#bekalpengasuhan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Look in.
Sebagaimana yang dikatakan Ibu Elly Rusman hafidzahullah, di unggahan sebelumnya bahwa poin penting sebagai orang tua dalam pengasuhan adalah look in (selalu melihat ke dalam diri) semisal ada tipe orang tua yang mengekang anak, ada pula yang demokratis.
Tanyakan pada dirimu sebagai orang tua (look in), mengapa selalu menuntut atau mengapa terlalu membebaskan? Apa dulu terlalu terkekang sehingga sekarang ingin membebaskan anak supaya tidak merasakan seperti dirimu? Apa itu benar? Sering-seringlah look in dan meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini sudah benar apa belum.
Dan pengasuhan pun sejatinya, hubungan ke atas atau hubungan vertikal (hablun minallah) dahulu baru setelahnya hubungan horizontal (hablun minannas). Inilah yang juga sering diremehkan.
“Jika anakku bertingkah hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku abaikan. Jika anakku sukar diatur hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku lalaikan. Jika anakku menguras emosiku hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku akhirkan. Terkadang penyebab utama seluruh kesukaran karena kita tidak menunaikan hak Allah di atas yang lainnya. Tentang salat di akhir waktu dengan terburu-buru. Tentang lembar Quran yang tak dibuka apalagi ditadaburi. Berharap semua berjalan sempurna tapi Pencipta hanya diberi waktu sisa. Hai aku, jangan bercanda.” - Derry Oktriana Syofiadi hafidzahullah
Lagi-lagi tentang look in sebagai bentuk evaluasi kepada diri sendiri dan mengevaluasi hubungan orang tua dengan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebuah kontemplasi agar tidak serta-merta menyalahkan anak yang akhirnya memicu luka dalam pengasuhan lalu melabelinya dengan sebutan nakal, dsb.
“Anak durhaka kepada orang tua? Ada. Orang tua durhaka kepada anak? Tidak ada. Orang tua durhaka? Ada, durhaka kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebab yang diingkari adalah perintah Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang tua untuk memenuhi hak anak.” - Mamazi hafidzahullah
Sebagaimana yang dikatakan pula oleh Ibu Elly Rusman hafidzahullah, orang tua sering lupa menempatkan bahwa anak adalah amanat Allah Subhanahu Wata’ala sehingga suka semena-mena.
Banyak kasus di mana ibu kesal dengan ayah, anak yang jadi korban. Di sinilah bentuk contoh bahwa orang tua tidak menempatkan anak sebagai amanat dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Mereka yang menempatkan anak sebagai amanat dari Allah Subhanahu Wata’ala tanpa peduli apa pun kondisinya, harus mencari nafkah juga, harus mengasuh anak juga, harus mengurusi keluarga yang lain juga yang entah rasa capeknya sudah tidak tahu ada di sebelah mana tetap saja on track sebab meyakini pula ada Allah Subhanahu Wata’ala yang akan menolongnya.
Inilah dalam pengasuhan perlu meyakini bukan hanya menyoal hal tersebut saja. Mau apa pun metodenya, intinya adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Bagaimana hubungan orang tua dengan Tuhannya? Look in.
Jika anak yang bermasalah, bagaimana tauhid orang tua pun akan memengaruhi sikapnya untuk merespon. Ia akan merespon secara proporsional.
“Jika kamu sebagai individu melakukan kesalahan inginnya disikapi seperti apa? Dibentak-bentakkah? Dipukulkah? Tentu tidak ingin kan? Lalu mengapa kamu melakukannya kepada anakmu? Anak melakukan kesalahan langsung diomelin, dibentak, dipukul. Apa kamu pun siap ketika melakukan kesalahan langsung diazab oleh Allah Subhanahu Wata’ala? Kepalanya dipecah dengan batu atau dimasukkan ke dalam tungku api. Anak (yang mungkin masih kecil) tidak bisa berbuat apa-apa tetapi bukankah Allah Subhanahu Wata’ala mampu melakukan apa yang kamu lakukan itu ke anak-anakmu dengan hal yang jauh lebih berat dan lebih besar? Allah Subhanahu Wata’ala lebih berkuasa atas kamu dibanding kekuasaanmu terhadap anak-anakmu dan Dia lebih sanggup menghukum atau menyakitimu dibanding kemampuanmu untuk menghukum atau menyakiti anak-anakmu.” – Ust. Nuzul Dzikri hafidzahullah
Lagi-lagi look in dan yang juga perlu dievaluasi adalah bagaimana suami memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya halalkah? Tayibkah? Zabiha hewan yang dikonsumsi jelaskah? Sebab apa yang dikonsumsi akan memengaruhi jiwa.
