Tumgik
#bordiu
carmenmartinezbordiu · 3 months
Text
Tumblr media
Opening of the new Christian Dior store in Madrid on October 23, 1986. In the image, Marc Bohan, Juan Antonio Ruiz "Espartaco", Carmen Rossi and Sofía de Habsburgo.
Tumblr media
Carmen sitted next to Marc Bohan, Dior's creative director.
Tumblr media
Marc Bohan between Tessa de Baviera and Carmen Martínez de Bordiú.
0 notes
graceandfamily · 1 month
Text
Tumblr media
During the religious service in the Pardo Palace in Madrid on March 8, 1972 on occasion of the marriage of Maria Del Carmen Martinez- Bordiu, a granddaughter of General Francisco Franco, distinguished guests are seen. They are from left to right are: Imelda Marcos, wife of the Philippines President, Prince Rainier and Princess Grace of Monaco.
8 notes · View notes
loueale · 1 year
Text
Tumblr media
Photo Raymundo De Larrain Models Carmen and Mariola Martinez de Bordiu
9 notes · View notes
newsssc · 2 months
Text
The surprising reactions of the contestants of 'Supervivientes All Stars' after meeting the saved one
Exceptionally, this Monday we have experienced a new gala of 'No Man's Land', where we were able to find out the name of the nominated contestant who managed to avoid being expelled this Thursday. Logan Sampedro (32 years old), Bosco Martinez-Bordiu (25 years old) and Jorge Perez (41 years old) They were on the tightrope, but one of them has managed to get off the dreaded list. Before the names…
0 notes
Text
¿Necesitas Fisioterapia en Madrid?
Hace tan solo unos meses abrimos nuestra primera Clínica de Fisioterapia en Madrid.
Un proyecto nuevo con el que esperamos ayudar a cientos de personas con su dolor o lesión.
Somos fisioterapeutas especializado en el tratamiento del dolor agudo y crónico. Realizamos tratamientos basados en Terapia Manual, ejercicios, Punción Seca y Radiofrecuencia.
Si necesitas que te ayudemos, estamos disponibles en el 666 24 88 43 y en la calle Cristóbal Bordiu 35, Oficina 111, Madrid.
0 notes
ocehanathoilah · 2 years
Text
GS Sholawat KONTROVERSI. Selalu menjadi perdebatan. Tuntunan atau Tontonan. Salah satu video yang menunjukkan protes penampilan Gandrung Sewu atau GS . Isinya tentang pembacaan sholawat yang disampingnya ada perempuan yang tidak sesuai pakaian yang syar’i. Kesenian asli Banyuwangi itu yang lahir perjuangan kemenangan laskar Blambangan. Selama ini, ada dua pandangan soal perdebatan tentang GS. Bagi kalangan agamis mengganggap GS tak sesuai syariat. Hanya tontotan semata yang memandang legak-lengok wanita. Tak memuat isi kandungan tuntunan yang mengandung muatan nilai. Stereotip lazim yang mengakar di masyarakat kultural. Efek demikian, beberapa penerimaan kelompok Agamawan yang menentang kesenian Banyuwangi. Bagi kalangan budayawan mengganggap GS bentuk pelestarian kebudayaan. GS menjadi alat konsolidasi kebudayaan dalam sebuah pentas sendratari. Setiap koreografi-pun mengandung makna simbolis. Dua kelompok saling berdebat. Bagi kelompok Agamis menyerang perhelatan GS dengan mengatakan “Banyuwangi tidak baik-baik saja”. GS selalu dibela oleh kelompok budayawan bertahan dengan dalil “akulturasi budaya”. GS jika ditarik kebelakang adalah pertujukan budaya. Di pelopori oleh Pak Iwan. Tokoh yang inisiatif mengadakan tarian kolosal itu. Peserta dipilih dari penjuru Banyuwangi. Mayoritas anak-anak muda. Dan, Pantai Boom dipilih sebagai venue pelaksanaan. Ide