#gondrong
Explore tagged Tumblr posts
Text
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/47ec6b438c4f4d6e28cbfc20dc147603/8d3b7462779eff02-28/s540x810/e807e3106e317a54c1c2f607c2ab933019f6d958.jpg)
TERPERCAYA, Call/Wa 0858-7795-9720, Jasa Sebar Brosur Online Gondrong SSP Digital Advertising
0 notes
Text
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/172a167f68a99323af995c3bacd09bcc/47667660f1941513-5e/s540x810/9f11641c29986d1bf5b96b07d6a5bba399e47c58.jpg)
TERPERCAYA, Call/Wa 0858-7795-9720, Jasa Optimasi Facebook Gondrong SSP Digital Advertising
0 notes
Text
Setiap kali berniat potong rambut lalu ngaca tibatiba berasa rambut lagi cakep.
Gitu terus sampe gondrong sekaki kayak suzanna.
2 notes
·
View notes
Note
Ello saku pookers, I used to have a mild crush on the pink gondrong one what does that say about me 👁️🫦👁️
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/1f581e69fcca4acf760d17b222327c33/123c685f8572d9e2-b2/s540x810/594c928455e1ad35da2e214f5a2a2e05a4a5c94a.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/3867414f92c4cda557836eebceaba9c3/123c685f8572d9e2-62/s540x810/ebe516b1dd7e536734bb9149af12fc17b91e86ef.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/f42588ffeed316dd3aa655e93a70978b/123c685f8572d9e2-1b/s400x600/58ea23ad0a892c85c43d02d561828c1c770625ee.jpg)
OMG MY FAVOYURUTE PINK GONDRONG !!!!!!!!!! it means ur a super slay skibidi cute pretty majestical QUEEN DONT CRY💜🩷!!!!!!!!!!!!!!!!! HAI SUBII!!!
2 notes
·
View notes
Text
Single Dad : 000.
000 — New parent.
.
.
.
Nirnyata.
Family/drama plus comedy with NSFW kind of jokes.
.
.
.
Awali harimu dengan memanggil Sungjin dengan sebutan bapak, ahay.
Sekian dan tolong jangan lupa feedback.
…
Single Dad,
000 — New Parent.
…
ENTAH keburukan macam apa yang telah dirinya perbuat sampai-sampai ia justru ditinggalkan saat bayi yang masih merah itu telantar begitu saja.
“Ya, ampun.”
Bukan.
Bukan karna orang tuanya melarikan diri tapi istrinya.
Ah, tidak juga. Mereka belum resmi menikah karna terhalang tanggal dan kehamilan yang mendadak.
Satria tak pernah menyangka kalau dirinya akan menjadi orang tua tunggal bagi anak kandungnya, anak yang baru beberapa saat lalu dibersihkan oleh para suster dan ia tinggalkan sesaat karna harus mengurus administrasi.
Wanitanya—kekasihnya, tunangannya.
Justru memilih melarikan diri dari tanggung jawab sebagai ibu.
Oh, Satria yakin kalau anaknya ini belum sama sekali didekap lama usai tadi sempat diambil perawat karna harus dimandikan.
“Saya kira tadi istri bapak masih disini,”
Perkataan perawat lanang itu tak didengarkan oleh sosok berambut gondrong dengan badan besarnya ini, ia sibuk memperhatikan bagaimana buah cintanya dengan sang kekasih; mungkin sekarang terhitung mantan yang terlelap dalam dekapannya.
“Gak apa, pak, saya bisa rawat sendiri.”
Satria memotong ucapan si perawat yang masih mencoba untuk memperpanjang cerita.
Kalau mantannya lari dari sini karna tak ingin jadi ibu..
“Hai, sayang,” Satria melirih pelan saat kelopak kedua mata dari si bayi perlahan terbuka seolah ingin menyapanya, “Mulai sekarang ayah, sama Madhava hidup berdua ya? Maaf kalau ayah gabisa kamu ibu,”
Ibu jari sang lanang yang baru menjadi ayah pun mengelus lembut pipi dari bayi dengan perlahan.
“Ayah bisa kok jadi ibu juga,”
Lanjutnya sebelum mengecup pelipis bayinya dengan sayang dan lembut.
Mungkin dirinya gagal menjadi pasangan makanya sang tunangan lari, atau tak tahan dengan sifatnya yang selalu mengatur.
Tapi Satria berjanji.
Kalau dirinya akan menjadi ayah yang paling hebat untuk bayinya.
Ia akan menjadi dua figur sekaligus, tanpa harus menunggu kepulangan tunangannya tersebut atau ya, apalah itu.
Pokoknya.
Dirinya juga si kecil bisa hidup mandiri tanpa siapapun lagi, “Ayah janji, ayah bakalan jadi semua-muanya buat anaknya ayah yang satu ini.” Katanya dengan mata yang mendadak perih.
Oh, ia sadar betul kalau nantinya mungkin akan melelahkan.
Apalagi dirinya tak bisa mendapatkan satu pasangan yang bisa membantunya, tapi mungki—
BRAKKK!
Suara gebraka pintu yang terbuka itu membuat Satria menoleh.
Dan, menatap bagaimana ketiga kawannya dengan wajah lelah bercampur cemas ini mendadak hadir dalam ruangan perawatan.
“MANA PONAKAN KITA?!”
Seruan itu membuat Satria menghela nafasnya pelan, tapi keburu, dikerubungi oleh tiga orang yang badannya tak kalah besarnya dari dirinya ini.
“Plis, cuci tangan dulu.”
Tanpa disuruh dua kali—ketiganya langsung berebut ke kamar mandi.
Dan, menyisakan bagaimana Satria harus lagi-lagi menghela nafasnya panjang karna kelakuan dari tiga bocah kematian tapi versi dewasa ini.
“Maafin ayah ya.. ayah salah pilih teman kayaknya,”
Satria meringis saat mengatakan itu kepada buah hatinya yang sudah kembali terpejam ini, bahkan, si bayi tak memperdulikan kegaduhan yang ada dan justru begitu tenang.
Astaga.
Ingatkan Satria nanti untuk menampar kepala Brian, William, dan Danny jika mereka sudah ke hadapannya lagi.
Padahal niat hati mau bergalau ria karna baru ditinggalkan.
Mana persiapan pernikahan mereka sudah matang, dan mungkin hanya tinggal menunggu pelunasan pembayaran saja juga hari h pestanya.
“Gue duluan ya!”
“Enak aja! Yang selesai dari tadi duluan!”
Selagi dua orang itu bertengkar, sosok satu ini sudah ada dihadapannya Satria dengan tangan melebar.
Ia juga cengengesan, “Aku dulu ya, mas?”
Dan sosok yang baru saja jadi orang tua ini cuma bisa menarik nafas panjang.