Inilah yang juga penting dan dasar namun jarang dibahas dalam kelas-kelas pengasuhan. Bisa jadi anak susah diatur sebab dampaknya berasal dari sumber nafkah yang haram. – Ummu Sajjad hafidzahullah dan Ust. Fatih Karim hafidzahullah
“Jagalah hak Allah niscaya Allah akan menjagamu.” (HR. Tirmidzi, no. 2516 dan Ahmad, 1:293)
282 notes
·
View notes
Text
Peka terhadap pengasuhan bukan hanya milik ibu namun juga ayah sehingga laki-laki pun sudah seyogianya tertarik untuk mempelajarinya, entah dari buku atau kajian-kajian. Belajar dulu; seakan-akan calonnya sudah ada. Pasti bertambah level kegantengannya #yaksip
Bahkan sejak dini pun, sel sperma sebagai sel reproduksi laki-laki seyogianya menunjukkan representasi perjuangan yang sama ketika dalam pengasuhan.
Ia yang lebih banyak aktif bergerak, sebagaimana perjalanannya hingga bertemu sel telur. Dari jutaan sel sperma yang dihasilkan kemudian berenang hingga akhirnya sampai ke tuba fallopi kemudian menentukan pilihan di saluran kanan atau kirikah yang berisi sel telur matang (di mana jika salah menentukan maka perjalanan yang telah dilewatinya selama ini akan sia-sia). Jika pun berhasil, ia masih harus melewati perjuangan-perjuangan lainnya hingga akhirnya berhasil bertemu sel telur.
Dalam prosesnya saja, sel sperma yang lebih aktif maka diharapkan dalam pengasuhannya laki-laki pun demikian. Dalam prosesnya saja, melibatkan sel sperma dan sel telur hingga akhirnya terjadi kehamilan maka diharapkan dalam pengasuhannya pun demikian, keduanya berperan. Bagaimana tidak menimbulkan stres jika hanya salah satunya saja yang berperan?
Bukan hanya perempuan yang belajar, laki-laki pun juga harus belajar atau peka terhadap pengasuhan. Apalagi di zaman sekarang; teknologi makin ke sini, pergaulan anak makin ke sana. Sebagai calon/yang sudah berstatus menjadi orang tua harus mengimbanginya dengan belajar, belajar dan belajar.
Poin penting sebagai orang tua dalam pengasuhan adalah look in (selalu melihat ke dalam diri). Gerakan ini diperlukan sebab banyak sekali yang merasa sudah berfungsi, “Aku kan sudah kerja keras mencari nafkah.”, “Aku kurang bagaimana di rumah?” namun pertanyaannya adalah, “Sudah cukupkah ikatan emosional (attachment) yang dibangun kedua orang tua pada anak?” dimulai dari 0-5 tahun (di atas 5 tahun kedaluwarsa).
Mengapa 0-5 tahun? Sebab semua yang dibutuhkan manusia dasarnya dimulai dari 0-5 tahun. Di mana anak membutuhkan attachment sebagai pondasi rasa aman, keberanian, kesehatan, eksplorasi, yang perlu dipenuhi terutama oleh ibu kemudian ayahnya.
Dan yang menentukan attachment adalah ayah, di mana sel spermalah yang aktif dalam proses hingga terjadinya kehamilan. Jadi seyogianya dalam pengasuhan pun yang paling banyak aktif adalah ayah. Inilah sunatullah, lantas mengapa pengasuhan banyak dilakukan oleh ibu-ibu?
