#beliyangbaik
Explore tagged Tumblr posts
Text
Ubah Gaya Hidupmu, Ayo Selamatkan Harimau, Penyu dan Satwa Lainnya
Indonesia merupakan rumah bagi beberapa spesies yang sekarang sudah menjadi langka karena jumlahnya semakin menipis. Harimau Sumatera, Orang Utan, Penyu Hijau dan beberapa spesies lainnya dinyatakan mengalami penurunan populasi secara drastis.
Ketika Tiger Summit Meeting di Petersburg Rusia, November 2010 lalu, mengemukakan fakta bahwa 93 persen habitat alami harimau dunia hilang karena ekpansi manusia. Dan terkhusus di Sumatera, dari tahun 2000-2012 sebanyak 2,8 juta hektar hutan hilang.
Lima spesies harimau di dunia tiga diantaranya ada di Indonesia, Harimau Bali, Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera. Saat ini yang tersisa hanya Harimau Sumatera. Harimau Jawa punah sekitar tahun 1980 dan Harimau Bali punah tahun 1940. Jumlah Harimau Sumatera saat ini sekitar 300 ekor, tersebar di seluruh Sumatera dan Riau merupakan habitat paling luas tempat tinggal Harimau Sumatera, sepertiga populasi Harimau Sumatera ada di hutan Riau.
selain harimau, orang utan juga menjadi perhatian karena jumlah populasinya semakin menurun. Dikutip dari artikel Tempo, dalam artikel itu menyatakan orang utan bergeser statusnya dari terancam punah menuju ke Kritis. Ini satu langkah menuju kepunahan. Saat ini jumlah orang utan ada 100 ribu ekor dan tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Para peneliti bahkan memprediksi pada tahun 2025 akan mengalami penurunan pupolasi menjadi 47 ribu ekor saja.
Harimau dan orang utan mengalami penurunan jumlah populasi dikarenakan habitat hidupnya semakin berkurang. Kebakaran hutan karena pembukaan lahan menjadi penyebab terbesar mamalia tersebut mengalami penurunan populasi. Kehilangan habitat liar berarti kehilangan sumber pangan, sumber pangan hilang maka kematian datang.
Selain mamalia darat tersebut beberapa spesies laut juga terancam punah. Indonesia menjadi rute perpindahan (migrasi) penyu laut yang terpenting di persimpangan samudera pasifik dan hindia. Beberapa spesies penyu memilih pantai laut indonesia sebagai tempat bertelur. Akan tetapi akhir-akhir ini kondisi laut indonesia sangat memperihatinkan.
Direktur pengendalian pencemaran dan kerusakan pesisir laut (PPKPL) kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, Heru Waluyo mengatakan, indonesia hingga akhir tahun 2016 lalu dinyatakan sebagai kontributor sampah plastik di laut urutan kedua terbesar di dunia.
Sampah pelastik yang terombang ambing di laut terlihat menyerupai ubur-ubur yang mana ubur-ubur merupakan makanan kesukaan penyu, akibatnya penyu memakan plastik dan secara perlahan akan membunuhnya. Sampah plastik yang terbawa ke pantai dan menumpuk di sana mengakibatkan penyu tak bisa mendarat untuk bertelur dan akhirnya tak kan ada penambahan populasi. Apabila ini dibiarkan maka akan mengganggu populasi penyu.
Lantas apa hubungannya dengan gaya hidup kita? Tentu saja ada.
Penggunaan kertas dan tisu yang berlebihan mempengaruhi jumlah hutan yang ada di indonesia. Semakain banyak permintaan akan kertas dan tisu maka semakin banyak kayu dan hutan yang ditebang yang akhirnya mengakibatkan harimau Sumatera dan orang utan kehilangan habitat aslinya. Untuk mengatasi hal tersebut sekiranya kita menerapkan gaya hidup ramah lingkungan yang mana mengurangi kegiatan mencetak, apabila terpaksa mencetak maka gunakan kertas di kedua sisinya agar tak banyak kertas yang terpakai. Kebiasaan menggunakan tisu dikurangi dengan memakai sapu tangan atau handuk. Dengan demikian penggunaan akan kertas dan tisu akan berkurang.
