#Yuuri Hoshigawa
Explore tagged Tumblr posts
skwakr · 4 years ago
Text
Second Christmas, New York, 2017, Confession
youtube
Title: Second Christmas, New York, 2017, Confession Words: 6517 Language: Indonesian Song to play while reading: Caroline Spence - Sit Here And Love Me
A/N: Hello, World! First post here! I’m Wonton--or Eli, or Elian, really, call my whatever you like. I finally decided to create a personal blog dedicated for dumping all kinds of material for my original work that’s been in progress since 2016. I used to just jot down everything on papers and notebooks and phone notes and the realization that I can’t ctrl+F those messy scribbles finally slaps and here we are. It’s been YEARS since I last wrote so idk if this is even considered readable, but bad writing is always better than unpublished writing or whatever that one Facebook page said. I’m really considering to translate it (and my future stuff as well) into English but since English ain’t ma first language it gon be ugly fo sho. And I made peace with that. My English is pretty much influenced by Internet English and everything I be writing, just imagine them dubbed by some Southern American someone because God bless Southern American English. No, sorry, I don’t take constructive criticism there, hun. There will be tons of fandom(s) stuff I’ll be rebloging too because let’s be real we’re all hoes for something that makes us *squeals* so yea there’s that.
Tumblr media
Oh, yea, right, Merry Christmas too. And happy new year, I guess?
Summary: Setelah mengutarakan keinginannya untuk pulang dan memperkenalkan Teddy dengan bagian terbesar dari masa lalunya, Sasha dan Teddy berkendara meninggalkan Santa Monica menuju New York untuk menemui sosok Pop yang selama ini menjadi misteri dalam setiap dialog di antara keduanya. Inikah saatnya Teddy mempelajari rahasia lain dari diri Sasha?
Jika ada satu hal yang bisa Teddy—Yuuri—pelajari, bukanlah musim dingin New York berbeda dengan musim dingin California. Jauh lebih dingin? Jelas. Musim dingin New York bersalju. Musim dingin New York hanya mengingatkannya pada musim dingin di kehidupan lamanya. Bukan, bukan berarti tidak ada salju di California. Ada, hanya saja tidak di Santa Monica, dan mungkin lebih baik begitu, jadi ia tidak perlu sedikit-sedikit teringat akan masa lalunya. Ia pandai menyembunyikan sensasi-sensasi pedih menusuk acap kali ingatan tentang masa lalu mulai merangkak naik mengelabui kesadarannya, namun ingatan-ingatan tersebut bukannya tidak menghantui dirinya. Bukan, bukan ia tidak menyukai musim dingin New York, hanya saja—
Ini bukan perkaranya.
Benar.
Jika ada satu hal yang bisa Teddy pelajari, mungkin itu kumpulan segala empat musim entah berapa revolusi yang kini memenuhsesaki sorot mata biru teduh Sasha—Nona Makarovna—ke arah delikatesen di ujung seberang jalan. Di Vito’s. Bukan, bukan perkara delikatesennya—siapa di dalamnya. Di setiap kedipan matanya, air muka Sasha meneriakkan hal yang berbeda-beda. Hal yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.
Berkedip.
Rasa bersalah.
Berkedip.
Penyesalan.
Berkedip.
Malu—malu yang lebih menyerupai rasa jijik.
Berkedip.
Teddy pernah menyaksikan semua hal di atas. Bagaimana tidak? Jika ada rahasia manusia yang terselip keluar karena mereka sudah menjadi bagian dari alam sadar dan bawah sadar, ketiga hal tersebut adalah segala yang terselip pada air muka Sasha. Mungkin sebab pekerjaannya yang bersifat kemanusiaan, begitu pikirnya di awal dahulu. Lalu ia belajar bahwa di balik itu, ada masa lalu—mungkin mengenai pekerjaan lama Sasha sebelum ia memulai ulang kehidupannya di Santa Monica?—yang meneriakkan ketiga hal yang sama, lengkap dengan bekas luka di wajahnya, mungkin menjadi pengingat bahwa ada fase—bukan, masa, ya, masa—yang demikian di kehidupannya. Pikirnya, apa yang ada di balik itu, hal yang belum dapat Sasha akui padanya, mungkin merupakan rahasia hidup terbesar yang baru bisa ia pelajari entah di tonggak sejarah yang mana. Ketika mereka menjadi sepasang kekasih? Ketika mereka menjadi sepasang suami-istri? Ketika mereka menua dan bau tanah? Ia mengernyit dan menegur dirinya yang lancang memiliki angan sedemikian besarnya.
Sasha memang menyukai dirinya. Sasha tidak pernah menyangkal bahwa ia menyukai dirinya. Tunggu. Apa-apaan, rendah betul standarnya? Menyangkal? Ayolah, rasa percaya diri. Sasha sering—sangat sering—mengatakan bahwa ia menyukainya, sadar maupun mabuk. Teddy pun menyukai Sasha—sangat. Jika saja segala perasaan yang meliputi mereka pun adanya tidak sedemikian yang inginnya percayai, berada di sini, setelah mengarungi aneka rasa musim dingin dari Pesisir Barat hingga Pesisir Timur, Teddy tidak menyesali apa pun. Tidak sama sekali.
