#catatan harian azraq
Explore tagged Tumblr posts
Text
Pada Suatu Malam di Bulan Terakhir Tahun 2023
Media sosial masih menjadi isu utama bagi diriku hingga di penghujung 2023. Padahal kalau dipikir-pikir, aku tidak terlalu punya kepentingan juga berlama-lama scrolling konten yang tidak terputus.
Namun memang efek adiksi dari media sosial itu terasa seperti mencengkeram aspek biologis dan psikologis di dalam diriku.
Padahal aku sudah sempat menjalankan eksperimen 30 hari tanpa Instagram dan hasilnya aku sebenarnya bisa baik-baik saja tanpa hal-hal semacam itu.
Sampai saat ini aku masih merasa bahwa semakin menjauhnya diriku dari buku-buku adalah salah satu sebab utama adiksi yang sulit sekali terobati itu.
Aku rindu masa-masa di mana aku tenggelam dalam bacaan-bacaan berkepanjangan. Apa aku bisa menghidupkan kembali keemasan masa itu?
Banyak buku bagus. Banyak pula bacaan bagus selain buku. Artikel di Medium, opini-opini para pemikir, dan berita-berita berkesan yang ditulis dengan keseriusan bisa menjadi bahan yang tak habis-habis. Maka dari itu aku sebenarnya tidak punya alasan apa-apa untuk tidak membaca.
Mungkin aku hanya perlu disiplin. Perlu menerapkan secara persis apa yang sudah aku baca di buku-buku semacam The Power of Habit, Atomic Habits, Deep Work, dan lain-lain.
Belakangan aku rasanya seperti merasa terbebani dengan aktivitas membaca dan menulis. Apa karena membaca dan menulis itu adalah aktivitas pokok dari pekerjaanku? Sehingga saat membaca dan menulis aku merasa seperti sedang bekerja yang mana secara mental alokasiku untuk itu terbatas.
Ini yang perlu aku renungi lebih lanjut di samping perenungan tentang menghindari media sosial.
Beberapa hari yang lalu aku menonton video ini di YouTube yang cukup memberi motivasi untuk kembali merutinkan membaca:
youtube
Video ini dengan apik menjelaskan bahwa kita sebenarnya hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja setiap harinya untuk menjadi pembaca buku yang jauh lebih baik dari sebagian besar orang di dunia ini. Terutama di Indonesia juga.
Dalam video tersebut juga digambarkan bahwa kalau kita menjadikan waktu 'membaca' media sosial menjadi membaca buku, kita akan mampu menyelesaikan sekitar 30 buku setiap tahunnya. Dalam artian kuantitas apa yang kita 'baca' di media sosial dalam setahun itu setara dengan 30 buku!
30 menit tentu bukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan durasi scrolling. Insya Allah aku bisa melakukannya!
1 note
·
View note
Text
Ternyata Aku Masih Mampu Membaca
Kemarin Sore, secara tak sengaja aku menemukan video ini di beranda YouTube-ku dalam mulai menontonnya. Aku rasa video ini sepertinya cocok untukku yang saat ini memang tengah bertanya-tanya mengenai diriku sendiri, apakah memang aku hanya malas membaca ataukah karena aku sudah tidak lagi mampu membaca seperti dahulu?
youtube
Setelah menonton video tersebut, suatu kesadaran tiba-tiba menyeruak dari dalam diriku. Mungkin sebenarnya memang, aku bukannya tak lagi mampu membaca, tapi sekadar tidak lagi membaca karena alasan-alasan konyol seperti kemalasan atau semacamnya.
Segera selepas itu, aku memutuskan untuk menantang diriku sendiri. Pada rak bukuku, ada How To Respect Myself yang sudah aku beli semenjak Februari lalu namun belum juga mampu aku selesaikan sampai hari ini. Aku ingin membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku masih aku yang dahulu; seorang pembaca yang baik.
Aku pun mulai membaca, benar-benar membaca, dari sore itu hingga malam tiba, hingga hari berganti, dan hasilnya pada akhirnya turut membuatku terkesima; ternyata aku masih bisa! Aku bisa menyelesaikan 300 halaman buku tersebut hanya dalam kurun waktu beberapa jam; mungkin sekitar lima hingga enam jam, itu pun tanpa tindakan maraton, di mana aku sebenarnya dalam rentang waktu tersebut masih melakukan hal-hal lain, hanya saja ketika aku kembali membaca, aku berusaha menyingkirkan semua gangguan, terutama gangguan media sosial.