Agaknya, kehidupannya dengan sang buah hati akan terasa sangat ramai mengingat dirinya ini memiliki ketiga kawan yang kelakuannya macam satwa liar.
Itu lihat.
Mana yang dua sibuk sendiri dan sekarang yang satu ini, sibuk memelaskan wajahnya.
“Hati-hati,”
Satria pun memberikan bayi yang sudah bersih dan wangi itu kepada sang kawan secara penuh kehati-hatian, “Kepalanya jangan lupa dipegangi. Lehernya masih rawan soalnya,”
…
Single Dad.
000 — New Parent.
…
Hidupan jadi ayah tunggal itu melelahkan apalagi baru punya bayi yang baru lahir.
Tiap malam harus terjaga.
Harus sigap untuk ganti popok yang penuh, atau membuatkan susu hangat kepada bayi kesayangannya, dan sekedar mengajak main si bocah kesayangan.
Satria mengaku lelah tapi tetap pada pendiriannya.
Orang tuanya itu ingin membantu, tapi Satria menolak, katanya ini sudah menjadi tanggung jawabnya.
“Maaf mas Tri,”
Ungkapan dari salah satu rekan kantornya itu terdengar begitu bersalah, “Tapi orang disini gak ada lagi, kalau bisa tolong segera balik ya? Sudah sangat keteteran disini, mas.”
Satria tak punya alasan lagi untuk menambah cuti.
Alhasil, dirinya harus mencari bala bantuan demi mengurus buah hatinya yang sebetulnya tak sepenuhnya bisa ia tinggalkan itu.
Meski berat dan agaknya tak begitu rela kalau waktunya terbagi, “Yaudah nanti saya masuk, mas Daru, tapi gabisa besok ya? Lusa kemungkinan, soalnya saya belum dapat orang yang bantu soal Dhava ini. Gapapa ‘kan?”
“Gapapa mas, justru kami yang minta maaf soalnya gabisa bantu banyak.. apalagi kami tau kalau mas Tri habis di—uh, maksudnya habis punya bayi.”
Satria menghela nafas.
Mendengarkan kawan kantornya itu bicara begitu, tandanya gosip soal dirinya yang ditinggalkan sudah menyebar kemana-mana.
Tapi, ya. Mau diapakan? Ia memang sudah tinggalkan kok.
Mereka tak salah jadinya.
Sebelum Satria sempat membalas perkataan sang kawan, suara rengekan dari bayi yang belum genap 10 hari ini membuat kedua orang yang berkomunikasi via sambungan telfon sama-sama meringis.
“Kalau gitu, saya tutup ya, mas Tri?”
Satria menganggukan kepalanya dengan patuh, “Iya, maaf ya, mas Daru.”
Dan setelahnya sambungan telfon mati.
Ia bergegas menaruh ponselnya diatas meja, selagi memperhatikan bayi yang tengah menangis itu.
“Ayah disini, ayah disini,”
Suaranya menggema lembut dikamar utama miliknya.
Bayi itu membuat Satria mengulum senyuman, ya, ampun, anaknya terlihat begitu mini saat ia menyadari kalau dua guling yang menjaganya terasa sangat besar.
Apalagi dengan balutan onesie yang dikenakan oleh sang buah hati, masih terlalu besar.
Membuat Satria tertawa.
Dan itu agaknya efektif membuat Madhava yang masih bayi ini terdiam, “Lho, berhenti nangisnya?” Tanya si ayah baru ini dengan kekehan pelan.
Tangannya pun terulur untuk membawa bayi mungilnya itu ke dalam dekapan.
“Uhh, wanginya anak ayah.”
Enggak. Gak beneran wangi karna sepertinya Dhava baru saja buang hajat, dan mungkin, popoknya sudah terasa penuh.
Makanya si kecil ini protes kenapa popoknya belum diganti oleh sang ayah.
Satria pun membubuhi kecupan pada setiap inci wajah sang buah hati—membuat bayi kecilnya ini mengulum senyuman, seolah paham dengan kasih sayang dari sang ayah.
Itu membuat Satria kembali tertawa.
Tapi kemudian, ia sudah beranjak dari kasur untuk lekas bergegas menuju meja—yang ia biasa gunakan selagi mengganti baju atau mengganti popok Dhava tersebut.
“Gak suka ya sama popoknya yang penuh begini?”
Obrolan kecil pun tercipta.
Meski ya, Satria tak mendapatkan balasan sesuai karna dirinya berbincang dengan bayi.
Tapi tak masalah!
Anak manisnya itu tak begitu rewel atau apalah.
Madhavanya ini terbilang bayi yang cukup tenang, tak pernah menangis banyak atau rewel akan sesuatu hal; yang penting jadwalnya minum susu sesuai dan tidak diajak tidur terlalu larut.
Itu membuat Satria bersyukur.
Dan kemudian meringis pelan, “Va, kalau ayah lusa tinggal kerja. Kamu sama siapa ya?”
Mau menelfon kedua orang tuanya—ia sadar betul kalau kawasan rumah mereka jauh, dan agaknya tidak mungkin, kalau sewa babysitter.
Babysitter?
“Ayah tanya sama tetangga sebelah deh, nak,” katanya saat bayinya itu cuma berkedip atas ceritanya, “Kira-kira mba Tiffany mau gak ya dititipin kamu sementara, tapi, ayah gamau ninggalin kamu.. gimana dong?”
Kegiatan memakai popok itu selesai dengan interaksi antar dua orang yang berbeda ukuran ini.
Satu menanggapi dengan celotehan khas bayi.
Dan satu lagi, agaknya jadi gemas sendiri dengan adonan buatannya ini yang terasa begitu menggemaskan.
…
Single Dad,
000 — New Parent.
…
Tiffany, tetangga sebelahnya yang juga memiliki anak bayi, itu dengan hangat menyambut sosok Dhava saat Satria bercerita soal masalahnya.
Istrinya Tiffany bahkan begitu senang.
Satria mengaku kalau dirinya tak bisa mengandalkan Danny, William, atau Brian.
Takut anaknya cengklak apalagi mengingat ketiganya super rusuh, yang ada bukan bekerja dengan tenang, dirinya malah bisa jadi waswas disetiap jamnya.
“Gapapa, Tri, tinggalin Dhava sama kita aja. Shaleena pasti seneng punya temen kok,”
Satria bernafas lega tapi juga khawatir kalau nantinya malah merepotkan, ia membuka mulut untuk mengutarakan kegelisahannya tersebut.
Hanya saja, kedua wanita yang lebih tua darinya tersebut tersenyum hangat.
“Kami ngerti.”
Mereka berucap serempak dengan hangat, “Kamu butuh kerja, kamu harus cari banyak uang apalagi Dhava masih bayi. Titip aja kemari, nanti biar kami urus soalnya aku sama Fany juga kerjanya dirumah aja.” Katanya menyambungkan kalimat mereka yang tadi sempat menggantung.