Hei, ini bukan perkaranya!
Benar.
Jika ada satu hal yang bisa Teddy pelajari, yang ia saksikan saat ini adalah perkara lain yang tidak pernah sekali pun Sasha tunjukkan kepada dunia.
Dan tentu saja—seperti biasa—ia tidak akan bertanya atau menerka apa pun.
Bukan, bukan Teddy benar-benar dengan mata tertutup mengiyakan perjalanan jauh ini. Ia sangat tidak menyukai kejutan, dan Sasha mengerti dan menghormati hal tersebut sebab dirinya pun sama.
Ia kembali melayangkan tatapannya ke arah delikatesen di seberang sana. Toko yang sederhana di pinggiran kota yang sama sederhananya. Lingkungan orang Italia, mungkin.
Teddy tahu pria di balik konter daging itu adalah Pop—ayah angkat Sasha, ia selalu menyebutnya begitu. Di mana ada masakan Italia, di sana akan selalu terselip Pop, dengan rasa bangga dan sayang yang begitu mendalam. Yang diketahuinya, hanya ada deru lembut ombak yang tenang—sebuah rindu—terselip di kedua biru teduh milik Sasha. Sesuatu yang asing sekarang.
Dan tentu saja—seperti biasa—ia tidak akan bertanya atau menerka apa pun.
Ini adalah sebuah ronde rolet Rusia dan meski tidak ada satu pun perkara untuk dimenangkan ataupun direlakan, Teddy menunggu—atau membutuhkan?—Sasha untuk menembakkan silinder yang berisikan peluru karena cepat atau lambat delikatesen akan tutup dan mereka harus memilih untuk keluar dari hangat Ford F-100 1970 milik Sasha dan membentengi tekad menemui Pop, atau menghela satu napas panjang dan kembali menyalakan mesin dan kembali ke Santa Monica.
Sasha menghela satu napas panjang dengan gusar.
Teddy memutar tubuhnya beberapa derajat lebih ke kiri, menatap Sasha dengan sama gusarnya.
“Kita tidak harus melakukan hal ini jika—“
“Kita—aku—harus melakukan hal ini, Teddy.”
Teddy kalah. Tidak akan pernah ia bisa memenangkan argumen di antaranya dan Sasha jika Sasha mempersenjatai dirinya dengan sangkalan mantap yang diakhiri dengan nama panggilan sayang untuknya, diucapkan dengan intonasi setengah menawar dan satu desah napas sesal.
“Yep...”
Teddy kembali memutar tubuhnya beberapa derajat ke kanan, kembali lurus menatap delikatesen di seberang sana.
“Dengar. Aku mengerti ini sulit bagimu. Aku juga mengerti kamu membutuhkan kita untuk melakukan hal ini. Ini sudah semakin larut dan aku tidak mau Tuan Baldoni—Pop—keburu menutup tokonya, jadi bagaimana jika aku pergi ke sana, memastikan bahwa ia baik-baik saja, dan menyampaikan salammu untuknya? Kamu boleh menyusul ataupun tidak, bukan masalah. Aku mengerti ini sulit, Sasha.”
Sasha kembali menghela satu napas gusar, kini lebih pendek. Jemarinya menggenggam erat setir, tatapannya dilayangkan ke kaki-kakinya dengan kekalahan yang tidak ikhlas.
“Yea?” Teddy menarik ritsleting jaket musim dinginnya beberapa senti ke atas menutupi lehernya dan meletakkan tangan kirinya menggenggam tangan kanan Sasha. “Yea,” lantas membuka pintu Ford keluar menyapa dingin yang sekejap menusuk hidungnya. Ia menoleh sekali ke kursi pengemudi, melayangkan senyum tipis, lalu berlari-lari kecil menyeberangi jalan yang gelap dan sepi, mengintip ke dalam delikatesen mempelajarinya, dan dengan satu napas yang begitu dalamnya, ia memutar kenop dan melangkah masuk.
 Ckling kling kling!
 “Yea? Mencari sesuatu, bung?”
Teddy menggosokkan kedua telapak tangannya, bukan kedinginan, lebih menenangkan dirinya sebab ia tahu Pop mengetahui dirinya adalah orang asing di wilayah ini.
“Hei, permisi, maaf mengganggu selarut ini, Tuan. Apa toko Anda sudah mau tutup? Apa memungkinkan jika aku menetap sebentar untuk sepiring roti lapis? Di luar sangat dingin.” Teddy melangkah mendekati konter, berusaha terlihat telap.
Pop, meski hanya setinggi bahunya, meski terlihat sudah dua puluh tahun melewati paruh bayanya, tegap menyiapkan pesanan roti lapisnya, namun juga jelas siap entah menembak atau memukulinya. Dan ia tahu bahwa Pop benar bisa menghabisinya jika ia mau. Benar buah jatuh tidak jauh dari pohonnya...
“Daging?”
