#agraria surti tejo
Explore tagged Tumblr posts
Text
Culture Shock dan Politik Agraria dalam Kisah Asmara Surti Tejo
Suara serak-serak becek Krisyanto dalam rekaman lagu Surti Tejo masih terus berputar di kepala saya. Lagu kontroversial itu kali pertama saya nikmati sebelum mendapati akil baligh. Lamat-lamat terdengar asing diksi seperti ”kontrasepsi”, “konak”, dan tentu saja “fuck you”.
Setelah beranjak gede, saya mulai mengerti makna lagu tersebut. Urbanisasi yang pada masa itu sedang gencar menjadi tema khusus lagu ini. Unsur intrinsik yang secara eksplisit terdapat di dalam lirik lagu, makin lengkap dengan adanya alur, latar, tokoh, dan konflik yang terjadi antara mereka.
Alkisah, Tejo adalah pemuda desa yang bertekad mengubah nasib. Ia adalah satu dari sekian banyak manusia yang migrasi ke kota. Hal tersebut dapat diketahui dari lirik “tiga tahun berpisah nyari dana di kota”.
Setelah tiga tahun penuh perjuangan, akhirnya Tejo mudik ke kampung halaman dan bertemu sang kekasih bernama Surti. Pada lagu ini status Surti cukup terpandang yakni anak dari Kepala Desa. Sungguh beruntung pemuda bernama Tejo ini.
Tidak jelas apa dasar Aziz MS menciptakan tokoh imajiner bernama Surti yang merupakan anak kepala desa. Namun biarlah tafsir bebas serta imajinasi liar saya menggerayangi jenis lagu ballad ini.
Hubungan Cinta Surti Tejo
Berkat lagu ini kita tahu bahwa cinta monyet mampu bertahan lama. Buktinya Surti dan Tejo yang menjalin asmara sejak lulus SD sanggup bertahan di tengah perjalanan cinta yang berliku. Bagaimana tidak? Wong mereka sempat LDR-an selama tiga tahun. Mental kedua pasangan tentu sudah teruji mengingat zaman dahulu belum ada smartphone. Ealah jangankan untuk video call, surat-menyurat saja masih susah. Surti tentu tak mampu kirim stiker cium, peluk, ndusel-ndusel, wong cari perangko saja menempuh jarak lima kilo dari rumah.
Saya mengira, Tejo ini meski kampungan, dekil, dan lugu tapi ya tipikal lelaki visioner. Ia sadar hubungan cinta ini akan bermuara ke jenjang perkawinan suatu hari nanti. Apalagi Surti anak Pak Kades yang sudah tentu persiapannya lebih dari sekadar mental. Status sosial sang kekasih yang lebih tinggi, membuat ia mantap tinggalkan desa.
Keputusan untuk beradu nasib ke kota jadi pilihan yang tidak bisa tidak mesti ia hadapi. Di desa, lapangan kerja sungguh terbatas. Jika bukan tuan tanah, tukang ijon, tengkulak, ataupun kapitalis birokrat, tentu akan kesulitan mendulang rupiah. Lain halnya dengan di kota. Upah minimum yang lebih besar dari kegiatan cangkul-mencangkul di sawah tentu jadi daya tarik tersendiri.
Tejo Mengalami Culture Shock
Pada lagu ini, Jamrud tak mengisahkan jenis pekerjaan apa yang digeluti pemuda bernama Tejo. Hal tersebut penting diketahui sebab konflik yang terjadi antara Surti dengan Tejo berhubungan dengan apa yang ia hadapi/kerjakan selama berada di kota. Seolah hal ini menjadi stigma bahwa laku tindak perkotaan memang se-buas itu.
Garis waktu kisah ini pun dapat dibagi menjadi dua periode. Pertama, sebelum Tejo mengenal kehidupan kota. Kedua, tentu setelah jejaka ini mengenal bagaimana kehidupan yang terjadi di perkotaan.
Dari lirik lagu, kita tahu bukan cuma penampilan fisik Tejo saja yang berubah. Pemikiran serta gaya bicara Tejo juga mengalami perubahan. Adapun gaya Tejo yang semula dekil, kini menjadi funky. Jika dahulu Tejo adalah seorang pemuda lugu, kini Tejo menjadi sosok yang gaul. Tak ketinggalan, ia ikut membawa logat anak kota dan perbendaharaan kata slang mereka.