Keberhasilan ini memberikan angin segar bagi jiwaku. Ternyata aku belum bodoh. Aku masih mampu. Aku masih diriku yang dahulu.
Dari keberhasilan kecil ini juga aku mulai memahami bahwa diriku pribadi bergantung sepenuhnya pada diriku sendiri arahnya hendak ke mana. Aku pun memahami bahwa sebagai manusia aku sudah punya segala hal yang aku butuh kan untuk menjadi diriku yang sebaik-baiknya. Tinggal bagaimana aku mensyukuri anugerah waktu yang telah Tuhan berikan dengan membangun manfaat sebesar-besarnya.
Membaca adalah makanan bagi jiwa. Tidak heran jika belakangan aku merasa hampa. Ternyata jiwaku tidak cukup nutrisinya. Setelah melahap 300 halaman kemarin, jiwaku benar-benar kenyang dan puas. Dia seakan berkata kepada pikiranku, "Seharusnya dari dulu kamu melakukan ini."
Maka aku bertekad untuk kembali membaca secara serius, insya Allah. Aku akan kembali menekuni Goodreads, yang sepertinya sudah lebih dari setahun tidak pernah aku buka, menyusun daftar bacaan yang aku mampu selesaikan tahun ini, dengan susah payah, dan merancang target bacaanku tahun depan (Yeay! sebentar lagi tahun baru!) serta bertekan untuk sepenuh-penuhnya menyelesaikan target tersebut atau bahkan melampauinya!
Alhamdulillah Bini'matihi Tatimmu Ash-Shalihaat.
3 notes
·
View notes
Text
Gonjang Ganjing Kehidupan
Akhir tahun tiba. Pada bulan di mana aku lahir ini tiba-tiba saja semua manusia menjadi filsuf. Memberi refleksi ini dan itu. Mengevaluasi keadaan sembari menyiapkan resolusi bagi tahun yang baru.
Pada saat aku mengisi materi NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) HMI di Basic Training salah satu komisariat di HMI cabang Serang beberapa waktu yang lalu, salah seorang melontarkan diskusi yang menarik mengenai ilusi waktu.
Ya, waktu memang ilusif. Jawabku menanggapi diskusi itu. Angka-angka 60, 24, 365, yang kita pergunakan menghitung waktu adalah ciptaan orang-orang Sumeria.
Salah seorang peserta lain menyeletukkan suatu anekdot, waktu adalah akal-akalan penjual jam, agar jam mereka laku.
Akhir tahun 2023 ini selain filosofis seperti tahun-tahun sebelumnya, juga politis kali ini. Sekitar dua bulan lagi pemilu Indonesia digelar.
Kami berhadapan dengan tiga pilihan; seorang akademisi dan santri dengan bekingan problematik, seorang jenderal gemoy dan bocil kematian dengan bekingan kekuasaan, dan seorang bersahaja dan ahli hukum dengan bekingan partai yang tengah sakit hati.
Pertarungan antara ketiga orang tersebut sepertinya akan tampak menarik. Namun aku sangsi pertarungannya akan berkisar seputar gagasan. Pertarungan mereka sejauh ini hanya terasa dalam tataran gimmick serta permainan kapital dan kekuasaan.
Situasi itu bukan tanpa sebab. Barangkali situasi itu memang cerminan dari diri kita sendiri yang belum bisa berdemokrasi secara dewasa sehingga lebih memilih sentimen, identitas, dan uang sebagai faktor yang memengaruhi pilihan kita.
Bagiku pribadi, akhir tahun ini selain filosofis seperti tahun-tahun sebelumnya, politis seperti bagi orang-orang lain, juga melankolis dan sedikit tragis.
Beberapa gonjang-ganjing besar menggoyang kehidupanku. Aku sedapat mungkin mencari makna dan mencerna peristiwa-peristiwa itu dengan idealisme pikiranku sendiri. Aku menolak terjebak dalam kubangan perasaan yang tidak produktif. Aku pikir aku berada pada usia di mana keterjebakan semacam itu adalah kebodohan paling murni.
Namun aku tetap berusaha meresapinya. Setiap hentakan adalah pelajaran. Tinggal bagaimana aku mengolahnya dan menemukan makna.
Ciputat, 03 Desember 2024.
1 note
·
View note
Text
Menjadi Penyair (Lagi)?
