#ayachiiyume🍁
Explore tagged Tumblr posts
Text
🏹❄️
"Kita memang berada di tempat yang sama, tapi ada di jalan yang berbeda.."
Ishida Uryu x Wisteria Snow (aka Ueno Fuyuki)
5 notes
·
View notes
Text
erste Hoffnung
Bleach characters x oc
Semua karakter Bleach adalah milik Tite Kubo sensei, saya hanya meminjam.
"Fuyuki-san…!"
Seseorang melambaikan tangannya kepadaku dari seberang jalan. Begitu lampu penyeberangan menyala hijau, gadis berhelai coklat itu berlari kecil menghampiriku dengan senyum lebar seperti biasa menghiasi wajahnya.
"Maaf membuat Fuyuki-san menunggu lama.." Gadis itu Inoue Orihime, mengatupkan tangan di depan wajahnya, meminta maaf padaku.
Aku menggeleng dan menjawab singkat, "Tidak apa."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang." Ia menarik tanganku. Tapi, langkah Orihime tiba-tiba saja terhenti. "Eh, tunggu sebentar.." Kedua iris coklat Orihime mengamati pakaian yang aku kenakan dari atas sampai bawah dengan seksama. "Apakah Fuyuki-san akan pergi ke festival dengan pakaian ini?"
Aku berkedip bingung, kemudian menatap penampilanku sendiri di kaca sebuah konbini yang tak jauh dari tempat kami berdiri. "Ada yang salah dengan ini?"
"Ah, tidak. Tidak ada yang salah, kok. Aku hanya merasa kalau Fuyuki-san pasti akan lebih cantik jika memakai yukata juga."
Aku berkedip untuk kedua kalinya. Yukata, ya?
Setelah mendengar Orihime berkata begitu, aku baru menyadari bahwa dia memang memakai yukata untuk ke festival. Yukata yang ia kenakan berwarna merah muda, sewarna bunga sakura di musim semi. Rambut panjangnya diikat dan diberi hiasan rambut dengan warna senada.
Terlihat sangat cantik..
"Tapi … aku tidak punya yukata."
Orihime tampak sedikit terkejut mendengar jawabanku. Dia terdiam untuk beberapa saat. Sampai akhirnya berseru bahwa dia tahu dimana aku bisa mendapatkan yukata dengan cepat saat ini juga.
Dia pun mengajakku pergi ke suatu tempat yang cukup aku ketahui.
Benar, itu adalah toko Urahara.
Pria dengan topi dan kipas yang biasa dipanggil Urahara itu tersenyum lebar begitu melihat kedatanganku dan Orihime. Orihime langsung menjelaskan tujuan dari kunjungan kami kali ini. Dan dengan senang hati pria itu memberikan sebuah yukata kepadaku.
"Cocok sekali! Fuyuki-san benar-benar cantik seperti dugaanku!" Orihime berbinar begitu melihat yukata berwarna ungu yang aku kenakan. Dia lalu membantuku menata rambut, bahkan memberikan hiasan rambut juga.
"Nah, sudah selesai! Sekarang ayo kita pergi!"
••••
Sejak tinggal di kota Karakura, aku tidak pernah membayangkan akan pergi ke festival dengan seseorang. Apalagi seseorang yang bisa aku sebut sebagai teman. Karena dulu aku tahu betul bahwa tujuanku datang kemari bukanlah untuk itu.
Tapi sejak bertemu Orihime, aku sering menemukan hal baru yang membuatku berdebar. Dia mengajariku banyak hal. Mengajariku begitu banyak emosi. Bahkan darinya, aku bisa tahu tentang apa itu kasih sayang.
Dia adalah gadis yang sangat baik hati dan lembut, dengan senyum yang bersinar, dan perhatiannya yang tulus. Jujur saja, itu membuatku merasa sangat nyaman saat ada di sekelilingnya. Mungkin karena itulah, sulit bagiku untuk melepaskan pandangan darinya.