“Kalkun saja,” jawab Teddy cepat. “Keju provolone, bawang bombai merah, sedikit minyak zaitun dan lada hitam,” lanjutnya, “tanpa tomat,” lupa siapa lawan bicaranya, di mana ia berada. “Ah, aku—“
Pop meletakkan pesanan roti lapis tersebut, lantas menyandarkan dirinya pada konter, menatap Teddy dalam-dalam.
“Di mana Aleksandra?” tanyanya dengan geraman rendah dan logat Italia yang teramat kental.
Teddy menghela napas lunglai. Ia turut bersandar pada sisi lain konter.
“Dengar, Tuan—“
“Aleksandra baik-baik saja?” Kini geraman rendah itu dipenuhi kekalahan.
Teddy melirik keluar kaca ke arah di mana Ford F-100 1970 Sasha berada. Pop mengekori lirikan Teddy, lantas menggelengkan kepalanya dan meneruskan pesanan roti lapis yang tadi ditinggalnya.
“Tuan—“
“Aleksandra hidup. Aleksandra baik-baik saja. Itu saja cukup.”
Ckling kling kling!
 Sontak Teddy turut melemparkan pandangannya mengekor pandangan Pop ke arah pintu masuk delikatesen. Seorang wanita seumuran Pop melangkah masuk dengan girang.
“Malam, Bernadetta. Sebentar kuambilkan pesanan kejumu di belakang.”
“Oh, Luca! Luca Baldoni sayangku! Kau tidak bilang Aleksandra kembali!”
Teddy menggosokkan tangan kanannya ke belakang lehernya yang tidak gatal. Ia melirik Pop yang kini air mukanya menjadi sendu. Pop tahu Sasha ada di sini. Bukan, bukan Pop tidak ingin melihatnya kembali, hanya saja, jika Sasha sendiri belum—atau tidak?—memiliki kesiapan diri untuk menemuinya, untuk apa, bukan?
“Aku akan mengambilkan pesanan kejumu di belakang, Bernadetta,” ulang Pop tanpa beranjak. Berekspektasi jika saja Sasha—Aleksandra-nya—sudi melangkah masuk dan menemuinya kembali setelah entah berapa lamanya.
“Oh, Luca Baldoni sayangku, itu bisa menunggu!”
Wanita bernama Bernadetta itu setengah berjingkrak-jingkrak kembali membuka pintu, berdiri di ambangnya, berbicara setengah menawar namun tidak terdengar dengan jelas lantaran angin malam musim dingin New York yang semakin tidak bersimpati, lantas menarik masuk Sasha ke dalam delikatesen.
“Oh, lihat betapa besarnya dirimu sekarang, Aleksandra sayang!”
Sasha hanya dapat tersenyum tipis dan dengan tidak enak hati melirik Pop.
“Hei, Pop.”
 Hanya ada gumaman pendek menjawab sapaan tersebut. Kemudian tatapan Pop bergeser kembali kepada wanita bernama Bernadetta itu, mengisyaratkan, “Sebentar kuambilkan pesanan kejumu,” dan menghilang ke ruangan di belakang konter.
Teddy hanya berdiri tidak menahu baiknya berbuat apa, jadi ia meraih roti lapisnya di konter dan hanya menggenggamnya sembari melayangkan pandangannya mempelajari dekorasi di setiap sisi delikatesen. Sayup-sayup ia mendengar suara riang dan hangat milik wanita bernama Bernadetta itu, sesekali bertumpuk dengan suara lembut penuh kehati-hatian milik Sasha. Sesekali Sasha meliriknya dan ia membalasnya dengan sebuah senyum tipis dan mengangkat roti lapisnya seolah-olah itu adalah seloki dan mereka melakukan toas di bar. Kemudian Teddy menghukum dirinya dalam hati karena itu bukanlah gestur terbaik maupun tepat untuk situasi ini. Jadi ia kembali hanya berdiri, menggenggam roti lapis, dan memandangi dekorasi di setiap sisi delikatesen, setengah mengagumi foto-foto lawas khas bisnis keluarga—mungkin juga keluarga mafia, entahlah, apakah di kehidupan nyata toko-toko kecil seperti Di Vito’s mendapat perlindungan sebuah keluarga mafia seperti di film-film mafia klasik yang sangat ia gandrungi sejak remaja dahulu?—Italia, menerka-nerka apa ada bintang dari masa lampau mungkin pernah menjadi bagian dari keluarga ini sebelum kemudian mengadu nasib di Hollywood, atau pernah mampir setelah kesuksesan di Hollywood; dan setengah menguping setiap ucapan wanita bernama Bernadetta itu yang tiada niat untuk melepaskan perhatian Sasha—Aleksandra-nya juga—darinya, kemungkinan besar penasaran dan ingin menggali cerita untuk bahan berceloteh esok hari di meja makan bersama keluarganya atau lingkaran pertemanan masa senjanya. Hanya ada satu hal yang sama-sama kami tunggu di dalam toko kecil ini: Tuan Baldoni kembali dengan keju pesanan Nyonya Bernadetta.