Kebiasaan menggunakan kantong plastik, membeli minuman kemasan plastik dan membuang sampah sembarangan juga harus dirubah dengan cara memakai tas belanja yang Reuseable atau dapat digunakan kembali, selalu membawa botol minum sendiri agar tidak menambah sampah plastik dan biasakan membuang sampah pada tempatnya. Karena sampah yang dibuang tidak pada tempatnya perlahan akan mengalir ke sungai dan berujung ke laut yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut.
Mari bersama perlahan rubah gaya hidup menjadi gaya hidup yang ramah lingkungan agar tidak terjadi kerusakan ekosistem.
1 note
·
View note
Text
Ayo, Dukung Pelaku Bisnis Mencari Tahu Asal-Usul Seafood-nya!
Masa depan perikanan Indonesia juga ditentukan oleh para pelaku bisnis dan ritel.
Selain konsumen, pelaku bisnis dan ritel yang menyajikan hidangan laut (seafood) dalam usahanya juga memiliki peran besar dalam mendorong konsumsi seafood yang berasal dari praktik perikanan bertanggung jawab. Praktik perikanan bertanggung jawab sendiri dapat diartikan sebagai praktik perikanan, baik budi daya maupun tangkap liar, yang memiliki dampak minim terhadap lingkungan juga manusia. Komoditas tangkapan dan budi daya tersebut tidak dihasilkan dari praktik-praktik yang merusak seperti menggunakan bom, racun atau bahan kimia dan antibiotik yang menyebabkan kerusakan ekosistem di laut maupun darat (tambak).
Tren di masyarakat pun mulai berubah ke arah prolingkungan. Selama pelaksanaan kampanye WWF-Indonesia “Choose Your Seafood Right” pada 2011, sebanyak 6.233 konsumen seafood menandatangani petisi yang menyatakan kesediaannya untuk membeli produk seafood yang dihasilkan dari praktik perikanan yang bertanggung jawab. Dari 2013 hingga 2015, sebanyak 14.094 suporter mendukung petisi #SOSharks untuk mengakhiri promosi, konsumsi, dan perdagangan produk hiu. Ditambah lagi dengan 6.895 dukungan yang telah diberikan untuk petisi dukungan untuk kampanye #BeliYangBaik sejak diluncurkan pada Maret 2015.
Pengetahuan mengenai asal-usul seafood sangat penting artinya dalam menentukan pengelolaan perikanan untuk mewujudkan praktik perikanan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, WWF-Indonesia mendorongkan komitmen pelaku usaha untuk mencari tahu asal-usul seafood yang dijualnya dengan menandatangani sebuah ikrar sebagai bagian dari kampanye konsumsi seafood bertanggung jawab #BeliYangBaik. Dengan mengetahui asal usul produk seafood-nya, WWF mendorong pengusaha untuk memahami dan memastikan produk perikanan yang diperdagangkannya tidak berasal dari praktik perikanan yang merusak. Perusahaan yang mendukung ikrar ini pun wajib mengumpulkan informasi sebanyak mungkin seputar asal-usul dan informasi rantai suplai produk seafood-nya, yang mencakup lokasi penangkapan atau budi daya, alat tangkap atau metode budi daya yang digunakan, waktu penangkapan atau waktu panen, jumlah pelaku usaha di sepanjang rantai suplai, dan lain-lain.
WWF-Indonesia sangat mengapresiasi perusahaan-perusahaan yang telah memberikan komitmennya dengan menandatangani ikrar ini. Sebanyak empat hotel telah menandatangani ikrar ini, yaitu Hotel Shangri-La, The Sultan, DoubleTree by Hilton, dan Hotel Morrissey. “Ketersediaan informasi mengenai asal produk seafood akan sangat membantu identifikasi upaya perbaikan untuk praktik serta pengelolaan sektor perikanan untuk mewujudkan praktik dan bisnis perikanan yang berkelanjutan”, ujar Koordinator Seafood Savers WWF-Indonesia Margareth Meutia.