“Anggap aja ini day care buat Dhava gitu, Tri,” lanjut istri tetangganya itu dengan nada bercanda.
“Nanti kalau sudah stabil baru ak—”
“Shush!”
Keduanya langsung memotong perkataannya Satria, “Tenang aja, tapi jangan lupa ya, bawain makanan aja buat Shaleena sama Dhava tiap kamu mau—aduh! Sayang, kok dicubit?”
Itu membuat Satria tertawa.
Oh, ia mengerti akan hal tersebut tentu saja.
Yang terpenting sekarang cuma bisa menitipkan Madhava dengan tenang, dan dirinya bisa bekerja untuk buah hatinya juga.
Mata Satria mendadak terarah ke sosok bayi yang belum genap 12 bulan ini menatap anaknya dengan penasaran.
Rambut anak tetangganya itu sangat lebat.
Bahkan, Satria bisa bilang, kalau rambut putrinya Madhava takkan ada apa-apanya dari rambut yang menyerupai nanas macam anak tetangganya ini.
“Baru bangun ya?”
Tiffany menyambut anaknya itu dengan hangat, tapi anaknya malah mengacuhkannya.
Itu membuat Satria atau Theia sendiri sampai tertawa.
“Shal?”
Bayi itu bergeming tapi kemudian, para orang dewasa ini membulatkan mata mereka dan beranjak dari duduk untuk segera memisahkan Shaleena yang mendadak mau merauk wajah Madhava yang memang sengaja ditidurkan diatas sofa itu.
“Heh!”
Theia berseru, “Shaleena! Gaboleh nakal!”
Dan Satria yang sudah mendekap hangat Madhava ini merasa jantungnya berpacu lebih cepat.
Serta menatap horor bayi yang menatapnya dengan polos itu.
Yang ditatap malah memamerkan cengiran canggung, dan Shaleena sendiri langsung tertawa.
“De!”
Tiffany atau Theia itu sama-sama bernafas lega, agaknya anak mereka masih ngelindur tapi juga menatap Satria yang tegang ini secara geli.
Karna instingnya Satria terlalu cepat mengambil alih, “Mau dicium adiknya?”
Tapi alih-alih marah.
Satria malah membawa Madhava untuk mendekat kepada bayi yang baru bangun tidur itu, “Disayang ya, kakak Shal, adiknya?”
.
.
.
To be continue.
4 notes
·
View notes
Text
Ketemu dosen di kampus ❌
Ketemu dosen di pengajian ✅
Bu D : Aduh ini kemana aja, sehat ?
Me : Alhamdulillah ibu sehat, ibu gimana, sehat bu ?
Bu D : Sehat, sehat, alhamdulillah. Eh ini loh di jajaran atas sana ada siapa namanya duh lupa, y
Me : Oh y bu ? Oh saya ga tau kalau pindah kesini bu, belum pernah lihat
Bu D : Iya saya juga baru tau, waktu itu ketemu malah saya yang lupa, padahal anak bimbingan saya, habisan beda banget, rambut nya gondrong sekarang. Eh kamu udah nikah belum ?
Me : Belum ibu, doain ya bu 😊
Bu D : Iya, saya tunggu tunggu undangan dari kamu loh ya
Me : Hehe iya bu, doain ya bu yang banyak 😁
Mamah : Iya bu doain ya bu
Bu D : Iya, InsyaAllah ya, nih doa mamah nih mustajab, InsyaAllah secepetnya
Aamiin
Bandung, 28 Juli 2024
5 notes
·
View notes
Text
Hari-Hari di Pamulang (3)
“Kamu cantik nggak?” tanyamu usil dan bikin kesal, haha. Aku malah balik bertanya, “Kakak ganteng nggak?”
Jelas bisa dipastikan jawabannya lantang dan percaya diri dirimu ganteng. Sambil ketawa lebar, ih dasar haha. Apalagi ini kali kedua kamu memanjangkan rambut. Buatku sepertinya semua lelaki harus mencoba berambut panjang, sebagaimana Bapak dan kedua adik laki-lakiku yang melewati rambut awur-awutan dan sok mau gondrong padahal keriting jadi lucu haha.
Secuil obrolan makan malam di warung nasi goreng dekat Taman Serua.
—
Waktu yang sedikit itu aku dan Rama habiskan dengan menonton film Inside Out 2 (punten kami betulan nggak sadar kalau film-nya masuk dalam produksi yang diboikot, sungguh) di mall terdekat dari rumah kami. Jelas dari judul filmnya bisa ditebak kalau yang nonton banyak anak-anak dan ibunya, jadi sembari kami menonton sesekali ketawa liat ekspresi anak kecil yang nggak sabaran dan maju ke depan sambil lendetan.
Inside Out buatku dan Rama sangat dalam, ia berarti sebuah film yang dikemas unik, kreatif, dan canggih untuk menceritakan bahwa manusia tidak tunggal. Ia hidup bersama beragam emosi yang harus dijelajahi dan diterima. Meskipun seiring kita tumbuh dewasa, waktu seperti berhenti mengeksplorasi emosi dan rasa. Terjebak dalam kecemasan mendalam dan sukar diurai.
Ini kali kedua kami nonton di mall itu, sebagai orang yang nggak suka ke mall, praktis saja dan nggak perlu jauh mencari mall yang megah (hehe). Sepulang dari sana kami makan nasi goreng dan kwetiau dekat rumah Rama yang dibekali beberapa bakwan jagung panas dari Umi Rama. Itung-itung cemilan penyelamat perutku yang lapar sekali.
Hari yang tidak begitu panjang itu buatku (lagi-lagi) menikmati nafas lega di tengah udara Pamulang yang semakin panas dan sesak. Bagian yang tidak kalah berarti adalah jalan menuju mall yang Rama pilih sisiri, jalanan kampung sekaligus kluster perumahan elit yang menembus sampai tanah lapang luas serta kebun yang masih luas dipandang mata. Tentu tanah yang tidak bebas. Milik Abu Rizal Bakrie. Disertai beberapa bangunan yang terbengkalai.
Nafasku lega tapi hatiku sesak, yah apes sekali mau punya udara dan tanah yang bebas sulit sekali.
Ternyata,
Lapangan sepak bola yang luas dan sejuk memandang ke langit itu 8-10 tahun lalu adalah ruang di mana hari-hari Rama diisi dengan ikut sekolah bola tiga atau kadang lebih dalam seminggu.
Beberapa kali kami tentu salah jalan, Rama mencoba meraba memori masa lalunya yang perlahan berubah karena pembangunan kota. Buatku, justru jadi seru karena sesekali kami harus putar balik. Selain itu, percobaan ini mengingatkanku pada Bapak yang juga senang menyisir jalan-jalan kecil di Temanggung. Sembari bercerita tentang sebuah tempat, entah memorinya atau beberapa orang yang ia kenal menjajaki tempat itu.