Lalu dalam prosesnya hingga terjadi kehamilan yang berperan adalah sel sperma dan sel telur, laki-laki dan perempuan namun mengasuhnya sendiri? Apa yang terjadi? Stres sebab tidak mendapat dukungan, hanya dilakukan sendiri, dsb. Mengapa demikian? Sebab ayah merasa si pencari nafkah, tidak ada urusannya dengan anak. Jika pun iya hanya poles-poles saja.
Attachment yang menentukan adalah ayah. Sebagaimana dalam proses sebelum terjadi pembuahan, sel spermalah yang menentukan berbelok ke mana? Ke saluran kanan atau kirikah? Atas seizin Allah Subhanahu Wata’ala. Begitu pun dalam pengasuhan, penentunya adalah ayah. Ayah sebenarnya ingin anaknya diasuh oleh siapa? Jika ayah mengizinkan ibu bekerja maka ayahlah yang mengambil keputusan memang sejak 3 bulan anak tidak memiliki attachment.
Padahal attachment penting sekali tergantung siapa yang memfasilitasinya. Wifi, gadget, tv berlangganan difasilitasi oleh siapa? Ayah. Ayah yang memutuskan anak attachment ke benda-benda tersebut kemudian ayah sadar mereka kecanduan. Ayah mengambilnya dari anak.
Sadarkah apa yang ayah ambil dari anak? Orang tua mereka. Tanpa sadar ayah menjadikan gadget sebagai ibu mereka, tv berlangganan sebagai ayah mereka. Ketika mereka diambil, wajar jika anak marah sebab ayah mengambil orang tua mereka, dan ayah ikut marah. Jadi siapa yang salah?
Inilah anak-anak yang mereka berayah; ia ada, berayah; ia tiada dan beribu; ia ada, beribu; ia tiada. Dan bisa dianggap merekalah anak-anak yang menderita busung ayah, yang lapar jiwanya. Busung ayah ini yang dikhawatirkan menjadi ad-dayyuts dan Allah Subhanahu Wata’ala haramkan surga baginya.
Anak dididik sukses secara akademis masuk univ A, B, C supaya bisa bekerja di tempat yang bagus, penghasilan bagus, dsb namun ia tidak siap menjadi suami, ia tidak siap menjadi ayah. Lalu orang tua si anak yang mengambil peran menjaga cucu. Padahal, nenek tidak didesain Allah Subhanahu Wata’ala untuk mengasuh cucu, yang seyogianya mengasuh cucu adalah yang menghasilkan anak tersebut, ibu dan ayahnya.
Lalu bagaimana solusi bagi seorang istri yang ingin mengajak suami agar terlibat pengasuhan? Yang juga tidak menimbulkan masalah baru lainnya ketika diingatkan, jadi ribut, dsb.
Tingkatkan frekuensi berhubungan suami dan istri. Allah Subhanahu Wata’ala menciptakan banyak cairan otak yang sangat khusus fungsinya ketika berhubungan, di antaranya dopamin (menimbulkan kecanduan), norepinephrine (membekukan kenangan-kenangan indah), oksitosin (membuat lekat) dan serotonin (rileks), setelah suasana sudah terbangun (rileks) maka bisa langsung disampaikan hal-hal yang ingin disampaikan. Dengan 3 langkah panduan lainnya, isu kritis, dsb.
Jika berbicara menggunakan isu kritis.
Kalimat tidak boleh panjang.
Harus kalimat bertanya.
Penggunaan kalimat bertanya ditujukan untuk membuat seseorang harus menjawab. Untuk menjawab ia harus berpikir. Setelah ia berpikir kemudian melihat ke dalam dirinya sehingga timbul kesadaran diri. Jika ingin suami sadar untuk terlibat pengasuhan, gunakan kalimat bertanya (termasuk jika orang tua ingin mengkomunikasikan sesuatu kepada anak).
Dibiasakan sebab bisa membuat orang lebih cerdas, lebih banyak melihat ke dalam dirinya dan lebih mudah terjadi perubahan. Inilah tips berkomunikasi yang bisa dipraktikkan (nomor 2-4) kepada siapa saja, dengan catatan menggunakan nada datar.
