#heyhofestival
Explore tagged Tumblr posts
ejharawk · 8 years ago
Text
Kilas Balik 2016
Tumblr media
Tahun 2016 mengguratkan kesan laiknya Nano Nano, permen manis asem asin yang populer di kalangan anak generasi 90-an. Sekarang masih produksi enggak ya tuh permen? Eh, kenapa jadi melenceng bahas permen? 
Balik lagi soal retrospeksi 2016. Tadinya rutinitas mengkompilasi segala pengalaman sepanjang tahun ingin saya sudahi saja.
Bukan persoalan tidak ada waktu atau kadung capek duluan akibat terhimpit rutinitas kerjaan yang masih perkara nulis-nulis juga. Alasan dasarnya sih karena malas aja. Tambah lagi kurangnya motivasi. Klop lah sudah.
Tapi akhirnya saya berubah pikiran juga. Pikir punya pikir, sayang betul sekiranya segala yang pernah saya alami sepanjang 2016 menguap entah karena memori tertimpa aneka pengalaman baru nantinya.
Sebelum saya mulai berbagi, baiknya saya tentukan terlebih dahulu formatnya. Jika pada periode tutup tahun 2015 saya menulis tentang “Daftar Film Pilihan” dan “Daftar Album Pilihan”, edisi ini saya mau kembali seperti format retrospeksi 2014. Semua tergabung dalam satu tulisan saja.
Format tersebut paling pas untuk mengakomodir ikhtiar saya dalam melawan lupa, sekaligus juga karena —ya itu tadi— tetap malas mau nulis banyak. Hahaha.
Baiklah. Saya mulai dari mana yah tulisan ini? Oke, bahas soal pengalaman menonton film deh. Masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya menonton film di bioskop dan laptop, entah di kontrakan atau kantor.
Kalau di rumah biasanya saya melahap film-film asing hasil unduhan (ilegal tentu saja). Sementara di kantor kadang saya menyaksikan film dari situs layanan pengaliran alias streaming legal macam Hooq atau iflix. Biasanya aktivitas menonton di kantor saya lakukan sekadar intermeso saat jenuh melanda. Tsaah.
Saya juga beruntung karena profesi yang sekarang ini memungkinkan saya untuk menyaksikan film-film Indonesia jauh sebelum perilisannya di bioskop. Kurun 2016, ada begitu banyak undangan menyaksikan pemutaran film Indonesia untuk kalangan wartawan (press screening) yang saya hadiri. Saking banyaknya terkadang saya luput untuk datang dan mendelegasikannya kepada kawan sesama penghuni kompartemen hibrid.
Biasanya kalau film tersebut mengena di hati, dengan beragam parameter ala saya yang sotoy ini tentu saja, saya pasti akan menyisihkan waktu --juga uang-- untuk menontonnya kembali setelah film itu beredar di bioskop.
Dibanding tahun 2015, lebih banyak film yang saya nonton sepanjang 2016 ini. Saya lampirkan saja foto potongan tiketnya di bawah ini. Sejak pergantian dari 2015 ke 2016, memang sudah ada niatan mengumpulkan semua potongan tiket bioskop yang saya beli.
Tumblr media
Jumlah itu sebenarnya masih bertambah jika mau memasukkan film-film hasil unduhan ilegal saya berdasarkan tahun rilis 2016. Soalnya ada banyak film impor bagus yang tidak ditayangkan di tanah air, itu makanya kenapa saya sedot saja lewat Torrent. Sebuah tindakan yang tidak patut diikuti guys.
Untuk sekadar menyebut beberapa film, antara lain Café Society, Hand of Stone, Hardcore Henry, Nina, Miles Ahead, dan I Saw the Light. Tiga film yang dituliskan terakhir merupakan biopic dari musisi legendaris Nina Simone, Miles Davis, dan Hank Williams.
Sisanya saya tonton di bioskop, meskipun itu jatuh-jatuhnya hanya sekadar memuaskan mata sahaja. Belum pada tahap “pemuasan spiritual” seperti kata sineas Nyak Abbas Akup. Contohnya film-film bertema pahlawan super macam Deadpool, Captain America: Civil War, Batman v Superman: Dawn of Justice, Doctor Strange, dan Suicide Squad.
Kredit berlebih sejujurnya harus saya berikan kepada Deadpool. Penyajiannya mendobrak kredo film-film bertema superhero produksi Marvel atau Warner Bros. selama ini.
