#duryudhana
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Mahabharata What If: Arjun Gets Attacked in Dyut Sabha (on Wattpad) https://www.wattpad.com/story/367174030-mahabharata-what-if-arjun-gets-attacked-in-dyut?utm_source=web&utm_medium=tumblr&utm_content=share_myworks&wp_uname=GameofDice Ringkasan: Para kurawa yang bosan menunggu Dursasana menyeret Drupadi memutuskan bermain dengan Panduputra ketiga. #1 arjun (1 Mei 2024) dari 72 cerita #4 karna (1 Mei 2024) dari 102 cerita #10 pandawa (1 Mei 2024) dari 138 cerita
Hello everyone. I just want to inform you that account @aru-loves-krishnaxarjun has plagiarized my work. I posted it first on Wattpad (@GameofDice) and Ao3 (@Agueroagnes) with the title above.
I posted it on Wattpad on April 18, 2024. To be honest, I'm not active on Tumblr, but I decided to do so after getting a report on my Wattpad account that someone plagiarized my work. I know I'm just a beginner writer, but please respect that.
@aru-loves-krishnaxarjun account apparently blocked me and deleted my comment on his/her post. hopefully this doesn't happen again.
#arjun#arjuna#drupadi#duryudhana#fiction#karna#krishna#mahabharat#mahabharata#narayan#pandawa#whatif#books#wattpad#amwriting
7 notes
·
View notes
Photo
He sat in cold bath to cool his boiling grief over defeat. She came to acknowledge his blunt inutility. That made him angry to the point of sweating profusely under the cold water.
2 notes
·
View notes
Text
Basudewa
Kalau aku boleh meminta
Pada siapa sebenarnya, berpinta boleh bersarang
Yudhistira beku, nyalinya segamang padi
Menguning, mengabur dicucuk burung kenari
Menghadiahkan berdepa kilat yang diujungnya ada pukau
Kau bijaksana, menguar selaksa air mata
Kau tertambat istimewa, menjadi ada karena berada
Dengan setapak bulu halus di buku-buku tanganmu,
menggenggam panah
Mencumbu busur
Yang di alasnya aku berderak
Serangan yang dibendung, cinta yang dilamun
Aku bisa saja kembali tapi engkau abadi sebagai babad yang tercela
-Innezdhe
Dalam Bharatayuda, kalahnya ksatria utama pihak Kurawa seperti Bhisma, Karna, Drona, Salya, dan Duryudhana tidak terlepas dari peran Basudewa Krishna, sang avatar Wishnu yang dengan strateginya mampu mengcounter semua ksatria tersebut, meskipun harus menempuh jalan yang bisa disebut licik.
Sebut saja Bhisma yang berhasil dikalahkan saat Basudewa Krishna memasang Srikandhi didepan Arjuna. Atau Suryaputra yang dipanah tumbang oleh Arjuna saat memperbaiki roda keretanya atas saran Krishna. Juga dengan mengorbankan Gatotkaca agar senjata Vashavi Shakti tidak digunakan Suryaputra untuk melawan Arjuna. Kekalahan Duryudhana dalam perang gada melawan Bhima juga karena Krishna menyarankan agar Bhima menyerang paha Duryudhana yang merupakan serangan illegal dalam pertempuran gada.
Termasuk saat Krishna mengutus Nakula Sadewa untuk sowan ke Salya yang merupakan pakdhenya membicarakan perihal peperangan. Karena tidak sampai hati pada keponakannya itu, Salya kemudian membeberkan kelemahannya, bahwa ia akan dikalahkan oleh seorang “berdarah putih” yang tidak lain adalah Yudistira.
Yudistira terkenal dengan kejujuran dan sikapnya yang lemah lembut. Jangankan membunuh orang, membunuh semutpun tidak sampai hati. Kini ia dipaksa untuk menghadapi Salya. Dengan ajian Candrabhirawa miliknya, Salya membuat kubu Pandawa kewalahan akibat gelombang demi gelombang raksasa yang ketika dibunuh justru semakin berlipat ganda. Namun ajian itu tak mempan melawan Yudhistira. Pada awalnya ia ragu namun kemudian mulai melepas panah demi panah hingga merobohkan Salya.
Meskipun di Bharatayuda Basudewa Krishna berhasil membawa kubu Pandawa menang, manuvernya menjadi sesuatu yang selamanya tetap layak untuk dipertanyakan.