Oh ya, langit sore itu cerah sekali. Mataharinya terang benderang. Memantul dari gedung mall yang tinggi.
Bandung, 23 Juni 2024
22.46
2 notes
·
View notes
Text
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/4344ab5308f5480811fe2ea252769243/fe7a7389ab324ee1-e8/s640x960/2f1306e4b79a3cf3dc819a068a18d2cb89204a60.jpg)
Bibit cabai dan Rosella subur di bedengan kayu kecil, di samping rumah. Daun cabainya gondrong karena dicubit terus bagian pucuknya. Sementara Rosellanya harus buru-buru dipindahkan nanti, kalau sudah muncul daun. Rame!
.
.
©deehwang | Foto dan video tidak diperkenankan untuk diunggah ulang.
3 notes
·
View notes
Text
Agak terkejut melihat diriku saat bercermin
Badan mengurus, wajah kusam dan kusut, rambut mulai gondrong berantakan, kulit terlihat kering seperti tidak benar-benar terawat
Memang iya sih belakangan ini sangat kacau sampai tidak sadar bahwa terkena guncangan mental bisa membawa banyak perubahan buruk kepada diri sendiri, jelas itu tidak baik
Apalagi melihat kondisi kamar yg berantakan, cucian baju selalu menumpuk, asbak penuh dengan puntung rokok
Orang tua jauh, adik-adiku sibuk dengan kegiatannya, kawan-kawanku sudah tak seperti dulu asik dengan dunianya sekarang, ya mau bagaimana lagi
Bagi seorang virgo yg sedang berada di usia matang itu sangat mengganggu harusnya, tapi ya sudahlah mari kita selesaikan satu persatu masalahnya
Ahh sialan ternyata hahahaha
aku sekacau itu berarti belakangan ini..
Bahkan sampai ada ibu-ibu langgananku yg menanyakan, kamu ga cape kerja terus? Kapan liburnya? Kapan tidurnya? Kapan makannya kok ga pernah keliatan, saat sakit pun masih sempat-sempatnya kerja, kok bisa?
Aku hanya bisa menjawab, sudah jalannya harus seperti ini bu
Sedikit ku jelaskan aku hidup hanya dari hasil harian, meski kadang ambil kerjaan lain, dibilang cape ya pasti cape aku bukan robot atau superman, tapi ya gimana? Kalian atau mereka yg bertanya begitu tidak akan pernah mengerti rasanya menghidupi 5 dapur, 5 kepala, 5 perut.
"aku, ayah, ibu, adik-adikku, dan spesial someone"
Dan kita semua tidak tinggal bersama karena keadaan yg memaksa
Sungguh ironis? Mungkin iya bagi sebagian orang, Kalau dibayangkan, tapi dari dulu saat kerja dimanapun, setiap pekerjaan yg kulakukan selalu kuanggap seperti sedang berada di dalam sebuah Playground, meski cape tapi setidaknya masih bisa merasakan kesenangan
Bagaimana kita berinteraksi dengan banyak orang, memecahkan masalah, mencapai tujuan, meski ada sebagian yg gagal tapi harus menyesuaikan untuk mencobanya lagi dan lagi
Ya begitulah aku dengan kehidupanku sekarang
Maaf untuk diriku yg kemarin, itu bukan aku yg sebenarnya
Aku kembali sekarang kepada jiwaku yg sesungguhnya, tidak akan lagi terlihat lemah sebab itu menyedihkan, dan sangat menyedihkan
5 notes
·
View notes
Text
My BFF finally tied the knot!
Akhirnya tgl 11 februari tiba juga. Fiuh~ dari 4 hari yg lalu nunik ngeluhin sakit karena kelelahan persiapan nikahannya sampe diinfus ke RS tp ngga sampe dirawat. Pas dirumah katanya ttp lungse, haduuh gmn ini mau kiwin malah sakit jd ikut kepikiran kannn. Pas hari H dah pasrahin aja cenah bismillah aja.
Semuanya serba kebetulan sih long weekend jadi liburan di rumah ortu pas jg venue nikahan nunik di resto ponyo cinunuk. Iya di cinunuk jauh dari rumahnya di kopo. Begitulah kalo nikah dadakan dan pgnnya undangan sedikit jadi yg kosong ya jauh gpp dah begitu katanya wkwk. Pas kan dari rumah uber deket bgt. Sekitar 4km kayanya kesana tuh.
Karena kita bestie datang dong yaa dari akad jam 8. Satset dangdos dulu, siapin baju sendokir siapin baju suamik. Gasss jam 8 kurang. Lala indri dah duluan dtg katanya jalanan kosong bgt alhamdulillah yaah. Di venue ada 3 yg nikah, janur kuningnya ada 3 iya tempatnya luas. Dulu pernah kesana jg ke nikahan temen kampus. Bbrp tahun kemudian kesini lg. Pas aku dtg pas bgt nunik baru jalan menuju meja akad. Tetiba hati ini bergetar dan air mata ngeyembeng gilsssss tahan jgn nangis tahaaan. Alhamdulillah lancar ijab kobulnya. SAH YA! Poto2 dululah yaa
Maju dikit kesana, menyapa ortunya nunik dulu dan kaka2nya nunik. Monanges akuu memeluk mama nina mamanya nunik, blio megang kedua pipiku kek ke anaknya sendiri yg udah lama ngga ktemu gt haa mama nina sehat2 yaa! Trus nanyain suami dan anak dmn? Suami lg duduk disana, anak dititip. Nanya kabar bapakku jg.. Lalu kak niki selalu hangat dari dulu, beda sama kak neil kaka ke 2 nunik yg agak cool haha. Kak niki selalu mention nama aku kalo ktemu tadi pun sama. Duh kak, kaka kecengan aku since kelas 2 SMP wkwkwk. Dulu liat kak niki ngambil raport nunik edan ketje beud, rambut gondrong kek rekti the sigit versi kacamataan dan agak geek gmn geto pake jaket jeans yaampun sampe inget bgt. Anak itb, s2 di malay, s3 di jepang.. Jiniyeus lah!
Betulan tamu undangannya dikit, secukupnya suasana kondusif, tempat duduk aman da di resto, dekorpun simple, sederhana pokonya. Bahkan nunik cuma pake 1 baju penganten, warna putih pas akad dipake sampe resepsi. Dia jg nge cut waktu yg dikasih jatahnya sampe jam 14.00 tapi jadi cuma sampe jam 12.00. Yessss cukup memang nikah mah begitu aja yg penting sah dan setelah resepsinya yaa memulai bahtera rumah tangga yg ngga mudah itu. Semangaaaaat gaisss menghadapi sukadukanya yaa!
