#dahaga 25 01 23
Explore tagged Tumblr posts
Text
Mula Dahaga
Sebuah awal dari rasa haus kami dalam mencurahkan sesuatu apa yang kami rasakan,pikirkan dan ingin sampaikan dalam bentuk karya.
Satria Alan Delen dan Nandita Sasya Kamila,kami bertemu dan berteman di awal masa SMA,tidak di satu kelas yang sama,kami hanya sekedar kenal karena mengikuti Ekstrakulikuler yang sama,dari dulu Satria atau yang lebih sering disapa Alde atau nandita sering memanggilnya "Sateria san.. sate sate.."dia memang sudah punya keinginan untuk bermusik dan membentuk sebuah Band dan telah menulis banyak lagu ketika masuk SMA,tapi hanya sebatas iseng sendiri dan tidak pernah serius dalam membuat apalagi sampai merekam,merilis dan mempublikasi karya karyanya,bahkan tidak pernah menunujukannya kepada siapapun hingga akhir SMA.
Meski sudah berteman lama dengan Nandita/si didit tapi Satria tidak pernah tau kalau Didit bisa bernyanyi apalagi terpikirkan untuk mengajaknya bermusik dan membentuk sebuah band,hingga suatu hari ia melihat postingan di story whatsapp nya nandita bernyanyi,dia langsung menunjukan beberapa lagu ciptaannya dan meminta nandita untuk menyanyikannya,karena merasa sangat sangat sefrekuensi ketika berkomunikasi dan suara didit ternyata bagus lah,dari situ kami pun sepakat untuk berkarya dan membentuk Dahaga
4 notes
·
View notes
Link
Jihad Afghan dan ‘Kebangkitan’ Saudi
1980, pasca tentara merah Uni Soviet menyerang Afghanistan, Raja Khalid bin Abdul Aziz mengeluarkan ‘titah kerajaan’ kepada Salman bin Abdul Aziz (yang saat itu menjabat sebagai gubernur Riyadh) untuk membentuk dan mengetuai Komite Pengumpulan Donasi bagi mujahidin Afghanistan. Beberapa waktu kemudian, President of Youth Welfare, Pangeran Faisal bin Fahd juga mengumumkan kenaikan tiket pertandingan olahraga sebesar 1 riyal yang akan diperuntukkan bagi para Mujahidin Afghanistan.
Sementara itu, maskapai Saudi Airline memberikan diskon tiket pesawat sampai 70% untuk para ‘relawan Saudi’ yang ingin berangkat ke Afghanistan baik untuk sekedar memberikan bantuan ataupun terjun langsung dalam medan perang. Saat itu, ajakan berdonasi bagi jihad di Afghanistan memenuhi koran-koran Saudi. Sebagaimana para da’i-da’i Shahwah (kebangkitan Islam) Saudi dan gerakan Islam gencar memotivasi dan memobilisasi para pemuda dari masjid-masjid untuk ikut andil dalam jihad dengan restu dari para ulama Kerajaan Saudi Arabia dan tentu saja juga restu dari USA. Saat itu, kata ‘jihad’ identik dengan kemuliaan dan kebebasan, sebab musuh yang diperangi oleh AS dan Saudi adalah Komunisme.
20 atau 30 tahun kemudian, kata jihad mulai identik dengan terorisme. Jika dulunya jihad melawan Uni Soviet di Afghanistan adalah fardhu ‘ain, maka perlawanan terhadap Amerika yang kemudian juga menyerang Afghanistan dan Irak dianggap sebagai ‘fitnah’ yang harus dijauhi. Saudi melarang dan mengancam akan mempidanakan setiap warganya yang keluar ‘berjihad’ baik ke Afghanistan, Irak ataupun Suriah.
Selain dukungan resmi dari Kerajaan Saudi Arabia dan USA, jihad kontra Uni Soviet di Afghanistan tak bisa dipisahkan dari Ikhwan dan gerakan Shahwah. Hubungan IM dan Mujahidin Afghanistan terbentuk melalui para da’i Afghanistan yang belajar di Al-Alzhar seperti Syaikh Abdu Rabb Rasul Sayyaf dan lain-lain. Nama-nama seperti Abdul Mun’im Abul Futuh, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani, Dr. Ahmad Al-Malath, Hamid Abu Nashr hingga Syeikh Muhammad As-Shawwaf dan lain-lain adalah tokoh-tokoh penting Ikhwan yang ikut memberikan andil dalam jihad di Afghanistan baik dalam menyalurkan bantuan, mendamaikan para mujahidin hingga turut berkecimpung dalam perang. Umar At-Tilmisani, Mursyid IM ketiga sering berkordinasi dengan para utusan Mujahidin Afghanistan di Kairo.
