sedangkan faith (terhadap ritual) dan honesty tidak termasuk tataran kesucian. Kok bisa begitu? Mereka berdua hanya akan hadir jika Li sudah ditegakkan. Mungkin penulis berpendapat bahwa hilangnya Li (peraturan) akan menyebabkan kepercayaannya hanya ada karena keterpaksaan, dan kejujuran hanyalah prasyarat formalitas agar bebas hukuman saja. Ini merupakan kritik tajam yang ditujukan penulis DDJ bagi Konfusianisme karena terlalu mengagung-agungkan Li dan Zhongxin.
Oleh karena itu, absennya semua hal tersebut (dari Dao sampai Li) akan menandai permulaan kerusuhan dan pemberontakan (亂之首, luàn zhī shǒu) di mana-mana. Dengan filsafat perbandingan—analogi dan paralel yang kita dapatkan antara Sufisme, Buddhisme, dan Daoisme—kita bisa memahami konsep De sebagai penghubung yang menjembatani kosmologi Dao dan peradaban (dan perdamaian) manusia. Phew! Abot lik, abot pol. Eits, jangan kemana-mana dulu. Sekarang kita bahas konsep satunya ya.
Tumblr media
Shan (善) adalah suatu konsep abstrak lain yang seringkali dijumpai di DDJ. Jika diterjemahkan secara langsung, ‘Shan’ artinya ‘tepat’ atau ‘betul’. Namun dalam banyak terjemahan bahasa Inggris DDJ, saya seringkali menemui kata virtue yang berasal dari bahasa Latin virtus. Padahal, virtus memiliki makna ‘terampil’ atau ‘ahli’ jika diterjemahkan kembali ke bahasa Indonesia. Memang seringkali—meski sekilas diawang-awang tidak jauh-jauh amat—loss in translation akan terjadi ketika kita berusaha menerjemahkan suatu kata dari bahasa asal yang mengandung suatu konsep namun konsep tersebut tidak familiar di penutur bahasa tujuan terjemahan itu (terdapat lexical gap). Salah satu bagian DDJ yang banyak menggunakan karakter ‘shan’ bisa dilihat di kutipan dari DDJ Ch. 8:
心善淵 xīn shàn yuān 與善仁 yǔ shànrén 言善信 yán shànxìn 正善治 zhèng shànzhì 事善能 shì shàn néng 動善時 dòng shàn shí
Sajak ini memiliki struktur dasar “A 善 B”. Jika saya mengasumsikan ‘shan’ adalah konsep yang maknanya ‘tepat’ atau ‘betul’, maka cara bacanya menjadi “B cara A tepat” atau setelah dirapikan “A yang tepat itu B”. Kalau diganti dengan ‘terampil’ kok kayaknya too mouthful ya, walaupun masih agak make sense dikit. Urutkan secara runtut, maka sajak tersebut dibaca: “Hati yang sungguh-sungguh itu tulus, hubungan/relasi yang tepat itu baik, perkataan tepat adalah kejujuran, peraturan yang baik adalah kedisiplinan/ketegasan, urusan baik bisa dikerjakan lancar, perjalanan yang baik itu yang tepat waktu”. Segala sesuatu ada waktunya, seperti kata Al-Chatib Qoheleth (Ecclesiastes 3). Ciye.