Ini foto di pelaminan, bersama ortunya haha ku ngga sadar. Nunik cantikkkk wlpn lg sakit, seger manten.. Gapake make up aja dah cantik alami diamah mirip asmirandah hahaha.
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/a3fb639ba2343ff73dd8ae42a154949e/fb42328a5153bc62-d3/s1280x1920/b7976045f92600bfaf5ba8f4553d6ee944bf47a2.jpg)
Foto team hore yg cuma bisa heureuy gabisa seriyeus ah elah
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/315a821a7471317cfe2530a14d79582a/fb42328a5153bc62-1e/s640x960/8038d4e2b149a17420384182a414dca54cac0ddd.jpg)
Selamat nik, lega lah abis resepsi mah.. Walaupun masuk fase baru dalam hidup semoga adaptasinya lancar yaa less drama, happier! Samawa till jannah. Loveeee youuuu my bff ❤️
Btw capturean tadi pagi, indri nyuruh cpt2 soalnya kak niki lg speech cenah wkwk dasar. Itu maksudnya "mya" yah malah "mua" si typo aja da males diedit napasih kesel.
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/b86417c653c9dea89494fe268b877620/fb42328a5153bc62-62/s540x810/f5fad97ce18fd3ecc5e6fa9dd218609bde9f9c59.jpg)
Bentar narsis dulu karena gapernah makeapan jadi berasa pgn selfie atuh gais. Pengambilannya beda cahaya jadi tone nya beda jg atas dan bawah. Pake cushion somethinc nya adikku aaah suka bingiiittt masih keliatan necurel deh. Selfienya pasca kondangan, udah kecampur oily wkwk lupa harusnya tadi pagi yaa msh fresh..
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/bfcea1530c1a7ea8f708504ea8aaa321/fb42328a5153bc62-7e/s540x810/5cb8dcedf6e25ad445152c8838eb6a7538a0eb40.jpg)
3 notes
·
View notes
Text
Ombak Rumahmu (1)
Sosok rambut sedikit gondrong dengan potongan mullet rapi, menduduki kursi komputer besama 2 rekanku. Laili dan Reno. Suara ketikan bersaut, sembari ribut tentang judul film yg nanti akan di tonton ke bioskop. Kupandangi sosoknya dari belakang, aku yakin ini dia. Ia menoleh kebelakang. Jantungku seolah berhenti, jariku lemas dan Pyaaaaarrrr! cangkir kopi yang kupegang terjatuh.
Dadaku sesak, dan tubuhku terjungkat bangun. Bau lilin aroma vanila itu masih tersisa. Kulihat apinya sudah mulai padam. Ku tengok dinding kamar, jarum pendek menunjukkan jam 4 pagi. "Kenapa bisa siiiiih", teriakku. Maaf aku memimpikanmu. Maaf untuknya juga. Aku memimpikan suaminya.
2 notes
·
View notes
Text
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/a3ce25cc58b52a1ff5c04567881f7c7d/eab432b83ee909a1-ec/s540x810/4d7f502df1f96b659fd7c61a0ab1cac4dc9cabf2.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/e24f3f96fad8cb34133577151ff5dbca/eab432b83ee909a1-8f/s540x810/32404661e203f293ec30928e4c7397d8efaf67ad.jpg)
choose your fighter yang undercut elois yang gondrong ian 🥰
3 notes
·
View notes
Text
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/ca2dfe1bb674eb3196913566ae8e8a1b/2e613df727513086-ef/s540x810/665c0c991890f66ae8d493653acee402fec8aa1d.jpg)
Ide yang tiba-tiba muncul
Prompt: Jaket Almamater (UI)
(Ceritanya) Nicholas Saputra tiba-tiba dapat ide nugas bagus dan perlu segera ditulis. Nicholas Saputra + rambutnya yang gondrong = kombinasi sempurna hehe
#jaket almamater#melokalz#watercolor#dapat ide mendadak#nicholas saputra#jaket universitas indonesia#my treasure
3 notes
·
View notes
Text
The tale of salmon.
Shankara.
Pukul sebelas siang. Dan keadaan langit sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kemurungan. Siang hari ini mendung, aku harap hujan tidak akan menyambut kami cepat-cepat di rumah kaca nanti. Ada beberapa hal yang ingin aku tunjukkan kepada Sena soalnya.
“Halo, Tante. Senang bisa bertemu,” sapa Sena dengan ramahnya kepada ibuku yang sudah selesai mengunci seluruh area rumah hingga pagar. Ayah sudah pergi bekerja sedari pagi. Rumah sakit sedang penuh-penuhnya akibat perubahan cuaca ekstrem akhir-akhir ini.
“Oh, iya. Senang bisa bertemu juga, Nara. Wah, kamu tinggi juga ya ternyata,” sahut ibu. Matanya berbinar-binar ketika melihat laki-laki tersebut. Wajar saja, Sena memang memiliki aura percaya diri yang amat kuat. Ditambah dengan setelannya yang rapi dan juga manis—maksudku, manis di sini karena dia memakai sweater rajut dengan pola motif yang unik. Apa itu sweater buatan tangan?
Sena kemudian menyapaku lalu kami pun langsung masuk ke dalam mobil jeep kesayangan ibu. Sementara aku kembali ke rutinitas sampinganku—membaca buku yang sengaja aku bawa karena enggan terlibat percakapan dengan Sena di sepanjang jalanan nanti.
Aku masih terlalu malu untuk terbuka.
Mobil mulai melaju. Ibu kemudian memutar lagu-lagu kesukaanku agar suasana tidak terlalu terasa sepi. Dia memutar lagu jadul seperti lagu-lagunya Green Days, Bon Jovi, Backstreet Boys, atau bahkan Oasis. Aku suka lagu-lagu yang seperti itu. Tipikal lagu yang bisa menenangkan perasaan di situasi apapun.
“Kamu suka baca buku novel juga ya, Ra?” tanya Sena tiba-tiba. Aku terkejut ketika mendengar pertanyaan tersebut. Ternyata ada yang memperhatikanku sejak mobil ini mulai berjalan. Terlebih kami memang duduk di jok belakang, bersebelahan pula.
“Ini bukan buku novel,” jawabku.
“Terus?” Aku pun menunjukkan sampul depan buku yang aku bawa. Sena mengerutkan dahinya, merasa bingung.
“Buku kumpulan teori biologi? Buat apa?” tanya dia lagi.
“Jenaka itu memang suka baca-baca buku yang berkaitan dengan mata pelajaran di sekolahnya, Nara. Udah kayak lagi baca koran di pagi hari saja memang,” sahut ibu sambil tertawa kecil. Huh, syukurlah. Ibu memang penyelamat hidupku.
“Rajin banget… kamu kelewat rajin, Ra. Ini kan weekend,” protesnya.