Beliau mengutus Ustad Kamaluddin As-Sananiri (suami Aminah Qutb) pada tahun 1980 ke Pakistan untuk meninjau jihad dan kebutuhan para mujahidin. Dalam perjalanan pulang dari Pakistan ke Mesir, As-Sananiri singgah berhaji di Arab Saudi dan bertemu dengan Syeikh Abdullah Azzam dan berkomitmen untuk memobilisasi para pemuda untuk berjihad. Namun, begitu sampai ke Mesir, As-Sananiri langsung dipenjara dan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya.
Berbicara tentang jihad Afghan, Syaikh Abdullah Azzam adalah ikonnya. Dalam mukaddimah risalah fatwa jihadnya Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-muslimin Ahamm Furudh Al-A’yan, Syaikh Azzam menjelaskan bahwa fatwa jihadnya disetujui oleh para ulama Saudi saat itu terutama Syaikh bin Baz. Bahkan Syaikh bin Baz ikut berfatwa di Masjid bin Laden Jeddah dan Masjid Al-Kabir Riyadh bahwa jihad dengan jiwa adalah fardhu ‘ain. Diantara mereka yang menyetujui fatwa jihad Syaikh Abdullah Azzam di Afghanistan adalah: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Ibnu Utsaimin, Al-Allamah Syaikh Abdu Ar-Razaq Afifi (Na’ib Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Hasan Ayyub (lulusan Al-Azhar dan dosen King Abdul Aziz Jeddah), Syaikh Muhammad Al-Asal (lulusan Al-Azhar dan dosen di Al-Imam University Riyadh), Syaikh Abdullah Nasih ‘Ulwan (ulama asal Aleppo yang mengajar di King Abdul Aziz University Jeddah), Syaikh Sa’id Hawwa, Muhaddis Mesir Syaikh Muhammad Najib Al-Muthi’i, Dr. Hussein Hamid Hassan (anggota di Persatuan Ulama Muslim Internasional) dan lain-lain.[1]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menyetujui dicetaknya kitab Ayat Ar-Rahman Fi Jihad Al-Afghan karya Syaikh Abdullah Azzam sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah cetakan pertama.[2]
Lulus dari Universitas Damaskus tahun 1966, Syaikh Abdullah Azzam melanjutkan studinya di Al-Azhar As-Syarif baik magister maupun doktoral. Beliau lulus dan mendapatkan Ph.D dalam bidang Ushul Fiqih tahun 1973. Latar belakang dan kapasitas keilmuan yang mumpuni menjadikan Syaikh Abdullah Azzam ikon jihad yang faqih dan ushuliy dimana sikap-sikap dan fatwanya selalu didasarkan pada pertimbangan maslahat dan mafshadat. Sepanjang jalan jihadnya, beliau tak pernah bosan menyatukan para mujahidin dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda serta sangat berhati-hati dalam masalah takfir terutama pengkafiran terhadap penguasa. Berbeda halnya dengan Osama bin Laden yang tidak punya basic keilmuan yang kuat, diperparah dengan masuknya para jihadis takfiri dari Mesir, Saudi dan lain-lain yang menyebabkan sebagian mujahidin Afghan Arab pasca meninggalnya Syaikh Abdullah Azzam kemudian lebih identik dengan radikal dan teroris.
Bersamaan dengan meletusnya perang Afghanistan, gerakan Shahwah Islamiyyah yang dipelopori oleh para da’i-da’i muda revolusioner Saudi seperti Salman Al-Audah dan Safar Al-Hawali booming pada tahun 1980-an dan didukung oleh penguasa, terutama oleh Raja Fahd yang menganggap bahwa gerakan Shahwah adalah gerakan pencerahan yang diberkati (video pujian Raja Fahd terhadap Shahwah Islamiyyah bertebaran di YouTube). Bahkan Syaikh Utsaimin mengarang kitab As-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat untuk menuntun para pemuda yang bersemangat menyongsong kebangkitan Islam Saudi.
Oleh sebagian pengamat, dukungan penguasa Kerajaan Saudi Arabia untuk gerakan Shahwah yang revolusioner dianggap hanya sebagai gerakan tandingan dan wadah untuk ‘memuaskan dahaga’ para pemuda agamis Saudi yang terpengaruh dengan revolusi Iran yang Syi’ah. Jadi, Kerajaan Saudi Arabia melihat perlunya mendukungnya kebangkitan Islam yang juga memiliki ruh revolusioner dari kalangan Sunni sekalian mengarahkan mereka untuk terjun dalam medan jihad di Afghanistan. Dan sebagaimana telah kita ketahui, kemesraan itu hanya berlangsung sesaat, sebab gerakan Shahwah kemudian menjadi pengkritik kebijakan Kerajaan Saudi Arabia yang meminta bantuan Kuffar Amerika untuk menghalau Saddam Husein yang menyerang Kuwait dan mengancam Saudi. As-Shahwah sebagai gerakan pencerahan yang terberkati pun kini dianggap sebagai ‘ideologi impor yang radikal’ oleh Alu Su’ud.
