#garisgalaksi series bulanbintang awanangkasa tbc
Explore tagged Tumblr posts
Text
#GarisGalaksi: Belum menjadi Embun
Tetesan embun di pagi hari selalu menemukan permukaan yang tepat untuk meletakkan beban partikel-partikelnya. Entah itu di daun rumput liar, di ujung daun pohon mangga, di permukaan pagar besi yang usang. Embun tak pernah bisa memilih permukaan mana yang hendak ia tempati. Embun tetap akan berbentuk air ketika diam di permukaan. Lalu karena frekuensi pancaran matahari yang kian lama kian besar itu menyebabkan air embun akan turun. Lalu dia akan memberikan manfaat untuk tanah, untuk memberikan dukungan pada tumbuhan apapun yang membutuhkan. Tumbuhan yang hidup di tanah. Entah itu tanaman kebun, tanaman liar, tanaman mahal, tanaman yang tumbuh begitu saja. Lagi-lagi embun tak pernah memilih, kemana dia harus menyalurkan manfaatnya. Selama tumbuhan membutuhkan air, dia akan mengalir ke sana. Lagipula, apa ada jenis tumbuhan apa yang tidak membutuhkan kombinasi antara air dan matahari? Dengan berat hati, semua tumbuhan membutuhkan dua unsur tersebut untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Kalau kebutuhan primernya tidak terpenuhi, tumbuhan tersebut bisa lemas kemudian bisa mati.
Manusia tidak makan maka fisiknya akan melemah dan bisa saja mati. Pun demikian dengan hati dan otak manusia, yang kalau tidak diberikan nutrisi maka bisa mengalami disfungsi. Lalu kita berubah menjadi manusia robot, manusia-manusia yang tak memiliki perasaan.
----
Kota lahirku cukup terik, semalam aku melihat notifikasi weather forecast yang menyimpulkan bahwa suhu siang hari ini mencapai suhu 39 derajat celcius. Kalau sudah begini, maka medinginkan diri dengan cara masuk ke ruangan ber AC adalah pilihan yang tepat.
Berat hati rasanya harus mempelajari materi untuk review Fisika nanti malam. Padahal situasinya sudah sangat super nyaman untuk belajar. Perpustakaan sekolah yang nyaman ini adalah escape point ku setelah jenuh berada di ruang guru. Laptop yang sudah kutenteng dari ruang guru itu perlahan aku buka. Memaksakan diri untuk belajar adalah wajiibun di kondisi seperti ini. Tak lupa aku mematikan data smartphone, agar nyaman.
Mempelajari materi Fisika untuk ujian internasional adalah hal yang cukup menantang. Karena memang aku yang tak cukup familiar, begitu pula dengan penggunaan istilah akademik dalam bahasa inggris. Jadi berasa double ngajarnya, Fisika jalan, Bahasa Inggris jalan, matematika pun jalaan. Hiya, jatohnya malah triple, kan.
Bismillah
Tanpa sadar sudah menghabiskan 2 lembar kertas HVS untuk corat-coret, aku mencukupkan diri untuk belajar hari ini. Sudah pukul 14.00 saatnya kembali ke ruang guru dan numpang istirahat di asrama Bu Latifah.
Kemudian aku menyalakan data smartphone ku yang off hampir dua jam ini. Ku cek beberapa pesan masuk dalam aplikasi wassap ku. Ada salah satu pesan dari sahabat dekatku yang entah mengapa aku begitu takut untuk membukanya. Seperti kita sangat penasaran sekaligus takut menghadapi kenyataan pada saat yang bersamaan. Ku putuskan untuk tidak membuka pesan tersebut. Menyimpannya untuk nanti malam. Setelah rangkaian kegiatan ku selesai.
Bersegera aku menghubungi Bu Latifah, memastikan keberadaannya. Ku buka lagi wassapku dan mulai menelponnya.
“Assalamualaikum Bu… Bu Latifah di mana?” tanyaku dengan tangan yang dingin. Efek dari perasaan yang tak karuan.
“Miss Bulan… di asrama, miss. Ada jadwal review kah nanti habis maghrib?” Bu Latifah memang sudah menjadi sohib yang biasa aku tumpangi saat aku harus membantu murid-murid ini untuk review materi malam.
“Iya, Bu. Aku ke sana ya. Mau nitip makan sekalian? Atau yang lain mumpung aku lagi di luar ini,” tawarku. Sungkan rasanya kalau pergi ke sana tanpa membawa apa-apa.