Akhirnya, setelah sekian lama, aku kembali menerbitkan puisi di tumblr-ku yang memang khusus untuk puisi-puisiku. Tumblr yang aku beri judul @puisiabadi itu punya tagline Tata Waktu Puisi Baru. Tagline yang sebenarnya aku sendiri tidak begitu paham apa ada makna di baliknya 😂
(Silahkan ketuk gambar di atas untuk menuju postingan puisinya 👆)
Menulis puisi memang salah satu aktivitas yang sudah sejak dahulu aku gemari. Ada satu sisi dalam diriku yang bahkan menyebut diri sebagai penyair. Meski lagi-lagi, aku tidak begitu paham apa makna di baliknya 😁
Namun aku membaca buku-buku puisi. Menggandrungi para penyair hebat baik di dalam maupun di luar negeri. Selalu mengikuti perkembangan mutakhir sastra tersebut hingga kini. Baik melalui koran-koran di hari Minggu, maupun berbagai penghargaan dan perlombaan.
Mengutip kredo dari salah satu penyair asing favoritku, Octavio Paz dalam kumpulan esainya The Other Voice, puisi bagiku adalah suara lain, yang mendidih dari dalam jiwaku ini.
Maka meski berkali-kali terombang-ambing oleh kehidupan yang menyibukkanku dari menekuni kata-kata, aku kerap kembali menulis puisi, dan mencoba menjadi penyair (lagi).
"Menjadi Penyair Lagi" adalah ungkapan Acep Zamzam Noor, penyair asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang dari dulu aku gemari;
O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi
Acep Zamzam Noor. 1996.
Acep dalam puisi (yang bisa dibaca di tautan ini) tersebut mengungkapkan bagaimana proses pemaknaan percintaan yang mengantarkan dirinya kembali menemukan cita rasa untuk kembali menjadi penyair.
Puisi memang kadang-kadang seperti itu. Suatu cita rasa yang menyeruak tiba-tiba. Entah apa pemicunya. Bagi Acep dalam puisi itu, pemicu tersebut adalah Melva. Bagiku, pemicu tersebut beberapa saat belakangan adalah suasana stasiun kereta dan orang yang lalu lalang. 🤔✍️🚍
Jakarta, 25 November 2023.
1 note
·
View note
Text
Syukur & Sederhana
Kehidupan terus berjalan. Pilihan-pilihan menjadi keputusan-keputusan. Ada keputusan yang berujung kebahagiaan. Ada keputusan yang menjadi perenungan. Ada pula keputusan yang berujung penyesalan.
Kadang aku melihat ke belakang, menelusuri pilihan-pilihan itu. Seperti misalnya membaca lagi postingan-postingan di Tumblr ini. Meski aku jarang menulis sesuatu di sini, aku tetap suka karena di sini seringkali aku mampu menjadi diriku yang lebih apa adanya.
Kadang aku berandai-andai; jika aku memilih suatu hal yang berbeda, ke mana kehidupan ini membawaku? Apa ke suatu hal yang lebih baik, atau malah makin buruk?!
Namun kemudian aku tersadar, sebagai manusia kita tidak punya apa-apa selain saat ini. Kita bukan penguasa waktu. Kita bukan Tuhan. Kita tidak bisa mengubah masa lalu maupun mengendalikan masa depan. Kita hanya bisa berbuat untuk saat ini. Maka satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk kebaikan kehidupan kita adalah berbuat sebaik-baiknya saat ini.
Salah satu yang aku rasa bisa aku lakukan saat ini untuk kebaikan kehidupan adalah bersyukur bisa hidup, bersyukur masih bisa bahagia meski penderitaan melanda, dan bersyukur masih menemukan orang-orang yang bisa aku sayang dan menyayangiku.
Ada yang pernah bilang,
Kehidupan ini sebenarnya sederhana, kita lah yang memperumitnya.
Aku rasa ungkapan itu ada benarnya.
Dalam diriku, aku selalu menyukai hal-hal yang sederhana. Aku kerap kali terbebani jika berbagai hal mulai menjadi rumit. Maka dari itu aku suka berusaha agar segala sesuatunya tetap pada poin pentingnya yang sederhana.
Jadi ya, begitu saja. Bersyukur dalam kesederhanaan kehidupan.
Jakarta, 23 November 2023.
