#jadibisatraveloka
Explore tagged Tumblr posts
catatanlama · 7 years ago
Text
‘’Perjalanan tengah malam’’
Tumblr media
Hujan lebat mengguyur menutupi jendela kereta Argo Jati yang mengantarkan saya pulang ke Jakarta. Saat itu, hanya tersisa pemandangan kelabu di sepanjang perjalanan.
Perubahan cuaca cukup ekstrim dari panas terik ke hujan lebat menemani saya selama di Cirebon. Kondisi cuaca ini bertolak belakang dengan cuaca di Jakarta beberapa hari terakhir yang lebih sering diguyur hujan. Ya, Cirebon jadi destinasi liburan singkat akhir pekan saya sekitar dua minggu lalu.
Kali ini liburan singkat yang saya jalani adalah dalam arti sebenarnya, berangkat Sabtu pagi kemudian kembali ke Jakarta pada Minggu siang. Singkat (banget), kan? Hanya ingin mengganti suasana dan sedikit menghilangkan suntuk sebenarnya.
Cirebon saya pilih sebagai tempat liburan dengan pertimbangan lokasi yang hanya 3 jam dari Jakarta dan masih belum terlalu padat pengunjung, menurut saya, di sana sehingga saya masih bisa menikmati suasana yang sedikit senggang.
Tumblr media
Berangkat dari Gambir menggunakan Argo Bromo Anggrek pukul 9.30 pagi. Jam 12.10 kereta saya pun tiba di Stasiun Cirebon dan disambut terik matahari. Tak ada tujuan lain di sini selain ‘makan, makan, dan makan’.
Dengan kondisi mata masih setengah mengantuk dan tubuh masih menyesuaikan cuaca terik khas daerah pesisir, akhirnya, sebelum berburu kuliner, saya memutuskan untuk check in ke hotel dan beristirahat sejenak.
Hotel tempat saya menginap hanya berjarak 20 menit dari stasiun. Saya menuju hotel menggunakan becak dengan ongkos Rp25ribu saja. Entah mahal atau tidak, yang pasti dengan cuaca yang kurang bersahabat, harga yang ditawarkan oleh si tukang becak cukup masuk akal buat saya. Sesampainya di hotel, proses check in cukup cepat, tidak sampai 5 menit bahkan dan beruntung saya juga bisa langsung masuk kamar merebahkan badan.
Surga rasanya ketika bisa berbaring di kasur dan terkena semburan pendingin ruangan di kamar. Seterik itukah Cirebon? Ya, terik banget. Setengah botol air mineral 1,5 liter yang saya bawa dari Jakarta pun ludes seketika untuk menghilangkan dahaga.
Rencana mau memejamkan mata sebentar karena malam sebelumnya saya sebenarnya kurang tidur, tapi apa daya perut keroncongan membuat mata tetap terbelalak. Perut nggak bisa lagi diajak kompromi sepertinya.
Akhirnya, setelah mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman dan bongkar tas, saya beranjak ke luar untuk cari makan siang. Makan siang yang super telat sebenarnya karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 14.00.
Tujuan pertama, wajib makan siang di Nasi Jamblang Bu Nur yang ada di sekitar Jalan Cangkring, Kejaksan. Sebenarnya, nasi jamblang ini nggak jauh beda sama nasi campur atau nasi rames yang sering kita temukan. Hanya saja, ada lauk-lauk khas dan disajikannya pun di atas piring beralas selembar daun jamblang.
Lagi-lagi saya beruntung, begitu sampai, rumah makan ini cenderung sepi karena jam makan siang sudah lewat. Dengan kondisi perut yang sangat lapar dan melihat deretan lauk tersaji, air liur seketika berkumpul di pangkal lidah dan tangan rasanya ingin menyendok semua makanan yang ada.
Tumblr media
Akhirnya, pilihan pun jatuh ke semur jengkol, sambal, otak sapi goreng, semur lidah, dan balakutek. Lumayan banyak buat porsi makan seorang perempuan mungkin. Lumayan? Banyak banget mungkin buat sebagian orang. Harga untuk seporsi nasi jamblang tergantung dengan pilihan lauk.