Para mujahidin Afghan Arab, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Shahwah Islamiyyah adalah contoh paling mencolok dari gerakan keagamaan yang disupport sedemikian rupa oleh Kerajaan Saudi Arabia dengan dana minyaknya yang melimpah namun kemudian divonis sebagai teroris radikal ketika tak lagi dibutuhkan dan tak lagi sesuai dengan keinginan Kerajaan Saudi Arabia. Hal yang sama terjadi untuk Saddam Husein ‘Asadussunnah’, Sang Singa Ahlussunah (gelar untuk Saddam yang disupport Saudi saat menyerang Iran) yang kemudian divonis kafir oleh Grand Mufti Saudi sendiri. Pameran jihad pun digelar di Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh tahun 1991 (4-6 Sya’ban 1411 Hijriyah) dibawah pengawasan rektor Jami’ah Al-Imam Dr. Abdul Muhsin At-Turky. Pameran jihad kali ini bukan lagi kontra Soviet, tapi kontra Pemerintahan Pemberontak Saddam Husein yang wajib dilawan. Fatwapun dikeluarkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an bahwa siapa saja yang mati saat berperang melawan Irak maka ia mati syahid.[3]
Saat masih menjadi Menteri luar negeri era Obama, Hillary Clinton mengakui bahwa para Mujahidin Afghanistan yang saat itu mereka perangi sejatinya dibesarkan oleh AS dan Saudi sendiri. Benar memang, pasca syahidnya Syaikh Abdullah Azzam sebagian mujahidin Arab berubah menjadi radikal dan teroris dikarenakan dangkal dan kakunya pemahaman keislaman mereka sendiri. Akan tetapi, ‘terorisme negara’ yang menolak kepulangan mereka dan seenaknya ‘memperkosa’ teks-teks agama demi kelanggengan kekuasaannya adalah juga salah satu sebab penting merebaknya radikalisme. Syaikh Salman Al-Audah mungkin adalah salah satu contoh ulama moderat yang menyeru kepada reformasi namun tetap dianggap berbahaya oleh Saudi. Padahal, ketimbang pengaruh Syaikh Muhammad Surur dan Islam Saudi yang konservatif, Syeikh Salman Al-Audah dikemudian hari lebih mewarisi kemoderatan pemikiran Syaikh Abu Ghuddah dan Syaikh Al-Qaradhawi.
Dalam wawancara dengan Jeffrey Goldberg, jurnalis dan pemimpin redaksi majalah The Atlantic Amerika, Muhammad bin Salman mengakui Saudi adalah donatur penting terhadap Ikhwanul Muslimin. Ia juga mengatakan bisa jadi suatu hari nanti, Saudi akan kembali berkoalisi dan meminta bantuan Ikhwanul Muslimin jika dibutuhkan. Apakah nantinya label teroris yang dicap di muka Ikhwanul Muslimin akan diganti dengan gelar ‘Gerakan Pencerahan’? Bagaimana nantinya tanggapan para pemuka agama KSA yang hari ini memvonis Ikhwanul Muslimin sebagai khawarij? Apakah gelar Khawarij akan diganti dengan ‘Ikhwan mujahidin mukhlisin’ sebagaimana dulu Raja Faishal pernah menggelarinya? Sampai kapan Alu Su’ud akan terus ‘mempolitisasi agama’ lalu mencampakkannya ketika tak lagi dibutuhkan? Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-Muslimin, Abdullah Azzam, Halaman 2, cet: Mimbar At-Tauhid Wa Al-Jihad.
[2] Ayaturrahman Fi Jihad Al-Afghan, Abdullah Azzam, Halaman 23, cetakan ke lima, Al-Mujtama’ Jeddah tahun 1985.
[3] Daurul Ulama Wa Du’ah Fi ‘Amaliyati Rad’ Al-Ghuzaa, Ubaid Abdurrahman Al-Harbiy, Halaman 24-25, cet: Maktabah Al-Obeikan Jeddah.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2021/01/21/saudi-dan-ikhwanul-muslimin-6/
0 notes
Photo
Saudi dan Ikhwan: Dari Kemesraan Hingga Perseteruan (Bag. 14)
Jihad Afghan dan ‘Kebangkitan’ Saudi
1980, pasca tentara merah Uni Soviet menyerang Afghanistan, Raja Khalid bin Abdul Aziz mengeluarkan ‘titah kerajaan’ kepada Salman bin Abdul Aziz (yang saat itu menjabat sebagai gubernur Riyadh) untuk membentuk dan mengetuai Komite Pengumpulan Donasi bagi mujahidin Afghanistan. Beberapa waktu kemudian, President of Youth Welfare, Pangeran Faisal bin Fahd juga mengumumkan kenaikan tiket pertandingan olahraga sebesar 1 riyal yang akan diperuntukkan bagi para Mujahidin Afghanistan.