Pengasuhan ini dalam kondisi apa pun, orang tua yang utuh atau orang tua tunggal konsepnya sama. Jika Allah Subhanahu Wata’ala beri kemampuan, anak dilindungi oleh-Nya pasti bisa. Namun, inilah yang seringkali diremehkan yaitu hubungan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan seringkali orang tua lupa tidak menempatkan anak sebagai amanat Allah Subhanahu Wata’ala sehingga suka semena-mena.
Dan harus meyakini dalam pengasuhan bukan hanya menyoal hal tersebut saja, Allah Subhanahu Wata’ala. Ingin menggunakan teknik pengasuhan apa pun juga, itu hanya alat melainkan tersebab apa? Sebab masa depan itu bukan orang tua yang membentuk melainkan masa depan itu milik Allah Subhanahu Wata’ala sebagai orang tua asuh saja dengan sebaik-baiknya namun masing-masing anak memiliki nasibnya sendiri.
Dan keberhasilan seseorang bukan hanya faktor tunggal namun ada doa ibunya, sedekah kakeknya dan kebaikan-kebaikan orang lain dan apa yang Allah Subhanahu Wata’ala anugerahkan baginya dan masa depannya.
Lalu bagaimana dengan orang tua yang terlambat di midlife-nya? Sebenarnya tidak ada kata terlambat dalam hidup, di mana menyadarinya, yang paling penting dan pertama sekali adalah berubah dan inilah yang berat. Di sinilah, adakah kemauan untuk berubah?
Kembali lagi, setelah sudah terjalin komunikasi antara ibu dan ayah maka rumuskanlah. Bisa ditulis di kertas.
Masalah anak apa? Semisal berbicaranya keras, cuek, dsb. Lalu pilihlah yang mana yang mau diselesaikan terlebih dahulu. Carilah yang mudah.
Kesalahan dari ayah apa?
Kesalahan dari ibu apa?
Jalan keluarnya bagaimana?
Semisal yang ingin diselesaikan, cueknya. Lalu, bisa tuliskan di masing-masing kertas, “Menurut ayah si kakak jadi cuek, ayah itu kelirunya di mana?”, “Menurut ibu si kakak jadi cuek, ibu itu kelirunya di mana?” (kembali pada poin penting pengasuhan yaitu look in), mengevaluasi masing-masing diri sebagai ibu dan ayah sehingga tidak ada adu tunjuk untuk saling menyalahkan dan gunakan panduan berkomunikasi (menggunakan kalimat tanya).
Setelah itu, diskusikan pengakuan masing-masing, kesalahannya di mana? Jalan keluarnya bagaimana?
Obrolkan dengan anak, dudukkan anak di tengah di antara ibu dan ayahnya. Elus kepala anak atau bahunya minta maaflah, “Maaf ya sayang, berapa umurmu sekarang? 13 tahun ya, banyak sekali salah ayah ya nggak sih Nak?” beri waktu dulu sebentar kemudian ibunya menimpali, “Maaf ya Nak, 13 tahun. Kemarin itu ibu ngobrol sama ayah. Banyak sekali salah ibu ya Nak, maaf ya sayang.”
Anak kemungkinan akan bingung, ibu ayahnya kenapa? Tiba-tiba minta maaf. Namun, hal ini bisa membuatnya luluh. Dan inilah kalimat yang sulit diungkapkan oleh orang tua sebab mereka memelihara gengsi. Dengan anak tidak perlu gengsi dan ini akan menjadi pelajaran untuknya juga. Terapkan pula hingga tua, meski sudah nenek-nenek pasti melakukan kesalahan.
Potong luka pengasuhan yang telah berlalu, mulailah dari dirimu. Jika kamu menginginkannya.
Kembali lagi, jika anak sudah terbuka. Tanyakan padanya, “Menurut kamu masalah apa yang sekarang kamu rasakan? Yang penting sekali kamu ingin bicarakan kepada ibu dan ayah? Ada berapa? Keluarkan.”