Begitu selesai makan, perut menyembul dan kancing celana berontak karena kekenyangan. Mau nggak mau, satu kancing celana harus saya buka satu supaya perut ini ada sedikit ruang untuk bernapas (jangan dicontoh ya).
Meski kenyang, tapi mulut nggak bisa menahan godaan Eskrim Durian Mas Sugeng yang biasa mangkal di depan rumah makan ini begitu kaki keluar melangkah. Alhasil, satu gelas eskrim durian saya bawa untuk menemani perjalanan saya ke Kampung Batik Trusmi.
Sebenarnya, saya bukan tipe orang yang suka belanja saat bepergian, tapi saat itu, saya tidak terbayang opsi lain untuk menghabiskan waktu. Kampung Batik Trusmi adalah pusat pengrajin batik di Cirebon, mulai dari pengrajin batik rumahan sampai toko besar, semua bisa ditemui di wilayah ini.
Saya pun memilih singgah di sebuah toko besar dengan nama ‘Batik Trusmi’. Toko batik ini memang lumayan besar dan terkenal di kalangan pelancong. Mulai dari batik murah, hingga batik mahal ada di sini. Pilihan berbelanja tergantung bujet pastinya.
Awalnya nggak ada niat belanja sama sekali, tapi setelah berkeliling toko, saya memutuskan untuk beli beberapa helai pakaian untuk ibu dan keponakan di rumah. Tergoda juga iman saya buat mencomot pakaian tidur. Murah meriah harganya tapi kualitas nggak kalah dari pakaian toko-toko ternama di ibu kota. Sekitar satu jam saya berkeliling toko batik.
Setelah kaki pegal dan memboyong beberapa baju, saya pun hengkang menuju ke pemberhentian selanjutnya. Empal Gentong Haji Apud. Sekadar informasi, Empal Gentong Haji Apud ini punya cabang dan sudah bisa dibeli dengan menggunakan aplikasi transportasi daring, lho. Lumayan membantulah buat kamu yang malas gerak alias mager.
Tumblr media
Lokasi tempat makan ini nggak jauh dari Kampung Batik Trusmi. Sekitar 5 menit perjalanan dengan mobil kira-kira. Tak lama sampai di sini, hujan deras pun mengguyur seketika. Padahal, cuaca sebelumnya sama sekali nggak mendung. Terik bahkan. Lagi-lagi saya beruntung.
Dengan kondisi cuaca dingin dan perut yang lapar (lagi) jadilah saya memesan dua porsi makanan sekaligus, empal gentong dan empal asem. Tentunya disantap tanpa nasi supaya porsinya pas di perut. Selain nasi jamblang, tempat makan empal gentong ini memang jadi tujuan wajib kuliner saya setiap mampir di Cirebon. Buat saya, dibandingkan dengan tempat makan empal gentong sejenis, Empal Gentong Haji Apud menawarkan rasa yang lebih pas di lidah.
Sudah habis mangkuk kedua, tapi hujan tak kunjung reda. Entah sampai jam berapa saya harus menunggu. Dengan berbekal ojek payung yang saya sewa dari anak-anak yang mangkal di depan tempat makan, akhirnya saya memutuskan untuk pulang dengan menggunakan taksi daring. Sedikit basah pasti karena hujan lebat disertai angin yang cukup kencang.
Sampai di hotel, perut kenyang dan cuaca pun “bersahabat”, kombinasi sempurna untuk istirahat. Saya menyalakan televisi untuk menemani rehat sambil meluruskan badan. Tapi tidak terasa, justru malah TV yang menonton saya dan saya baru terjaga sekitar jam 20.30.
Malam itu, di hotel tempat saya menginap ada hajatan orang menikah. Alhasil, suara-suara biduan yang mengisi acara tersebut juga sampai di kamar saya. Kebisingan dan sempat mati gaya, akhirnya saya memutuskan keluar hotel dan menyetop becak untuk menuju daerah Pasar Kanoman.
Pada malam hari, daerah Pasar Kanoman ramai dengan penjaja makanan kaki lima. Ada sate kalong, penjual aneka pepes, nasi dan ayam goreng, hingga nasi rames yang lauknya dijajakan dalam baskom-baskom yang berjejer di atas dipan kayu. Bagi pecinta kuliner, menikmati kuliner malam di Pasar Kanoman menurut saya juga wajib hukumnya.