Dari terjemahan yang sudah dimaknai dengan tatanan yang bagus itu jadi terlihat bahwa terkadang konsep ‘shan’ ini sebetulnya tidak hanya berguna untuk menunjukkan makna ‘tepat’ atau ‘betul’ (right) tapi juga ‘benar’ (true) atau ‘baik’ (good). Coba kita telisik sebagian cuplikan dari DDJ Ch. 27:
善行無轍迹 shànxíng wú zhéjī 善言無瑕謫 shànyán wú xiázhé 善數不用籌策 shànshǔ bùyòng chóu cè 善閉無關楗而不可開 shànbì wú guānjiàn ér bùkěkāi 善結無纆約而不可解 shànjié wú mòyuē ér bùkějiě
Struktur dasar bagian ini adalah “善 A NOT B (而不 C)”. Negasi (NOT) yang dipakai adalah Wu (無) kecuali di baris ketiga yang pakai negasi Bu (不). Pada baris keempat dan kelima ada tambahan “而不 C“. ‘Er’ (而) disini adalah konjungsi atau kata hubung yang bermakna ‘akan tetapi’. Jadi jika diterjemahkan secara literal, mereka akan menjadi: “A yang benar tidak B (tetapi tidak C)”. Terjemahan literalnya adalah: ‘xing’ itu ‘jalan-jalan’ atau ‘piknik’; ‘yan’ adalah ‘presentasi’ atau ‘pidato’; ‘zheji’ adalah gabungan dari ‘jalur roda’ dan ‘bekas kaki’ sehingga bersama menjadi ‘jejak perjalanan’; ‘xiache’ merupakan gabungan antara ‘cacat’ dan ‘malu’, mungkin artinya adalah ‘cela’; ‘shu’ artinya perhitungan; ‘chouce’ melambangkan suatu alat bantu hitung kuno yang terdiri dari manik-manik yang diuntai dengan benang dan diikatkan pada bingkai untuk memperkirakan pendapatan pajak dalam suatu periode waktu. Kalau saya terka, alat ini ya sempoa (算盤, suànpán) atau bahasa Latinnya abakus. Sejarahnya, abakus itu merupakan bentuk lebih kuno dari sempoa, berasal dari turunan bahasa Phoenician (Ibrani: אבק,ʾābāq) yaitu goresan di pasir yang ditumpuki batu. Yah, beginilah orang zaman dulu berhitung. Woy, fokus! Balik ke terjemahan.
Tumblr media
‘bi’ (閉) artinya ‘tutup’; ‘kai’ (開) artinya buka. Perhatikan aksara mereka, keduanya ada radikal (unsur) pintu (門, mén). Oooh I love traditional script. ‘guanjian’ adalah kata aneh lain yang sekarang sudah tidak sangat jarang dipakai. ‘Guanjian’ adalah ‘kunci lawang’, kalau di bahasa Indonesia apa ya... Kalau orang Jawa bilang sunduk atau gerendel. Ya sejenis itu. Dulu di China sebelum ditemukan anak kunci, pintu disegel dengan papan kayu berat yang disandarkan melintangi kusen. Ya. gitu. Next. Pada baris terakhir, ‘jié’ yang di depan (結) artinya simpul, ikatan. ‘jiě’ yang belakang (解) artinya lepas, longgar. Hmm. Lawan kata tapi bacanya sama. Untung bahasa Mandarin adalah bahasa fonetik, yang membedakan arti homofon (suara yang sama) dengan heteroton (nada yang berbeda). Tuh, terlihat di aksen pinyinnya ada diakritik nadanya. ‘Moyue’ adalah kata compound lain yang bersama-sama artinya ‘ikatan’ atau ‘simpul’.
Setelah diterjemahkan secara literal dan dirapikan, sekuens tersebut akan menjadi: “Perjalanan yang benar tidak meninggalkan jejak, perkataan yang benar tidak mencela dan dicela, perhitungan yang benar tidak perlu kalkulator, pintu yang baik tidak perlu dikunci tetapi tidak bisa dibuka, ikatan yang baik tidak perlu disimpul erat tapi tidak longgar.” Nah. Mulai kelihatan kan paradoksnya Shan? Di dua baris terakhir, mungkin disana bisa jadi masuk makna virtus dari bahasa Latin tadi. Kunci dan simpul yang dibuat secara terampil oleh ahli memang tak perlu terlalu tampak kompleks dan canggih, tapi mesti tetap sulit dibuka, bukan? Tampaknya, paradoks ini berkerabat dekat dengan paradoks Wu Wei dan manfaatnya untuk mengatur sebuah masyarakat. Silakan disimak tentang konsep Wu Wei di episode yang terkait ya!
Demikianlah pembahasan kedua konsep ‘kebajikan’ dalam DDJ. Wah panjang banget bro! Konsep Shan dan De ini nantinya akan muncul di pembahasan konsep-konsep lain juga, tapi paling sering nanti akan tampil lagi di pembahasan penutup, yakni bagaimana cara kita menerapkan dan menjalankan Dao untuk menguasai dunia membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik lagi. Jadi, ikuti terus serial Literally Tao yang akan tayang di blog saya ini!