Kesempatan bagi usaha ritel dan jasa makanan yang hendak turut menyatakan ikrar ini masih terbuka hingga Agustus 2015. Sebagai bentuk apresiasi kepada perusahaan-perusahaan yang memberi komitmennya dengan menandatangani ikrar, WWF mempromosikan perusahaan di sejumlah media publikasi online, seperti laman digital WWF-Indonesia dan akun-akun media sosial. Perusahaan juga akan dipromosikan dalam kegiatan-kegiatan publik yang dilakukan WWF, contohnya dalam kegiatan “Bukan Pasar Ikan Biasa” yang berlangsung di Bali pada 13-14 Juni 2015 lalu untuk memperingati Coral Triangle Day dan Hari Kelautan Dunia.
WWF pun tidak ragu-ragu memberikan penghargaan lebih kepada perusahaan yang berupaya maksimal dalam ikrar ini. Sebuah gelar penghargaan “WWF Champion of Seafood Traceability” akan diberikan kepada perusahaan yang memperoleh informasi terbanyak mengenai asal-usul dan rantai suplai produk seafood-nya. WWF mendorongkan lebih banyak perusahaan yang berpartisipasi dalam ikrar ini. Oleh karena itu, kepada para seafood lover, ajak restoran seafood favoritmu untuk terlibat dalam ikrar ini untuk menikmati berbagai promosi oleh WWF. Jadilah konsumen yang cerdas dengan selalu menanyakan asal-usul seafood yang kamu konsumsi. #WeChooseToSave!
*Tulisan ini diunggah ke situs web Seafood Savers, inisiatif WWF-Indonesia untuk menjembatani para pelaku industri dalam mewujudkan perikanan Indonesia yang berkelanjutan, pada 25 Juni 2015.
0 notes
Text
Apa itu Palm Oil/ Kelapa Sawit?
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Tidak hanya sebagai bahan untuk membuat minyak goreng, tetapi kelapa sawit digunakan untuk membuat bahan makanan, keperluan mandi, obat-obatan, pelumas, komestik dan lainnya. Lalu apa yang membuat kelapa sawit bisa begitu banyak digunakan?
kelapa sawit sendiri dapat mengeluarkan minyak, dan minyak tersebut berasal dari dua macam, pertama dari daging buah yang dikeluarkan melalui perebusan dan pemerasan dan dikenal sebagai minyak kasar atau crude oil. Yang kedua berasal dari inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Pabrik pengolahannya dinamakan refineri dan akstraksi, dari sini akan dikeluarkan kembali beberapa jenis minyak yang siap pakai atau masih perlu diolah.
Karna kelapa sawit banyak dibutuhkan, tentunya kelapa sawit dinilai menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, dan akibatnya semakin banyak pula perusahaan yang berdiri untuk memanfaatkan hasil kelapa sawit. Termasuk Indonesia.
Data terakhir pada tahun 2014 luas lahan kelapa sawit di Indonesia sebesar 18.956.231 juta hektar dan tak menutup kemungkinan jumlah tersebut terus bertambah. Dan hal tersebut pula yang membuat perusahaan berlomba-lomba membuka lahan ,tapi ternyata cara pembukaan lahanya merusak alam. Seperti yang kini terjadi , kabut asap merupakan salah satu dampak dari pembukaan lahan kelapa sawit dengan pembakaran. Dampak lain dari pembukaan lahan bukan hanya kabut asap, dapat terjadi pula banjir, longsor, hilangnya ekosistem seperti hewan dan tumbuhan di dalamnya yang mungkin ekosistem langka, dan masyarakat adat pada daerah tersebut. (sumber data : Kompasiana)
Haruskah kita berhenti mengkonsumsi kelapa sawit?
Cara yang bisa kita lakukan ialah #BeliYangBaik. Bukan berarti kita berhenti mengkonsumsinya, melainkan kita membeli barang atau bahan dari kelapa sawit yang sudah memiliki sertifikasi dari RSPO yaitu sertifikasi bahwa perusahaan tersebut menggunakan minyak sawit lestari yang tidak merusak lingkungan.