0 notes
Text
Menghabiskan Malam Dengan Menulis
Aku rasa aku sudah terlalu jauh berjalan di jalur yang bukan jalanku. Terlalu lama aku terjebak dalam pribadi yang bukan diriku sendiri. Aku terus-menerus mencoba untuk menjadi seseorang yang lain, seseorang yang sosoknya aku idam-idamkan untuk menjadi diriku namun sebenarnya sama sekali bukan aku. Aku terlalu mengagumi sosok itu sehingga aku melupakan diriku sendiri yang sebenar-benarnya.
Aku ingin bisa seperti dulu lagi. Mencurahkan pikiran dan perasaan ke dalam kata-kata. Baik sebagai puisi maupun sekadar postingan di Tumblr atau Medium. Akhir-akhir ini memang aku merasa diriku suka sekali menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak aku sendiri yakini. Hanya semacam suatu mode bertahan hidup. Tanpa adanya perasaan antusias yang menyenangkan.
Dulu, malam hari bagiku berarti maraton serial atau menulis. Aku suka sekali menulis, dulu. Tidak mesti menjadi suatu yang aku terbitkan. Tapi aku selalu menulis. Terutama tentang orang-orang yang aku temui. Kini, malam-malam yang aku jalani sebagian besar habis untuk khayalan semu, kekhawatiran berkepanjangan, dan pekerjaan yang dipaksakan demi untuk bisa bernapas esok hari.
Menonton film dan serial pun rasa-rasanya selalu terselimuti gelisah. Kata-kata yang dahulu bisa dengan deras mengalir, kini tertumpuk dan tersendat di kepala. Menambah beban pikiran yang memang sudah sangat penuh oleh "kehidupan".
Aku suka kesepian. Aku suka kesendirian. Namun belakangan aku selalu sibuk dengan interaksi sosial yang melelahkan. Lagi-lagi demi bisa hidup. Akhirnya alih-alih menemukan waktu untuk menulis pada saat-saat kesendirianku, aku lebih sering berusaha memulihkan tenagaku dari interaksi sosial yang membuat letih itu demi bisa melanjutkan lagi interaksi yang sama keesokan harinya. Kebiasaan ini akhirnya menjadi lingkaran setan yang semakin menjauhkan diriku dari menulis.
7 notes
·
View notes
Text
Malam Ini Aku Merasa Kesepian
Jarang-jarang aku merasa begini. Biasanya aku anteng saja saat berada dalam situasi sendiri. Aku bahkan cenderung menikmati kesendirian itu sebagai sarana yang efektif untuk melakukan berbagai macam hal. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan hobiku maupun kerja-kerja kreatif yang sedang aku tekuni.
Malam ini rasanya berbeda. Aku tidak punya teman bicara. Tidak ada mood untuk chatting dengan siapa-siapa, tidak punya bacaan yang cukup menyenangkan untuk dibaca, tontonan yang cukup menegangkan untuk disaksikan, maupun suara yang cukup menggetarkan hati untuk didengar.
Apa aku perlu mengatasi situasi ini? Apa aku perlu mengesampingkan perasaan ini? Perasaan tertinggalkan, perasaan kehampaan dan ketiadaan, perasaan kesendirian yang kuat yang berbisik bahwa pada titik ini aku bukan lagi siapa-siapa bagi siapapun. Sehingga mulai muncul gagasan bahwa keberadaanku sebenarnya sia-sia saja.
Dalam lingkaran lingkungan masyarakat, kebermanfaatan selalu menjadi tolak ukur status dan posisi seseorang. Pada saat ini, aku merasa bahwa kebermanfaatan diriku itu sudah sangat nihil. Dalam beberapa sisi bahkan aku mulai menganggap bahwa keberadaanku seringkali justru malah merugikan orang lain.
Pada masa-masa sekarang ini, segala sesuatu harus terlihat, harus tampak. Apa yang tidak tampak maka tidak ada. Seseorang yang tidak memosting status, story, dan hal lain semacam itu akan terlupakan dan dapat dianggap tiada.
Setiap orang merasa harus membangun karakternya di dunia maya dan akan meluangkan lebih banyak waktu untuk mengurusi karakternya itu ketimbang mengurusi dirinya yang sebenarnya di dunia nyata. Bagi mereka yang memang mencari hidup dari dunia maya, realitas dunia nyata adalah bahan bangunan saja bagi karakter mereka di dunia maya.
Barangkali situasi ini yang dapat dengan mudah menelusupkan perasan kesepian kepada seseorang saat setelah beberapa lama tidak ada yang mengajaknya chatting maupun membubuhkan komentar pada status atau postingan ceritanya.