Dan ketika sosok Pop muncul dari balik gelapnya ruangan di belakang sana dengan satu lingkaran besar terpotong di gendongan sebelah tangannya dan sebongkah potongan di tangan lainnya, Teddy bisa melihat kedua bahu tegap Sasha menurun—lega.
“Bernadetta, kejumu.” Pop membungkus bongkah potongan keju pesanan wanita bernama Bernadetta itu ke dalam tas kertas bersama beberapa jenis daging dan meletakkannya di atas konter.
“Kau yang terbaik, Luca sayangku.” Wanita bernama Bernadetta itu mengeluarkan dompet koin dan mengambil beberapa lembar dolar lecek dan beberapa koin, meletakkan semuanya di sebelah tas kertasnya, lantas meraih tas kertasnya dan melangkah riang kembali ke arah Sasha.
“Kau menetap selama Natal, Aleksandra sayangku?”
“Mungkin tidak lama, Bernadetta. Pekerjaan menungguku di Pesisir Barat. Tapi aku senang bertemu kembali denganmu. Sampaikan salamku untuk Giovanni dan yang lainnya.”
“Oh, tentu. Giovanni pasti akan senang menerima salammu. Selamat Natal, Luca sayangku!”
Dan dengan begitu, wanita bernama Bernadetta itu menghilang di balik angin malam musim dingin New York.
 Pop melepaskan celemek krem kusam dengan noda bekas darah daging ternaknya dan menggantungkannya di sebelah pintu menuju ruang belakang delikatesen dan melangkah keluar dari konternya, membalik penanda toko menjadi tutup dan menutup tirai gulung atas, memberi privasi di dalam sini. Berbalik badan, ditatapnya Sasha lebih lama dan lebih dalam, Pop yang hanya sebahunya lantas kembali ke dalam konter dan mulai membuat roti lapis. Sama dengan yang Teddy pesan tadi pastinya.
“Duduklah. Suruh Il pensatore ini duduk juga.”
Sasha mengeluarkan tawa tertahan dan menggelengkan kepalanya. “Duduk, Teddy,” ajaknya seraya menuntun lengan Teddy ke bilik yang paling dekat dengan konter dagang.
“Pop, radionya masih menyala?”
“Hmm. Hanya bisa kaset. Dean Martin tersangkut di dalamnya.”
“Dean Martin yang malang. Beruntung aku masih mencintainya.”
Sasha menekan tombol putar pada radio kaset tua di meja kasir, seraya menyelip masuk ke bangku di seberang Teddy dengan sedikit upaya lebih—ternyata memang bukan hanya dirinya yang terlalu besar—‘O Marenariello mulai mengisi ruang di dalam delikatesen ini.
“Il pensatore?” tanya Teddy dengan dahi mengernyit.
Sasha kembali tertawa geli. “The Thinker.”
Teddy merengut. “The Thinker The Thinker?”
“Sì, Signore.”
Keduanya menghela napas dan membiarkan tubuh mereka bersandar malas di bangku masing-masing. Lutut-lutut mereka beradu dan itu menyebabkan keduanya melirik satu sama lain, namun tidak membuat salah satu dari mereka bergeser memperbaiki posisi duduknya.
“’O Marenariello.”
“Yep.”
“Harus betul ‘O Marenariello?”
“Hei, Dean Martin merestui kita.”
“Dean Martin merestui semua pasangan di pelaminan.” Pop muncul dan meletakkan sepiring roti lapis di hadapan Sasha, dan satu piring kosong di hadapan Teddy. “Bung, aku tidak akan membiarkanmu memakan roti bungkus di dalam toko.”
“Oh, terima kasih, Tuan—“
“Eh, Luca saja. Aku hanya tukang daging tua.” Pop melirik Sasha sekilas. “Atau Pop.”
Teddy menyunggingkan senyum hangat. “Yep. Pop. Aku suka itu. Terima kasih, Pop.”
“Sama-sama, Il pensatore.”
Teddy kembali merengut. Sasha menahan tawa menatapnya.
Ketika hanya ada kesunyian dan Dean Martin yang menyenandungkan lagu-lagunya, keduanya menyantap roti lapis yang dahulu dihidangkan oleh Pop untuk Sasha pertama kali ia menemukannya. Roti lapis pertama dan satu-satunya yang menjadi favorit Sasha. Setidaknya itu sepotong cerita yang diingat Teddy lantaran selalu Sasha ulang acap kali membuatkan roti lapis untuknya.
Teddy melirik Sasha dan Pop secara bergantian, dan meski ia hanya mengetahui potongan-potongan cerita mereka secara rumpang, ia—seperti biasa—tidak akan bertanya atau menerka apa pun. Jadi ia hanya duduk menyandar, mengunyah roti lapisnya, menatap roti lapis di genggamannya, dan menggosokkan tangannya yang dingin ke wajahnya yang menghangat.
“Dia menangis?” Pop bertanya sembari meletakkan kursi di sisi luar bilik dan berusaha duduk dengan nyaman. Ada gerutu napas berat yang keluar dari mulutnya ketika ia menggeser tubuh gempalnya.