yang menarik. Terutama Banyuwangi yang sedang giat-giatnya mempromosikan Pariwisata. Perjalanan panjang GS hampir satu dasawarsa. Banyak catatan untuk semua kalangan. Hanya untuk memastikan. GS benar-benar hadir untuk memenuhi unsur kebudayaan. Jangan – Jangan GS hanya dinikmati kelompok tertentu. Masyarakat hanya jadi penonton saja. Atau, memang betul bahwa GS menjadi alat pemersatu kebudayaan. Sekali lagi. Kita harus jeli melihat peristiwa ini. GS diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan. Secara nomenklatur belum tuntas. Pariwisata yang berhubungan orang datang. Aspek ekonomi menjadi landasan utama. Sedangkan, kebudayaan memuat unsur nilai tradisi suatu manusia. Jika ini tak dipisah, maka tak saling bertemu. Pariwisata tetap saja menggunakan logika kapitalisme yang bermain. Promosi besar-besaran, dan tampa sadar budaya tidak masuk ke relung hati. Jika di institusi masih saja bermasalah, maka proses untuk peleraian polemik sangat susah untuk dikendalikan. GS selalu saja polemik, bukan soal Gandrung yang diperagakan oleh perempuan. Tarian mengandung erotisme. Namun, belum ada semacam jembatan kultural. Sebagai penghubung antara kebudayaan dalam sebuah panggung pertunjukan. Kita selalu memaksakan. Dan hasil yang dipaksakan selalu berantakan. GS ditampilkan dengan fragmen sholawat. Di tengah – tengah orang bersongkok yang merepresentasikan santri, disampingnya perempuan. Sholawat selalu mengandung dimensi ibadah. Tak jarang, mereka begitu khusyuk dalam melantukan hingga masuk dalam hati. Tampilan demikian, menjadi refleksi utama. Seperti dikatakan Bordiue habitus adalah kebiasaan. GS dengan habitusnya mempunyai nilai tersendiri. Begitu juga sholawat dengan habitus tempat tersendiri. Secara simbolis fragmen pembacaan sholawat bermasalah, sebaiknya dihapus. Untuk melerai perdebatan yang meluas di masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa GS sebelum dimulai adalah rembug terlebih dahulu, sebelum GS dimulai. Ajaklah tokoh agama, tokoh kebudayaan, Akademisi. Dialog ini penting menyamakan persepsi. Jangan sampai GS yang disebut Pak Anas – dulu bupati Banyuwangi yang kini menjabat MENPAN-RB sebagai konsilidasi budaya, justru terjadi ger-geran tengah masyarakat. Kita semua sepakat bahwa Gandrung merupakan ikonik Banyuwangi, dan jangan sampai melukai Gandrung ketika dibenturkan dengan yang lain. Agama dan kebudayaan semacam dua keping mata uang, keduanya saling berhubungan dalam masyarakat. Kebudayaan sebagai infrastruktur agama dalam menyampaikan Wahyu ilahi. GS menjadi tradisi dalam meningkatkan ghiroh kecintaan tentang Banyuwangi, oleh sebab itu GS Sholawat sebuah dialetika kebudayaan yang perlu diperhatikan. (*)
GS Sholawat KONTROVERSI. Selalu menjadi perdebatan. Tuntunan atau Tontonan. Salah satu video yang menunjukkan protes penampilan Gandrung Sewu atau GS . Isinya tentang pembacaan sholawat yang disampingnya ada perempuan yang tidak sesuai pakaian yang syar’i. Kesenian asli Banyuwangi itu yang lahir perjuangan kemenangan laskar Blambangan. Selama ini, ada dua pandangan soal perdebatan tentang GS. Bagi kalangan agamis mengganggap GS tak sesuai syariat. Hanya tontotan semata yang memandang legak-lengok wanita. Tak memuat isi kandungan tuntunan yang mengandung muatan nilai. Stereotip lazim yang mengakar di masyarakat kultural. Efek demikian, beberapa penerimaan kelompok Agamawan yang menentang