5 notes
·
View notes
Photo
ASAL MULA BUNGA GUMITIR. . Pelarangan penggunaan tentang Bunga Gumitir sebagai sarana Dewa Yadnya telah dijelaskan dalam Lontar Kunti Sraya. Disebutkan bahwa Bunga Mitir berasal dari darah Bhatari Durga. . Dijelaskan juga dalam Kitab Mahabharata, Lontar Sudhamala dan Lontar Tebu Sala, Suatu ketika masa hukuman Dewi Durga di Bumi sudah berakhir namun beliau tidak bisa kembali Siwa Loka karena harus diruwat oleh Sahadewa. Lalu datanglah Duryudhana yang memohon anugerah Dewi Durga agar bisa menghancurkan yadnya Para Pandawa. Dewi Durga pun mengabulkannya dan mengutus para mahkluk halus untuk menyerang Indraprasta. Keadaan Indraprasta yang awalnya tentram menjadi kacau, rakyat saling berkelahi tanpa alasan, sarana yadnya membusuk, semuanya akibat serangan mahkluk utusan Dewi Durga. . Tidak ada yang bisa melihat wujud dari mahkluk gaib tersebut kecuali Sri Krsna, beliau pun mengubah mereka ke wujud nyata sehingga bisa dilihat oleh orang biasa, setelah menampakan diri para Pandawa dan pasukan Indraprasta bertarung dengan mahluk gaib tersebut namun mereka tak bisa dilukai sedikit pun. Krsna menyuruh Arjuna membunyikan Dewadata sebuah terompet dari kerang, saat Arjuna meniupnya para mahkluk halus menjadi kocar kacir karena tak mampu mendengarkan suara Dewadata. . Sebelum pergi para mahkluk halus mengatakan mereka akan terus kembali sebelum Dewi Durga bisa diruwat. Sri Krsna pun segera menemui Dewa Siwa untuk meminta solusi agar bisa meruwat Dewi Durga, Dewa Siwa memberinya senjata bernama Tebu Sala dan beliau juga berpesan agar Sahadewa yang meruwat Dewi Durga. . Akhirnya bertemulah Sahadewa dengan Dewi Durga, Dewi Durga pun memberi wejangan kepada Sahadewa bahwa setelah diruwat tubuh beliau akan berubah menjadi tumbuhan, tulang beliau akan menjadi Tebu Ratu, payudara beliau akan menjadi Pisang Saba, kotoran beliau akan menjadi Mengkudu, dan dari darah beliau akan tumbuh Bunga Gemitir. Keseluruh tumbuhan tersebut dilarang digunakan sebagai sarana yadnya karena berasal dari tubuh Dewi Durga. Setelah Dewi Durga diruwat Sahadewa diberi julukan Sang Sudhamala . . Via @calonarangtaksu ⚫⚪🔴 PUNYA INFO?? DM/TAG IG 👉@karangasemnow_official FP 👉Karangasem Now https://www.instagram.com/p/B9Ow-UqBrGJ/?igshid=17oz45dpd0iwy
0 notes
Text
Hanya karena ada sesuatu yang besar terjadi hari ini, banyak pihak yang merasa bahwa negara tempat kita bernaung saat ini, sudah kehilangan “mata"nya atas hukum yang berlaku. Percaya nggak, meskipun Bapak mengharuskan aku untuk mempelajari segala hal berbau politik, aku nggak terlalu tertarik. Dan hal itu bukan hal yang ingin aku bahas juga di postingan ini. Postingan ini lebih mengarah kepada pandanganku terhadap orang "itu”, yang kuanggap sebagai Adipati Karna era modern.
Kenapa Adipati Karna? Karena aku percaya dia orang baik, sama seperti Adipati Karna. Aku tahu dia punya niatan yang baik, sama seperti Adipati Karna. Tapi seperti Adipati Karna pula, “senjata” yang digunakannya tidak baik, orang di sekelilingnya tidak baik, dan semua itu membuat segala hal yang melekat pada dirinya juga tampak buruk.
Kalau kamu masih belum begitu mengerti siapa Adipati Karna, kuceritakan sedikit ya tentang Mahabharata; sebuah karya sastra dari negeri India yang jauh lebih aku suka daripada Harry Potter sekali pun, yang sudah kubaca saat aku bahkan belum duduk di bangku Sekolah Dasar.
Adipati Karna adalah salah satu tokoh dari kisah roman yang berasal dari India ini. Kisah ini menceritakan sebuah kerajaan yang disebut dengan Hastina Pura. Singkat cerita, Adipati Karna merupakan anak Dewi Kunti, ibu dari tiga Pandawa, yaitu Yudhistira, Bima, dan Arjuna, bersama dengan betara Surya, salah satu dewa terhebat.