“Titip, buah aja ya, miss. Aku tadi masak nasi sama sayur bening, ada tempe goreng juga. Miss Bulan nggak usah beli makan, ya. Makan ini aja,”
“Tahu gitu aku request masakan lain, bu. Hehehehe… oke deh. Nanti aku belikan. Oke, assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Aku memang sedang lapar. Membayangkan segarnya sayur bening saja sudah mampu menimbulkan senyum di wajahku. Sederhana sekali, bukan? Dengan hal-hal kecil ini kita bisa bahagia.
Matahari masih mengeluarkan cahaya teriknya, lapangan basket sekolah mulai dipenuhi oleh anak-anak untuk bermain bola. Mereka seakan tak peduli dengan panasnya matahari. Kesempatan bermain menggunakan sekolah mungkin tidak akan pernah lagi mereka rasakan ketika sudah masuk di jenjang yang lebih tinggi. Mereka lebih akan disibukkan dengan kegiatan kampus, komunitas, bahkan pekerjaan. Dan kesempatan olahraga beramai-ramai dengan teman sebayanya mungkin hanya bisa dilakukan sesekali. Mereka pasti akan saling merindukan ini suatu nanti.
“Miss bulaaan,” sapa seseorang di ujung jalan. Aku harus mengernyitkan mata untuk memastikan siapa yang memanggilku keras-keras. Ah.. Pak Dhuha. Pak Dhuha kemudian berjalan ke arah ku.
“Wah.. ada yang bisa saya bantu, pak?” tanyaku sambil merapikan jilbab yang sudah berantakan ini.
“Gini, miss. Nanti miss tolong tanyakan soal pembayaran SPP ke Vania ya… kan biasanya siswa perempuan sekarang curhatnya ke Miss Bulan”
Aku teringat gadis asli Bandung itu. Anaknya cukup kreatif, ku lihat catatan dan buku sekolahnya selalu penuh warna.
“Ada apa pak, memangnya?”
“Dia belum membayarkan SPP selama 3 bulan, miss,”
“Ah iya pak, saya usahakan. Tapi kalau boleh tahu, apa sekolah memberikan opsi solusi pak?”
“Biasanya, sekolah akan tetap membantu jika memang dari pihak keluarga mengajukan keringanan. Tapi kalau tidak ada kejelasan, bisa-bisa ijazah kelulusan Vania tahun ini tidak bisa diambil, miss,”
“Begitu ya pak… baik, pak. Saya usahakan. Kalau begitu, saya permisi dulu, pak,”
Kalau dipikir-pikir, aku melihat Vania ini normal seperti teman-teman sebayanya yang lain. Bahkan cenderung anak yang ceria. Sejak awal bertemu dengannya di semester ini. Tak nampak bahwa dia adalah salah satu anak yang bermasalah, bukan tipe anak yang mengambil hak orang lain. Tapi memang harus dipastikan sekali lagi.
Jarak sekolah ke asrama Bu Latifah hanya membutuhkan waktu tempuh 3 menit. Dekat sekali. Yang membuat lama adalah kegiatan beli buah. Hahahaha… aku pun membeli berbagai macam jenis snack untuk nanti malam. Sesampainya di gerbang asrama, aku langsung memarkirkan motorku di pelataran.
Aku sudah terbiasa masuk ke asrama ini, tidak seperti awal-awal dulu yang menunggu Bu Latifah menjemputku di luar. Kini aku sudah fasih untuk langsung menuju kamarnya. Setelah melepas sepatu, aku berpapasan dengan Maryam yang, salah satu muridku juga, temannya Vania.
“Assalamualaikum, miss. Mau ke Bu Latifah ya?”
“Waalaikumsalaam. Iya, Maryam. Miss langsung saja ya, udah laper hehehe,”
“Oke miss,”
Buru-buru aku menggedor pintu kamar Bu Latifah yang terletak di ujung. Kamar Bu Latifah ini sudah berubah menjadi markas istirahat juga untukku. Peralatan mandiku pun aku titipkan di sini. Daripada aku harus selalu membawanya pulang pergi. Cukup dia saja yang datang dan pergi di pikiranku, yang lain jangan (eyaaa).
“Masuk, miss,” seru Bu Latifah dari dalam kamar. Aku pun langsung masuk kamar dan memberinya sebungkus buah potong.
“Ini titipannya tadi, wkwkwkwk. Aku berharap masakan mu enak ya, bu,”
“Weheee… jangan meragukan kemampuan memasakku dong miss. Makan yuk, udah laper kan? Yuk, yuk,” Bu Latifah menarik tanganku dan mengajakku menuju ke dapur. Ternyata dapurnya cukup sepi, karena memang weekdays.
“Mau makan di sini? Apa makan di kamar?” tawar Bu Latifah sambil sibuk mencari piring dan sendok.
