Tumgik
#cerpen1
kelompokdua · 2 years
Text
Seperti Angan-angan
Tokoh cerpen : - Rina - Arsya
- Gina - Fino
Perkenalkan namaku Rina, aku memiliki 3 sahabat yang sangat ku sayangi seperti saudaraku sendiri. Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu Gina, Arsya, dan Fino. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.
Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.
Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita berempat lulus bersama. Kami serentak berlari ke arah pohon yang pernah kami datangi, dan menggali tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.
Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”
Sudah berhari-hari setelah kejadian menggali surat, Arsya berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat. Setelah selesai merayakan kelulusan, kami berempat memutuskan untuk pulang dan di situlah saat-saat yang tidak bisa aku lupakan.
Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Aku merasa seperti ada sesuatu yang akan terjadi. “Perasaanku ngga enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.
“Udahlah Rin, tenang saja, kita semua akan sampai rumah dengan selamat” jawab Arsya menenangkan diriku. "Iya Rin, Fino akan membawa kita dengan selamat ke rumah" balas Gina. Fino yang merasa namanya dipanggil pun hanya tersenyum.
Saat kami berada di pertengahan jalan, tiba-tiba saja ban mobil Fino bocor. Hal itu membuat kami panik. "Fino awass!! di depan ada jurang!!" Teriak Gina.
“Aaaaaaaaaa!!!”
Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri. Kami semua dibawa oleh warga yang menyaksikan kecelakaan ke rumah sakit terdekat.
Dengan perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku. “Rina.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku. “Ibu.. aku di mana? Di mana Gina, Arsya, dan Fino?” tanyaku.
“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Arsya dan Fino tidak tertolong di lokasi kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata. Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar pernyataan ibu. “Arsya, Fino, kalian tinggalin aku cepet banget” batinku berkata.
Sudah 2 hari berlalu, aku dan Gina berkunjung ke makam mereka, aku berharap kalian tenang di alam sana. Aku dan Gina berjanji akan selalu mengenang kalian.
END
[Terkadang kita berharap agar bisa bersama dengan orang yang kita sayangi hingga maut menjemput, tetapi nyatanya Tuhan lebih menyayanginya, dan harapan yang kita buat hanya seperti angan-angan]
3 notes · View notes
katakandina · 11 years
Text
Ditinggalkan Meninggalkan
Pagi Buta, Pukul 5. Di Bandara Soeta.
Adrian: “Sarah? Iya kamu! Kamu Sarah, kan?”  (Tiba juga hari yang telah lama aku nantikan. Ku dapati seorang kasih berada tepat dihadapanku, lagi)
Sarah: “Adrian”. (lidahku kelu, beku, hampir bisu. Mengapa dia yang paling sulit aku lupakan harus jadi orang yang kembali datang?)
Adrian: “Sarah aku kangen banget. Kamu lagi apa disini?” (Tak ada lagi yang bisa menahanku untuk tak bilang rindu. Terlalu perih, hatiku mulai menggebu)
Sarah: “(tersenyum)”  (aku harus bagaimana? Ini terlalu dini, aku tak kuasa)
Adrian: “Kamu makin cantik. Pasti udah ada yang punya ya sekarang?” (Ah! Kenapa aku harus begitu menjijikkan?! Tapi ku mohon Tuhan, jangan biarkan dia jawab ‘iya’)
Sarah: “(tersenyum sambil mengangguk) Kamu mau terbang ya?”  (Iya, aku ada yang punya. Kamu. Tepat dari sembilan tahun yang lalu. Tepat setelah kamu campakkan aku di tahun yang kedelapan. Tepat dua bulan sebelum pernikahan itu berlangsung. Hati ini masih milikmu, hancurnya)
Adrian: “Sarah… Aku… Minta maaf. Aku…”  (Otakku seakan berhenti bekerja, jantung ini mulai melambat detaknya. Dia yang dulu aku khianati demi wanita lain kini tampak seperti bidadari yang auranya begitu menyejukkan hati. Aku mencintainya, masih sungguh sangat)
Sarah: “Gak perlu kamu minta. Aku udah kasih” (Ya. Memang sudah aku maafkan. Jauh sebelum hari ini datang, ketika pertemuan ini adalah yang paling aku harapkan. Tapi apakah sebuah kata maaf cukup untuk membangun kembali istana yang telah diporakporandakan oleh bom atom? Jelas, tidak)
Adrian: “Sarah… Kamu yang paling indah sejauh ini” (Setelah ku jalani bersama wanita jalang itu. Sungguh hanya sesal yang menjejali hatiku)
Sarah: “Kamu juga, Adrian”
Adrian: “Kamu bercanda?” (Semoga tidak. Aku ingin kamu lagi. Boleh yah?)
Sarah: “(tersenyum)” (Bagaimana bisa aku melupakan sewindu waktu bersama kamu? kamu, kita, telah mendewasakan aku. Bukankah semua orang pernah khilaf?)
