#henisrisundani
Explore tagged Tumblr posts
Text
Pendidikan untuk Semua Kalangan
Menurutmu, apa pentingnya pendidikan?
Aku pernah bertekad menempuh pendidikan setinggi mungkin lantaran kesal saat tidak nyambung bicara pada orang lain. Padahal, saat itu aku merasa sudah menggunakan bahasa sesederhana mungkin. Aku tidak ingin menjadi penyebab seorang profesor kesal saat bicara padaku lantaran aku yang tak kunjung mengerti. Namun, apakah itu tujuan dari pendidikan?
Konferensi Ibu Pembaharu sebagai gelaran acara peringatan 1 dekade Ibu Profesional membawaku berkenalan dengan sosok Heni Sri Sundani. Perempuan ini mencitrakan dirinya sederhana. Akan tetapi, pesonanya begitu melekat dalam jiwa. Tak heran, beberapa tahun silam ia berhasil meraih penghargaan Forbes 30 under 30 Asia dan disusul Women Empowerment Awards dua tahun setelahnya.
Melihat gambar dirinya di flyer Konferensi Ibu Pembaharu, aku langsung menduga ada “sesuatu” dengan ibu dua balita ini. Namun, aku tidak menyangka bahwa ia akan mengawali sesi malam itu dengan membagikan cerita kelam dalam pengalaman hidupnya. Menyaksikan ketenangannya berbicara, tampak bahwa sosok ibu pembaharu ini telah berdamai dengan getirnya kepahitan masa lampau dan dengan tegar menggenggamnya sebagai pengobar semangat perubahan.
Perempuan asal Ciamis ini lahir di tengah kondisi keluarga yang memberi banyak alasan untuk ia gagal. Kedua orang tuanya bercerai sejak ia bayi sehingga Heni tumbuh dalam asuhan sang nenek. Selain tidak mampu baca-tulis, sosok yang ia panggil emak itu juga difabel; tak punya jari tangan dan jari kaki. Kondisi yang ia alami sangat-sangat terbatas, tapi mimpinya menjadi guru terus mendorongnya pantang lelah berjuang.
Untuk bersekolah, Heni perlu menempuh jarak 2 jam pulang-pergi saat SD dan dua kali lipatnya saat SMP. Sudah begitu, terkadang gurunya tidak masuk. Itulah sebabnya ia bertekad kelak akan menjadi guru yang tidak menyia-nyiakan semangat muridnya untuk belajar.
Selepas lulus SMK Heni berangkat ke Hongkong sebagai TKI. Namun, diam-diam ia telah menargetkan agar pulang sebagai sarjana. Benar saja, ia pun kembali sebagai sarjana pertama di kampung halamannya. Membaca kutipan dari Bung Hatta, Heni tergerak untuk memperbaiki sesuatu. Ia tidak mempermasalahkan nikah-muda-banyak-anak yang masih saja terjadi di kampungnya, tetapi ia tidak bisa diam menyaksikan rantai kemiskinan kian memanjang dan berulang.
Heni memulai gerakan #anakpetanicerdas di 2011. Langkahnya yang bermodal 3.000 buku yang ia bawa dari Hongkong, membawanya bertemu dengan sosok-sosok kecil dengan kondisi tak jauh berbeda dari masa lalunya, bahkan lebih berat. Ia bertemu dengan sosok Ayu yang saat itu masih kelas 3 SD, tapi sudah harus pontang-panting mengumpulkan biaya. Pernah tujuh hari lamanya Ayu dan adiknya memulung sampah bekas agar dapat membayar biaya LKS. Satu karung penuh dihargai seribu rupiah. Sementara Ayu baru sanggup memenuhi karungnya setelah bekerja seharian sehingga terpaksa bolos sekolah.
Ayu hanyalah satu di antara lebih dari sembilan ribu anak yang memiliki kisah dan mimpinya sendiri yang kemudian tergabung dalam program yang Heni besarkan. Tentunya Heni tidak melakukan semuanya sendiri. Dengan dukungan suami dan juga para relawan dan donatur, kelas yang mulanya diselenggarakan dengan spidol dan kardus bekas sebagai pengganti papan tulis lantaran keterbatasan biaya, bisa diduplikasi di berbagai pelosok Indonesia.