Sasha hanya tersenyum tipis dan menepuk tangan kanan Teddy yang menggenggam roti lapis di meja. “Roti lapisnya enak.”
“Roti lapisnya sangat enak,” koreksi Teddy. “Aku... Sasha biasa membuatkan ini untukku dan selalu berkomentar bagaimana milikmu jauh lebih autentik, Tuan Baldoni—Pop.” Teddy menggigit roti lapisnya. “Dan sekarang aku percaya bahwa omongannya saban hari bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan.”
Pop mendengus. “Rasanya sama saja dengan roti lapis Italia lainnya, nak.”
“Dan roti lapis Italia lain tidak memiliki cerita sama dengan yang satu ini,” koreksi Teddy sekali lagi. Sisi kompetitifnya sangat kuat malam ini agaknya.
“Kau tidak akan memenangkan perdebatan ini, Pop, relakanlah,” ucap Sasha setengah bercanda seraya berusaha keluar dari bangkunya. Ia tidak sengaja menginjak sebelah kaki Teddy dan meringis membisikkan kata maaf sebelum menghilang berjongkok mengambil sepasang cangkir.
Pop berdeham. “Di mana kalian bermalam?”
Sasha muncul kembali setelah menutup laci cangkir dan mengisi kedua cangkir dengan kopi hitam dari mesin pembuat kopi tua di belakang konter. “Belum tahu. Mungkin di motel dekat jalan besar.”
Pop mendengus. “Lou sudah menjual motelnya kepada bajingan kulit putih dari kota. Hanya Roh Kudus yang tahu akan jadi penistaan apa tempat itu nantinya.”
Sasha meletakkan kedua cangkir berisi kopi di tengah meja bilik dan kembali berusaha menyelip masuk ke bangkunya. Betis-betisnya dan Teddy kembali beradu, tapi setidaknya Sasha tidak menginjak kakinya lagi.
“Huh.”
“Bermalamlah di rumah. Aku tidak pernah mengubah kamarmu—hanya merapikannya.” Pop bergeser menatap Teddy. “Sofa di depan perapian tidak terdengar buruk untukmu, nak?”
“Oh, itu jauh lebih sempurna,” jawab Teddy cepat.
“Yep. Kalau begitu aku akan kembali lebih dulu untuk menyiapkan rumah untuk kalian.”
Pop bangkit, membawa serta kursinya menghilang di ruang belakang konter. Ia kembali dengan membawa mantel musim dingin dan topi fedora dan meletakkan keduanya di atas meja kasir. Sasha kembali berusaha keluar dari bangkunya—dan kali ini tidak beradu betis maupun menginjak kaki Teddy, membawa piring kosong mereka dan cangkir kosongnya ke bak cuci di belakang konter.
“Oh, habiskan saja dulu kopimu, Teddy,” ucapnya lembut meski gesturnya cekatan.
“Mm.” Teddy menggeleng, berusaha keluar dengan lebih sulit karena koordinasi untuk tidak tersandung dan tersedak kopi, meneguk habis kopinya di depan konter. “Biar aku yang mencucinya?”
“Nah, kemarikan cangkirmu. Siapkan saja mobil kita.” Sasha merenggut cangkir kopi dari genggaman Teddy dan kembali memunggunginya. “Pop, kau masih membawa mobil?”
Pop menjawabnya dengan gumaman pendek, sibuk mencari mana kunci delikatesen, mana kunci mobil, dan mana kunci rumah. “Aku benar-benar pengaruh buruk untukmu. Selera mobilmu sangat buruk, Aleksandra,” komentarnya seraya mencicil menutup pintu ke ruang belakang dan mematikan listrik delikatesen.
Sasha mendengus dan memutar bola matanya sambil mengeringkan tangannya ke bajunya. “Teddy menyukainya.”
“Heh. Dia menyukaimu, tentu saja dia menyukainya.”
“Aku menyukai keduanya.”
“Oh, nak, kalau begitu kau akan mencintai mobilku.”
Teddy semringah. “Hatchback?”
“Yep.”
“Sungguh, Pop? Kau akan mencuri priaku dengan hatchback-mu?” komplain Sasha seraya mengekor Teddy yang sudah lebih dulu keluar dengan semringah ingin melihat mobil tua Pop.
Pop terkekeh. “Mobilnya ada di belakang.”
Teddy tidak menunggu Pop untuk selesai mengunci pintu delikatesen dan berjalan cepat melewati lorong sebelah menuju bagian belakang toko. Semringahnya semakin melebar saat ia melihat ujung depan hatchback di sudut pandangannya.
“Yesus Kristus! Civic CVCC!? Generasi pertama!?” pekiknya girang. Diremasnya kepalanya, kemudian melayangkan ekspresi takjubnya ke arah Sasha yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala namun tidak menahan senyumnya melihat kegembiraannya.
“Oke, kamu jelas jatuh cinta pada mobil Pop. Aku kalah, aku paham.”
“Priamu punya selera mobil yang sangat buruk. Aku menyukainya.”
“Semua orang menyukai Teddy, Pop.”
“Termasuk kau?”