kesenian Banyuwangi. Bagi kalangan budayawan mengganggap GS bentuk pelestarian kebudayaan. GS menjadi alat konsolidasi kebudayaan dalam sebuah pentas sendratari. Setiap koreografi-pun mengandung makna simbolis. Dua kelompok saling berdebat. Bagi kelompok Agamis menyerang perhelatan GS dengan mengatakan “Banyuwangi tidak baik-baik saja”. GS selalu dibela oleh kelompok budayawan bertahan dengan dalil “akulturasi budaya”. GS jika ditarik kebelakang adalah pertujukan budaya. Di pelopori oleh Pak Iwan. Tokoh yang inisiatif mengadakan tarian kolosal itu. Peserta dipilih dari penjuru Banyuwangi. Mayoritas anak-anak muda. Dan, Pantai Boom dipilih sebagai venue pelaksanaan. Ide yang menarik. Terutama Banyuwangi yang sedang giat-giatnya mempromosikan Pariwisata. Perjalanan panjang GS hampir satu dasawarsa. Banyak catatan untuk semua kalangan. Hanya untuk memastikan. GS benar-benar hadir untuk memenuhi unsur kebudayaan. Jangan – Jangan GS hanya dinikmati kelompok tertentu. Masyarakat hanya jadi penonton saja. Atau, memang betul bahwa GS menjadi alat pemersatu kebudayaan. Sekali lagi. Kita harus jeli melihat peristiwa ini. GS diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan. Secara nomenklatur belum tuntas. Pariwisata yang berhubungan orang datang. Aspek ekonomi menjadi landasan utama. Sedangkan, kebudayaan memuat unsur nilai tradisi suatu manusia. Jika ini tak dipisah, maka tak saling bertemu. Pariwisata tetap saja menggunakan logika kapitalisme yang bermain. Promosi besar-besaran, dan tampa sadar budaya tidak masuk ke relung hati. Jika di institusi masih saja bermasalah, maka proses untuk peleraian polemik sangat susah untuk dikendalikan. GS selalu saja polemik, bukan soal Gandrung yang diperagakan oleh perempuan. Tarian mengandung erotisme. Namun, belum ada semacam jembatan kultural. Sebagai penghubung antara kebudayaan dalam sebuah panggung pertunjukan. Kita selalu memaksakan. Dan hasil yang dipaksakan selalu berantakan. GS ditampilkan dengan fragmen sholawat. Di tengah – tengah orang bersongkok yang merepresentasikan santri, disampingnya perempuan. Sholawat selalu mengandung dimensi ibadah. Tak jarang, mereka begitu khusyuk dalam melantukan hingga masuk dalam hati. Tampilan demikian, menjadi refleksi utama. Seperti dikatakan Bordiue habitus adalah kebiasaan. GS dengan habitusnya mempunyai nilai tersendiri. Begitu juga sholawat dengan habitus tempat tersendiri. Secara simbolis fragmen pembacaan sholawat bermasalah, sebaiknya dihapus. Untuk melerai perdebatan yang meluas di masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa GS sebelum dimulai adalah rembug terlebih dahulu, sebelum GS dimulai. Ajaklah tokoh agama, tokoh kebudayaan, Akademisi. Dialog ini penting menyamakan persepsi. Jangan sampai GS yang disebut Pak Anas – dulu bupati Banyuwangi yang kini menjabat MENPAN-RB sebagai konsilidasi budaya, justru terjadi ger-geran tengah masyarakat. Kita semua sepakat bahwa Gandrung merupakan ikonik Banyuwangi, dan jangan sampai melukai Gandrung ketika dibenturkan dengan yang lain. Agama dan kebudayaan semacam dua keping mata uang, keduanya saling berhubungan dalam masyarakat. Kebudayaan sebagai infrastruktur agama dalam menyampaikan Wahyu ilahi. GS menjadi tradisi dalam meningkatkan ghiroh kecintaan tentang Banyuwangi, oleh sebab itu GS Sholawat sebuah dialetika kebudayaan yang perlu diperhatikan. (*)
View On WordPress