Apakah … ini yang disebut mengagumi seseorang?
Di festival ini, kami tidak datang berdua saja. Ada Tatsuki-san, Kurosaki-kun, Ishida-kun, dan Sado-kun juga. Oh, di belakang Kurosaki-kun ternyata ada Karin-chan dan Yuzu-chan.
Kami semua kemudian berkeliling, membeli beberapa makanan ringan, sampai mencoba banyak permainan juga.
Yang paling menyenangkan adalah saat aku dan Kurosaki-kun beradu menembak, siapa yang bisa menjatuhkan kaleng lebih banyak.
Ah, apa aku bilang tadi menyenangkan? Sejujurnya aku masih kurang mengerti dengan kata itu. Hanya saja … aku merasakan jantungku berdebar lagi saat melakukannya.
Sebelum pulang, Orihime mengajakku dan yang lain untuk menggantung tanzaku. Dia memintaku menuliskan sesuatu di kertas persegi panjang itu, kemudian menggantungkannya di bambu.
Aku menatap kertas di tanganku dalam diam. Apa yang harus aku tulis?
Begitu perang besar berlalu setahun yang lalu, aku akui aku memang hidup dengan sedikit lebih baik sekarang. Padahal saat itu aku sudah menyerahkan akhir hidupku pada para shinigami.
Tapi Orihime dan Kurosaki menyelamatkanku. Mereka mengajakku untuk kembali ke kota Karakura dan mengatakan bahwa aku punya rumah di sini. Mereka juga memberikanku harapan serta alasan lain mengapa aku harus bertahan hidup.
Aku sungguh berhutang banyak pada mereka. Meski begitu, sampai saat ini aku tidak tahu bagaimana cara untuk membalas semua kebaikan hati mereka. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berharap agar mereka hidup bahagia.
Ah, itu dia.
Akhirnya aku sadar, bahwa harapan yang harus aku tulis di tanzaku ini bukanlah untuk diriku, melainkan untuk mereka yang telah melakukan banyak hal untukku.
Selesai menuliskan sesuatu di kertas dan menggantungkannya di bambu, aku berbalik. Aku melihat Orihime dan yang lainnya tengah menungguku. Dan kalian tahu? Mereka semua tersenyum padaku.
Ah, perasaan apa ini? Jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Sepertinya aku benar-benar sangat menyukai berada diantara mereka. Ini tidak masalah, bukan?
3 notes
·
View notes
Text
Kehangatan di Musim Dingin
Ishida Uryuu x Ueno Fuyuki
Angin malam di pertengahan bulan Januari membuat malam itu terasa semakin dingin. Salju turun tidak gerlalu lebat sebenarnya. Hanya saja, itu tetap membuat orang-orang enggan keluar rumah.
Dan itulah yang terjadi pada Ishida Uryu. Dokter muda itu masih sibuk dengan jarum, benang dan kain di tangannya. Kalau dipikir-pikir, dia sudah duduk diam di sofa seperti ini selama dua jam setelah ia pulang dari rumah sakit. Sekarang sudah pukul 10 malam. Pantas saja Fuyuki yang berkata akan menemaninya, ternyata justru telah terlelap sambil bersandar di punggungnya.
Gadis itu meringkuk di sofa dengan selimut tebal membungkus tubuhnya. Tentu saja itu tidak terlalu mengherankan bagi Uryu. Karena ia ingat betul bahwa Fuyuki pernah berkata tentang kelemahannya pada musim dingin. Meskipun telah menyalakan penghangat ruangan, Fuyuki masih butuh sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya.
Uryu membenarkan letak kacamatanya, dan menaruh kain yang telah dijahitnya di meja setelah ia memotong benangnya. Tangannya lalu bergerak untuk memindahkan Fuyuki pada posisi yang nyaman di pelukannya.