Selama hidupnya, ia tidak mengetahui fakta tersebut karena fakta itu disimpan rapat oleh Dewi Kunti. Selama hidupnya, Karna memercayai bahwa dirinya hanyalah anak dari seorang kusir. Sejak kecil Karna sangat ahli dalam memanah, hanya saja kemampuannya tidak ada yang mengetahui, karena ia tidak memiliki kuasa untuk menunjukkan kebolehannya dalam memanah, padahal kemampuannya dalam memanah setara dengan Arjuna.
Suatu hari, kemampuan Karna diketahui oleh anak tertua dari kumpulan Kurawa yang berjumlah 100 orang, Duryudhana. Karena mengetahui kemampuan Karna dalam memanah setara dengan Arjuna, salah satu anggota dari Pandawa, Duryudhana merasa bahwa ia bisa memanfaatkan kemampuan Karna itu pada saat perang saudara antara Kurawa melawan Pandawa. Oleh sebab itu, Karna diangkat sebagai seorang Adipati oleh Duryudhana. Sejak itu ia diketahui oleh khalayak, kemampuannya dalam memanah pun diakui oleh orang banyak.
Dan benar saja, pada saat perang saudara Pandawa melawan Kurawa, Adipati Karna ada pada pihak Kurawa. Selain kemampuan memanahnya, ia juga memiliki senjata Konta yang diberikan kepadanya oleh Betara Indra. Senjata Konta adalah senjata yang sangat ampuh dan mematikan, tapi hanya bisa digunakan sekali saja. Karena Adipati Karna menyadari antara dirinya dengan Arjuna tidak akan bisa dikalahkan dalam memanah saat perang Baratayudha, Adipati Karna berniat menggunakan senjata Konta untuk membunuh Pandawa. Terlebih pada saat itu, jumlah 100 dari Kurawa perlahan-lahan berkurang, sedangkan Pandawa yang hanya lima orang, belum ada satupun yang mati. Sayangnya, senjata itu kemudian terpaksa digunakan untuk membunuh Gatot Kaca, putra Bima dengan Arimbi, seorang raksasa.
Adipati Karna bukannya ingin membela Kurawa, tapi ia merasa ia harus membela Kurawa karena berkat Kurawa, ia bisa menjadi seorang Adipati dan kemampuan memanahnya diakui banyak orang.
Jadi, setelah membaca 1/689 dari kisah Mahabharata tentang Adipati Karna, kamu paham kan, maksudku?
2 notes
·
View notes
Photo
Dear Duryudhana... Bagaimana kabarmu di Nirwana? Ataukah kau sedang berada pada masa penghakiman para Dewa. Seandainya kau tak menuruti Sengkuni, kalau saja Gandari ibumu tak mengajarkanmu arti sebuah dendam dan pembalasan. Tapi, takdir telah tertulis, noktah harus tetap dilaksanakan. . . . . . #bwpicture #bnw #bnwphotography #blackandwhite #nature #indonesia #beach #poems #photography #beachpics #fighting #bestrong #bukangegapgempita #bukanbaikburuksarana #janganlupabahagia #photography101#sony #sonypics #photowork #photoshoot #photographer #romance #human #society #nature #xiaomi #mi4c #mipictures (at Keraton Ratu Boko)
#sonypics#beachpics#bnwphotography#mipictures#blackandwhite#bwpicture#beach#bukanbaikburuksarana#poems#indonesia#bukangegapgempita#janganlupabahagia#fighting#photowork#xiaomi#nature#photoshoot#photographer#society#sony#human#bnw#photography#photography101#bestrong#mi4c#romance
0 notes
Photo
Sankatmochan Mahabali Hanuman 18th August 2017 Written Episode Update: Ashvadhama is punished. Sankatmochan Mahabali Hanuman 18th August 2017 Written Episode, Written Update on TellyUpdate.co.in The episode starts with ashvadhama killing some soldiers under the blanket thinking them to be pandavas.ashvadhama goes and sees duryudhana about to die, he tells him that he has killed the pandavas.
0 notes
Text
Drupadi: Sinisme Sang Poliandris
(Gambar cover Novel Drupadi oleh pengenbuku.com)
Resensi buku Drupadi karya Seno Gumira Ajidarma
“Apa kalian sudah lupa? Apakah kalian sudah lupa penghinaan Kurawa yang tiada tara? Aku telah bersumpah tidak akan menyanggul rambutku jika belum dikeramas dengan darah Dursasana. Apakah para Pandawa akan membiarkan rambutku terurai selamanya? Dimanakah Bima yang telah bersumpah untuk menghirup darah Dursasana? Mengapa dia tidak bicara? Aku Drupadi telah begitu setia dan begitu menderita bersama Pandawa, apakah aku ini tidak berarti apa-apa?--- apakah aku harus menjadi laki-laki seperti Shikandi yang menunggu-nunggu saat pertempurannya dengan Bhisma?”