“Oh, tidak ada kompetisi jika kau turut memasukkan diriku, Pop.”
“Hei, Teddy, nak, mau berkendara bersamaku?��� Pop melemparkan kunci mobilnya pada Teddy.
Teddy menangkapnya, memasukkannya ke pintu mobil. “Tawaran yang sangat menarik, Tuan Baldoni.” Ditepuknya salju yang menempel pada kenop pintu mobil dan membukanya. “Namun kurasa aku akan lebih berguna untuk Nona Makarovna.”
“Baiklah, kau yang kalah, bung.” Pop melepas topi fedoranya dan masuk ke dalam Civic CVCC 1975 dengan kuning yang telah memudar termakan sejarah miliknya.
“Aku masih bisa memandangi kecantikannya sesuka hatiku, Tuan Baldoni.” Teddy menutup pintunya masih dengan semringah lebar menghias wajahnya, menganggukkan kepalanya, dan mengekor Sasha kembali ke mobil mereka.
 Tidak ada nikmat dunia yang bisa melampaui kehangatan di dalam mobil yang kontras dengan angin malam musim dingin New York yang tanpa simpati sedikit pun. Teddy menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya kemudian meletakkannya di wajahnya dan meniup-niupnya.
“Wow, kehidupan Pesisir Barat membuatmu lupa bagaimana rasa musim dingin, Teddy?” canda Sasha seraya menyalakan mesin Ford-nya.
Teddy tertawa kecil. “Musim dingin Kanto tidak pernah sedingin Hokkaido sepanjang aku hidup di sana.”
“Jadi musim dingin New York sedingin musim dingin Hokkaido?”
“Benar begitu, atau memang aku yang sudah terlampau dimanja musim dingin Santa Monica.”
“Yea, aku juga tidak merindukan musim dingin Rusia—atau keseluruhan Rusia sama sekali.”
Tin tin!
 Keduanya menoleh keluar kaca kursi pengemudi. Pop memberhentikan Civic-nya di sebelah Ford mereka. Sasha menurunkan kaca mobilnya.
“Yea?”
“Masih ingat jalan pulang?”
Sasha mendengus. “Sungguh, Pop?”
“Siapa yang tahu, Aleksandra.”
“Aku di belakangmu, Pop.”
Pop menganggukkan kepalanya menatap Teddy. “Selamat menikmati bokong cantikku, nak.”
Teddy tertawa terbahak-bahak. Sasha melotot. Pop hanya terkekeh dan memacu Civic-nya memotong badai salju malam New York yang mulai bergulung masuk.
 Area pertokoan lingkungan Italia di pinggiran New York terlihat begitu sederhana. Hiasan-hiasan Natal sesederhana lampu hias dan karangan bunga Natal merias pintu masuk toko-toko, dan di bagian dalam beberapa toko yang lebih besar Teddy bisa melihat pohon Natal. Kebanyakan dari mereka sudah tutup lebih awal—atau libur sama sekali, merayakan Natal bersama keluarga masih bisa dibilang sakral, setidaknya begitu komentar Sasha.
Terkadang, di antara obrolan ringan mereka, Sasha akan menunjuk salah satu toko dan menceritakan apa yang diingatnya dari toko tersebut semasa ia masih tinggal di sini. Teddy akan mendengarkan setiap potong cerita Sasha dengan takzim.
Jika ada satu hal yang bisa Teddy pelajari, New York Sasha tidak ada bedanya dengan Santa Monica Sasha. Seseorang yang erat dengan komunitasnya, tidak peduli sekalipun ia tidak datang dari latar belakang yang sama dengan komunitasnya.
Ada satu pertanyaan yang begitu gemas mematuk dada Teddy: mengapa Sasha mempertahankan identitasnya sebagai orang berlatar belakang Rusia meskipun ia tidak menyukai—membenci, sangat membenci—betapa Rusia dirinya dan tumbuh di lingkungan Italia sekental ini.
Ya, benar, dan tentu saja—seperti biasa—ia tidak akan bertanya atau menerka apa pun.
Jika ada satu hal yang bisa Teddy pelajari, Sasha jauh lebih Italia dibandingkan dengan Henry Hill—mengesampingkan perkara dan konteks kehidupan mafia, tetapi komentar itu dipupuknya saja di dalam hati.
Kemudian lamunannya berubah seiring area pertokoan berganti dengan area residensial yang sama sederhananya. Hiasan-hiasan Natal di sini pun serupa, sesederhana lampu hias dan karangan bunga—atau malah hanya karangan bunga Natal saja—merias pintu depan rumah-rumah, dan keberadaan pohon Natal di bagian dalam rumah-rumah yang mereka lewati menjadi misteri yang hanya diketahui para penghuni di dalamnya. Atau juga oleh tetangganya.
Lamunan remeh-temehnya harus disudahi ketika Sasha memarkir Ford-nya di depan halaman sebuah rumah mungil di deretan rumah-rumah mungil bergaya batu cokelat khas New York dekat ujung jalan. Pop memarkir Civic-nya di depan garasi dan meninggalkannya dalam kondisi menyala, keluar membuka pintu garasinya, kembali masuk dan memasukkan hatchback tua mungil tersebut ke dalam garasi, lalu menutup pintu garasinya dari dalam.