Biasanya aku tidak pernah terlalu peduli. Aku pernah merasa begitu kesepian, tapi itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu dan aku sudah hampir melupakannya. Kini perasaan semacam itu seakan-akan berbisik-bisik lagi.
Aku hanya akan berusaha dengan tabah mendengarkannya.
4 notes
·
View notes
Text
Aku Butuh Pagi yang Lebih Baik Dari Sekadar Kopi
Pagi, oh pagi. Ada sarapan. Ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak. Ada mimpi yang menggelisahkan. Ada percakapan semalam yang tak selesai. Ada begitu banyak perasaan yang tumpang tindih, campur aduk, saling sikut menyikut, dan ada pikiran yang lelah memahami dan mengatasi itu semua.
Bagaimana diri ini mampu menanggung dan menghadapi pagi yang penuh dengan sensasi ini? Bagi beberapa orang, saran terbaik adalah secangkir kopi. Namun lama kelamaan, kopi pun terasa tak cukup untuk mengatasi gejolak-gejolak yang tak tertanggungkan itu.
Manusia memang makhluk yang egois. Perasaan pribadi selalu menjadi penentu yang mampu menggerakkan apapun di dalam diri. Pada saat yang sama, perasaan pribadi itu pula merupakan mekanisme pertahanan yang dengan mati-mati akan melindungi pemiliknya.
Tidak bisa kah aku sekadar menerima saja? Sekadar meresapi segala perasaan yang ada tanpa perlu repot-repot meresponnya? Mengapa pula aku bisa begitu takut perasaan-perasaan itu mengalahkan dan menjatuhkan diriku?
Pribadiku barangkali memang belum begitu kuat sehingga aku masih membutuhkan bantuan-bantuan dari luar untuk sekadar mengendalikan beberapa hal yang ada di dalam diriku yang dalam beberapa saat bisa begitu liar. Termasuk pada pagi ini.
5 notes
·
View notes
Text
Kita Memang Biasa-biasa Saja
Berapa banyak buku yang sudah aku baca tahun ini? Ternyata tidak begitu banyak. Ternyata aku tidak seperti sesumbarku. Ternyata aku belum mampu menjadi luar biasa. Ternyata aku masih saja seperti ini; biasa-biasa saja.
Winston juga orang biasa. Ceritanya yang kita telusuri pada 1984 itu pada akhirnya adalah satu dari sekian cerita yang sama. Namun suara yang biasa-biasa saja itu sampai kepada kita dengan cara yang luar biasa. Melalui pena seorang seperti Orwell, yang memukau dan mengagumkan. Membawa cerita yang biasa-biasa saja itu menjadi salah satu bacaan paling berpengaruh di abad ini.
Kekuatan kata-kata. Aku selalu antusias dengan gagasan itu. Betapa besar. Betapa agung. Inna fil bayani lasihrun. Tetapi pada saat yang sama aku juga takut. Apalah aku. Memangnya aku bisa apa? Siapa aku sampai merasa berhak berkata-kata begitu? Aku cuman orang biasa. Apa tidak sebaiknya aku hidup biasa-biasa saja?
Mengapa aku merasa perlu melakukan hal-hal yang luar biasa padahal untuk menyelesaikan hal-hal yang biasa pun seringkali aku tak mampu? Memangnya kenapa kalau jadi biasa-biasa saja? Bisa hidup, makan, berkembang biak dengan bahagia. Bukankah semua itu sudah cukup? Apa sebenarnya kecukupan itu? Apa sesuatu yang terjangkau atau sekadar khayalan dan awang-awang?
Pada situasi malam malam seperti ini pertanyaan-pertanyaan eksistensial memang seringkali menguasai diri. Setidaknya saat ini aku bisa sedikit mencatatnya. Mungkin catatan semacam ini akan jadi pengingat yang baik suatu saat nanti.
Atau sekadar jadi catatan biasa pun sepertinya tak apa-apa.
1 note
·
View note
Text
Siapa? Sudah Menjadi Apa?
Betapa banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian dalam kehidupan. Namun semakin kita kehilangan umur, semakin kita sulit untuk menjawabnya. Kadang bukan kerana sulit pula, tapi lebih ke malas. Kita malas mesti memaknai kehidupan di saat nafas kita sudah mulai terengah-engah.
Berapa banyak pilihan yang sudah kita ambil untuk sampai ke titik ini? Sudah berapa banyak orang yang kita tinggalkan untuk bisa mencapai apa yang kita genggam hari ini? Sudah berapa hati yang kita singgung? Sudah berapa banyak dosa?