Catat kembali, buat peringkat kembali. Yang mana duluan yang ingin dibahas? Jadi tidak semua orang tua yang menentukan. Anak hanya memasang telinga saja sehingga ia merasa tidak terlibat. Orang tua harus membuat anak memiliki permasalahan tersebut sehingga menimbulkan kesadarannya sendiri.
Dan sejatinya, orang tua sedang melakukan sebuah kursus pengasuhan di masa depan yaitu memberikan dasar kepada anak dengan cucu mereka nantinya.
Tanyakan pada anak di mana yang keliru? Apa yang perlu dikoreksi? Sehingga terjadi dialog. Sebuah keluarga harus memilih safe place di rumah itu di mana? Semisal di kamar orang tua sehingga anak tidak memilih safe place di luar rumah atau figur lain.
Tidak ada kata terlambat, permasalahannya mau atau tidak, lalu cicillah utang, dikalkulasikan berapa banyak utang dengan jiwa anak? Dan inilah yang tidak disadari, orang tua merasa tidak berutang. Justru orang tua merasa anaknyalah yang memiliki utang pada mereka. Itulah mengapa anak mencari yang lain-lain itu.
Hidup hanya sebatas formalitas, yang ditanyakan orang tua adalah PR atau akademis. Tanyakan perasaan anak, “Jika ibu begini, perasaan kamu bagaimana?” sedang orang tua sukanya menanyakan pikiran. Buat seseorang yang terpenting adalah perasaannya. Jika perasaannya diterima maka ia akan merasa seluruh dirinya diterima dan sebaliknya.
Orang tua jarang membicarakan tentang perasaan melainkan, “Yang kamu pikir bagaimana?” lalu anak tidak terbuka dengan perasaannya. Takut uang jajan dikurangi, hasil dari konsekuensi bukan kesepakatan atau tidak melalui perundingan.
Jadi di depan memang harus ada kesepakatan terlebih dahulu dan perumusan tujuan pengasuhan. Tanyakan pada calon istri, istri atau calon suami atau suami, “Bagaimana rencanamu jika kamu menjadi ibu?”, “Bagaimana rencanamu jika kamu menjadi ayah?”
Semisal, kesepakatan untuk memberikan nafkah yang halal dan tayib. Inilah dasar yang sering dilupakan atau hanya memakan hewan yang zabihanya jelas. Dan ini yang juga memberikan kontribusi anak sukses dan tidak sukses atau sehat dan tidak sehat sehingga bukan hanya ke dokter cek vaksinasi, dsb sebab apa yang dikonsumsi, itulah yang memengaruhi jiwa.
Faedah dari rubrik Alanabi episode Meet the Specialist bersama Ibu Elly Rusman hafidzahullah.
Lebih sederhananya lagi,
Laki-laki lebih dulu khatam bacaan parenting. Jadi nabungnya utk diri sendiri, beli buku parenting utk persiapan sendiri, kelak setelah menikah tinggal berbagi bacaan tersebut kpd istri
Mudah²an yang demikian, mengurangi beban alokasi tabungan suami 💦
- Suci Anggraeni
261 notes
·
View notes
Text
#Bekalpengasuhan
Look in.
Sebagaimana yang dikatakan Ibu Elly Rusman hafidzahullah, di unggahan sebelumnya bahwa poin penting sebagai orang tua dalam pengasuhan adalah look in (selalu melihat ke dalam diri) semisal ada tipe orang tua yang mengekang anak, ada pula yang demokratis.
Tanyakan pada dirimu sebagai orang tua (look in), mengapa selalu menuntut atau mengapa terlalu membebaskan? Apa dulu terlalu terkekang sehingga sekarang ingin membebaskan anak supaya tidak merasakan seperti dirimu? Apa itu benar? Sering-seringlah look in dan meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini sudah benar apa belum.
Dan pengasuhan pun sejatinya, hubungan ke atas atau hubungan vertikal (hablun minallah) dahulu baru setelahnya hubungan horizontal (hablun minannas). Inilah yang juga sering diremehkan.