1 note · View note
shutterous-blog · 11 years
Photo
Tumblr media
Jiăntĭzì - Simplified Chinese 
+ Theoklitos Triantafyllidis
1 note · View note
60b3r · 4 years
Text
Literally Tao #1: Kosong adalah Isi, Isi adalah Kosong
Dengan segala kerendahan hati saya mohon maaf jika proses membaca dan menerjemahkan Dao De Jing ini menjadi sangat lama. Memang saya bukanlah seorang sastrawan China yang biasa lancar membaca dokumen-dokumen klasik macam Compendium of Materia Medica-nya pak dokter Li Shizhen. Bukan juga ahli tafsir kitab macam orang Farisi (yang dihina Yesus dan Muhammad karena terlalu asyik membaca sampai lupa praktek). Saya juga bukan umat Tao yang taat dan paham doktrin ‘agama’ Tao maupun aliran filsafat Tao (wey, apa-apaan agama Tao itu?). Saya cuma orang nganggur kurang kerjaan yang suka membaca hal-hal baru.
So, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita masuk ke pembahasan utama kitab Dao De Jing (DDJ) ini:
Bahwa DDJ akan saya baca menggunakan versi terbitan Mandarin dengan aksara Fanti (繁體, traditional script yang biasa dipakai di Taiwan dan Hongkong) alias versi VERY HARD dari aksara Mandarin. Kalau di China Daratan mereka pakainya aksara Jianti (簡體, simplified script). Saya juga menggunakan kamus manual dan daring untuk menerjemahkan DDJ secara literal dan tulus ikhlas tanpa beban. Jadi tolong kita hargai bersama usaha semua orang-orang yang telah terlibat dalam penyajian DDJ untuk saya baca: i. mereka yang menyalin DDJ dari naskah asli di gulungan-gulungan daun lontar yang pakai aksara bone script (ini lebih BRUTAL lagi, karena masih berupa pictogram, sejenis tulisan logografi hieroglyph Mesir); ii. mereka yang melakukan penyesuaian yang diperlukan dalam menjadikan DDJ dapat dibaca dengan aksara standar Hanzi/kanji; iii. mereka yang berkontribusi mengisi semua aksara sulit yang aneh-aneh dan bikin sakit mata di Wiktionary, sejenis Wikipedia tapi sebagai kamus semua bahasa yang ada di dunia, bahkan yang udah punah sekalipun.
Bahwa selama pembahasan saya akan berusaha tetap konsisten menggunakan romanisasi Hanyu Pinyin dan aksara Fanti. Kenapa begitu? Karena ejaan ini sudah menjadi standar yang digunakan oleh para penutur bahasa Mandarin sejak tahun 1950-an. Memang banyak yang lebih familiar dengan ejaan lama (Wei-Zhai Shi Pinyin) ini karena selain ia sudah dikembangkan oleh Wade sejak 1840-an dan mulai umum dipakai tahun 1892 di kamusnya Giles, romanisasinya lebih tepat bunyi ketimbang pinyin standar. Karena perubahan ejaan menjadi Hanyu pinyin telah diakui internasional sejak 1982, romanisasi ‘Tao Te Ching’ sekarang seharusnya jadi ditulis ‘Dao De Jing’ meskipun bacanya tetap ‘taotecing’. Bisa saja pakai ejaan Wade-Giles tapi nanti cuma jadi catatan samping saja ya, supaya tidak bingung. Misal: Sun Tzu dengan pinyin lama akan saya tulis menjadi Sun Zi di pinyin standar. ‘Bakpao’ dan ‘bakmi’ jadi ‘roubao’ dan ‘roumian’. ‘Sencimping’ (神经病) alias gendheng sekarang harus ditulis 'Shénjīngbìng’. Untuk pembahasan kenapa aksara kanji yang dipakai adalah fantizi dan bukan jiantizi, bisa dikira-kira dan dilogika ya. Hint-nya di serial saya yang lain: tentang Imlek: Kalender, Homofonologi, dan Angpao. TL;DR: aksara kanji kompleks lebih indah dan keren mudah dipahami maknanya karena masih mirip piktogram.