Mengapa pada akhirnya aku cuman bisa menatap kekosongan dan merasakan kekosongan? Terduduk atau terbaring dengan beban demi beban yang terus bertambah. Namun kekuatan dan kesempatan yang semakin hilang dari hari ke hari. Mungkin memang inilah alasan manusia mati. Mati adalah titik di mana beban sudah tidak tertanggungkan dan kekuatan sudah benar-benar tidak ada lagi.
Segala masa bagi segala sesuatu telah berlalu. Setiap rasa bagi setiap orang sudah sirna.
Pada akhirnya memang kehidupan tidak lebih dari helaan hembusan nafas. Satu demi satu. Dengan detak yang tiada lagi memberi irama yang membawa semangat. Melainkan rintihan kelelahan yang tak tertahankan.
Aku mulai menghitung nafasku karena tiada lagi yang bisa diajak sekadar berbagi cerita tentang keadaan dunia. Tiada lagi siapa-siapa yang bisa saling berbagi pemikiran apa-apa. Entah karena pemikiranku yang mulai terlalu tinggi, atau pemikiran mereka saja yang tidak pernah lagi bisa menemukan jalan untuk mencapai pemikiranku.
Maka aku mulai memikirkan untuk menulis. Kembali menulis. Suatu janji pada diri yang terus aku khianati. Juga mulai membaca. Lebih banyak membaca apapun dari siapapun.
Aku mau membuka pikiran-pikiran lain ketika pikiran-pikiran yang ada di sekelilingku ini mulai tertutup bagiku.
Aku hendak membangun optimisme meski selalu saja ada pesimisme yang menggelayut. Pikiran kita adalah gudang bagi kemungkinan. Ada yang baik, ada yang buruk. Namun mengapa kita lebih suka memilih pikiran kemungkinan yang buruk-buruk. Mengapa kita suka sekali menguji diri kita sendiri?
Ada milyaran nama yang belum aku baca. Gagasan ini tentu membawa perasaan optimis. Aku mesti mampu melepaskan diri dari akar-akar ketertinggalan dan mulai melesat maju dengan pikiran-pikiran baru. Juga, tentu saja, perasaan-perasaan baru.
Segala sesuatu yang baru butuh tenaga yang juga baru. Ini barangkali kendala utamanya. Tenaga itu tidak ada, dan di mana aku harus mencarinya?
Masing-masing orang memiliki sumber tenaganya sendiri-sendiri. Sebagaimana masing-masing orang-orang juga punya penderitaannya sendiri-sendiri.
Suatu kebahagiaan tidak lebih sempurna dari kebahagiaan yang lain sebagaimana suatu penderitaan tidak lebih sengsara dari penderitaan yang lain.
Hari nurani dan jiwa yang paripurna adalah instrumen yang kemudian membuat manusia mampu mengolah kebahagiaan dan penderitaan menjadi cerita-cerita yang menorehkan dirinya dalam sejarah.
Aku harap aku bisa menulis salah satu cerita semacam itu.
0 notes
Text
Senang Rasanya Bisa Bangun Pagi
Aku bahkan menyiapkan sarapanku sendiri. Menanak nasi, menggoreng telur.
Aku punya perasaan positif bahwa aku bisa menyelesaikan pekerjaanku hari ini, dan lebih positif lagi saat sadar kalau ini hari Senin di mana saatnya aku menyaksikan episode terbaru House Of The Dragon.
Beraktivitas di pagi hari memang menyenangkan. Meski juga memiliki banyak tantangan.
Karena kebiasaan semenjak masih kuliah dulu, aku selalu mengantuk di pagi hari. Namun aku rasa aku tidak boleh mempertahankan kebiasaan semacam itu. Pagi adalah produktivitas. Kalau menggunakan bahasa yang lebih religius; pagi adalah rezeki yang baik.
Aku biasa membaca, atau menonton di YouTube, bagaimana orang-orang sukses dan terkemuka punya rutinitas pagi yang memang mendorong mereka untuk produktif dan bergairah menjalani serta menaklukkan hari.
Aku harap aku juga bisa punya rutinitas semacam itu.
0 notes
Text
Beberapa Orang Memang Seringkali Betah Dengan Hal-hal yang Menghancurkan Dirinya
Dia di sampingku, menggerutu mengenai pekerjaannya yang memberinya beban sangat besar namun tidak diimbangi dengan upah yang layak. Dia menggerutu sembari sibuk berbalas pesan di WhatsApp dengan bosnya. Upahnya untuk bulan ini hanya dibayar setengah karena dia bekerja dari rumah. Sesekali dia mengeluh karena katanya koneksi internet buruk.