“Kami punya gerakan #sarjanapulangkampung dan #bangunIndonesiadarikampung,” tutur Heni. Para penerima beasiswa yang sudah lulus sarjanalah yang kemudian menjadi penggerak kelas-kelas anak petani cerdas diadakan di kabupaten Bogor, Banjar, Ciamis, Jawa Tengah, Pulau Lombok, dan juga Sumbawa.
Heni percaya dan telah membuktikan sendiri bahwa pendidikan dapat membantu seseorang menjadi mandiri dan mampu meraih impiannya. Bantuan beasiswa yang disalurkan pada para anak didik membantu mereka mengakses pendidikan dengan meringankan ongkos transportasi ke sekolah, misalnya, sehingga mereka bisa belajar dengan sungguh-sungguh. Namun demikian, sekolah tetap perlu disokong dengan keluarga dan masyarakat yang saling bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung.
Anak-anak butuh teladan. Mereka butuh pendampingan belajar, mereka perlu penanaman karakter, serta pengasahan keterampilan sesuai potensi dan minat yang mereka miliki. Di sanalah kemudian #anakpetanicerdas mengambil peran sebagai komunitas, karena sadar tidak semua keluarga memiliki privilege untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Mau tidak mau Heni dan tim harus mengakui, untuk memutus rantai kemiskinan, pendidikan anak saja tidak cukup. Gerakan anak petani cerdas pun merambah pada pemberdayaan masyarakat, didukung dengan program bantuan kesehatan dan social emergency. Contoh kegiatannya adalah mengadakan kelas-kelas juga untuk para orang tua, baik dalam rangka memberantas buta huruf maupun menyelaraskan frekuensi pembelajaran.
Salah satu tantangan yang berat adalah ketika ada orang tua yang skeptis terhadap proses pendidikan. Tak jarang orang tua lebih menginginkan anaknya ikut membantu bekerja cari uang daripada menghabiskan waktu belajar. Untuk ini, pendidik memang membutuhkan kesabaran. “Pendidikan itu kan seperti menanam, kita tidak bisa memanen di hari yang sama,” ungkap Heni.
Heni dan tim memetik buah manisnya setelah orang tua percaya melihat perubahan perilaku putra-putrinya yang ikut belajar di kelas-kelas anak petani cerdas. Sekalipun tidak selalu memiliki bangunan khusus untuk proses belajar, kakak-kakak relawan tidak lupa menyelipkan PR yang membuat anak-anak tergerak membantu orang tua di rumah dan bercerita mengenai apa yang mereka peroleh hari itu. Alhasil, para orang tua yang anaknya belum bergabung di kelas pun ikut tertarik dengan gerakan tersebut.
Lagi-lagi terbukti, kebaikan akan menarik kebaikan-kebaikan lainnya. Kini Heni melangkah bersama lembaga-lembaga lain yang sevisi, ribuan donatur, juga relawan dan tenaga profesional dari dalam dan luar negeri. Memang menjadi tantangan tersendiri menyalurkan bantuan agar tepat sasaran. Namun, ketika hal itu terwujud, bukan mustahil tidak hanya satu orang saja yang terbantu, tetapi satu keluarga, atau malah satu generasi.
Jika Heni memiliki moto, “Memberi bukan karena kelebihan, tapi karena tahu rasanya tidak punya apa-apa,” menurutku kita tidak perlu menunggu keduanya untuk mulai berbagi dan melakukan kebaikan. Tak perlu menunggu berlebih, ataupun menunggu tahu rasanya tidak punya. Ialah wujud dari rasa syukur kita akan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Seperti frasa “terima kasih”, kata terima selalu beriringan dengan kasih. Atas limpahan ilmu yang kita kenyam, atas lingkungan yang menjadikan kita hari ini, atas izin merasai segala nikmat yang dikaruniakan oleh Sang Maha.