Sementara itu, maskapai Saudi Airline memberikan diskon tiket pesawat sampai 70% untuk para ‘relawan Saudi’ yang ingin berangkat ke Afghanistan baik untuk sekedar memberikan bantuan ataupun terjun langsung dalam medan perang. Saat itu, ajakan berdonasi bagi jihad di Afghanistan memenuhi koran-koran Saudi. Sebagaimana para da’i-da’i Shahwah (kebangkitan Islam) Saudi dan gerakan Islam gencar memotivasi dan memobilisasi para pemuda dari masjid-masjid untuk ikut andil dalam jihad dengan restu dari para ulama Kerajaan Saudi Arabia dan tentu saja juga restu dari USA. Saat itu, kata ‘jihad’ identik dengan kemuliaan dan kebebasan, sebab musuh yang diperangi oleh AS dan Saudi adalah Komunisme.
20 atau 30 tahun kemudian, kata jihad mulai identik dengan terorisme. Jika dulunya jihad melawan Uni Soviet di Afghanistan adalah fardhu ‘ain, maka perlawanan terhadap Amerika yang kemudian juga menyerang Afghanistan dan Irak dianggap sebagai ‘fitnah’ yang harus dijauhi. Saudi melarang dan mengancam akan mempidanakan setiap warganya yang keluar ‘berjihad’ baik ke Afghanistan, Irak ataupun Suriah.
Selain dukungan resmi dari Kerajaan Saudi Arabia dan USA, jihad kontra Uni Soviet di Afghanistan tak bisa dipisahkan dari Ikhwan dan gerakan Shahwah. Hubungan IM dan Mujahidin Afghanistan terbentuk melalui para da’i Afghanistan yang belajar di Al-Alzhar seperti Syaikh Abdu Rabb Rasul Sayyaf dan lain-lain. Nama-nama seperti Abdul Mun’im Abul Futuh, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani, Dr. Ahmad Al-Malath, Hamid Abu Nashr hingga Syeikh Muhammad As-Shawwaf dan lain-lain adalah tokoh-tokoh penting Ikhwan yang ikut memberikan andil dalam jihad di Afghanistan baik dalam menyalurkan bantuan, mendamaikan para mujahidin hingga turut berkecimpung dalam perang. Umar At-Tilmisani, Mursyid IM ketiga sering berkordinasi dengan para utusan Mujahidin Afghanistan di Kairo.
Beliau mengutus Ustad Kamaluddin As-Sananiri (suami Aminah Qutb) pada tahun 1980 ke Pakistan untuk meninjau jihad dan kebutuhan para mujahidin. Dalam perjalanan pulang dari Pakistan ke Mesir, As-Sananiri singgah berhaji di Arab Saudi dan bertemu dengan Syeikh Abdullah Azzam dan berkomitmen untuk memobilisasi para pemuda untuk berjihad. Namun, begitu sampai ke Mesir, As-Sananiri langsung dipenjara dan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya.
Berbicara tentang jihad Afghan, Syaikh Abdullah Azzam adalah ikonnya. Dalam mukaddimah risalah fatwa jihadnya Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-muslimin Ahamm Furudh Al-A’yan, Syaikh Azzam menjelaskan bahwa fatwa jihadnya disetujui oleh para ulama Saudi saat itu terutama Syaikh bin Baz. Bahkan Syaikh bin Baz ikut berfatwa di Masjid bin Laden Jeddah dan Masjid Al-Kabir Riyadh bahwa jihad dengan jiwa adalah fardhu ‘ain. Diantara mereka yang menyetujui fatwa jihad Syaikh Abdullah Azzam di Afghanistan adalah: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Ibnu Utsaimin, Al-Allamah Syaikh Abdu Ar-Razaq Afifi (Na’ib Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Hasan Ayyub (lulusan Al-Azhar dan dosen King Abdul Aziz Jeddah), Syaikh Muhammad Al-Asal (lulusan Al-Azhar dan dosen di Al-Imam University Riyadh), Syaikh Abdullah Nasih ‘Ulwan (ulama asal Aleppo yang mengajar di King Abdul Aziz University Jeddah), Syaikh Sa’id Hawwa, Muhaddis Mesir Syaikh Muhammad Najib Al-Muthi’i, Dr. Hussein Hamid Hassan (anggota di Persatuan Ulama Muslim Internasional) dan lain-lain.[1]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menyetujui dicetaknya kitab Ayat Ar-Rahman Fi Jihad Al-Afghan karya Syaikh Abdullah Azzam sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah cetakan pertama.[2]
Lulus dari Universitas Damaskus tahun 1966, Syaikh Abdullah Azzam melanjutkan studinya di Al-Azhar As-Syarif baik magister maupun doktoral. Beliau lulus dan mendapatkan Ph.D dalam bidang Ushul Fiqih tahun 1973. Latar belakang dan kapasitas keilmuan yang mumpuni menjadikan Syaikh Abdullah Azzam ikon jihad yang faqih dan ushuliy dimana sikap-sikap dan fatwanya selalu didasarkan pada pertimbangan maslahat dan mafshadat. Sepanjang jalan jihadnya, beliau tak pernah bosan menyatukan para mujahidin dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda serta sangat berhati-hati dalam masalah takfir terutama pengkafiran terhadap penguasa. Berbeda halnya dengan Osama bin Laden yang tidak punya basic keilmuan yang kuat, diperparah dengan masuknya para jihadis takfiri dari Mesir, Saudi dan lain-lain yang menyebabkan sebagian mujahidin Afghan Arab pasca meninggalnya Syaikh Abdullah Azzam kemudian lebih identik dengan radikal dan teroris.