Dengan #BeliYangBaik kita juga dapat menjadi agen untuk bersama-sama menggerakan perusahaan atau memberi tahu kepada perusahaan, bahwa kini konsumen bukan hanya melihat sesuatu barang bedasarkan harga barang saja tapi dampak dari produksi tersebut apakah merusak lingungan atau tidak. Karena nyatanya kini, masyarakat Indonesia mulai beranjak menyadari bahwa banyak sekali dampak dari produksi kelapa sawit yang illegal dan yang paling miris adalah bencana kabut asap yang kini masih terjadi, bahkan sudah 18 tahun, namun belum ada solusi permanen dari bencana tersebut.
Pada dasarnya bukan pembukaan lahan kelapa sawit saja yang menyebabkan segala dampak lingkungan terjadi. Mulai dari penangkapan ikan illegal,penebangan hutan, penggunaan listrik yang boros, semua hal tersebut dampak member dampak negative bagi bumi kita di masa mendatang. Oleh karena itu, mengapa kita harus #BeliYangBaik? karena, eksploitasi laut secara berlebihan harus dihentikan, agar kita punya cadangan air yang lebih, pemanasan global bisa melambat,agar generasi selanjutnya tetap bisa menikmati hasil bumi yang alami.
Source : Kompasiana.com
0 notes
Text
#BELIYANGBAIK Untuk Hidup Yang Lebih Baik
Pernah dengar istilah bahwa manusia itu adalah makhluk yang tidak pernah puas?
Kalau kata pelajaran Sosiologi sih, karena manusia memiliki sifat dasar seperti itu, yang memiliki keinginan-keinginan pribadi. Walaupun terkadang ada hal-hal yang tidak mendesak untuk dipenuhi.
Lalu, identik dengan apakah keinginan-keinginan itu? Tentu saja berbelanja! Semua orang pasti senang berbelanja, baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, pelajar atau jutawan, semua pasti senang berbelanja.
Saat memasuki tempat perbelanjaan, yang terpikirkan pastilah “apa ya yang akan kubeli” begitu? Namun tahukah kamu, bahwa ternyata apa yang kita beli itu adalah apa yang kita dukung.
Awalnya aku pun tidak tahu-menahu tentang barang yang kubeli. Mau itu barangnya dari luar negeri ataupun lokal, mau itu cara pembuatannya seperti apa aku juga tidak peduli. Namun, setelah aku mengetahui kampanye #BeliYangBaik yang diangkat oleh WWF, aku jadi tahu bahwa kita sebagai konsumen adalah pemberi andil terbesar dalam terpelihara atau tidaknya lingkungan.
Apa sih #BeliYangBaik itu?
Gerakan #BeliYangBaik merupakan gerakan untuk mengajak para konsumen Indonesia untuk memperhatikan apa-apa saja yang mereka beli dan untuk membeli barang-barang yang ramah lingkungan dalam pembuatannya. Dengan begitu, masyarakat Indonesia bisa mengurangi dampak pengerusakan lingkungan yang terjadi.
Lalu, kenapa konsumen adalah pemberi andil terbesar pada rusak atau tidaknya lingkungan?
misalnya begini, perusahaan X merupakan produsen kertas yang ramah lingkungan dan perusahaan Y merupakan produsen kertas yang belum ramah lingkungan. Karena ketidaktahuan kita, akhirnya kita memilih untuk membeli kertas yang diproduksi oleh perusahaan Y karena bahan kertasnya yang lebih nyaman untuk dibuat menulis. Maka, kita turut mendukung semakin besarnya produksi perusahaan Y tersebut, dan semakin banyak kerusakan lngkungan yang terjadi.
Maka dari itu, sebagai konsumen yang bijak, kita harus mengetahui kandungan dan proses produksi dari barang yang kita beli. Pastikan, kita membeli produk-produk yang ramah lingkungan. Contohnya seperti membeli produk-produk yang sudah berlabel dan bersertifikat “halal” secara lingkungan. Yaitu FSC, ASC atau MSC, dan RSPO.
FSC (Forest Stewardship Council) adalah eco label untuk produk kayu dan kertas, dimana barang-barang yang sudah berlabel FSC berarti sudah memenuhi syarat kandungan dan proses produksi yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab. Karena, tahukah kamu bahwa sudah 3,5 Milyar meter kubik kayu yang diambil dari hutan untuk produksi industri kayu dan kertas yang kita pakai selama ini? Tentu bukan jumlah yang sedikit, bukan?