Aku nasehati bahwa kalau memang kondisi internet buruk, barangkali sebaiknya dia menunda obrolan itu untuk nanti. Toh hal tersebut tidak mesti diselesaikan sekarang. Dia tak acuh. Tidak lama kemudian kata-kata umpatan keluar dari mulutnya. Ternyata dia tak tahan lagi dengan kondisi koneksi internet yang tak kunjung membaik. Raut stress dan frustasi tampak jelas di wajahnya.
Aku insaf. Sebagai manusia suka sekali kita seperti ini. Kita sudah benar-benar tahu bahwa suatu hal, atau beberapa hal, itu buruk bagi kita, namun kita tetap betah berlama-lama dengannya.
Kita mengikat diri kita dengan gadget, makan makanan sampah, terlibat dalam hubungan beracun, kecanduan, dan lain-lain sebagainya yang kita paham betul bahwa semua hal itu buruk.
Seperti dia. Dia tahu betul bahwa sumber stress dan frustasinya itu adalah ponsel yang dia pegang beserta koneksi internetnya yang lambat serta obrolannya di WhatsApp yang beracun. Namun dia tetap saja membetah-betahkan diri meladeni semua itu.
Mengapa?
Apa karena ego? Ego yang merasa tak terpuaskan karena ada emosi yang tak terselesaikan? Meski dia sadar betul emosinya itu tidak akan menyelesaikan apa-apa, mau dia mengumpat, memaki, atau melakukan apapun, egonya sepertinya tidak terima. Ego itu tetap mendorongnya untuk tetap terus menerus berjibaku dengan sumber stress dan frustasinya itu.
Atau ada faktor lain? Entahlah.
Berapa banyak hal buruk yang menghancurkan yang malah menjadi kebiasaan?
Kalau aku pikir-pikir, berapa sih sebenarnya kebiasaan baik yang aku punya? Barangkali hanya ada beberapa. Ada bahkan juga tidak ada?
Sedangkan kebiasaan buruk? Kalau aku pikir-pikir memang keseharianku ini lebih pada serangkaian kebiasaan buruk ketimbang bangunan kebiasaan baik.
Maka aku dan dia sebenarnya sama saja. Kami sama-sama betah berlama-lama dalam hal yang yang buruk, dan bahkan merusak bagi kami.
Huft.
0 notes
Text
Bangun Tidur Kuterus Mengeguk Kenangan
Bangun pagi memang merupakan strugle ku yang betul-betul sering aku hadapi. Berkegiatan di pagi hari seringkali aku hadapi dengan tergesa-gesa karena bangun terlambat, mata yang masih sayu, dan semangat yang apa adanya atau bahkan tidak ada.
Minum kopi pun rasanya tidak begitu berguna. Aku bukan tipikal yang akan melek karena kafein. Selama ini juga aku minum kopi pun hanya ketika nongkrong nongkrong di kafe saja.
Tadi aku mampir ke minimarket untuk belanja sesuatu sembari menukar uang agar mendapat uang kecil untuk ongkos angkot. Aku melihat si botol ini. Aku terkesima. Akhirnya Kopi Kenangan merambah segmentasi minuman kemasan. Bukan sesuatu yang aneh sih sebenarnya mengingat nilai investasi yang mengalir masuk ke dalamnya. Investasi itu menjadikan Kopi Kenangan start-up makanan pertama yang valuasinya mencapai miliaran dolar.
Kopi Kenangan masih konsisten dengan ciri khasnya sebagai Starbucks versi lokal dengan harga yang juga lebih murah namun rasa yang bisa bersaing dan berkarakter. Itu yang aku suka. Kopi Kenangan tetap berada di harga 18rb sampai sekarang. Memberi kesempatan kepada anak muda nanggung sepertiku bisa ngopi dengan keren tanpa harus bangkrut.
0 notes
Text
Mengapa Aku Tidak Bisa Fokus Pada Satu Hal Saja?
Pertanyaan bodoh, tapi perlu. Sebab pada beberapa situasi aku benar-benar butuh fokus. Tapi yang terjadi hanyalah diriku yang begitu cepat merasa gelisah saat aku hanya melakukan satu hal saja.
Oh, ada satu hal saja yang bisa aku lakukan terus menerus tanpa hal lain; memegang ponsel.