Teddy menatap Sasha yang memandangi rumah masa kecilnya dengan air muka serupa saat mereka menimbang-nimbang keputusan besar di seberang delikatesen tadi.
“Hei.”
“Aku baik-baik saja, Teddy.”
“Tidak pun bukan masalah, Sash.”
Kali ini giliran Sasha yang kalah. Mendengar Teddy menyebut namanya—nama depannya, sama seperti orang lain—selalu membuat dadanya menghangat, namun mendengarnya menekankan intensinya dan melembut ketika menyebut namanya, dengan menghilangkan huruf vokal terakhirnya, membuatnya merasa aman. Terlindungi.
Teddy meraih sebelah tangan Sasha yang berada di persneling, menggenggamnya tidak terlalu erat—cukup untuk Sasha menarik diri, mengusapkan ibu jarinya pada punggung tangan Sasha.
“Aku di sini untukmu, oke?” bisiknya lembut. Ia memutar badannya beberapa derajat lebih ke kiri dan membungkuk untuk menempelkan dahinya dengan dahi Sasha.
Sasha hanya menghela napas panjang dan mempertemukan dahi mereka.
“Ayo kita masuk.”
 Rumah mungil Pop—rumah mungil masa muda Sasha juga—terasa nyaman dan lega. Tidak banyak ornamen dan perabot antik atau mewah khas generasi lampau memenuhsesaki keseluruhan ruang yang terlihat di lantai dasar. Rumah yang praktis. Saking praktisnya, tidak ada satu pun hiasan Natal. Mungkin saja Pop tidak menemukan arti—dan esensi—dari merayakan Natal jika tidak ada satu orang pun untuk merayakannya bersama. Diingatnya kembali, Teddy tidak melihat delikatesen dihias pun. Mungkin—
Mungkin bukan itu yang seharusnya ia pikirkan. Bukan, bukan mungkin, memang bukan itu yang seharusnya dipikirkannya.
Satu-satunya ruangan yang terlihat paling mewah mungkin adalah dapurnya. Tentu saja dapurnya yang menarik perhatian Teddy. Ia berdecak kagum memandangi deretan wajan besi tuang berumur yang tergantung di atas meja tengah dapur, lemari antik berisi aneka ragam minuman keras—kebanyakan dari mereka adalah wiski, benar buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, dan, astaga, oven batu bata!
“Menemukan tempat hatimu?” goda Sasha seraya bersandar padanya.
“Pop memiliki oven batu bata, Sasha, Kristus!” bisik Teddy girang.
“Yep, tentu saja kamu jatuh hati pada dapur Pop.” Sasha bangkit dari sandarannya dan berjalan menuju pintu di sebelah perapian menuju halaman belakang rumah. “Aku akan memotong kayu untuk perapian.”
“Perlu bantuan? Atau penonton sekaligus pengagum?” Teddy mengekor.
“Di titik ini otot-ototku tidak jauh lebih menggoda daripada mobil dan dapur Pop. Pergilah mengobrol dengan Pop atau apa pun terserahmu.”
“Aww, tapi aku menyukai keduanya—barang-barang Pop dan dirimu.”
“Yea, karena menempatkanku setelah barang-barang Pop jelas menunjukkan mana yang menjadi prioritasmu.”
Teddy hanya bisa tertawa dan tetap menatap Sasha yang menutup pintu belakang dan mengambil kapak dan beberapa balok kayu. Keduanya saling tatap dan Sasha yang memutar bola matanya sebelum mulai mengayunkan kapak membelah dua balok kayu pertama membuat tawa Teddy berlanjut.
“Wiski?”
Teddy menoleh. Pop berdiri di sebelahnya dengan sebelah tangan menyuguhinya gelas wiski kosong. Ia menerimanya dan mengangguk, gestur yang terbalik ketika ia menyadarinya.
“Murni atau dengan es batu?”
“Murni.”
Pop menuang wiski yang tidak berani Teddy intip apa mereknya, terlebih saat menghirup aroma dan mencicip seteguk kecil pertamanya terasa jelas itu wiski mahal. Biasanya, Teddy tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk mengulas wiski yang diminumnya meski itu membuatnya terlihat seperti snob wiski dengan komentar-komentar seberapa aroma kayu dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya. Meskipun Teddy bukan seorang snob. Memang Teddy orang dapur. Yang jelas, tidak kali ini. Ini terlampau mahal dan ia akan betulan terlihat seperti snob wiski jika ia membiarkan mulutnya meracau.
“Wow.” Teddy mengecap-ngecapkan bibirnya, mengilhami panas yang seketika mengambil alih seluruh kepala dan dadanya.
“Terlalu kuat?” Pop meneguk habis wiskinya dan mengisi kembali gelasnya.
“Terlalu mahal.”
Keduanya mendenguskan tawa tertahan.