Lainnya adalah film-film yang mendapat hasil ulasan positif dari para kritikus atau blog film. Termasuk kategori ini adalah The Nice Guys, Don’t Breathe, A Bigger Splash, Sully, Sing Street, dan Hacksaw Ridge.
Dalam lingkup film Indonesia, beberapa film yang menyita perhatian saya adalah Surat dari Praha, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, Super Didi, 3 Srikandi, My Stupid Boss, Uang Panai’, Shy Shy Cat, Ada Cinta di SMA, Me vs Mami, Cek Toko Sebelah, Athirah, dan tentu saja Ada Apa Dengan Cinta 2.
Saya bahkan berkesempatan menyambangi semua pemain utama film AADC 2 dan melakukan sesi wawancara one-on-one. Duh, asyik banget deh. Terutama pas tiba giliran wawancara Dian Sastrowardoyo dalam sebuah petang yang basah karena rintik hujan di The Darmawangsa Square, Jakarta Selatan (15/3/2016).
Hasil wawancara saya dengan Dian --juga Nicholas Saputra-- bisa kalian baca di sini. Atau kalau mau lihat betapa pemeran Cinta itu masih menggemaskan, tontonlah video trivia-nya di sana.
Dari semua film itu, memang tiada satu pun yang bergenre horor. Pasalnya hingga saaat ini belum ada satu pun film horor lokal yang bisa menggerakkan saya untuk datang menonton ke bioskop. Kalau produksi luar sih ada, salah satunya Munafik. Film produksi Malaysia.
Sumpah film itu keren betul. Kenapa tidak ada sih film horor lokal yang sedemikian intens macam Munafik? Ayo dong Koya Pagayo aka Nayato Fio Nuala alias Ian Jacobs atawa Pingkan Utari…
Selepas film, satu lagi hobi saya yang lumayan memangkas uang jajan adalah pemenuhan hasrat dalam menikmati musik. Mulai dari membeli album musik versi fisik seperti CD dan kaset, beli kaos resmi band, hingga nonton festival/konser.
Tumblr media
Keberuntungan lagi-lagi menghampiri karena festival atau konser musik yang saya tonton tidak harus mengebiri uang saku. Maklum, dapat akses gratis dalam rangka liputan. Hehehe. Contohnya saja Java Jazz Festival, Street Dealin X, Joey Alexander, dan Raisa.
Tidak ada konser dari musikus/band asing yang saya nonton sepanjang tahun lalu. Ada sih undangan untuk menyaksikan/meliput penampilan Selena Gomez misalnya. Berhubung saya bukan bagian dari Selenators --sebutan untuk penggemar Selena-- jadilah kemudian akreditasi peliputan tersebut diberikan kepada rekan kerja.
Semoga tahun 2017 ada lebih banyak band favorit saya dari mancanegara yang manggung di Jakarta. Sehingga saya bisa kembali menghiasi daftar tontonan konser. Kehadiran Megadeth di Hammersonic merupakan target utama. Semoga.
Beberapa lainnya saya nonton dengan menebus harga tiket masuk. Contohnya Heyho Festival, Synchronize Festival, dan Sound Project Volume 2. Saya lebih memilih nonton festival karena pilihan band yang main lebih banyak dalam satu tempat. Jadi tidak terlalu menguras tenaga dan uang juga.
Meski menghadirkan banyak musisi, motivasi utama saya mendatangi festival musik itu sih musabab ingin menyaksikan satu band doang. Kehadiran Polka Wars jadi alasan terbesar menonton Heyho Festival. Pun aksi Rhoma Irama dengan rombongan Soneta Grup-nya di Synchronize Festival. Adapun bonus yang saya dapatkan dari ajang ini adalah; jadi saksi kembalinya The Brandals setelah sempat mendeklarasikan hiatus untuk jangka waktu yang tidak ditentukan di atas panggung Soundsfair 2014.
Terakhir, karena memanggungkan God Bless, berangkat lah saya menuju Gudang Ekosistem Sarinah di Pancoran dalam acara Sound Project Volume 2. Nilai plus yang datang di acara ini adalah berkesempatan menggila bersama The Sigit dan salah satu band baru yang sedang saya gandrungi, Scaller.