Mulailah mendidik. Sekalipun dengan gerakan kecil. Sekalipun dari diri kita sendiri.
Terima kasih suguhannya, ibu profesional!
#konferensiibupembaharu#ibuprofesional#1dekadeibuprofesional#henisrisundani#anakpetanicerdas#sarjanapulangkampung#pendidikanformal#pendidikaninformal#trisentrapendidikan#alasanberbagi#berbagi#memberi#bersyukur#forbes30under30
4 notes
·
View notes
Photo
"Saya memberi bukan karena saya punya banyak, tapi karena saya tahu bagaimana rasanya tak punya apa-apa." ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Masih di sesi belajar bareng @cordofa_dd.. ada sosok mulimah inspiratif, tokoh 30 Under 30 versi Forbes Asia, inisiator Gerakan Anak Petani Cerdas dan #SarjanaPulangKampung; teteh @henisrisundani. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Sebenernya beliau pembicara pertama, tapi kenapa fotonya dipajang terakhir ya? Hehehe antara karena momen unyu yang muncul di akhir sama mimin yang kudu buka contekan dulu buat berbagi bahan belajar dari sharingnya teh Heni yang quotable banget ❤️
Di foto ini beliau lagi ngobrol sama calon aktivis sosial, donatur cilik, yang berniat nyetak e-book buat temen-temen yang membutuhkan.. keren yaa 😍 ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Teh Heni sharing seputar pengalaman hidupnya yang mā syā Allah, penuh perjuangan dan hikmah. Suka duka beliau mulai dari masa kecil dalam keterbatasan, merantau ke Hongkong sebagai TKI, sampe pulang dengan gelar sarjana dan mengabdi untuk mensejahterakan masyarakat. Beliau bertekad memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Beliau juga sharing peran perempuan dalam peradaban. "Laki-laki adalah pemimpin"... "dan perempuan lah yang melahirkannya." ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Beliau juga percaya bahwa dakwah bukan hanya ceramah. Orang-orang baik juga harus "berisik" di media sosial (dengan konten terbaik pula tentunya), supaya media sosial nggak dipenuhi konten nirfaedah. 💪 Semua itu cuma alat, bisa berefek positif atau negatif, tergantung gimana kita memakainya.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Ada juga step-step membangun gerakan sosial.. Duh asli banyak banget yang bisa dishare, tapi karakter di caption terbatas gimana dong 🤣 ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Disimpulkan dengan sebuah kutipan lagi ajalah ya.. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
"The world is filled with nice people, if you can't find one, be one." ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kuy? Kuy bgt dong.. y x g kuy (cuma anak zaman now yang bisa baca 😂)⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kuy jadi #OrangtuaBelajar! ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
(at Kampus Umar Usman) https://www.instagram.com/p/Bo3nQG6Anh1/?utm_medium=tumblr
#sarjanapulangkampung#orangtuabelajar#rumahbelajarkeluarga#fitrahbasededucation#fbe#pendidikan#parenting#fitrah#pendidikrumahan#keluargaqurani#ortubelajar#mencintaidenganlebihbaik
0 notes
Text
Dua narasumber sudah diumumkan
Di Konferensi Ibu Pembaharu
Diantara narsum narsum lainnya 😍
•
•
Ga sabar kan ya? ❤️ bisa langsung menyerap ilmu dari dua narsum kita, kak @nickyclara dan mbak @henisrisundani
•
•
#konferensiibupembaharu
#1DekadeIbuProfesional
#semestakaryauntukindonesia
#darirumahuntukdunia
#ibuprofesional
0 notes
Text
Ada Narasumber lain di KIP !
Dengan Isu dan Tema, Ibu dan Anak Bahagia, Aku berdaya, aku berkarya!
•
•
Siapa lagi kalau bukan Mbak @henisrisundani 🌟
Terimakasih @ibu.profesional.official sudah menghadirkan mbak heni sebagai narsum 🌟
•
•
Cek prestasi beliau yuk di IG nya 😍
•
•
#konferensiibupembaharu
#1DekadeIbuProfesional
#semestakaryauntukindonesia
#darirumahuntukdunia
0 notes