“Terus kenapa kalau weekend? Memangnya gak boleh ya nambah-nambah wawasan dari baca buku kalau lagi weekend begini?” sahutku dengan nada santai.
“Enggak begitu, maksudnya, weekend tuh kan enaknya dipake buat senang-senang. Misalnya tidur seharian, liburan, or something else gitu. Bukannya dipake buat belajar,” jawabnya sambil melipat tangannya di depan dada.
“We will always learn something new disetiap harinya, Sen. Bakal ada sedikitnya pembelajaran yang kita lalui bahkan tanpa kamu sadari, tahu gak?” ucapku membela diri.
“Jadi?”
“Jadi, gak apa-apa dong kalau weekend dipake buat baca buku pelajaran. Setiap hari kita pasti bakal belajar sesuatu. Entah dari buku atau pola hidup. Do you get it?”
“You don't understand what I mean,” gumamnya. Aku menggerutu dalam diam, memilih mengalah dan enggan memperpanjang pertikaian kecil ini karena ibu terlihat sudah mengeluarkan ekspresi terheran-heran dari pantulan kaca mobil.
Maka aku putuskan untuk kembali melanjutkan aktivitas kecilku. Sesekali aku mencuri-curi pandang kepada lelaki yang kini tengah fokus dengan jalanan. Dia benar-benar fokus ketika mobil kami sudah mulai memasuki area perbukitan. Badannya membeku, terpana dengan hehijauan yang terhalang oleh kaca gelap mobil tersebut.
“Tante, boleh buka kunci jendelanya enggak? Aku mau hirup udara segar,” tanya Sena yang langsung dibolehkan oleh ibuku. Rambutnya yang gondrong mulai tidak beraturan karena angin baru saja menyapa. Mungkin setelah acara bermain ini selesai, aku akan memintanya untuk memotong rambut. Bahaya kalau sampai Pak Remi tahu jika murid baru pindahan ini sudah melanggar peraturan sekolah di hari pertamanya besok.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Narasena.
Hal yang paling aku takutkan ketika berteman dengan orang baru adalah: aku takut orang tersebut mempunyai hewan peliharaan yang tak lain dan tak bukan adalah seekor kucing. Atau mungkin dia punya dua sampai tiga ekor kucing? Terserah.
Menurut kabar burung, binatang berbulu itu rata-rata selalu dipelihara oleh keluarga yang memiliki anak perempuan. Dan ternyata kabar burung tersebut memanglah nyata adanya.
Kara memelihara seekor kucing. Kucing berwarna hitam legam yang tidak terlalu gendut. Aku mengetahui fakta itu ketika kami sudah sampai di tempat tujuan. Ada banyak villa mewah yang disewakan di atas lahan hijau. Tempat ini benar-benar dingin dan membangkitkan semangat hidupku. Sungguh.
“Pistachio enggak nakal semalaman tadi, dia banyak tidur, Ra,” ucap seorang wanita dengan penampilan sangat rapi ketika kami menghampiri salah satu villa. Mungkin itu kenalan dekatnya keluarga Kara karena mereka terlihat sudah akrab sekali.
“Kamu baru pulang dari klinik hewan ya, June? Maaf kalau kami menganggu waktu kerja kamu,” tanya ibunya Kara. Oh… wanita itu ternyata adalah seorang dokter hewan. Tapi pertanyaannya, kenapa dia tiba-tiba bisa nyasar di area perbukitan begini?
“Ah, gak masalah. Shift-ku masih nanti sore, kok. Aku minta janjian di sini sekalian pengen cek villa tua ini aja. Pistachio juga pasti udah kangen banget sama Kara,” jawabnya. Aku hanya diam, membuat jarak dengan Kara yang sudah menggendong makhluk berbulu tersebut.
“Eh, ada teman baru ya ternyata di sini?” ucap wanita itu yang baru menyadari akan kehadiranku. Padahal sedari tadi aku sudah tersenyum ramah kepadanya. Aku rasa dia hanya menganggapku sebagai salah satu dari banyaknya pohon pinus atau pohon ek spesies quercus argentata yang banyak tumbuh disekitar sini.
Hah. Cukup tahu deh.
Ibu Kara pun kemudian memperkenalkanku kepada wanita tersebut. Kami pun berkenalan. Dan dia memintaku untuk memanggilnya dengan namanya saja—June.
“Aku pemilik dari semua villa ini, aku juga bekerja sebagai dokter hewan di klinik yang ada di pusat kota. Pistachio ini adalah pasien langgananku. Senang bisa berkenalan denganmu, Nara,” ucap June.
“Pasien langganan?” sahutku.
“Pistachio enggak bisa melihat, Sen. He's blind. Lambungnya juga sering bermasalah akhir-akhir ini. Jadi memang sering bolak-balik ke klinik Dokter June. Semalem aja dia muntah lagi, jadi mau gak mau aku bawa aja deh ke kliniknya Dokter June untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jawab Kara. Jawabannya membuatku terkejut. Apa? Kucing itu tidak bisa melihat katanya? Apa dua bola mata yang sedang mengintimidasiku saat ini hanya sebuah mainan? Eh, bagaimana sih?
“Jadi dia enggak bakal bisa gigit aku, kan?” tanyaku yang entah kenapa mengundang tawa mereka.
“Kamu takut sama kucing?” tanya June. Aku mengangguk, sedikit malu untuk mengakui hal tersebut. Pasti sehabis ini Kara akan mengejekku.
“Tapi jangan salah paham dulu, aku ini bukan laki-laki cemen. Aku takut soalnya lenganku pernah digigit sama kucing dewasa. Lihat, bekasnya masih ada sampai sekarang. Udah kayak bekas gigitan vampir aja,” jawabku sambil menunjukkan bekas luka gigitan yang berada di lengan kiriku. Mereka kembali tertawa. Tapi menurutku itu bukanlah sebuah bentuk hinaan atau merendahkan. Mereka tertawa karena aku sadar, kalau aku sudah terlihat konyol di depan ketiga perempuan tersebut.
Tapi aku benar-benar takut dengan kucing semenjak insiden gigit menggigit itu terjadi. Sungguhan.
“Pistachio enggak bakal ngigit kalau kamu gak ngeluarin bebauan yang dia suka,” ucap Kara.
“Bebauan kayak apa contohnya?”
“Bau daging, tulang ayam, dan makanan kucing lainnya,” jawabnya sambil tertawa kecil. Oh, aku kira apa tadi.
“Bagus deh kalau gitu. Untungnya badan aku cuma bau daun eucalyptus.”
“Nah, kalau bau itu biasanya Pistachio malah pengen deket-deket,” ucap Kara lagi. Sialan.
“Kalau gitu besok aku ganti parfum.”