Sisanya saya meluangkan waktu mendatangi gigs kecil gretongan seperti penampilan kelompok Six String yang terdiri dari Dewa Budjana, Tohpati, Aria Baron, Baim, dan Eross Chandra di Bentara Budaya; “It’s A Rap” yang menampilkan Iwa K, DJ E-one, Sweet Martabak, dan Neo di Camden Bar, Gandaria; serta peluncuran mini album MAN milik Rival Himran di Foodism, Kemang.
Dari berbagai pengalaman musikal yang saya alami sepanjang 2016, meliput tur “Raisa: Handmade” di Eldorado, Bandung (7/10), paling menyimpan kesan tersendiri. Kapan lagi bisa melihat sedekat itu. Auw!
Berkumpul pukul 06.00 WIB di fX Sudirman, kami berangkat sekira tiga jam kemudian menumpang mobil Avanza.
Saya menulis kami karena dalam rombongan tersebut berisi teman-teman jurnalis dari media lain. Kebersamaan itu membuat tugas meliput jadi menyenangkan. Plus, sambutan ramah dari tim Raisa. Konsernya juga berjalan asyik.
Lepas konser, rombongan jurnalis dari Jakarta langsung diberangkatkan lagi sekitar pukul 23.00 WIB pada hari yang sama. Karena lama mengaso di rest area (persisnya kilometer berapa saya lupa), akhirnya tiba di kontrakan jam 03.00 WIB. Hoaaam. Capek betul tapi tetap menyenangkan.
Pos terakhir yang tak kalah menguras isi kantong adalah perkara membeli buku. Ada yang beli dari hasil berburu di basement Blok M Square yang banyak menawarkan buku bekas nan langka (dengan harga selangit), toko buku samping XXI di Taman Ismail Marzuki, menghadiri bazar buku yang menawarkan potongan harga, dan pesan langsung ke penerbitnya via online. 
Tidak semua buku yang terbeli itu tuntas terbaca memang. Tapi tetap saja bikin kalap kalau lihat ada buku yang menarik perhatian. Bawaannya pengen beli terus. Kata teman, tak mengapa jika buku yang telah kita beli itu belum bisa tuntas terbaca. Toh, buku berbeda dengan koran atau majalah yang punya masa kadaluwarsa berita.
Kebanyakan buku yang saya beli merupakan buku lawas, terutama yang berkaitan dengan sejarah atau yang membahas tentang film dan musik. Beda cerita dengan novel misalnya. Ada beberapa juga yang merupakan terbitan 2016, atau setidaknya cetakan terbaru.
Tumblr media
Masih ada banyak lagi sih pengalaman asoy yang saya alami sepanjang 2016, salah satunya kesempatan berlibur untuk pertama kalinya di Kepulauan Seribu. Menjelajahi berbagai pulau di kawasan itu sangat menyenangkan. Beda cerita ketika pagi hari merapat di Pelabuhan Muara Angke. 
Agen perjalanan yang saya gunakan mendadak tidak dapat dihubungi. Padahal saya sudah bayar uang muka 20% dari total biaya. Untungnya saya tetap nekad berangkat. Di tengah jalan saat telah mengarungi lautan, sang agen tiba-tiba balas menghubungi dan “mengoperkan” saya ke agen perjalanan lainnya. Saya hanya tinggal membayar uang sisa.
Meski punya lebih banyak gugusan pulau, secara pemandangan bawah laut, tempat ini masih kalah jauh dengan Kepulauan Togian. Tapi tetap menyenangkan bisa liburan di Kepulauan Seribu karena akhirnya saya bisa juga melongok ke Pulau Bulat yang merupakan milik keluarga Cendana
Selama 2016, saya juga mendapatkan kesempatan mewawancarai musisi dan pemain film yang selama ini saya idolakan seperti Slank dan Indro Warkop DKI.
Pengalaman lain, untuk pertama kalinya saya meliput ajang Festival Film Indonesia di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki. Capek banget karena seorang diri menjelajahi area yang begitu luas dari siang bolong hingga larut malam.
Namun, kesempatan bertemu para pekerja film dan mengamati tingkah polah mereka dari dekat bikin rasa capek itu hilang seketika.
Akhir kata, saya cukupkan tulisan saja  sampai di sini sembari menyematkan harapan; semoga kita semua mampu mengarungi kehidupan 2017 dan bertemu di penghabisan tahun tetap dalam kondisi sehat wal afiat. Amin
Tumblr media
0 notes