Untuk makan malam kali ini, saya memilih menu sate kalong. Bukan, bukan daging kalong (kelelawar), ya, yang dijadikan sate. Sate kalong adalah sebutan untuk kuliner sate kerbau di Cirebon. Sempat menyangsikan makanan yang satu ini, khawatir keras dagingnya dan rasanya tidak berterima di lidah saya. Maklum, sebelumnya saya sama sekali belum pernah mencicipi kuliner olahan daging kerbau.
Tapi ternyata, dagingnya empuk dan rasanya juga enak. Kalau menurut saya, makanan yang satu ini rasanya seperti sate jawa. Daging hanya dibumbui ketumbar, bawang, dan kecap kemudian dibakar. Perpaduan bumbu-bumbu tersebut menghasilkan aroma dan cita rasa khas. Entah apakah memang bahan itu yang digunakan sebagai bumbu atau bukan, setidaknya menurut indera perasa saya, ketiga bahan itu yang kuat mendominasi rasa sate kerbau yang saya pesan.
Semilir angin malam dan riuh rendah suara lalu lalang kendaraan menemani saya menikmati seporsi sate kalong di emperan toko di sekitar Pasar Kanoman. Suasana cukup syahdu dan dingin setelah hujan deras tadi sore.
Tak lama setelah menyelesaikan santap malam, saya bergegas ke hotel. Berkemas dan kembali berbaring mempersiapkan tubuh untuk kembali ke Jakarta esok hari.
Tak pernah sedikitpun terlintas di benak untuk bisa berlibur selama tiga bulan terakhir ini. Sepele alasannya, karena banyak tumpukan pekerjaan. Masalah klise kekinian kaum urban sebenarnya.
Tapi, waktu itu, Jumat malam, mata belum juga bisa terpejam. Segala macam urusan dan pekerjaan masih berkutat di kepala. Jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul 22.30. Seperti biasa, ponsel pun saya jadikan pelarian kala mata masih terbuka lebar.
Berbagai aplikasi saya buka, berselancar di dunia maya pun tak berkesudahan hingga akhirnya saya secara acak membuka Traveloka dan memesan tiket kereta untuk pergi ke Cirebon keesokan harinya dan terjadilah “perjalanan tengah malam” ini.
Mendadak? Pasti. Buat kamu yang seringkali spontan ingin bepergian tanpa perencanaan, aplikasi Traveloka akan sangat membantu. Untuk memesan tiket kereta api misalnya, kamu bisa memesan tiket kereta pada menit-menit terakhir hingga 3 jam sebelum keberangkatan bahkan.
Tumblr media
Tak hanya itu, jika pilihan kursi masih tersedia, kamu pun bebas memilih posisi kursi yang kamu inginkan. Dengan bantuan Traveloka, saya yang sebelumnya tidak pernah terpikir untuk pelesir, #JadiBisa merasakan liburan dadakan hasil dari pencarian spontan “perjalanan tengah malam” sebelum beranjak tidur.
2 notes · View notes
muharamsyah · 7 years ago
Text
Sumbawa, terwujud berkat tangan-tangan yang bisa diandalkan
Senin, 11 Juli 2016. Tepat pukul 05.00 WITA, saya dan lusinan pengunjung lain sudah tiba di atas bukit Kenawa untuk memburu fajar. Satu-satunya bukit di pulau Kenawa dengan ketinggian tak lebih dari 100 meter ini menjadi tempat terbaik untuk melihat matahari terbit tanpa terhalang tabir apapun.
Dengan sedikit niat dan kemauan, siapa saja yang mendambakan pemandangan fajar langit Nusantara bagian timur, bisa dengan mudah menuntaskan pendakian hingga ke puncak bukit.
Jalan yang sedikit curam dan berbatu, tingginya savana serta ancaman ular padang rumput yang bisa datang kapan saja tak menyurutkan niat saya untuk mulai meghujamkan langkah demi langkah mendaki punggung bukit Kenawa. Tak sia-sia, imbalan yang saya terima kala itu setimpal.
Langit fajar nusantara bagian timur yang terkenal kejernihannya itu seolah bukan isapan jempol belaka, semburat jingga keemasan berselang awan tipis kelabu sisa semalam bersatu tepat di horizon dengan jernih dan birunya perairan Selat Alas yang pagi itu masih tenang.