Gadis dengan helai keperakan itu menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan, dan manik lilacnya menatap Uryu yang kini tengah memeluknya.
"Maaf jika aku membangunkan mu." Uryu tersenyum, sementara jemarinya dengan lembut menyingkirkan helaian rambut Fuyuki dari wajahnya. "Jika kamu sudah ingin tidur, pergilah ke kamar."
Suara Uryu terdengar lembut dan membuat Fuyuki tersenyum. Ia menggeleng pelan, lalu merapatkan tubuhnya pada Uryu. Berusaha mencari kehangatan dari tubuh suaminya itu dengan melingkarkan kedua tangannya ke pinggangnya. "Aku masih ingin menemanimu. Apakah kamu sudah selesai menjahit?"
Uryu mengangguk dan meraih sweater yang telah selesai ia jahit dan menunjukkannya pada Fuyuki. "Mau mencobanya?"
Sejujurnya tanpa bertanya pun, Uryu sudah tau jawabannya. Karena gadisnya itu akan selalu dengan senang hati memakai apapun yang Uryu jahitkan untuknya. Dan itu tentu saja membuat Uryu merasa senang luar biasa.
Fuyuki melepaskan pelukannya dan mengambil sweater berwarna biru langit itu dari tangan Uryu. Sementara mata Uryu mengamati gerak-gerik Fuyuki saat mencoba hasil jahitannya kali ini.
"Bagaimana?"
"Ini sangat nyaman, dan ... hangat."
Uryu tersenyum lebar, ada rasa bangga di hatinya setelah mendengar jawaban Fuyuki. Ia lalu mengambil satu sweater lagi dengan warna serupa dan menunjukkannya pada Fuyuki. "Sebenarnya, aku membuat sepasang."
Oh! Manik lilac Fuyuki berbinar. Ini adalah pertama kalinya ia memiliki barang pasangan dengan Uryu. Tentu saja itu selain cincin pernikahan mereka.
Melihat reaksi Fuyuki yang tampak antusias membuat Uryu juga tidak sabar mencoba sweater yang ia jahit itu. Ia segera memakainya. Dan kini, mereka telah memakai sweater pasangan itu.
Senang.
Uryu bisa melihat bahwa gadisnya itu sangat bahagia. Rona merah di kedua pipi Fuyuki yang pucat membuatnya terlihat seperti bunga mawar yang sedang merekah. Cantik ... dan menggemaskan.
"Kamu menyukainya?" Uryu bertanya lagi. Tapi yang ia dapat bukanlah sebuah jawaban, melainkan sebuah pelukan erat dari sang gadis berhelai perak. Gadis itu tak mengatakan apapun dan hanya mengangguk. Meski begitu, Uryu tahu bahwa Fuyuki menyukainya.
"Terima kasih, Ryu..."
Kedua pipi Uryu perlahan memerah setelah mendengar Fuyuki berbisik padanya. Tangannya sekali lagi melingkari tubuh mungil sang gadis dan menariknya semakin erat dalam pelukannya.
"Sama-sama. Aku tahu kamu tidak tahan dengan udara musim dingin. Karena itu, aku ingin membuatmu tetap hangat."
"Aku sudah cukup hangat sekarang."
Fuyuki tersenyum sambil memejamkan matanya dan menikmati rasa hangat yang Uryu salurkan padanya. " ... hangat sekali..."
Uryu tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat tingkah Fuyuki yang menggemaskan. Gadis itu, sekarang telah menemukan tempat yang nyaman untuknya. Dan itu tentu saja ... adalah di dalam pelukan sang suami.
0 notes
Text
The Flower and The Bloodlust
Jugram Haschwalth x Margaretha Sandberg (Fantasy AU)
Bulan purnama di penghujung musim panas menyinari langit dengan terangnya. Angin malam semilir membawa aroma dedaunan yang perlahan berubah warna menjadi kekuningan, pertanda bahwa musim gugur akan segera tiba.