0 notes
royal-confessions · 3 years
Photo
Tumblr media
“María del Carmen Martínez-Bordiú y Franco's wedding dress looks like it was stitched together by Cinderella’s mice.” - Submitted by Anonymous
9 notes · View notes
90smovies · 5 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
The Rift
2 notes · View notes
royaltyandpomp · 6 years
Photo
Tumblr media
THE WEDDING
Maria del Carmen Martinez-Bordiu y Franco, of The Marquesses of Villaverde, and Alfonso de Borbon Dampierre, later Duke of Cadiz, Wedding (1972)
27 notes · View notes
mardyqueen · 6 years
Text
La eternización de lo arbitrario
La movilización política de la mujer abre por medio de la acción colectiva la resistencia a resignarce. Se convoca a romper con las revueltas introvertidas. Es un gran anhelo que la mujer invente e imponga formas de reorganización y acción, que sean capaces de romper con su eterna y trágica subordinación y, con el trabajo que intenta permanentemente acabar con la dialectica que tiene el poder simbólico sobre una historia social de la mujer que intentan deshistorizar, como si esta no fuese un agente que posee y moviliza a la historia.
1 note · View note
dozydawn · 3 years
Text
vintage bridal fashion: 1972
this veil trim!
Tumblr media
royal wedding: birgitte van deurs in norman hartnell. white swiss organdie with floral embossing.
Tumblr media
maria del carmen martinez-bordiu y franco in balenciaga, 1972.
Tumblr media
charlotte rampling. the butterfly choker (also in the dress print)
Tumblr media
carol kane in wedding in white (1972) designed by patti unger.
Tumblr media
ana belén in morbo (1972) designed by josé maría tresserra.
Tumblr media
cybill shepherd in the heartbreak kid (1972) designed by anthea sylbert.
Tumblr media
talia shire in in the godfather (1972) designed by anna hill johnstone.
Tumblr media
simonetta stepanelli in the godfather (1972) designed by anna hill johnstone.
Tumblr media
jill ireland in the valachi papers (1972) designed by ann roth.
Tumblr media
188 notes · View notes
carmenmartinezbordiu · 3 months
Text
Tumblr media
11/18/1973. Delivery of a valuable canvas by the Haitian ambassador in Madrid, on behalf of its President, Jean-Claude Duvalier, To the Spanish Red Cross, To Mrs. María del Carmen Martínez-Bordiú, Duchess of Cádiz. Her husband, Don Alfonso de Borbón, president of the Institute of Hispanic Culture, and the Duchess of Alba were present at the event.
0 notes
graceandfamily · 1 year
Text
Tumblr media
Princess Grace arriving in London in the '70s
@gracie-bird wrote: Princess Grace arriving in Madrid, Spain, for the wedding of Luis Alfonso de Borbon and Carmen Martinez Bordiu. November 1972.
7 notes · View notes
loueale · 1 year
Text
Tumblr media
Photo Raymundo De Larrain Models Carmen and Mariola Martinez de Bordiu
5 notes · View notes
newsssc · 3 months
Text
The tragedies that have marked Carmen Martínez-Bordiú, protagonist of 'Blood Ties'
After last week's delivery, Carmen Martinez-Bordiu (73 years old) takes over in 'Blood ties' (10:50 p.m., La 1), where the life of Francisco Franco's granddaughter will be explored. With the special participation of her brothers, Francisco Franco and Jime Martínez-Bordiú, as well as collaborators such as journalists Martín Bianchi and Jaime Peñafiel, they will delve into in the most difficult…
0 notes
wolf-lundgren · 7 years
Photo
Tumblr media
2 notes · View notes