Selain itu, ASC (Aquaculture Stewardship Council) atau MSC (Marine Stewardship Council) yaitu eco label untuk produk berbahan Sustainable Seafood. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, banyak dari produsen perikanan yang menggunakan alat-alat penangkap hasil kekayaan laut yang dapat merusak seluruh ekosistem, contohnya seperti pukat harimau, bahan peledak, jarring-jaring penangkap ikan yang sangat rapat, dan lainnya. Faktanya, 60% dari kekayaan laut kita dieksploitasi secara berlebihan. Maka, label ASC dan MSC ini menandakan bahwa proses penangkapan hasil kekayaan laut yang berkelanjutan, lestari, dan bertanggung jawab. Maksud dari berkelanjutan di sini adalah tidak dengan mengeksploitasinya, melainkan dengan cara berkala dan ramah lingkungan.
Sedangkan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) adalah label sertifikasi untuk produk berbahan kelapa sawit.
Kelapa sawit? Bukannya kelapa sawit hanya untuk produksi minyak goreng, ya?
Eits, jangan salah. Penggunaan kelapa sawit sebagai minyak goreng hanya sebagian kecil dari penggunaannya di Indonesia dan India. Sedangkan untuk negara-negara lain, kelapa sawit banyak digunakan sebagai bahan dari alat-alat masak, bahan biskuit, dan lain-lain. Karena sifat alami dari kelapa sawit yang dapat memperpanjang usia suatu produk.
Seluas 3,5 juta hektar hutan hilanglah sudah hanya untuk produksi minyak kelapa sawit, dan hanya 9% perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan. Mengapa bisa terjadi? Karena penanaman kelapa sawit memerlukan lahan, maka penanaman tumbuhan ini identik dengan penebangan hutan secara liar, untuk mendapat keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Dengan dilakukannya penebangan hutan secara liar, bukan hanya hutannya saja yag menjadi gundul, namun ternyata, ada beberapa hewan yang menjadi korban, yaitu Gajah dan orangutan. Orangutan sebagai ‘tuan rumah’ dari hutan tersebut, tersingkir karena habitatnya yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, hilangnya sumber bahan makanan dan perburuan merupakan alasan kuat mengapa populasi mereka semakin terancam.
Lalu bagaimana dengan gajah? Fakta yang mengejutkkan bahwa 70% kematian dari binatang berbelalai itu disebabkan oleh diracun oleh para pemilik perkebunan kelapa sawit. Hewan yang masih punya garis darah dengan mammoth ini dianggap menjadi hama karena memakan umbut (ujung) dari pohon sawit tersebut.
Selain kerugian dari sektor kehutanannya, ternyata manusia juga mengalami kerugian. Karena beberapa penanaman sawit dilakukan tanpa berkonsultasi dengan komunitas lokal tentang penggunaan lahannya. Beberapa justru harus bertanggung jawab terhadap penggusuran masyarakat dari tanahnya. Selain itu, pelanggaran terhadap hak para buruh untuk mendapatkan upah yang merata dan malpraktik lain juga terjadi.
Lalu jika banyak ruginya, kenapa tidak diganti saja kelapa sawit dengan tanaman lain?
Mengganti kelapa sawit dengan bahan lain bukan menyelamatkan kelestarian lingkungan, justru malah menambah kerusakannya. Penanaman tumbuhan lain akan malah menambah penggunaan lahan, karena kelapa sawit menghasilkan 4—10 kali minyak yang lebih banyak per unit lahan yang digunakan.
Maka tak ada ruginya, kan? Jika kita melangsungkan gaya hidup ramah lingkungan dengan mengaplikasikan #BeliYangBaik di kehidupan sehari-hari? Justru kehidupan akan semakin berharga karena kita bisa menolong Bumi untuk lestari. Menyelamatkan diri kita, orang-orang yang kita sayangi, dan juga anak-cucu kita kelak.
Harapan saya kedepannya supaya semakin banyak produsen yang menjadikan perusahaannya berlabel “halal”. Selain itu, agar masyarakat di Indonesia yang mengerti tentang pengetahuan ini, mengerti cara membeli barang yang baik, dan juga mengaplikasikan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Kita semua bisa menjadi pahlawan dengan cara menyosialisasikan gerakan #BeliYangBaik . Jadilah bagian dari perubahan. Jadilah seorang penyelamat, dengan melakukan perubahan kecil dalam hidupmu.