Bahwa DDJ itu cuma salah satu dari tiga kitab utama penuntun Daoisme. Yang terkenal adalah Zhuangzi Jing (ejaan Wade-Giles: Chuang Tzu), sebuah kumpulan pepatah dan anekdot (lelucon paradoks) yang ditulis oleh Zhuang Zhou dan murid-muridnya. Satu lagi yang lebih panjang dan lebih klenik adalah Yi Jing (ejaan Wade-Giles: I Ching), yakni ‘Kitab Perubahan’ yang ditulis oleh lebih banyak orang dalam aliran filsafat Daoisme sepanjang Dinasti Zhou (abad ke-10 SM hingga abad ke-2 SM). Yang saya ingat dari karangan Zhuangzi (karena pernah baca tapi cuma sekilas) adalah cerita tentang Zhuangzi yang bermimpi jadi kupu-kupu—yang bermimpi jadi Zhuangzi—yang bermimpi jadi kupu-kupu. Dah wes iku tok sing aku eruh. Karena hal tersebut, saya memberikan disclaimer lagi: saya tidak pernah membaca seluruh kitab Tao secara lengkap sebelumnya, sehingga ada beberapa konsep yang mungkin nggak masuk di kepala saya namun udah familiar buat orang-orang yang pernah khatam baca buku-buku Tao. Proses pembelajaran saya ini hanyalah iseng sebagai pemula, jadi mohon maaf apabila ada sebagian besar konsep yang tertinggal.
Bahwa DDJ adalah karya sastra lawas. Diduga, ia ditulis pada sekitar abad ke-4 SM dan dikompilasi oleh penerusnya hingga abad ke-6 SM, selama kekuasaan Dinasti Zhou dalam sejarah China Kuno. Seperti yang saya bocorkan di episode sebelumnya, bahkan tidak ada yang tahu DDJ sebenarnya merupakan karya tunggal atau sebuah kompilasi atau antologi beberapa penulis. Karena usianya yang begitu tua, beberapa kata dan bahkan karakter yang ada dalam DDJ memang tidak bisa dipahami secara literal. Mereka hanya bisa diterjemahkan secara literal, lalu kemudian dimaknai sendiri sesuai konteks leksikal dan gramatikal budaya pada zaman itu. Sehingga, terkadang ada kemungkinan terjemahan manual saya ini menjadi berbeda dengan terjemahan dan tafsir lain yang pernah ada. Disclaimer: saya tidak punya gelar studi Filsafat Asia Timur. Saya cuma penghobi filsafat saja. Kalau mau menggunakan kutipan bahasan saya, monggo, tapi jangan sampai saya diancam sama ahli ‘Farisi’ Tao ya.
Bahwa DDJ memiliki banyak pantun dan puisi yang berima dan bermakna hanya jika dibaca dengan bahasa Mandarin. Diantara sajak-sajak tersebut, tersimpan pesan-pesan moral yang kadang jelas (DDJ Ch. 33) dan ada lebih banyak lagi yang kiasan atau berupa oksimoron (lawan kata yang dipresentasikan bersama-sama untuk memunculkan pertentangan) dan paradoks (suatu bentuk eksperimen logika yang menguras tenaga). Saya ambil contoh dari DDJ Ch. 11:
有之以為利 yǒu zhī yǐ wèi lì 無之以為用 wú zhī yǐ wèi yòng
‘you’ artinya ‘keberadaan’/’rupa’/’wujud’; ‘wu’ artinya ‘kosong’/’tanpa’/’tidak ada’; ‘li’ dan 'yong' artinya sama, yaitu ‘guna’; tapi 'li' bersifat lebih abstrak: ‘memanfaatkan’; kalau 'yong' bersifat lebih praktis: ‘menggunakan’; ‘yi wei’ artinya ‘berkerja’/’melaksanakan’/’berfungsi’.
Jadi: Ada berguna; tak ada berguna juga? Hah gimana itu maksudnya?
Perlu diketahui pula bahwa struktur gramatikal bahasa Mandarin adalah dijelaskan-menjelaskan (topic prominent atau berorientasi objek, berarti struktur kalimatnya KOSP) dan hanya sesekali menggunakan model format menjelaskan-dijelaskan (subject prominent atau berorientasi subjek, berarti struktur kalimatnya SPOK) seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Jadi, kasarannya, orang China kalau ngomong bahasa Mandarin kayak Yoda. Eaten the breakfast, you have? Martabak telor, saya sudah makan. Sehingga, beberapa kata hubung khusus bisa membalikkan posisi anak kalimat dan induk kalimat. Dalam kasus ini, ‘zhi’ adalah partikel tersebut. kadang memang perlu dibolak-balik dan diutak-atik susuan kalimatnya sebelum pantun atau sajak tersebut menjadi make sense: ‘A zhi B’ bisa berarti ‘A, maka B’ atau ‘B, karena A’.