“Di sini aja, Bu. Ada meja makan, juga. Kasihan udah lama nganggu kayaknya,”
“Hahahaha.. bisa aja nih, Miss. Oke. Ini,” Bu Latifah memberiku sebuah piring dan sendok. Kemudian aku mengikuti arah langkah Bu Latifah mengambil nasi, lauk pauk, dan sayur. Kemudian kami anteng makan bersama.
“Bu , Vania itu tinggal di sini kan ya?” tanyaku.
Bu Latifah segera menengokku “Iya, miss. Ada apa?”
“Ng… nggak papa, bu,”
“Masalah SPP ya, miss? Aku juga udah dipeseni sama Pak Dhuha, kok. Tapi… situasi keluarganya Vania sedang ada masalah, memang. Ayah Ibu nya sedang dalam proses perceraian. Ayahnya kemudian berlepas tangan begitu saja atas pembiayaan sekolah Vania. Yang menyokong biaya hidup Vania disini itu para tantenya, Miss. Besok aku coba menghadap Pak Dhuha untuk cerita. Dua hari ini memang kan aku nggak ke sekolah, miss,”
Ya Allah, nak… dibalik senyum ceria dan tawamu yang kamu tunjukkan bersama teman-teman ah…. Vania, kamu memang benar-benar anak yang baik. Tapi, apa Vania juga baik-baik saja?
“Vania nggak papa kan, Bu?”
“Mana ada anak yang baik-baik saja ketika tahu orang tuanya akan berpisah, Miss? Vania hanya tidak menunjukkannya saja. Tapi justru itu yang membuat saya khawatir,”
Ah… Vania tidak ingin membuat orang di sekelilingnya khawatir. Pasti terasa menyesakkan baginya sekarang. Ah, nak, bagaimana bisa kamu sanggup untuk berkawan lama dengan sesak? Aku memutuskan untuk menahan diri agar tak mencari tahu lebih dalam soal permasalahan ini.
Tiba-tiba kami berdua mellow. Setelah mencuci piring dan kembali ke kamar, aku menimbang-nimbang ponselku.
“Kenapa, miss? Galau banget mukanya,”
“Hahahaha… kelihatan ya? Nggak papa kok,” kemudian perhatianku kembali terpusat pada aplikasi pesan singkat. Rasa ingin tahuku ternyata cukup besar, hingga mendorongku untuk membuka pesan singkat dari, Lea, salah seorang sobatku.
Lan, aku dapet kabar dari Dimas. Bintang mau ngelamar cewek yang dulu pernah dia suka.
Aku termenung sesaat.
Harusnya aku baik-baik saja ketika menerima kabar ini sejak aku membulatkan tekad untuk membiarkan jejak perasaanku yang dulu. Tapi mengapa rasanya masih aneh? Apa niatku masih lemah?
‘Cewek yang dulu pernah dia suka’ itu tak pernah aku.
Aku bingung. Tak tahu harus membalas berita ini dengan respon bagaimana. Jelas aku kesal dengan pemberitaan ini jadi mengucapkan selamat bukan hal yang tepat untuk dilakukan sekarang. Aku dikuasai oleh perasaan. Aku seperti tetesan air yang jatuh lalu dia tak menemukan permukaan yang menampungnya.
Lea… aku nggak tahu harus bersikap gimana. Aku pun nggak tahu harus sedih, lega, atau bahagia dapet kabar ini… bahkan untuk merespon ini pun sepertinya aku tidak berhak. Aku siapa di hidupnya?
balasku cepat dengan mengusap air mata yang sudah tak mampu aku untuk menahannya. Apa memang kesempatan ku untuk bisa bersamanya sejak dulu tak pernah ada?
Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan.
0 notes
Text
#GarisGalaksi: Waktu Maghrib
Di berbagai macam ilmu pengetahuan selalu ada cabang ilmu yang mempelajari sesuatu hal yang mikro dan sesuatu hal yang makro. Mikro berarti kita sedang mempelajari hal hal yang ukurannya fisiknya sangat kecil, sedangkan makro kebalikannya. Mempelajari hal hal yang ukuran fisiknya sangat besar. Persamaan ketika kita mempelajari dua hal tersebut adalah kita benar-benar tak bisa secara langsung dapat mengamatinya perlu bantuan alat dan beberapa pendekatan matematis. Selanjutnya, topik mikro dan makro ini sama-sama mengajarkan kita, bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia benar-benar sedikit sehingga tak mampu untuk menguak seluruh ilmu Allah yang tersebar di alam raya ini. Sehingga penting, untuk selalu bersikap bak gelas kosong ketika berhadapan dengan siapapun. Karena kita tidak tahu, ilmu apa yang bisa kita peroleh dengan interaksi tersebut. Sehingga penting untuk selalu bersikap rendah hati, karena sadar atas keterbatasan dan sadar atas sifat al ‘alim nya Allah. Sehingga penting untuk selalu bersikap bijak dalam segala situasi, karena semakin beradan dan berilmu seseorang semakin berhati-hati pula ucap dan lakunya.
Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan
Q.S. Yasin : 83
---
Sayup-sayup adzan maghrib mulai terdengar. Para pengendara kendaraan baik umum dan pribadi juga seakan mulai gelisah. Lampu lalu lintas baru saja berubah menjadi hijau, klakson udah mulai lomba. Siapa yang paling kenceng klaksonnya, itulah yang paling panik. Huhuhuhuhu. Paling buru-buru. Ingin sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Kalau masalah tujuan dunia aja pengen buru-buru, coba kalau diingetin masalah akhirat. Masuk telinga kanan, belok kiri lurus waae (woiii.. malah nyanyi. Wkwkwkwk).
Ya sangat wajar kalau manusia mempunyai kecendurangan pada hal-hal yang bersifat duniawi, karena secara nggak sadar itu juga yang menarik diri untuk senantiasa memperbaiki diri. Nanti juga level niatnya akan berubah, berawal dari mengharapkan gemilau dunia menjadi mengharapkan ridho Sang Pencipta Alam Raya. Slowly but sure. Makanya dianjurkan untuk mengucap istighfar untuk setiap cacat niat kita.
Hari ini cukup challenging. Mengajar dari sekolah ujung kota kemudian berpindah ke ujung kota lainnya untuk mengajarkan materi yang sama, dengan metode yang berbeda. Melihat memang latar belakang siswa yang berbeda, jadi ritme pembelajaran pun harus adaptasi. Tak bisa di pukul rata.
Buru-buru aku melipir ke salah satu masjid untuk kemudian menjalankan ibadah sholat sekaligus sebentar mengistirahatkan otot yang sudah mau diajak berkendara hingga jauh.
Sudah banyak mobil dan anak-anak yang berada di masjid ini. Memang, masjid ini adalah salah satu masjid yang biasa menjadi tujuan para pengendara yang ingin beristirahat. Kelebihan dari masjid ini adalah area parkir yang luas, sehingga memungkinkan para pengendara mobil untuk memberhentikan mobilnya.
Pelan-pelan aku mematikan mesin motor. Di samping motor ku ternyata juga ada pengendara yang sama-sama mematikan mesin. Hm… nampaknya adalah keluarga muda. Sang ayah berjaket hitam dengan menggunakan helm full-face lengkap dengan masker dan pelindung tangan. Sang ibu di belakang dengan jilnab bergo yang cukup lebar dengan kuat menggendong sang buah hati yang sungguh ucul, yang ternyata juga menggunakan jilbab mini lengkap dengan kacamata. Dengan cekatan sang ibu meletakkan sang buah hati untuk lebih nyaman digendong setelah turun dari motor.
Masih dengan helm yang terpasang di kepalanya, sang Ibu sibuk mencari sesuatu dalam tas bayinya. Lalu sang ayah dengan suka rela membantu melepaskan helm, jiaah, lalu jiwa jombloku (merontaa… wkwkwkwk) otomatis berdoa… Ya Allah engkaulah Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, perkenankan kita untuk menjemput sakinah mawaddah wa rahmah dalam situasi apapun.
Aku sekali lagi menoleh ke adek bayi yang tiba-tiba terbangun itu. E eh… dia senyum dong. Hati mana yang tidak tergerak untuk membalas senyum manusia suci tanpa dosa ini?
“Apa dek? Ada kakak ya. Kakak mau sholat tuh. Kita sholat juga ya,” Sang Ibu seakan mengundangku untuk sedikit hadir dalam situasi baru bangun nya adek bayi.
“Iya, nih. Kakak duluan ya, permisi bu,” jawab ku sambil berjalan masuk ke area jamaah wanita.
Ah, dulu waktu aku kecil pun seperti itu. Alhamdulillah keluargaku masih mampu untuk membeli 1 sepeda motor saat itu. Kemana-mana kami menggunakan moda transportasi motor. Mengantar Ibu mengajar, mejemput Ayah pulang dari rantau, mengantar ku ke rumah nenek karena Ibu memutuskan untuk menjadi full-time working mom.