Ini aksiku, mana aksimu?
0 notes
Text
Danus Bijak dengan Beli yang Baik
Berawal dari fenomena danus-an (dana usaha) yang marak di kampus, ditambah dengan hobi masak yang ingin tersalurkan, akhirnya saya mulai coba-coba untuk bisnis kecil-kecilan di kampus. Pada awalnya hanya sebuah keisengan untuk ikut berjualan makanan kecil, sembari mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat. Kebetulan, teman-teman di kelas sebagian besar adalah ‘anak kost’ yang kalau pagi berangkat ke kampus tidak sempat sarapan. Sehingga, dengan berjualan makanan kecil, bisa jadi peluang yang lumayan untuk menambah uang jajan saya. Dengan modal pas-pasan, mencoba membuat produk yang ringan dan mudah dibuat, namun dari bahan-bahan berkualitas. Karena keterbatasan ide, jadi hanya membuat produk sosis bakar. Sosis bakar saat itu belum ada danus-an yang menjualnya, jadi saya mengambil inisiatif sebelum didahului orang lain. Beragam makanan lainnya sudah banyak didanuskan, seperti sosis goreng, donat, dan makanan lainnya yang umumnya dimasak dengan proses penggorengan. Semakin lama, produk sosis bakar tidak begitu banyak peminatnya karena harganya yang cukup tinggi. Akhirnya, karena teman-teman lebih suka makanan yang digoreng dengan harga yang terjangkau, saya membuat produk omelet dari bahan mie dan telur. Untungnya, saat itu saya hanya menjadi supplier danusan, jadi tidak usah berjualan sendiri. Namun, seiring kesibukan kuliah yang semakin padat, akhirnya tidak sempat lagi untuk membuat makanan untuk didanuskan. Sekarang, sudah di tahun ketiga saya kuliah, kesibukan tidak lagi terlalu padat. Kebetulan sekali ada teman yang mengajak kerjasama untuk memulai bisnis skala kecil. Kami memulai usaha dengan membuat produk makanan kecil dengan ide Korean dishes. Produk pertama yang kami buat adalah mandu, yakni sejenis dim sum a la Korea. Kami berkomitment untuk membuat produk yang sehat dan terjangkau. Kami mengusahakan untuk membuat produk yang bebas MSG, pengawet, pewarna dan bahan kimia lainnya, serta menggunakan kemasan yang ramah lingkungan. Dengan alasan yang cukup subyektif, saya tidak mau membuat produk yang digoreng, karena saya sendiri kurang suka untuk membuat makanan yang berminyak. Selain itu, saya juga ingin mengajak teman-teman untuk bergaya hidup dietary, yakni dengan mengurangi konsumsi makanan-makanan yang digoreng. Maka dari itu, produk yang kami buat merupakan produk non-gorengan. Makanan lainnya yang kami buat untuk menghindari kebosanan pelanggan diantaranya adalah Korean barbeque dan sosis rebus dengan saus kreasi sendiri. Setelah beberapa waktu, banyak bermunculan komplain dari pelanggan. Mereka mengatakan bahwa produk kami terlalu mahal bagi ukuran mahasiswa, menunya itu-itu saja (Korean dishes), dan yang paling banyak adalah permintaan dari mereka untuk kami membuat produk makanan yang digoreng. Karena memang pada dasarnya orang Indonesia tidak bisa lepas dari makanan yang digoreng. Kami akhirnya berusaha untuk mewujudkan keinginan pelanggan dengan membuat produk yang sama, tetapi dengan harga yang lebih terjangkau. Namun, hingga saat ini, kami belum sempat mewujudkan keinginan pelanggan untuk membuat produk makanan yang digoreng. Salah satu alasannya adalah bahwa kami sendiri belum berani untuk membuat produk makanan yang digoreng. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini banyak diperbincangkan isu lingkungan yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit yang merupakan penghasil produk minyak kelapa sawit. Sebagai konsumen sekaligus produsen bijak, kami khawatir apabila produk kami menggunakan minyak kelapa sawit, maka kami kami berkontribusi pada semakin buruknya kondisi lingkungan dan ekologi. Untuk menggunakan produk minyak lain selain minyak kelapa sawit, rasanya tidak memungkinkan karena harganya yang lebih tinggi, sehingga produk kami pun nantinya harus dijual dengan harga yang tinggi. Harapan muncul setelah saya browsing di internet, bahwa terdapat produk minyak yang penanaman pohon kelapa sawitnya tidak merusak lingkungan karena menggunakan sistem berkelanjutan. Produk minyak tersebut adalah produk minyak berlabel RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Menggunakan minyak kelapa sawit yang berlabel RSPO menjadi langkah yang solutif, karena kami tetap dapat membuat produk makanan yang digoreng, namun tetap mendukung kelestarian alam dan habitat ekosistem di tempat yang terancam dibangun perkebunan kelapa sawit baru. Akan tetapi, sayangnya, dari sekian banyak produk minyak kelapa sawit yang tersedia, hanya sedikit yang sudah berlabel RSPO di Indonesia. Hal tersebut membuat saya harus lebih selektif dan teliti ketika membeli produk minyak kelapa sawit maupun produk kelapa sawit lainnya untuk saya konsumsi sendiri maupun untuk saya gunakan dalam membuat makanan yang akan saya jual. Dan terakhir, untuk teman-teman, mari kita menjadi #konsumenbijak untuk #beliyangbaik, yakni dengan membeli produk-produk yang ramah lingkungan dan mendukung kelestarian alam. :)
0 notes
Photo

Satu lagi kegiatan seru untuk yang suka nulis dan penduli denga Alam kita, yyk #fellas ikutin lomba menulis @wwf_id #mafellas #collaboration #community ・・・ Suka menulis? Ikuti lomba menulis #BeliYangBaik "Sustainable Palm Oil, Gaya Hidup Konsumen Bijak". Pemenang pertama berkesempatan menghadiri The 13th Annual Roundtable Conference on Sustainable Palm Oil pada November 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia. Info selanjutnya, Sobat bisa hadir di Talkshow #BeliYangBaik & sustainable palm oil, 17 Oktober 2015 di Pisa Kafe Menteng, Jakarta dan klik bit.ly/LombaRSPO
0 notes
Photo

PRESENTASI: #BeliYangBaik WWF menginisiasi gerakan #beliyangbaik sebagai bentuk kepedulian pada lingkungan. Semua yang kita belidan konsumsi berpengaruh terhadap diri kita dan lingkungan. Saat kita membeli dan mengkonsumsi produk-produk yang tidak membahayakan atau merusak lingkungan, kita embantu masa depan Bumi sekaligus masa depan kita dan anak cucu kelak. Waktu pelaksanaan: Pkl. 11.00-20.00 WIB
0 notes
Photo

#MFLmingguini ngapain hari ini? Kami menyesuri bagian lain dari hutan mangrove yg masih sebelahan dengan hiruk pikuk kendaraan dan proyek pembangunan. Kami ada di bawah bundaran taman ngurah rai hanya untuk mencari buah mangrove (begitu sebutan dari saya). Cuma nyari sedikit dan terkumpul 160 saja gak lebih. Buah-buah untuk penanaman kembali (ulang) nanti dibulan september untuk mengganti bibit yang rusak. Hutan mangrove itu unik, mungkin banyak yg belum tau kalo mangrove itu banyak macamnya atau beranggapan mangrove itu yaaa satu pohon aja. Ternyata di indonesia ini ada 76 macam mangrove dan kalo dibandingkan di amerika cuma ada 3 macam dan itu cuma ada di florida. Begitu cerita yang kami dapat hari ini dari wanita amerika bernama kelly yg sedang melakukan penelitian mangrove dan coral dinegeri ini untuk mendapatkan gelar S3nya di MIT. Jangan cuma ditanam, ayo dirawat! Nyampah sembarang, gak asik! #MangroveforLove #LestarikanDenganCinta #BeliYangBaik @EHDenpasar Ini ceritaku, mana ceritamu? Hehehe
0 notes