#jari kulle
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Waiting Women (Kvinnors väntan) (1952) Ingmar Bergman
May 15th 2022
#waiting women#kvinnors vantan#1952#ingmar bergman#maj-britt nilsson#anita bjork#eva dahlbeck#birger malmsten#gerd andersson#gunnar björnstrand#jari kulle#karl-arne holmsten#hakan westergren#bjorn bjelfvenstam#aino taube#secrets of women
2 notes
·
View notes
Text
MOTHER OF FUTURE
“Ibu Masa Depan”—kami santriwati Gontor Putri disiapkan untuk menjadi ibu-ibu masa depan. Kata “ibu” memiliki cakupan yang amat luas dilihat dari segi makna dan padanan kata. Sangat-sangat luas.
Kami santriwati Gontor Putri tidak merasa asing dengan mata pelajaran “Nisaiyyah” yang dalam bahasa Indonesia berarti kewanitaan. Tujuan utama pembelajaran tentu agar semua santriwatinya menjadi santriwati sebenarnya, menjadi wanita seutuhnya, feminine, dan memperhatikan betul-betul sisi kewanitaannya. Di sini kami belajar tentang sikap duduk, berjalan, berpakaian, di tempat umum, resep masakan, DIY, cara lipat serbet, sampai cara berpenampilan. Inilah kelemahan santri-santri Gontor, mereka tidak memiliki pelajaran Nisaiyyah.
Ketika duduk di bangku kelas 5 dan 6 atau setara dengan kelas 2 dan 3 SMA, pengajar atau pengampu berbagai mata pelajaran kami adalah ustadz dan ustadzah senior yaitu para kader pondok dan umumnya sudah berkeluarga. Suatu ketika pengampu pelajaran Tauhid kelas kami adalah Pengasuh Pondok yaitu Al Ustadz KH. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, MA yang kebetulan istrinya pun pengampu Nisaiyyah. Hanya saja Al Ustadzah Nihayah Achwan, istri beliau tak pernah sekalipun mengisi kelas. Memang ada anggapan bahwa pelajaran Nisaiyyah ini pelajaran enteng, tak perlu belajar, dan biasa diletakkan pada jam-jam terakhir.
Selesai materi Tauhid tersisa waktu beberapa menit, kami yang penasaran dan berhasrat untuk merasakan bagaimana diajar oleh Bu Nyai lantas bertanya kepada Pak Kyai.
“Ustadz, satu pertanyaan (sambil mengacungkan jari) .”
“Aiwah, tafaddholi! Baik silakan! ”
“Ustadz, kenapa Ustadzah Nihayah tidak pernah masuk kelas dan mengajar kami? Beliau adalah pengampu mata pelajaran Nisaiyyah di kelas kami.”
Sambil tersenyum beliau berkata “Kalau istri saya mengajar kalian, lalu siapa yang akan menyambut saya di rumah usai mengajar?”
Hmm… so sweet. Istri beliau yang dipuji, kami yang terbang. Haha. Lantas kami secara berjamaah membayangkan romantisme antara beliau berdua dan berharap kelak itu pun terjadi pada kami. Bayangan buyar mendengar lonceng pergantian jam dan salam beliau menutup kelas. Sedikit gambaran betapa berharganya kami anak-anak beliau yang secara nilai sudah dibangun dengan qudwah yang sedemikian rupa. Bagi kami Bu Nyai adalah sosok istri yang sempurna, begitu pula dengan Pak Kyai sosok suami yang sempurna. Intinya, kami ini dipingin-pingini supaya kelak menjadi wanita dan istri idaman para suami.
Kami memiliki 2 termin liburan setiap tahunnya. Pertama adalah pertengahan tahun atau setelah Ujian Akhir Gasal selama 10 hari dan kedua setelah Ujian Kenaikan Kelas selama 50 hari. Ups, jangan jealous! Setiap sebelum perpulangan tepatnya setelah selesai masa ujian, kami mendapatkan pesan dan nasehat dari guru-guru kami, nasehatnya luas namun ringkas dan disertai praktik termasuk tentang Nisaiyyah. Pasalnya, pihak pengasuhan menunjuk beberapa santriwati yang cantik sebagai model agar mereka berjalan di atas panggung bak peragawati memberi gambaran bagaimana berpenampilan. Peragaan pakaian yang pas dipakai untuk jalan-jalan, piknik, dan sebagainya agar pikiran kami tidak abstrak.