Sebait paragraf sinisme yang mengguratkan konstelasi kesedihan, mengurai satu dari sekian panjang perjuangan seorang dewi brahmana dalam buku ini. Paragraf tersebut juga menjadi bentuk perlawanan atas perilaku patriarki yang terepresentasi dalam novel sastra “Drupadi” ini secara frontal. Keinginan untuk merekonstruksi harkat dan martabat menyemburat dengan sangat jelas pada sosok Drupadi melalui keberanian tindak-tanduk nya. Sang Poliandris memang senantiasa dibayangi dengan kesengsaraan dan ketidakberdayaan pada suratan takdir. Namun demikian, Seno rupanya tetap ingin membawa sosok sang dewi Pancala pada glorifikasi peran yang utama dalam rumah tangga Pandawa. Narasi kesempurnaan membuat tokoh sentral Drupadi tampil berbeda dan menarik untuk disibak lebih jauh, terlebih dari sudut pandang feminisme.
Drupadi adalah buku karya Seno Gumira Ajidarma, penulis gaek yang menjelmakan sang tokoh sentral ke dalam “versi” nya sendiri. Drupadi versi Seno bukan menonjol karena bersuami pandawa lima, melainkan tak gentar membela hak asasinya dari tekanan kekuasaan. Seno tak ingin menampilkan amoralitas seksual yang muncul dalam memoar jawa pada umumnya, tetapi tetap tak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan eksistensialisme Sarte, Drupadi tidak dapat menolak untuk dipertaruhkan.
Potret Dewi Drupadi dibingkai dalam kecantikan yang melebihi mimpi. Drupadi memang tak pernah dilahirkan. Ia diciptakan dari sekuntum bunga teratai yang sedang merekah. Meski memiliki keelokan yang ‘indah takterperi’ , lantas tak menghindarkan Drupadi dari rintihan kelam. Kehidupannya tetap ditentukan oleh ketepatan tembakan panah para ksatria dan brahmana pada sayembara kerajaan. Hingga pada akhirnya, ketepatan bidikan Arjuna segera menyeretnya ke dalam kehidupan rumah tangga Pandawa. Sejak hari itu, Drupadi harus berbagi ‘sukma’ dengan Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Tak dapat dipungkiri, Paras cantik Drupadi dan kenyataan bahwa Ia bersuamikan Pandawa justru menimbulkan kebencian dan kecemburuan mendalam dalam diri para Kurawa. Yudhistira, sang raja agung berhasil dipermainkan oleh Duryudhana dan Dursasana di meja perjudian. Alhasil, Indraprastha, Hastina, bahkan Drupadi seluruhnya jatuh ke tangan Kurawa.
Sungguh nista bagaimana Kurawa tega memperlakukan Drupadi yang jelita dengan begitu kasar. Pasca kekalahan Yudhistira di meja perjudian, Dursasana menyeret paksa Drupadi dari ruang keputrian Hastina.
Suasana masih hiruk pikuk dan para Kurawa bersorak sorai ketika Drupadi meluncur seperti karung di atas lantai yang basah karena tumpahan arak ketika didorong sekuat tenaga oleh Dursasana dengan kakinya
“Menyembahlah kepada Prabu Hastina, anak pecundang Drupada!”