Bersamaan dengan meletusnya perang Afghanistan, gerakan Shahwah Islamiyyah yang dipelopori oleh para da’i-da’i muda revolusioner Saudi seperti Salman Al-Audah dan Safar Al-Hawali booming pada tahun 1980-an dan didukung oleh penguasa, terutama oleh Raja Fahd yang menganggap bahwa gerakan Shahwah adalah gerakan pencerahan yang diberkati (video pujian Raja Fahd terhadap Shahwah Islamiyyah bertebaran di YouTube). Bahkan Syaikh Utsaimin mengarang kitab As-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat untuk menuntun para pemuda yang bersemangat menyongsong kebangkitan Islam Saudi.
Oleh sebagian pengamat, dukungan penguasa Kerajaan Saudi Arabia untuk gerakan Shahwah yang revolusioner dianggap hanya sebagai gerakan tandingan dan wadah untuk ‘memuaskan dahaga’ para pemuda agamis Saudi yang terpengaruh dengan revolusi Iran yang Syi’ah. Jadi, Kerajaan Saudi Arabia melihat perlunya mendukungnya kebangkitan Islam yang juga memiliki ruh revolusioner dari kalangan Sunni sekalian mengarahkan mereka untuk terjun dalam medan jihad di Afghanistan. Dan sebagaimana telah kita ketahui, kemesraan itu hanya berlangsung sesaat, sebab gerakan Shahwah kemudian menjadi pengkritik kebijakan Kerajaan Saudi Arabia yang meminta bantuan Kuffar Amerika untuk menghalau Saddam Husein yang menyerang Kuwait dan mengancam Saudi. As-Shahwah sebagai gerakan pencerahan yang terberkati pun kini dianggap sebagai ‘ideologi impor yang radikal’ oleh Alu Su’ud.
Para mujahidin Afghan Arab, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Shahwah Islamiyyah adalah contoh paling mencolok dari gerakan keagamaan yang disupport sedemikian rupa oleh Kerajaan Saudi Arabia dengan dana minyaknya yang melimpah namun kemudian divonis sebagai teroris radikal ketika tak lagi dibutuhkan dan tak lagi sesuai dengan keinginan Kerajaan Saudi Arabia. Hal yang sama terjadi untuk Saddam Husein ‘Asadussunnah’, Sang Singa Ahlussunah (gelar untuk Saddam yang disupport Saudi saat menyerang Iran) yang kemudian divonis kafir oleh Grand Mufti Saudi sendiri. Pameran jihad pun digelar di Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh tahun 1991 (4-6 Sya’ban 1411 Hijriyah) dibawah pengawasan rektor Jami’ah Al-Imam Dr. Abdul Muhsin At-Turky. Pameran jihad kali ini bukan lagi kontra Soviet, tapi kontra Pemerintahan Pemberontak Saddam Husein yang wajib dilawan. Fatwapun dikeluarkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an bahwa siapa saja yang mati saat berperang melawan Irak maka ia mati syahid.[3]
Saat masih menjadi Menteri luar negeri era Obama, Hillary Clinton mengakui bahwa para Mujahidin Afghanistan yang saat itu mereka perangi sejatinya dibesarkan oleh AS dan Saudi sendiri. Benar memang, pasca syahidnya Syaikh Abdullah Azzam sebagian mujahidin Arab berubah menjadi radikal dan teroris dikarenakan dangkal dan kakunya pemahaman keislaman mereka sendiri. Akan tetapi, ‘terorisme negara’ yang menolak kepulangan mereka dan seenaknya ‘memperkosa’ teks-teks agama demi kelanggengan kekuasaannya adalah juga salah satu sebab penting merebaknya radikalisme. Syaikh Salman Al-Audah mungkin adalah salah satu contoh ulama moderat yang menyeru kepada reformasi namun tetap dianggap berbahaya oleh Saudi. Padahal, ketimbang pengaruh Syaikh Muhammad Surur dan Islam Saudi yang konservatif, Syeikh Salman Al-Audah dikemudian hari lebih mewarisi kemoderatan pemikiran Syaikh Abu Ghuddah dan Syaikh Al-Qaradhawi.