Sehingga nanti terjemahannya begini: Sesuatu dapat dimanfaatkan karena ia berwujud. Sesuatu dapat digunakan karena ia tidak berwujud. Hah kok aku tambah bingung! Coba kita teliti baik-baik. Sesuatu apa yang berguna kalau dia tidak ada/kosong? Hal ini bisa dijelaskan dengan membaca DDJ Ch. 4:
道盅而用之有不盈 dào zhōng ér yòng zhī yǒu bù yíng
‘dao’ disini Tao itu sendiri; ‘zhong’ merupakan karakter kuno yang sudah tidak dipakai (archaic) yang menggambarkan cawan atau piala; ‘er’ artinya ‘tetapi’; ‘bu’ itu partikel negatif; ‘ying’ kasarannya ‘kelebihan isi’
Jadi: Cawan Tao tetapi berguna ada wujud tanpa kelebihan isi. wHaT tHe... apa-apaan! Sabar woy, sabar. Gini lho guys bacanya: Tao seperti cawan, dengan kekosongannya, menjadikannya berguna. Masuk akal? Jadi suatu ‘spacy container’ atau ‘wadah bervolume’ hanya berguna jika dia kosong! Coba lengkapnya kita lihat kembali lagi dari DDJ Ch. 11:
鑿戶牖以為室 záo hùyǒu yǐwéi shì 當其無有室之用 dāng qí wú yǒu shì zhī yòng
Wadidaw tuolong tulisannya kok kayak gitu! Shhhhh. Saya sudah mengalami kebingunan-kebingungan ini untuk anda, anda tinggal baca bahasannya saja. Jangan mengeluh.
‘zao’ artinya ‘menggali’ atau ‘melubangi’; ‘shi’ artinya ‘bilik’/’ruangan’; ‘huyou’ adalah bahasa literary untuk ‘pintu dan jendela’.
Bahasa ini sangat sastrawi dan tidak umum dipakai. Biasa dalam percakapan sehari-hari pakai 门窗 (mén, pintu; dan chuāng, jendela). Disini anda jumpai lagi partikel lain yakni ‘qi’ yang artinya ‘yang dimana’/’which is’. Wow DDJ yang usianya 2500 tahun lalu udah berlogat Jaksel banget nih. WKWKWKW. Ada juga partikel lain yang mungkin gunanya hanya sebagai exclamation atau ungkapan seruan, seperti ‘lho’, ‘eh’, ‘nah’, dan ‘kan’: disini partikel ‘dang’ itu saya duga berfungsi seperti ‘nah, kan’.
Artinya begini: Kamar dibuat dengan membolongi pintu dan jendela; nah kan dengan adanya bolongan itu ia menjadi berguna! Jadi bolong itu ada wujudnya? Wujud yang tidak berwujud, itulah wujudnya, yakni tidak berwujud! Hence, judul artikel saya kali ini: Isi adalah kosong; kosong adalah isi, apa isinya? Kekosongan itulah isinya! Demikianlah ajaran Tao.
Sebagai perenungan pribadi nih, apa sih yang berwujud dan dapat dikasi nilai dan dimanfaatkan? (DDJ Ch. 11) Kertas dan lempengan logam, itu berwujud. Dikasih nilai: sepuluh biji, seratus lembar. Apa sih yang tidak berwujud tapi berguna secara praktis? Mata uang. Apa itu Rupiah? Apa itu Dolar? Apa itu Yen dan Euro? Kamu tidak akan pernah bisa mendengar, mencium, menjilat Rupiah maupun Euro. Kamu tak akan pernah bisa membasahi dan merobek dan membakar Dolar bersama Yen. Tapi tanpa mata uang—yang tanpa wujud itu, uang kertas dan uang logam kalian yang ber’nilai’ dan ber’manfaat’ untuk berhitung saja itu tidak berguna secara praktis. Gimana, udah mulai mindblowon? Huehuehue.
Kira-kira beginilah proses selow saya dalam mencoba membaca, menerjemahkan, dan memahami DDJ dengan proses belajar mandiri. Kalau ada diantara kalian yang bisa dan mau memberikan pembetulan, baik dari konsep filsafat Taoisme maupun tentang bahasa Mandarin saya yang kurang tepat, segera hubungi saya ya. Biar kesalahan saya gak berlarut-larut gitu lho, ini masih banyak yang belum saya dalami soalnya. Jangan lupa follow instagram untuk beberapa update random selama perjalanan saya mencoba make sense kitab DDJ ini. Nantikan pembahasan saya di episode selanjutnya ya!
0 notes