Tapi itu pun tidak bisa dibilang fokus. Sebab dalam satu ponsel itu ada ratusan hal yang bisa aku lakukan.
Aku jadi berpikir, barangkali dari ponsel inilah kegelisahan itu berasal. Saat berada di dalam ponsel, mudah sekali bagiku untuk berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi yang lain, dari satu hal ke satu hal yang lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain.
Multitasking. Itu salah satu fitur andalan pada ponsel pintar. Namun bagiku, fitur ini jadi petaka. Karena aku dengan mudah teralihkan dari hal-hal produktif menuju hal-hal yang hanya menghabiskan waktu. Dan dengan multitasking yang seharusnya bermakna bisa mengerjakan banyak hal dalam satu waktu itu malah membuat tidak ada satupun pekerjaan yang selesai dikerjakan.
Apa ini anugerah atau malapetaka?
Apa bisa menjadi anugerah atau malah makin menjadi malapetaka?
Kita akan lihat.
0 notes
Text
Hal yang Menyenangkan Hati Banyak Sekali Bahkan Kalau Kita Bermimpi
Lirik lagu pembuka anime Chibi Maruko Chan yang sempat tayang di TV pada masa kanak-kanak ku itu tiba-tiba saja terngiang-ngiang di kepalaku. Tepat di saat aku sedang bingung-bingungnya mau melakukan apa. Seperti hampa yang apa adanya. Mengawang-awang, namun terasa menyenangkan.
Sekarang masih pagi. Langit mendung. Aku menikmati beberapa alunan lagu Everglow, girlgroup K-Pop yang saat ini sudah aku gandrungi sejak setahun yang lalu. Hal-hal sederhana seperti ini saja terasa menyenangkan. Juga membahagiakan. Meski hatiku berbisik-bisik bahwa ada masalah-masalah yang harus aku selesaikan. Aku mengindahkannya.
Aku mau memulai hal-hal sederhana yang bisa berpengaruh besar bagi hidupku. Seperti tekun meminum air putih dan menolak minuman manis. Usiaku baru 30, namun tubuhku seakan-akan sudah tua sekali. Ini tentu suatu pertanda yang tidak baik, dan aku jangan sampai mengabaikannya demi kehidupan yang konyol.
Hidup akan indah kalau kita sehat. Baik secara fisik maupun psikis. Jiwa maupun raga. Itulah barangkali yang kini menjadi prioritasku; menjaga kesehatan jiwa dan raga.
0 notes
Text
Bersama Rerintik Hujan Ada Setitik Cahaya
Aku rasa aku bisa lebih waras hanya jika aku menulis. Aku ke sana ke mari menghabiskan malam-malam penuh kegalauan dan kegelisahan karena memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku dan apa yang paling tepat untuk menenangkannya, tanpa sadar bahwa jawaban dari itu semua sudah aku tau selama ini namun entah mengapa jauh jadinya dari kesadaran diriku sendiri. Jawaban tersebut adalah: MENULIS.
Aku menemukan diriku dalam menulis, dan rasa-rasanya hanya itulah yang aku butuhkan. Tapi aku takut menjadi jumawa sehingga dapat tersentak kuat ketika menyadari bahwa menulis pun sebenarnya bukanlah jawaban. Satu hal yang barangkali bisa aku pastikan dan yakinkan untuk diriku saat ini adalah bahwa menulis membuatku lebih waras. Kewarasan adalah aset yang mahal di dunia yang gila ini.
Mungkin memang menghadapi kegilaan dunia itu butuh daya dan upaya yang luar biasa sehingga seringkali diri kita sendiri ini lupa untuk sekadar menyapa dan menengok ke dalam jiwa. Padahal sebagaimana raga yang butuh tenaga melalui asupan nutrisi dari makanan dan minuman, jiwa juga butuh hal sama meski dalam bentuk yang berbeda.
Apa nutrisi bagi jiwa itu? Musik? Sastra? Cinta? Tuhan? Agama? Uang? Apa mungkin juga setiap jiwa sebenarnya punya kebutuhan yang berbeda-beda? Kemauan yang berbeda-beda? Sebagaimana raga satu manusia punya kebutuhan yang berbeda-beda atau hasrat yang berbeda-beda atas apa yang bisa berguna bagi tubuh mereka.
Aku rasa aku bisa mencoba menjadi waras dengan terus menerus menulis. Dan di luar, hujan rintik-rintik.
1 note
·
View note