Dalam wawancara dengan Jeffrey Goldberg, jurnalis dan pemimpin redaksi majalah The Atlantic Amerika, Muhammad bin Salman mengakui Saudi adalah donatur penting terhadap Ikhwanul Muslimin. Ia juga mengatakan bisa jadi suatu hari nanti, Saudi akan kembali berkoalisi dan meminta bantuan Ikhwanul Muslimin jika dibutuhkan. Apakah nantinya label teroris yang dicap di muka Ikhwanul Muslimin akan diganti dengan gelar ‘Gerakan Pencerahan’? Bagaimana nantinya tanggapan para pemuka agama KSA yang hari ini memvonis Ikhwanul Muslimin sebagai khawarij? Apakah gelar Khawarij akan diganti dengan ‘Ikhwan mujahidin mukhlisin’ sebagaimana dulu Raja Faishal pernah menggelarinya? Sampai kapan Alu Su’ud akan terus ‘mempolitisasi agama’ lalu mencampakkannya ketika tak lagi dibutuhkan? Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-Muslimin, Abdullah Azzam, Halaman 2, cet: Mimbar At-Tauhid Wa Al-Jihad.
[2] Ayaturrahman Fi Jihad Al-Afghan, Abdullah Azzam, Halaman 23, cetakan ke lima, Al-Mujtama’ Jeddah tahun 1985.
[3] Daurul Ulama Wa Du’ah Fi ‘Amaliyati Rad’ Al-Ghuzaa, Ubaid Abdurrahman Al-Harbiy, Halaman 24-25, cet: Maktabah Al-Obeikan Jeddah.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2021/01/21/saudi-dan-ikhwanul-muslimin-6/
0 notes
Link
Jihad Afghan dan ‘Kebangkitan’ Saudi
1980, pasca tentara merah Uni Soviet menyerang Afghanistan, Raja Khalid bin Abdul Aziz mengeluarkan ‘titah kerajaan’ kepada Salman bin Abdul Aziz (yang saat itu menjabat sebagai gubernur Riyadh) untuk membentuk dan mengetuai Komite Pengumpulan Donasi bagi mujahidin Afghanistan. Beberapa waktu kemudian, President of Youth Welfare, Pangeran Faisal bin Fahd juga mengumumkan kenaikan tiket pertandingan olahraga sebesar 1 riyal yang akan diperuntukkan bagi para Mujahidin Afghanistan.
Sementara itu, maskapai Saudi Airline memberikan diskon tiket pesawat sampai 70% untuk para ‘relawan Saudi’ yang ingin berangkat ke Afghanistan baik untuk sekedar memberikan bantuan ataupun terjun langsung dalam medan perang. Saat itu, ajakan berdonasi bagi jihad di Afghanistan memenuhi koran-koran Saudi. Sebagaimana para da’i-da’i Shahwah (kebangkitan Islam) Saudi dan gerakan Islam gencar memotivasi dan memobilisasi para pemuda dari masjid-masjid untuk ikut andil dalam jihad dengan restu dari para ulama Kerajaan Saudi Arabia dan tentu saja juga restu dari USA. Saat itu, kata ‘jihad’ identik dengan kemuliaan dan kebebasan, sebab musuh yang diperangi oleh AS dan Saudi adalah Komunisme.
20 atau 30 tahun kemudian, kata jihad mulai identik dengan terorisme. Jika dulunya jihad melawan Uni Soviet di Afghanistan adalah fardhu ‘ain, maka perlawanan terhadap Amerika yang kemudian juga menyerang Afghanistan dan Irak dianggap sebagai ‘fitnah’ yang harus dijauhi. Saudi melarang dan mengancam akan mempidanakan setiap warganya yang keluar ‘berjihad’ baik ke Afghanistan, Irak ataupun Suriah.
Selain dukungan resmi dari Kerajaan Saudi Arabia dan USA, jihad kontra Uni Soviet di Afghanistan tak bisa dipisahkan dari Ikhwan dan gerakan Shahwah. Hubungan IM dan Mujahidin Afghanistan terbentuk melalui para da’i Afghanistan yang belajar di Al-Alzhar seperti Syaikh Abdu Rabb Rasul Sayyaf dan lain-lain. Nama-nama seperti Abdul Mun’im Abul Futuh, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani, Dr. Ahmad Al-Malath, Hamid Abu Nashr hingga Syeikh Muhammad As-Shawwaf dan lain-lain adalah tokoh-tokoh penting Ikhwan yang ikut memberikan andil dalam jihad di Afghanistan baik dalam menyalurkan bantuan, mendamaikan para mujahidin hingga turut berkecimpung dalam perang. Umar At-Tilmisani, Mursyid IM ketiga sering berkordinasi dengan para utusan Mujahidin Afghanistan di Kairo.