Perahu-perahu cadik milik nelayan, seiring gelombang angin laut ramai-ramai menuju pesisir Pototano, menggenapi kekaguman saya pada Sumbawa yang keindahannya tak akan lekang dalam ingatan hingga akhir hayat.
Tumblr media
(Dok pribadi: Fajar di puncak bukit Kenawa)
Tumblr media
(Dok pribadi: pemandangan dari atas bukit)
Karena cepat waktu beranjak, tak bisa lama-lama saya terlena dengan keindahan puncak Kenawa, saya memutuskan untuk turun bukit agar sempat  mengecap sedikit indahnya panorama pantai dan bawah laut kawasan perairan Sumbawa dan Selat Alas.
Tumblr media
(dok Pribadi: Perlahan menuruni bukit Kenawa)
Pantai-pantai di Pulau Kenawa ditumbuhi vegetasi yang monoton khas wilayah timur Indonesia. Padang rumput yang kebanyakan ditumbuhi semak kelompok Poaceae tergelar begitu rapat. Sesekali terlihat gundukan mangrove berjejer sengaja ditanam untuk mencegah abrasi. Di penghujung padang rumput lebat dan barisan mangrove tersebut tergelar garis pantai yang diisi putihnya pasir bersatu dengan ujung perairan pulau yang luasnya tidak lebih dari 13 hektar ini.
Pagi hari gelombang tak begitu beriak dan air laut masih jernih, saat itu saya tak menyia-nyiakan waktu dan segera snorkeling di sisi selatan pulau Kenawa. Kawanan ikan karang perairan dangkal yang beraneka warna mudah saya temui di sekeliling terumbu yang terbilang masih dalam kondisi baik ini.
Tumblr media
(Dok pribadi: bawah laut Kenawa, Sumbawa)
Di sela-sela karang tersebut, sesekali terlihat beberapa gumpal bulu babi, teripang serta bintang laut. Hewan-hewan echinodermata itu terserak begitu saja menandakan laut sekitar Sumbawa ini masih belum banyak tercemar.
***
Sepenggal cerita di atas hanya sebagian memori yang bisa saya bagi mengenai kekaguman saya pada tanah Sumbawa, tanah yang diukir bentang alamnya sedemikian rupa hasil mahakarya sang Pencipta.
Perjalanan saya hingga dapat menikmati Sumbawa bukan perjalanan yang mudah. Perjalanan darat, laut hingga udara harus saya tempuh di tengah padatnya arus lalulintas libur hari raya lebaran.
Akses terdekat menuju Sumbawa adalah melalui Pulau Lombok. Akses tersebut saya pilih karena memang paling memungkinkan dilakukan kala itu. Dari Bandara Praya Lombok, saya masih harus menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam menggunakan moda angkutan yang tidak terlalu baik.
Saya sempat dibayang-bayangi godaan lusinan calo di terminal agar saya  merental mobil. Namun demi alasan ekonomi, akhirnya saya memilih untuk menggunakan moda kendaraan umum. Sebuah minibus berkapasitas sekitar 20 orang pun menjadi pilihan saya. Minibus tersebut melaju dengan kencang menuju dermaga Kayangan, titik paling Timur Pulau Lombok.
Dari dermaga Kayangan ini perjalanan menjemukkan siap dimuali. Udara kering dan panas setia menemani saya yang kala itu belum terbiasa dengan udara sekering itu, udara kering yang kontan membuat saya harus rutin menenggak air mineral berbotol-botol. Perjalanan menuju pelabuhan Pototano di pulau Sumbawa harus menggunakan Ferry.
Ferry yang mengantarkan saya menyebrangi selat Alas tak melaju begitu kencang. Tiga setengah jam saya terombang-ambing bersama ratusan pelancong dan warga lain di atas ferry yang seharusnya bisa menyebrang lebih cepat itu. Pukul 16.00 WITA akhirnya saya tiba di dermaga Pototano, Sumbawa. Kendati demikian, perjalanan belum usai. Dari pototano saya harus meneruskan perjalanan sejauh 2 km ke arah barat laut menuju pulau Kenawa menggunakan perahu cepat.