“Jika anakku bertingkah hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku abaikan. Jika anakku sukar diatur hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku lalaikan. Jika anakku menguras emosiku hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku akhirkan. Terkadang penyebab utama seluruh kesukaran karena kita tidak menunaikan hak Allah di atas yang lainnya. Tentang salat di akhir waktu dengan terburu-buru. Tentang lembar Quran yang tak dibuka apalagi ditadaburi. Berharap semua berjalan sempurna tapi Pencipta hanya diberi waktu sisa. Hai aku, jangan bercanda.” - Derry Oktriana Syofiadi hafidzahullah
Lagi-lagi tentang look in sebagai bentuk evaluasi kepada diri sendiri dan mengevaluasi hubungan orang tua dengan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebuah kontemplasi agar tidak serta-merta menyalahkan anak yang akhirnya memicu luka dalam pengasuhan lalu melabelinya dengan sebutan nakal, dsb.
“Anak durhaka kepada orang tua? Ada. Orang tua durhaka kepada anak? Tidak ada. Orang tua durhaka? Ada, durhaka kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebab yang diingkari adalah perintah Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang tua untuk memenuhi hak anak.” - Mamazi hafidzahullah
Sebagaimana yang dikatakan pula oleh Ibu Elly Rusman hafidzahullah, orang tua sering lupa menempatkan bahwa anak adalah amanat Allah Subhanahu Wata’ala sehingga suka semena-mena.
Banyak kasus di mana ibu kesal dengan ayah, anak yang jadi korban. Di sinilah bentuk contoh bahwa orang tua tidak menempatkan anak sebagai amanat dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Mereka yang menempatkan anak sebagai amanat dari Allah Subhanahu Wata’ala tanpa peduli apa pun kondisinya, harus mencari nafkah juga, harus mengasuh anak juga, harus mengurusi keluarga yang lain juga yang entah rasa capeknya sudah tidak tahu ada di sebelah mana tetap saja on track sebab meyakini pula ada Allah Subhanahu Wata’ala yang akan menolongnya.
Inilah dalam pengasuhan perlu meyakini bukan hanya menyoal hal tersebut saja. Mau apa pun metodenya, intinya adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Bagaimana hubungan orang tua dengan Tuhannya? Look in.
Jika anak yang bermasalah, bagaimana tauhid orang tua pun akan memengaruhi sikapnya untuk merespon. Ia akan merespon secara proporsional.
“Jika kamu sebagai individu melakukan kesalahan inginnya disikapi seperti apa? Dibentak-bentakkah? Dipukulkah? Tentu tidak ingin kan? Lalu mengapa kamu melakukannya kepada anakmu? Anak melakukan kesalahan langsung diomelin, dibentak, dipukul. Apa kamu pun siap ketika melakukan kesalahan langsung diazab oleh Allah Subhanahu Wata’ala? Kepalanya dipecah dengan batu atau dimasukkan ke dalam tungku api. Anak (yang mungkin masih kecil) tidak bisa berbuat apa-apa tetapi bukankah Allah Subhanahu Wata’ala mampu melakukan apa yang kamu lakukan itu ke anak-anakmu dengan hal yang jauh lebih berat dan lebih besar? Allah Subhanahu Wata’ala lebih berkuasa atas kamu dibanding kekuasaanmu terhadap anak-anakmu dan Dia lebih sanggup menghukum atau menyakitimu dibanding kemampuanmu untuk menghukum atau menyakiti anak-anakmu.” – Ust. Nuzul Dzikri hafidzahullah
Lagi-lagi look in dan yang juga perlu dievaluasi adalah bagaimana suami memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya halalkah? Tayibkah? Zabiha hewan yang dikonsumsi jelaskah? Sebab apa yang dikonsumsi akan memengaruhi jiwa.
Inilah yang juga penting dan dasar namun jarang dibahas dalam kelas-kelas pengasuhan. Bisa jadi anak susah diatur sebab dampaknya berasal dari sumber nafkah yang haram. – Ummu Sajjad hafidzahullah dan Ust. Fatih Karim hafidzahullah
“Jagalah hak Allah niscaya Allah akan menjagamu.” (HR. Tirmidzi, no. 2516 dan Ahmad, 1:293)
282 notes
·
View notes