Beliau mengutus Ustad Kamaluddin As-Sananiri (suami Aminah Qutb) pada tahun 1980 ke Pakistan untuk meninjau jihad dan kebutuhan para mujahidin. Dalam perjalanan pulang dari Pakistan ke Mesir, As-Sananiri singgah berhaji di Arab Saudi dan bertemu dengan Syeikh Abdullah Azzam dan berkomitmen untuk memobilisasi para pemuda untuk berjihad. Namun, begitu sampai ke Mesir, As-Sananiri langsung dipenjara dan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya.
Berbicara tentang jihad Afghan, Syaikh Abdullah Azzam adalah ikonnya. Dalam mukaddimah risalah fatwa jihadnya Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-muslimin Ahamm Furudh Al-A’yan, Syaikh Azzam menjelaskan bahwa fatwa jihadnya disetujui oleh para ulama Saudi saat itu terutama Syaikh bin Baz. Bahkan Syaikh bin Baz ikut berfatwa di Masjid bin Laden Jeddah dan Masjid Al-Kabir Riyadh bahwa jihad dengan jiwa adalah fardhu ‘ain. Diantara mereka yang menyetujui fatwa jihad Syaikh Abdullah Azzam di Afghanistan adalah: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Ibnu Utsaimin, Al-Allamah Syaikh Abdu Ar-Razaq Afifi (Na’ib Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Hasan Ayyub (lulusan Al-Azhar dan dosen King Abdul Aziz Jeddah), Syaikh Muhammad Al-Asal (lulusan Al-Azhar dan dosen di Al-Imam University Riyadh), Syaikh Abdullah Nasih ‘Ulwan (ulama asal Aleppo yang mengajar di King Abdul Aziz University Jeddah), Syaikh Sa’id Hawwa, Muhaddis Mesir Syaikh Muhammad Najib Al-Muthi’i, Dr. Hussein Hamid Hassan (anggota di Persatuan Ulama Muslim Internasional) dan lain-lain.[1]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menyetujui dicetaknya kitab Ayat Ar-Rahman Fi Jihad Al-Afghan karya Syaikh Abdullah Azzam sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah cetakan pertama.[2]
Lulus dari Universitas Damaskus tahun 1966, Syaikh Abdullah Azzam melanjutkan studinya di Al-Azhar As-Syarif baik magister maupun doktoral. Beliau lulus dan mendapatkan Ph.D dalam bidang Ushul Fiqih tahun 1973. Latar belakang dan kapasitas keilmuan yang mumpuni menjadikan Syaikh Abdullah Azzam ikon jihad yang faqih dan ushuliy dimana sikap-sikap dan fatwanya selalu didasarkan pada pertimbangan maslahat dan mafshadat. Sepanjang jalan jihadnya, beliau tak pernah bosan menyatukan para mujahidin dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda serta sangat berhati-hati dalam masalah takfir terutama pengkafiran terhadap penguasa. Berbeda halnya dengan Osama bin Laden yang tidak punya basic keilmuan yang kuat, diperparah dengan masuknya para jihadis takfiri dari Mesir, Saudi dan lain-lain yang menyebabkan sebagian mujahidin Afghan Arab pasca meninggalnya Syaikh Abdullah Azzam kemudian lebih identik dengan radikal dan teroris.
Bersamaan dengan meletusnya perang Afghanistan, gerakan Shahwah Islamiyyah yang dipelopori oleh para da’i-da’i muda revolusioner Saudi seperti Salman Al-Audah dan Safar Al-Hawali booming pada tahun 1980-an dan didukung oleh penguasa, terutama oleh Raja Fahd yang menganggap bahwa gerakan Shahwah adalah gerakan pencerahan yang diberkati (video pujian Raja Fahd terhadap Shahwah Islamiyyah bertebaran di YouTube). Bahkan Syaikh Utsaimin mengarang kitab As-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat untuk menuntun para pemuda yang bersemangat menyongsong kebangkitan Islam Saudi.