Ibu Kara dengan sabar mengusap-usap pucuk kepala kami karena gemas. Kami pun akhirnya berpamitan dengan June karena rumah kaca tujuan kami ternyata berada sedikit jauh dari area villa. Mobil sudah terparkir di tempat semestinya dan kini, kami harus berjalan dulu melewati jalanan setapak yang dikelilingi oleh banyaknya pohon-pohon besar.
Aku sempat bergumam sambil tertegun melihat sekitar—mengatakan kalau aku merasa bahagia karena sudah diajak kesini dalam bahasa Jepang yang membuat Kara menoleh kearahku.
“I'm pleased,” ucapku mengulang gumaman tersebut dalam bahasa yang dia mengerti.
“Terima kasih udah ngajakin aku kesini,” ucapku lagi sambil melirik ke arah Kara yang ada di sebelahku. Kami saling menatap satu sama lain sampai Pistachio mulai mengendus-endus sweater-ku karena jarak kami terlalu menempel, aku pun kabur menjauh.
“How dare you!” pekikku yang langsung berlari meninggalkan Kara dan memilih untuk berjalan sejajar di dekat ibunya saja karena takut jika kucing itu akan merayap pindah ke tubuhku.
Akan aku nobatkan Pistachio sebagai musuh abadiku mulai detik ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Shankara.
Sedari tadi Sena enggan dekat-dekat denganku ketika kami akhirnya sampai di depan rumah kaca. Dia lebih memilih untuk melihat pemandangan yang disajikan—ada sungai yang bercabang mengalir menuju danau di hadapannya dan juga hehijauan yang amat menawan.
Aku pun memutuskan untuk menitipkan Pistachio kepada ibuku yang sedang merawat tanaman. Kucing hitam itu tampak masih lemas, dia malah rebahan dan tidak meracau. Baguslah.
“Naka, coba kamu ajak Nara jalan-jalan disekitar sini. Pasti dia suka,” titah ibu yang langsung dibalas oleh anggukanku.
Aku pun bergegas pergi mendekat ke arah lelaki itu. Lelaki tinggi dengan bahu yang lebar. Porsi tubuhnya bagus, sepertinya Sena adalah remaja yang sangat rajin berolahraga.
“Kucingnya kemana?” tanya dia yang sudah menyadari kehadiranku sebelum aku memanggil namanya.
“Tidur,” jawabku. Dia ternyata sedang asyik memandangi sungai yang mengalir tenang. Airnya jernih hingga bebatuan berlumut yang ada di dalamnya pun sampai terlihat transparan. Aku tidak pernah memperhatikan lebih jauh sungai kecil ini sebelumnya. Ternyata indah juga.
“Ra,” panggil Sena tiba-tiba. Aku berjalan mendekatinya, berdiri di sebelah dia yang masih fokus memandangi aliran air sungai.
“Ya?”
“Kamu tahu cerita soal perjuangan hidup ikan salmon, gak?” tanya Sena. Aku mengerutkan dahiku tanda bingung.
“Apa hubungannya sama kamu yang lagi mandangin aliran sungai kayak begini?” tanyaku balik.
“Ada, ada hubungannya.” Dia kemudian berjongkok di pinggiran sungai, mencelupkan tangan kanannya ke dalam air yang jernih.
“Ikan salmon berenang puluhan bahkan ratusan kilometer dari lautan menuju ke hulu sungai cuma untuk bertelur. Bisa aja sungai ini pernah dilewati sama mereka. Sungai ini mengarah ke laut kan?” tanya Sena lalu kubalas dengan sebuah anggukan. Aku pun ikut berjongkok di sebelahnya.
“Terus apa yang terjadi sama ikan salmonnya?” tanyaku mulai mencelupkan dua tanganku ke dalam air. Ternyata air sungai ini dingin dan terasa segar sekali.
“Nah, ternyata, waktu telur-telur mereka menetas jadi salmon-salmon kecil, nantinya para salmon kecil itu bakal berenang ke laut lepas sampai dewasa, terus kembali ke hulu sungai untuk bertelur lagi. Sama kayak orang tuanya. Siklus ini terus berputar.”
Oke, sekarang aku mulai tertegun mendengar penjelasannya.
“Kamu tahu, yang bikin terharu itu perjuangan mereka menuju ke hulu sungainya, Ra. Soalnya, perjalanan mereka dari laut menuju kesini itu enggak mudah. Begitu juga dengan perjalanan mereka dari hulu sungai menuju ke laut sama susahnya. Dan hal yang menyedihkannnya adalah, setelah bertelur, salmon-salmon dewasa gak akan bisa kembali ke laut lepas lagi,” ucapnya.
“Kenapa?”
“Itu karena siklus pertumbuhan mereka memang berhenti disitu, masa mereka udah habis. Walaupun biasanya ada aja yang bisa kembali lagi ke laut lepas, tapi, itu kebanyakan cuma jenis ikan salmon atlantik. Jenis ikan salmon pasifik yang udah selesai bertelur kebanyakan bakal mati dan jadi bangkai di sungai. Cuma, perjuangan mereka enggak sia-sia. Bangkai mereka bakal tersebar dan jadi nutrisi alami bagi ekosistem sekitar. Keren, kan?” Klimaksnya yang membuat hatiku terenyuh. He's well spoken… oh God. Aku benar-benar terharu. Aku bisa langsung paham apa makna yang dia selipkan di dalam cerita tiba-tibanya tersebut.
“Kematiaan yang tidak sia-sia akan datang kepada siapapun yang mau terus bekerja keras di dalam hidupnya. Cerita ikan salmon ini selalu terngiang-ngiang dikepalaku, really. Aku tahu cerita ini dari ibu. Dulu kami sering berkunjung ke hulu sungai yang ada di pelosok Fukuoka. Kebetulan, kami pernah nemuin satu koloni ikan salmon yang lagi berenang menuju lautan—” ucap Sena menghela napasnya sesaat.
“Dan kamu juga harus tahu soal cerita ini, Ra. Semua orang harus tahu, harus paham kalau kematian akan selalu datang kalau memang usahamu udah begitu keras di dunia ini. Mereka enggak bakal mengkhianati kehidupan yang udah diberikan sama Tuhan,” lanjutnya. Entah kenapa mataku mulai terasa perih sekarang.
“Jadi, semangat hidup, Ra!” serunya menatapku. Namun, raut wajah cerianya mendadak tertekuk kembali ketika melihat reaksiku.
“Kara?” panggil Sena. Kami berdua pun kembali berdiri, saling berhadapan.
“Wah, ceritaku tadi terlalu dalam ya? Maaf deh—”
Aku sontak membungkuk hingga sembilan puluh derajat ketika mendengar apa yang barusan Sena ceritakan kepadaku. Lelaki itu malah bergeming, shock dengan reaksiku yang sebenarnya.