Sepeda motor itulah yang menjadi tempat belajarku. Setiap pagi, saat aku diantar ke rumah nenek, Ibu mengajakku menghafal surat-surat pendek (the power of surat tri qul bonus al kautsar), kemudian mengenalkanku tentang awan, angkasa, matahri, kupu-kupu, pepohonan, dan apa saja yang kami temui di jalan.
Sepeda motor adalah salah satu produk investasi dalam keluarga kami.
Keluarga kami memang tidak mempunyai saham, tabungan emas, tabungan deposito, dan asuransi pendidikan dalam makna yang sesungguhnya. Tapi kalau diukur dari nilai dan dilihat dari fungsinya, sepeda motor seperti ini saja sudah bisa menjadi sebuah produk investasi. Bisa menumbuhkan dan mengembangkan nilai berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Bukan begitu?
Tempat wudhu sudah cukup lengang, karena memang sholat jamaah maghrib sedang berlangsung. Dengan perlahan aku meletakkan tas ku yang berisi senjata mengajar dan jaket yang cukup melindungiku dari serangan angin yang datang dari segala penjuru.
Tak terburu-buru aku mengambil air wudhu, setelah selesai kemudian aku mengikuti jamaah sholat yang ternyata sudah sampai pada rakaat terakhir.
Selesai sholat, sang Ibu yang tadi aku temui sedang duduk di pelataran masjid bersama anaknya. Entah kenapa kok ya duduk disitu, dekat posisi sepatu sneaker KW-ku.
“Permisi ibu… hehehe.. itu sepatu saya,”
“Oh iya iya… silahkan,” Sang Ibu mempersilahkanku sambil menggeser sedikit tempat duduknya.
“Wah… adeknya bubuk lagi. Lagi capek banget kayanya. Hehehe,”. That little face is peaceful. Mungkin aku dulu juga gitu kali ya, wkwkwkwk
“Iya, kak. Habi jalan jauh kita,”
“Oh… dari mana memangnya, bu?” tanyaku dengan membetulkan posisi dudukku agar lebih nyaman. Aku duduk bersebelahan tepat dengan Sang Ibu.
“Habis dari neneknya anak-anak di pinggir kota. Sekalian nengokin anak saya yang nomor satu,” sang Ibu menjawab dengan mengipas-ngipasi anak kecilnya.
“Oh..” tak ku teruskan pertanyaanku. Apa anak sulung keluarga ini memang sengaja dititipkan ke rumah nenek? Tapi mengapa? Ku pendam saja pertanyaanku.
“ Mbaknya masih kuliah?” ganti Sang Ibu yang melemparkan pertanyaan sejuta umat orang yang baru saja bertemu dengan ku. Memang dengan style berpakaianku yang super anak kuliahan ini memaksa orang-orang berpikir aku masih anak kuliahan. Hahahaha
“Saya? Sudah lulus tahun lalu, bu… Alhamdulillah, sekarang jadi guru. Walau masih guru terbang, sih”
“Alhamdulillaah… semoga senantiasa berkah ya mbak. Anak sulung saya juga bercita-cita jadi guru,”
Aku sedikit terkejut. Ah, ku kira profesiku ini tak cukup memiliki banyak penggemar di kalangan anak-anak masa kini. Tapi aku salah.
“Aamiiiin… semoga,” jawab ku mantap. pas bersamaan dengan selesainya aku merapikan tali sepatu.
“Saya pamit dulu, bu. Mari. Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Hati-hati, mbak,”
Dalam helm saat aku berkendara pulang aku teringat, bisa jadi, doa dan harapan orang tua kita yang diceritakan ke orang lain (yang walau terkesan cuman basa-basi) tapi justru bisa mengundang malaikat untuk mencatatnya.
Lalu dengan usaha, doa, dan ridho banyak orang kita bisa menjadi apa yang pernah diharapkan oleh orang tua.
Harapan orang tua itu pasti tak akan jauh dari kebahagiaan anaknya.
Cita-cita kita berarti cita-cita orang tua kita. Cita-cita orang tua kita berarti cita-cita kita.
Dibutuhkan komunikasi yang apik agar tak terjadi konflik.
Dibutuhkan keterbukaan antara dua pihak agar jelas tujuannya ketika dijalankan.
Karena kalau orang tua sudah meletakkan ridho Nya, berarti Allah juga meletakkan ridho Nya.
Jika orang tua sedang marah, berarti Allah juga sedang menegur kita. Berarti, ada sesuatu yang salah dalam perbuatan atau ucapan kita yang menyebabkan orang tua berhak untuk marah.
Memang benar, tak ada yang lebih tahu tentang kita selain orang tua kita. Mereka yang paling tahu apa yang terbaik untuk kita.
Jadi, masih tega mempertanyakan tingkat kasih sayang mereka?
0 notes