Oleh sebagian pengamat, dukungan penguasa Kerajaan Saudi Arabia untuk gerakan Shahwah yang revolusioner dianggap hanya sebagai gerakan tandingan dan wadah untuk ‘memuaskan dahaga’ para pemuda agamis Saudi yang terpengaruh dengan revolusi Iran yang Syi’ah. Jadi, Kerajaan Saudi Arabia melihat perlunya mendukungnya kebangkitan Islam yang juga memiliki ruh revolusioner dari kalangan Sunni sekalian mengarahkan mereka untuk terjun dalam medan jihad di Afghanistan. Dan sebagaimana telah kita ketahui, kemesraan itu hanya berlangsung sesaat, sebab gerakan Shahwah kemudian menjadi pengkritik kebijakan Kerajaan Saudi Arabia yang meminta bantuan Kuffar Amerika untuk menghalau Saddam Husein yang menyerang Kuwait dan mengancam Saudi. As-Shahwah sebagai gerakan pencerahan yang terberkati pun kini dianggap sebagai ‘ideologi impor yang radikal’ oleh Alu Su’ud.
Para mujahidin Afghan Arab, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Shahwah Islamiyyah adalah contoh paling mencolok dari gerakan keagamaan yang disupport sedemikian rupa oleh Kerajaan Saudi Arabia dengan dana minyaknya yang melimpah namun kemudian divonis sebagai teroris radikal ketika tak lagi dibutuhkan dan tak lagi sesuai dengan keinginan Kerajaan Saudi Arabia. Hal yang sama terjadi untuk Saddam Husein ‘Asadussunnah’, Sang Singa Ahlussunah (gelar untuk Saddam yang disupport Saudi saat menyerang Iran) yang kemudian divonis kafir oleh Grand Mufti Saudi sendiri. Pameran jihad pun digelar di Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh tahun 1991 (4-6 Sya’ban 1411 Hijriyah) dibawah pengawasan rektor Jami’ah Al-Imam Dr. Abdul Muhsin At-Turky. Pameran jihad kali ini bukan lagi kontra Soviet, tapi kontra Pemerintahan Pemberontak Saddam Husein yang wajib dilawan. Fatwapun dikeluarkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an bahwa siapa saja yang mati saat berperang melawan Irak maka ia mati syahid.[3]
Saat masih menjadi Menteri luar negeri era Obama, Hillary Clinton mengakui bahwa para Mujahidin Afghanistan yang saat itu mereka perangi sejatinya dibesarkan oleh AS dan Saudi sendiri. Benar memang, pasca syahidnya Syaikh Abdullah Azzam sebagian mujahidin Arab berubah menjadi radikal dan teroris dikarenakan dangkal dan kakunya pemahaman keislaman mereka sendiri. Akan tetapi, ‘terorisme negara’ yang menolak kepulangan mereka dan seenaknya ‘memperkosa’ teks-teks agama demi kelanggengan kekuasaannya adalah juga salah satu sebab penting merebaknya radikalisme. Syaikh Salman Al-Audah mungkin adalah salah satu contoh ulama moderat yang menyeru kepada reformasi namun tetap dianggap berbahaya oleh Saudi. Padahal, ketimbang pengaruh Syaikh Muhammad Surur dan Islam Saudi yang konservatif, Syeikh Salman Al-Audah dikemudian hari lebih mewarisi kemoderatan pemikiran Syaikh Abu Ghuddah dan Syaikh Al-Qaradhawi.
Dalam wawancara dengan Jeffrey Goldberg, jurnalis dan pemimpin redaksi majalah The Atlantic Amerika, Muhammad bin Salman mengakui Saudi adalah donatur penting terhadap Ikhwanul Muslimin. Ia juga mengatakan bisa jadi suatu hari nanti, Saudi akan kembali berkoalisi dan meminta bantuan Ikhwanul Muslimin jika dibutuhkan. Apakah nantinya label teroris yang dicap di muka Ikhwanul Muslimin akan diganti dengan gelar ‘Gerakan Pencerahan’? Bagaimana nantinya tanggapan para pemuka agama KSA yang hari ini memvonis Ikhwanul Muslimin sebagai khawarij? Apakah gelar Khawarij akan diganti dengan ‘Ikhwan mujahidin mukhlisin’ sebagaimana dulu Raja Faishal pernah menggelarinya? Sampai kapan Alu Su’ud akan terus ‘mempolitisasi agama’ lalu mencampakkannya ketika tak lagi dibutuhkan? Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-Muslimin, Abdullah Azzam, Halaman 2, cet: Mimbar At-Tauhid Wa Al-Jihad.
[2] Ayaturrahman Fi Jihad Al-Afghan, Abdullah Azzam, Halaman 23, cetakan ke lima, Al-Mujtama’ Jeddah tahun 1985.
[3] Daurul Ulama Wa Du’ah Fi ‘Amaliyati Rad’ Al-Ghuzaa, Ubaid Abdurrahman Al-Harbiy, Halaman 24-25, cet: Maktabah Al-Obeikan Jeddah.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2021/01/21/saudi-dan-ikhwanul-muslimin-6/
0 notes