Enam bulan telah berlalu, sejak hari dimana Margaretha Sandberg dibawa ke kastil ini dan dijadikan sebagai tawanan. Atau lebih tepatnya ... cadangan makanan untuk sang pangeran vampir, hanya karena ia adalah satu dari dua penyihir yang tersisa di dunia ini selain adik kembarnya, Regina Sandberg.
Sejak ratusan tahun yang lalu, bangsa vampir adalah musuh utama para penyihir, dan itu adalah kisah turun-temurun yang sekarang benar-benar Margaretha alami sendiri. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana para vampir penghuni kastil ini menatapnya dengan mata merah dan mulut berair. Seakan dia adalah santapan paling lezat yang pernah mereka lihat.
Konon katanya, darah penyihir memiliki aroma dan khasiat yang sangat luar biasa untuk para vampir. Itulah sebabnya, mereka dengan rakus dan ganas menghabisi para penyihir. Memeras darah mereka, dan menjadikan para makhluk haus darah itu hidup abadi.
Sejujurnya, Margaretha ingin pergi dari sini. Namun jika ia berani melakukan itu, para vampir itu pasti akan memburu Regina. Dan ia tidak mau adik kembarnya itu terluka. Karena itulah, Margaretha rela berada di sini tanpa perlawanan dan membuat kesepakatan dengan sang pangeran vampir. Ia tidak akan menolak untuk menjadi tawanan, asalkan sang pangeran berjanji untuk melepaskan adiknya. Yang secara mengejutkan, ternyata diterima tanpa banyak pertanyaan oleh pria itu.
Dan ... di sinilah Margaretha sekarang. Duduk termenung di jendela sambil memandang bulan purnama. Manik kelabunya menatap lurus pada benda bulat cantik di langit itu. Sementara pikirannya melayang pada Regina. Apa yang adik kembarnya itu lakukan sekarang, ya?
Margaretha mungkin adalah gadis yang beruntung. Karena tidak seperti tawanan pada umumnya yang berada di penjara, ia justru berada di sebuah kamar gelap yang hanya diterangi beberapa lilin dan cahaya bulan dari jendela. Kamar itu tak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Setidaknya, itu cukup nyaman untuk Margaretha tinggal dan bersembunyi dari para penghuni kastil ini yang siap memakannya kapan saja. Tentu saja itu akan mereka lakukan, jika mereka tidak takut pada murka sang pangeran.
"Kau belum tidur? Ini sudah larut."
Suara itu seketika membuat Margaretha menoleh, dan mendapati Jugram Haschwalth, sang pangeran vampir berdiri di dalam kegelapan di sudut kamar Margaretha.
"Anda sangat tidak sopan. Bukankah seharusnya anda mengetuk pintu dulu sebelum masuk?"
Margaretha menggerutu sambil masih menatap pria itu. Mata mereka sempat bertemu. Sekilas. Hanya beberapa detik. Namun dengan cepat, Margaretha segera memalingkan wajahnya dari pria itu. Ada rasa dingin yang aneh menyelimuti dirinya setiap kali manik sebiru es milik sang pangeran menatapnya. Rasanya … mata tajam itu seperti menusuk jantungnya.
Haschwalth melangkah keluar dari balik bayangan dan mendekat. "Aku datang untuk meminta makananku hari ini."
Oh, jadi dia datang untuk meminum darahku? Margaretha mambatin.
Setelah terdiam beberapa saat, helaan nafas pelan terdengar dari mulut Margaretha. Ia lalu menoleh pada Haschwalth dan menyadari pria itu sudah duduk di kursi. Menunggunya untuk duduk disampingnya, dan memberinya jatah makanan.