Tumblr media
(Dok Prubadi: Menuju Sumbawa)
Keletihan perjalanan tersebut belum seberapa jika dibandingkan kekhawatiran tidak mendapatkan tiket penerbangan ke Lombok.
Saya memilih Juli 2016 sebagai jadwal saya untuk menelusuri Lombok dan Sumbawa. Jadwal yang paling dihindari oleh sebagian besar orang untuk berlibur.  Walakin bagi saya, waktu-waktu kritis ini justru satu-satunya kesempatan untuk mengambil cuti panjang.
Atas pilhan saya mengambil Juli sebagai jadwal bervakansi, ganjaran yang saya terima adalah ancaman tidak mendapatkan tiket penerbangan atau hotel. Dua teman vakansi sayapun mengandalkan saya –layaknya agen tiket cabutan- agar turut memesan tiket untuk mereka.
Ihwal pesan-memesan tiket, satu hal yang terlintas di benak saya kala itu  adalah layanan penyedia tiket online berlogo burung biru, Traveloka. Mudah, cepat, terpercaya dan bisa diakses di manapun.
Hanya berselang beberapa pekan sebelum jadwal keberangkatan, oleh kantor, saya ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Jambi. Di Jambi, meski dibayangi ketidakpastian jadwal kepulangan, saya memberanikan diri untuk membuka aplikasi daring Traveloka.
Di tengah tidak bersahabatnya jaringan selular pedalaman Wilayah Jambi saya masih dapat membuka aplikasi daring Traveloka dari gawai pribadi dengan cukup lancar. Saya melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit dan prosesnya cepat. Saya berhasil mengantongi tiket pulang pergi dalam hitungan menit saja tanpa harus pergi ke ATM atau minimarket.
Lagi-lagi demi prinsip ekonomi, -prinsip yang amat didukung oleh fitur layanan Traveloka- saya mencari penerbangan yang harganya paling terjangkau. Dari hasil pencarian Traveloka saya mendapatkan tiket dengan harga komprehensif karena sudah menyertakan segala biaya termasuk pajak. Harga yang dibayarkan adalah harga ‘jujur’.
Polemik lain muncul, salah satu kawan yang saya ajak, ragu untuk bergabung karena alasan ketidakpastian urusan pekerjaan. Saya mencoba menjelaskan mengenai fitur 30 days refund guarantee yang ditawarkan Traveloka. Berbekal fitur ini, dalam ketidakpastian situasi pekerjaan, tiket masih dapat di-refund dengan tenang tanpa dibayang-bayangi raibnya uang akibat pembatalan perjalanan.
Tumblr media
(Dok Pribadi: Persiapan perjalanan)
Dengan menanamkan sedikit keyakinan tersebut, teman saya berhasil terbujuk untuk membaca lebih jauh ketentuan di Traveloka ihwal fitur  30 days refund guarantee, setelah membaca, berbekal keunggulan fitur ini, teman saya berani untuk memesan tiket. Kamipun berhasil memesan tiket dengan nomor penerbangan dan jadwal yang sama.
Perjuangan belum berakhir. 1 hari sebelum keberangkatan, saya mendapatkan surat ekektronik dari traveloka yang berisi flight reminder dan anjuran agar datang lebih awal karena bandara Soekarno-Hatta akan super padat.
Kekhawatiran tiba terlambat serta hanyut dalam sesaknya bandara membayangi kami. Namun dengan mengikuti saran Traveloka, kami datang lebih awal. Kepadatan penumpang di bandara Soekarno Hatta kala itu yang mendekati tak masuk akal pun bisa kami hindari. Kami tiba di Lombok dengan selamat Minggu pagi, 10 Juli 2016.
**
Perjalanan menyusuri Lombok  dan mengecap indahnya kawasan savana dan tandusnya Sumbawa yang sudah menjadi angan saya sejak kecilpun terwujud berkat ‘tangan-tangan’ yang bisa diandalkan. Bisa diandalkan di kala waktu tak bisa menunggu namun prinsip ekonomi tak bisa berkompromi. ‘Tangan-tangan’ yang tanpa sadar telah menjadi jembatan antara angan dan kenyataan, karena semua jadi bisa.
0 notes