Kala itu, Pandawa benar-benar kehilangan kehormatannya. Atas nama ksatria mereka harus menerima segala penghinaan dan cerca, tanpa boleh marah Karena sebagai budak tanpa kemerdekaan mereka bahkan telah kehilangan haknya untuk marah apalagi murka. Drupadi hanya bisa meratap dan menahan sakit seolah sembilu telah menancap di dadanya. Drupadi ditelanjangi dan selanjutnya ‘digilir’ oleh satu persatu Kurawa di Balairung perjudian. Dalam penjabaran di atas, Seno tak sedikitpun meneksplorasi adegan seronok yang menyudutkan Drupadi di dalam bukunya. Fakta bahwa Drupadi pernah dipermalukan Kurawa sebagaimana dalam cerita Mahabaratha, tak terlalu mendapat penekanan. Hal tersebut lantas membuat kita berpikir bahwa penderitaan bukan menjadi tujuan utama dalam penceritaan kisah Drupadi versi Seno
Setelah semua perlakuan yang diterimanya, Drupadi menjadi penentang budaya patriarki. Ia tak mau lagi berada dalam ‘kerugian budaya’ yang mengglorifikasi feminitas, yangmana bila menolak hal itu, ia akan mengalami kerugian-kerugian itu sendiri. Maka dalam pengasingan dan penyamarannya, Drupadi membela diri dengan bantuan para suaminya. Cukup jelas tergambar bagaimana Kichaka mati digilas Bima setelah mencoba memperkosanya. Tuntas pula dendamnya pada Kurawa, saat ia berhasil mencuci rambutnya dengan darah Dursasana. Sungguh, Seno menggambarkan Drupadi sebagai sosok yang begitu gigih menjunjung arti harga diri. Jika Resi Bhisma atau Karna atau Yudhistira berjiwa besar, Drupadi, tampil sebagai seorang permpuan yang menggunakan hak dirinya sebagai korban untuk melakukan pembalasan.
Namun demikian, bagaimanapun Drupadi membalaskan dendam demi harga dirinya, Seno berhasil membentuk peran Drupadi dengan baik. ‘Pengabdian yang sempurna adalah setia kepada peranan hidup kita, apapun peran yang kita mainkan’ begitulah selarik Kalimat yang melukiskan pengabdian lakon Drupadi di tengah cerita. Betapapun Ia makhluk yang tidak dilahirkan dari rahim seorang perempuan, kehadirannya bak cahaya gemilang yang mencerahkan kegelapan.
Begitulah Drupadi dicintai dan dihormati melebihi bidadari, karena begitu manusiawi. Kalau datang dan pergi Ia tidak melayang seperti bidadari, kakinya menapak bumi. Para perupa mencetak jejak kakiny, dan menjadikannya tanda mata bagi para pengunjung mancanegara.
Dewi Drupadi bukanlah perhiasan, melainkan sebuah keindahan. ‘Apalah arti Pandawa tanpa Drupadi’ lima lelaki itu tak akan mendapatkan kemantapan tanpa perempuan, dan hanya Drupadi yang mampu berbagi dengan penuh keadilan. Saking istimewanya, Seno bahkan tak mampu menganalogikan kehadiran seorang Drupadi dengan enambelasribu istri Kresna sekalipun. Dengan demikian, lakon Drupadi versi Seno mampu menunjukkan eksistensinya sebagai seorang perempuan yang berhak dan bertanggung jawab atas tubuh dan pilihannya. Pada akhirnya, ‘Drupadi’ berhasil membuktikan bahwa Kekuatan dan Keberanian dapat melawan dekadensi moral yang dianggap tabu. Andai Drupadi menjadi sosok nyata, Ia mungkin akan mengingatkan, bahwasanya hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau menjadi buruk, tapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan itu sendiri.
1 note
·
View note
Text
KARNA - DURYODHANA
(After death of Karna)
The beautiful body of Radheya lay on the battlefield, his head in the dirt with a smile and clenched teeth. His teeth were clenched because he was trying to lift the wheel of his chariot as Arjuna shot an arrow through his neck. Dussana, Duryodhana brother, was also dead, killed by Bheema’s rage when he cut off his arm and drank the blood from his chest.
Duryodhana strolled slowly to the battlefield and sat solemnly looking at the handsome face of Radheya. He did not want to live and thought that he would go mad. After many hours sitting and weeping, he decided to go to his grandfather (who is still alive with the 1000 arrows bristling from his body), still lying on his bed of arrows.
Bheeshma looked lovingly at Duryodhana and reminded him that Radheya died a good death. “He is first a warrior. He must die on the battlefield,” said his grandfather. This did not pacify Duryodhana and he inquired, “Who was this noble man? Tell me who he is, grandfather?” Bheesma slowly and quietly told him that Radheya was a son of Kunti. He continued that Radheya made him promise not to tell anyone until he died.
Duryodhana was silent. His tears were blinding him. Finally, he looked up and asked his grandfather, “Radheya knew and he would not go them because he loved me so? Why am I not dead? Radheya, my friend, I will come to you soon, as soon as I can come. I cannot live without you.
Now nothing can hurt me because my mind is cleansed of all sins when I heard about the noblest man that ever lived. I can meet death with a smile on my lips. I am free of the love of the kingdom. I want to share it with Radheya. I want one thing, death. I must go now and make preparations for my death. Duryodhana walked away without turning back.
3 notes
·
View notes
Photo
Design by cnove@wordpress
0 notes