Margaretha mau tak mau menurut dan duduk di samping Haschwalth. Namun belum sampai pantatnya menempel di kursi, pria berhelai keemasan itu telah lebih dulu menarik tubuh Margaretha dan membuat gadis itu duduk di pangkuannya
Mata Margaretha melebar dengan terkejut. Ia mulai sedikit meronta, dan berusaha melepas diri dari sang pangeran. "Lepaskan aku! Kenapa tidak melakukannya seperti biasa saja?"
Margaretha tidak bisa tidak protes. Karena biasanya, Haschwalth hanya akan menggigit lehernya dan meminum darahnya begitu ia duduk di sampingnya. Jadi, tidak perlu sedekat ini, kan?
Tapi Haschwalth sama sekali tidak bergeming. Ia tidak menjawab dan langsung menggigit leher Margaretha begitu saja. Menancapkan taringnya ke kulit gadis itu dan menghisap darahnya perlahan.
Margaretha meringis menahan sakit. Meskipun ini bukan pertama kalinya sang pangeran vampir meminum darahnya, rasa sakit itu tetap saja berhasil membuat Margaretha hampir menangis. Ia menggigit bibirnya dan memejamkan matanya. Berusaha menahan rasa ngilu yang semakin menjadi-jadi setiap kali bibir Haschwalth bergerak untuk menikmati darahnya.
Mereka berada dalam posisi itu selama beberapa menit, sampai Margaretha mulai merasakan matanya berkunang-kunang. Sial. Sepertinya ia cukup kehilangan banyak darah.
Haschwalth menyadari bahasa tubuh gadis di pangkuannya itu, dan menarik taringnya dari leher Margaretha. Matanya mengamati wajah sang gadis yang terlihat pucat. Ibu jarinya lalu dengan lembut mengusap bekas gigitannya. Dan dengan kekuatannya, luka itu menghilang tanpa sisa seakan tak pernah ada.
Pria bermanik sebiru es itu kemudian berdiri, membawa Margaretha di gendongannya, dan dengan perlahan membaringkannya di ranjang. Haschwalth duduk di sisi tempat tidur, sambil menatap paras cantik si gadis penyihir yang tengah tak sadarkan diri sebab terlalu banyak kehilangan darah. Tangannya terulur, dan jarinya dengan lembut menyapu helaian rambut Margaretha dari wajahnya.
Di mata Haschwalth, Margaretha adalah gadis bodoh. Yang dengan senang hati menjadi makanannya, hanya agar adiknya tidak menjadi sasaran para vampir. Dan ia juga tidak mengira bahwa Margaretha akan sepenuhnya percaya pada kesepakatan yang telah mereka buat. Bagaimana jika adiknya mati tanpa dia ketahui? Lagipula, ia sudah berada di kastil ini selama setengah tahun. Dan bahkan ia tidak tahu apa yang terjadi pada adiknya sekarang.
Tidak hanya bodoh, tapi Margaretha juga nekat. Padahal tubuhnya mungil, jika dibandingkan dengan dirinya. Tapi, siapa sangka tubuh kecil itu ternyata memiliki keberanian. Ia mengakui bahwa nyali gadis itu memang cukup besar. Bagaimana tidak, ia bersedia berada di kastil tempat tinggal para vampir yang bisa saja membunuhnya kapan saja. Bukankah itu cukup gila? Dan ia melakukan itu hanya untuk adiknya.
Benar, Margaretha adalah gadis bodoh.
Namun, Haschwalth diam-diam menyukai warna rambut Margaretha. Hitam … sehitam tinta. Sehitam arang … dan sehitam kegelapan yang selama ini selalu menemaninya. Ada rasa aneh di hatinya saat memperhatikan gadis itu. Itulah yang ia rasakan setelah menjadikan Margaretha tawanan selama enam bulan terakhir.
Haschwalth sadar, ia tak seharusnya menaruh perhatian pada gadis penyihir itu. Karena baginya, Margaretha hanyalah persediaan makanan. Hanya saja … hati tidak bisa dikendalikan, kan?
0 notes