Pembicara pada malam itu adalah Ustadz Sunanto, ustadz senior di kampus Gontor Putri 1, ayah teman kami satu angkatan. Ketika itu, sedang hitz baju-baju atasan dengan potongan zig-zag di bagian bawah yang dipakai salah satu model yang kebetulan kakak kelas kami. Ustadz kemudian menjelaskan, “Nah, kalau untuk jalan-jalan pakai baju yang baik, pakaian yang rapi. Lha ini? Baju sobek-sobek kok dipakai?!” Perkataan beliau sontak menimbulkan riuh dan gelak tawa di dalam auditorium. Kami dengan polos akan menanggapi bahwa beliau ini tidak tahu menahu bab mode.
Ustadz Hidayatullah selalu membangun mindset kami agar menjadi wanita modern yang tidak meninggalkan nilai-nilai tradisional dan budaya. Beliau selalu mengatakan bahwa kami ini singa betina, kami adalah wanita-wanita kuat pembangun generasi masa depan. Singa betina adalah ibu rumah tangga, mencari makan, dan menjaga anak-anaknya. Sedang singa jantan bertugas menjaga daerah teritorial. Begitu yang beliau harapkan terhadap kami, agar seperti singa betina yang kuat, berani, dan mandiri. Kami dibentuk agar menjadi mar’ah atau wanita yang “Sittil Kull” atau “Sayyidatul Kull” yaitu serba bisa atau pandai dalam segala hal dari mengurus rumah tangga sampai urusan keluarga. Kami harus menjadi pribadi menyejukkan dan membuat suami-suami kami sujud syukur memiliki kami, bukan sujud sahwi. Beliau selalu berkata, “Jadikan suami kalian itu setelah menikah sujud syukur, bukan sujud sahwi!”. Beliau tidak pernah membatasi kami untuk berkarir, namun pesan beliau adalah untuk selalu memperhatikan keluarga.
Usai shalat berjamaah beliau selalu mendoakan kami agar menjadi anak yang baik dan istri yang baik. Doa beliau “Ya Allah, Ya Tuhan kami, berikanlah kami anak-anak yang baik dan perbaikilah anak-anak kami, berikanlah kami istri-istri yang baik dan perbaikilah istri-istri kami”. Pada lain kesempatan pula, di dalam kelas ada seorang teman yang bertanya kepada beliau tentang peran Ustadzah Nihayah bagi beliau. Beliau berkata “Istri saya itu ya adik saya, ya kakak saya, ya anak saya, ya ibu saya, ya murid saya, ya guru saya. Saat istri saya salah, ya saya nasehati”. Mendengar kalimat itu langsung memotivasi diri saya pribadi (penulis) agar menjadi istri yang tidak manja atau jika manja ya pada waktunya.
Setelah berhasil wisuda S2, teman dari Lombok sempat berlibur ke rumah untuk menikmati keindahan dan kesejukan Kabupaten Semarang. Kebetulan ia menyelesaikan S1-nya di Universitas Darussalam (Unida). Kami sebagai sesama perempuan memiliki banyak kesempatan untuk curhat, ngobrol kesana-sini ngalor ngidul ngetan ngulon. Teman saya bercerita bahwa Ustadz Hidayatullah berpesan kepada teman-teman yang lulus S1 di Unida agar setiap harinya meluangkan waktu 10 menit untuk memikirkan pernikahan. Pesan yang diriwayatkan teman saya ini saya simpan dan saya praktikan setiap harinya dan alhamdulillah atas izin dan ridha Allah SWT saya kini sudah menikah. Semoga Allah SWT meridhai kami dan menjadikan suami saya selalu bersyukur memiliki saya serta menuntun saya menuju jalan-Nya menjadi mother of future. Aamiiin.
6 notes
·
View notes