Adrian: “Kamu mau aku ngelakuin apa supaya semuanya impas?” (Keberanianku belum mencapai puncaknya, aku masih malu pada kamu dan bahkan diriku sendiri. Kamu yang paling aku inginkan saat ini)
Sarah: “Gak perlu, Adrian.” (Memang tidak ada lagi yang perlu kamu lakukan, tidak ada yang bisa membuat lukaku jadi impas)
Adrian: “(tersenyum antusias)” (Apakah ini adalah sebuah lampu hijau? Akankah bisa kita kembali merencanakan segalanya dari awal? Ku mohon, Sarah. Aku bisa gila tanpa kamu)
Sarah: “Terimakasih, Adrian” (Untuk semua yang telah ‘kita’ lewati berdua dan ‘aku’ tahan sendiri. Ya. Kamu ajarkan aku bagaimana caranya bertahan dari rasa sakit dan malu atas semua tudingan dari sebuah janur kuning yang batal melengkung. Terimakasih, Adrian. Pengkhianatanmu menguatkan aku)
Adrian: “Makasih buat apa, Sarah?” (Tuhan… Mengapa dia begitu baik? Aku layak dapat cacian, makian, bahkan pukulan sekalipun darinya. Tapi aku malah mendapatkan yang sebaliknya. Aku tidak mampu menyiakan kamu lagi. Akan aku lamar kamu, sekarang juga)
Sarah: “Terimakasih udah nemenin aku ngobrol sebelum dia datang” (Dan tibalah waktunya. Tanpa sedikitpun niat untuk balas dendam. Tuhan telah mengatur segalanya)
Adrian: “Dia siapa?” (Kurasakan pundakku ditepuk dari belakang. Siapa?)
Ruby: “Hallo, Adrian! Jam berapa kamu terbang?” (Aku memutar-mutar otakku, jangan sampai ada hati yang terluka, lagi)
Adrian: “Pak Ruby! Saya terbang dua jam lagi, Pak. Bapak tidak ada jadwal lagi hari ini?” (Astaga, Ruby. Atasanku di kantor, jabatannya jauh melambung tinggi diatasku. Dia jenius, berwibawa, tampan, dan sangat ramah. Dia sempurna. Tapi mengapa langkahnya tersesat di antara kita, Sarah?)
Ruby: “Saya udah kosongkan jadwal untuk dua minggu ke depan, Adrian” (Ampun Tuhan, aku juga tak ingin berbohong)
Adrian: “Oh, iya! Saya baru ingat Bapak kan mau nikah. (Melihat jam). Seminggu lagi, Pak! Wah beruntung banget perempuan itu.” (Menjadi mempelai wanita dari seorang pilot teladan maskapai penerbangan terbaik di negeri ini, dengan segala kesempurnaannya. Kurang apa lagi?)
Ruby: “Saya yang beruntung bisa menikah sama bidadari surga, Adrian. Hahahahaha. Oh, iya. Kenalkan ini…” (Tunggu, kenalkan jangan? Kenalkan? jangan?)
Sarah: “(menepuk bahu Ruby dan tersenyum sambil menggeleng)” (Biar aku saja, tak akan aku biarkan kamu menyakitinya, biar aku saja. Bukankah impas adalah permintaannya tadi?)
Ruby: “(menggeleng pelan)” (Jangan Sarah. Balas dendam bukanlah sifat dari bidadariku. Ku mohon, jangan)
Ada hening yang panjang di antara ketiganya. Kini satu menit terasa lebih dari sewindu. Teori relativitas terbukti disini. Einstein memang jenius.
Adrian: “Jadi ini bidadari surga itu, Pak? Sempurna. Selamat untuk kalian. Aku turut bahagia. Sarah, aku masuk dulu. Sampai ketemu seminggu lagi. Mari, Pak.” (Biar aku saja yang menusukkan pisau tajam ini ke tubuhku sendiri. Kalian berdua terlalu baik untuk itu. Aku berdarah karena ulahku sendiri. Iya. Aku sadar setengah mati. Bidadari surga tidak tercipta untuk seorang pendosa, pengkhianat. Kini aku mengerti rasanya Sarah. Kini giliran kamu yang mengajarkan aku. Terimakasih)
Adrian berlalu dengan mata berkaca, sekuat mungkin ia coba untuk tegar. Sungguh ia bukanlah pria yang cengeng tapi untuk yang satu ini, dia hampir menyerah. Sakit sekali.
Ruby: “Kamu gak nyakitin dia kan, Sayang?”
Sarah: “Engga, sayang. Aku cuma kasih dia kesan, terakhir” (Ketahuilah Adrian bahwa wanita baik itu tercipta untuk pria yang baik. Selalu ada bahagia di ujung derita. Jangan pernah kamu lupa pada hukum sebab akibat. Dan maafkan aku karena aku telah menemukan bahagiaku, bukan dengan kamu)
0 notes