Tejo sudah bertransformasi secara sosial-budaya. Bro, sis, saya kasih tahu ya, seorang antropolog di Kanada ada yang bernama Kalervo Oberg. Blio ini memperkenalkan adanya fase bagaimana anak cucu Adam dapat terjangkit kejutan budaya atau bahasa kerennya culture shock.
Pertama, fase bulan madu (honeymoon phase). Dalam fase ini, si Tejo merasa waw banget sama apapun yang ada di kota. Gemerlap lampu jalan, kendaraan bermotor, cara berpakaian, arsitektur bangunan yang tidak ada di kampung halaman, mungkin akan langsung disukai oleh Tejo.
Kedua, fase pembelajaran (negotiation phase). Adapun fase ini, Tejo dianggap mulai melakukan tawar menawar antara kebudayaan lama dengan kebudayaan baru. Setelah beberapa waktu, perbedaan antara budaya lama dan baru menjadi jelas dan menimbulkan kegelisahan. Perubahan terpenting dalam periode ini adalah komunikasi. Hambatan bahasa bisa menjadi hambatan utama dalam menciptakan hubungan baru. Nah sehingga menjadi masuk akal kenapa pada rekaman lagu Surti Tejo, ada backing vocal yang ngomong “ember”. Mengganggu? Bagi saya tidak. Justru suara itu krusial, sebab makin menegaskan Tejo telah terserang kebudayaan kota.
Ketiga, fase penyelarasan (adjustment phase). Tejo mungkin mengalami homesick seperti rindu masakan simbok, kangen dipeluk Surti, atau sekadar pengen tidur-tiduran di pos ronda. Namun hal itu hanya pada awalnya, karena pada akhirnya Tejo mulai terbiasa dengan kehidupan kota.
Surti Menolak, Desa Menolak
Yang menarik dari lagu ini, mengapa dua sejoli (Surti dan Tejo) harus bertukar tangkap dengan rindu di pematang sawah? Bukankah lebih aman dan nyaman mereka melakukannya di rumah?
Berdasarkan imajinasi saya, ada agenda yang lebih besar dibalik mudiknya si Tejo.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, bahwa dampak modernisasi perkotaan tak hanya mengubah penampilan luar Tejo, namun juga pemikirannya. Siapa dapat mengetahui maksud kunjungan Tejo ke sawah? Tidak mungkin jika pertemuan itu hanya untuk pelampiasan libido.
Bagaimana jika Tejo sengaja mengajak Surti ke pematang sawah bersamaan dengan proposal pembangunan? Wallahualam.
Sebagai pendengar kritis, kita patut waspada. Sudah banyak contoh kasus yang memperlihatkan keserakahan kaum pemodal. Ibu bumi pun terpaksa dirampas harkat dan martabatnya demi memuaskan hawa nafsu pembangunan. Hal ini yang nyaris menimpa Surti. Beruntung dia menolak dan melawan. Ada makna tersirat apabila Tejo berhasil menggagahi Surti di pematang sawah, maka ia juga berhasil menggagahi lahan pertanian.
Persetan dengan cinta. Semua ini adalah konspirasi demi kelancaran proyek Tejo. Dari sini terjawab sudah mengapa Jamrud menciptakan tokoh Surti sebagai anak bapak Kades. Tejo tahu betul jika Surti setuju dengan proyek tersebut, maka akan lebih mudah bicara dengan tokoh masyarakat sekaliber Pak Kades yang notabene bapaknya Surti.
Dalam lagu tersebut kita tahu akhirnya Tejo gagal. Penolakan Surti merupakan wujud penolakan para penduduk desa sekaligus pernyataan tegas bahwa alam menolak tuk digagahi.
Tentu interior psikologi Surti mengalami keguncangan yang hebat. Bahkan lirik “Surti menangis, kecewa, arjuna berubah” teramat dangkal jika dianggap sebagai representasi psikis korban. Aksi heroik Surti berujung pada kekesalan Tejo yang akhirnya mengumpat ke arah Surti.
Dilihat dari sisi manapun, yang semestinya diumpat itu ya kamu, Jo!
0 notes