“Senang bisa berteman denganmu, shisho!” sentakku.
“Shisho?”
“Iya. Tolong ajari aku hal-hal yang lainnya lagi sehabis ini, shisho.” Lagi-lagi dia bergeming, namun kali ini tangan kirinya sibuk menggaruk tengkuk yang aku rasa tidak terasa gatal sama sekali.
“Kamu tahu arti shisho itu apa kan, Ra?” tanya dia sambil tertawa cekikikan. Aku mengangguk dengan semangat. Pokoknya aku harus menjadi anak muridnya mulai dari sekarang!
“Hmmm. Memangnya aku ini master dalam bidang apa kata kamu?” tanya Sena. Aku terdiam berpikir sejenak.
“Master dalam bidang menjelaskan kisah perjuangan ikan salmon, kayak tadi. Itu termasuk perbincangan yang keren, tahu? Otak kamu cerdas juga ternyata,” sahutku.
“Masa sih?” tanya dia lagi sambil mengelus-elus dagunya dengan raut wajah yang sedikit menyebalkan.
Waduh, ada yang mulai kepedean rupanya. Ga-gawat.
“Ah, itu bukan apa-apa kok. Udah, yuk, kita bantuin ibu kamu aja sekarang, kasihan dia malah beres-beres sendirian.” Sena kemudian pergi meninggalkanku di tepi sungai. Aku terdiam memandangi alur sungai itu untuk beberapa saat.
“Kara! Ayo! Kok malah bengong?” teriak Sena. Aku pun tersadar dari lamunanku lalu akhirnya berlari menghampirinya.
“Kira-kira sungai itu beneran pernah dilewati koloni ikan salmon gak ya?” tanyaku.
“Bisa jadi. Tapi gak tahu pasti, sih. Soalnya aku kan bukan ikan salmon,” jawabnya lalu tawa kami pun pecah begitu saja. Tawa itu... lepas sekali. Begitu lepas dan juga sangat membahagiakan.
Aku rasa Sena memanglah orang yang baik. Tidak ada alasan bagiku untuk menjaga jarak dengannya. Mungkin memang tidak untuk sekarang.
9 notes
·
View notes
Text
Kapan?! #1
Semester 12
Ringgo, untuk kesekian kalinya menghela nafas. Dia berada ditengah-tengah lobi, duduk sambil menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong dan awut-awutan. Mengamati orang-orang yang lalu lalang. Tidak ada satupun wajah yang dikenal Ringgo. Yang ia temui seharian ini hanyalah wajah-wajah baru. Wajah-wajah mahasiswa yang sumringah, penuh ambisi dan optimisme. Tidak seperti dirinya. Bagaikan alien yang turun ke bumi. Siapapun yang melihat Ringgo, pasti tau bahwa dia adalah MABA: Mahasiswa Bangkotan.
Hari ini adalah hari pertama Ringgo kembali ke kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out, dia sudah membebani dosen pembimbingnya terlalu lama dan sekarang terancam menjadi momok yang akan merusak citra serta akreditasi jurusan paling bergengsi di kampusnya.
"Maaf Pak, saya Ringgo. Satu tahun yang lalu saya ambil cuti. Saya udah menyelesaikan pembayaran untuk memulai semester baru. Bisa minta bantuannya untuk mengaktifkan akun saya dan mengisi KRS, Pak?"
"Oh ya, tentu saja bisa Mas. Berarti sekarang semester berapa?"
Ringgo berhenti sejenak, dia bahkan tidak ingat. Terakhir kali ke kampus dia diterror judul skripsi oleh dosbingnya karena tidak pernah nampak batang hidungnya di kantor dosen, bahkan di seantero kampus. Tidak ada yang bisa menemukan keberadaannya. Jangankan pesan dosen, tidak satupun telfon dari temannya yang ia gubris. Ia raib, ghaib.
"Kalau dilihat dari penampilan kamu, pasti semester 12 ya?"
"Sial. Jadi gini ya rasanya dapet body shaming," batin Ringgo.
"Seingat saya iya Pak, sekarang masuk semester 12."
Jawab Ringgo sambil berpikir keras, menghitung dengan jari-jemarinya.
"Oalah Mas, sudah masuk injury time ini. Sisa satu semester doang. Dari mana saja?"
"Dari rumah lah Pak. Masa dari Mekkah, emangnya habis Haji?!" balas Ringgo kesal, tentu saja hanya dalam hati.
"Dulu sudah sempat bimbingan selama satu semester. Tapi ya begitulah Pak. Ada-ada saja cobaannya menjelang lulus."
"Berarti sudah ada judul skripsi? Tinggal menyelesaikannya ya Mas?"
"Betul Pak."
"Dosbingnya siapa?"
"Bu Reva."
"Oalah. Kayanya saya tau kamu, Mas. Dulu sempat ada mahasiswa yang dicariin Bu Reva kemana-mana. Teman-temanmu juga nyariin tho Mas? Akhirnya comeback juga ya"
"Boyband kali pakai comeback segala," Ringgo mulai emosi dengan omongan si bapak. Apalah daya, dia cuma berani ngedumel aja.
"Ehehe, iya Pak. Ini nomor mahasiswa saya. Tolong dibantu diaktifkan kembali ya Pak."
Ringgo buru-buru menyerahkan map yang sedari tadi dia bawa kemana-mana. Ia ingin segera pergi. Tidak sedikit adik tingkat yang melirik dan memperhatikannya gara-gara omongan barusan. Terlepas dari penampilannya yang semrawut hari ini, dia tidak ingin terlihat memalukan, setidaknya di hadapan juniornya.
"Sini Mas. Saya sudah aktifkan kembali akunnya. KRS juga sudah beres. Minggu depan Mas sudah bisa kuliah dan bimbingan lagi. Jangan disia-siakan ya Mas, sisa waktunya."
"Baik Pak, terima kasih banyak."
Ringgo menunduk dan berpamitan. Dia berjalan secepat kilat keluar dari ruang administrasi. Saat keluar, dia melihat seseorang yang begitu familiar sedang berjalan menuju ke arahnya. Wajah lama yang begitu dia kenal, sekaligus dia rindukan. Marsha, sahabat sekaligus gadis pujaan hatinya. Niat hati Ringgo ingin menyapanya dengan melambaikan tangan ke arahnya. Namun, dibelakangnya tampak satu sosok yang mengikuti langkah Marsha. Dari penampakannya saja sudah membuat telapak tangan Ringgo berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi, bulu kuduknya merinding. Ringgo berbalik, bersiap untuk segera kabur dari sana. Dia belum siap untuk bertempur dan menghadapi kemurkaannya.
"Ringgooo!"
Terlambat. Suara lengkingan itu. Dia sudah menangkap basah Ringgo.
TO BE CONTINUED
3 notes
·
View notes