Kemudian sunyi yang dingin mengisi ruangan. Hanya ada suara napas dan tegukan, namun perhatian keduanya tidak sedetik pun terlepas dari Sasha yang masih sibuk membelah kayu di luar. Teddy tahu ada banyak pertanyaan yang tertahan di tenggorokan Pop, semua terlihat dari air mukanya.
Seteguk.
Rasa bersalah.
Seteguk.
Penyesalan.
Mengisi ulang gelas dan seteguk lagi.
Malu—malu yang lebih menyerupai rasa jijik.
Seteguk.
“Katakan padaku, Teddy. Semua ini salahku, bukan?”
Teddy menatap Pop dengan rasa bingung yang penuh kehati-hatian. “Kurasa tidak, Tuan Baldoni.” Ditimbang-timbangnya gelasnya, kemudian diteguk habisnya wiski di dalamnya sebelum melanjutkan, “Jika ada satu orang yang Sasha—Nona Makarovna, Aleksandra—salahkan, itu adalah dirinya sendiri. Bukan Anda. Jika ada satu hal yang bisa kupelajari dari perjalanan ini, Sasha—Nona Makarovna, Aleksandra—ingin—sangat ingin—menebus dosanya pada Anda. Setidaknya begitu pikirku.”
“Aleksandra tidak pernah menceritakan masa lalunya padamu.” Pop menjawab tanpa menimbang ucapannya. Diisinya kembali gelas wiski Teddy yang telah kosong.
Tidak ada jawaban keluar dari mulut Teddy. Ia hanya menelan seteguk besar wiski di gelasnya. Tatapannya kembali lurus tertuju pada Sasha di luar sana. Ia melirik Pop dari sebelah sudut pandangannya, dan pria tua itu juga kembali hanya melakukan hal yang sama dengannya.
Teddy tidak pernah menahu mengenai apa yang tidak dilihatnya dari Sasha, namun ia tidak bodoh untuk tidak menahu bahwa ada lapisan-lapisan lain yang lebih dalam yang tidak Sasha tunjukkan kepada dunia—dan juga dirinya. Semua orang pun sama—memiliki sisi yang seperti itu—menurutnya.
Ia pun tidak ada bedanya.
Mereka sama-sama melarikan diri dari sesuatu, sesuatu yang membentuk mereka yang sekarang, sesuatu yang pada akhirnya bukan menjadi penentu apakah mereka orang yang baik atau bukan. Setidaknya begitu baginya.
“Bukan hal yang indah untuk diceritakan memang.”
Teddy kembali menelan seteguk besar wiski di gelasnya. Kini gelasnya kosong.
“Aku... tidak mencari keindahan dari Sasha, Tuan Baldoni.”
Pop menatapnya sedikit lebih tajam, namun setelah menimbang kata-katanya, tatapan itu melunak. Menagihnya untuk mengutarakan maksudnya lebih lagi.
“Sasha—kendatipun semua kesulitan yang telah dilaluinya—adalah orang yang telah mencicipi—tidak, dijerumuskan, ya, dijerumuskan ke dalam—neraka dan entah bagaimana—bertatih-tatih atau malah merangkak—keluar dan tidak kehilangan harapan akan kehidupan yang baik. Sasha menolong orang lain seolah-olah dia tidak—atau merasa tidak pantas—membutuhkan pertolongan, dan bagaimana tidak ada yang menyadari bahwa dia membutuhkan—dan sangat pantas—pertolongan? Tidak ada keindahan dalam narasi tersebut.”
“Kau membuatnya terdengar heroik.”
“Tidak ada heroisme dalam narasi tersebut. Dan tidak ada keindahan dalam keheroismean tersebut—jika memang hal itu harus disebut heroisme. Hanya ada seorang manusia. Manusia yang begitu utuh, namun dikelabui bahwa dirinya rumpang. Dan mungkin memang dia hanya menjadi rumpang sebab keutuhannya dibagikannya kepada orang-orang yang dirasanya lebih membutuhkan—dan lebih pantas.”
“Kau mengasihaninya.”
Teddy tersenyum pilu. “Oh, Tuan Baldoni. Lancang bagiku untuk merasa begitu. Mengasihani Sasha sama saja dengan tidak mengakui semua yang telah dilaluinya.”
“Kau mencintainya?”
Teddy terdiam sejenak, menimbang-nimbang bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut. Ia menyukai—sangat menyukai—Sasha. Tapi apakah ini tempatnya untuk mendeklarasikan perasaannya, tanpa menghormati bagaimana perasaan Sasha padanya?
“Hanya sebatas yang ia perkenankan,” menjadi pilihan akhir yang keluar darinya. Teddy menyunggingkan satu senyum tipis terakhir sebelum meletakkan gelas wiskinya dan membukakan pintu untuk Sasha.
“Terima kasih, Teddy.”
“Sini, biar aku yang menyalakan perapiannya. Minumlah wiski untuk menghangatkan dirimu.” Teddy mengambil potongan-potongan kayu dari dekapan Sasha ke dekapannya, sedikit terlonjak saat tangannya merasakan dingin tangan-tangan Sasha.
“Aleksandra.”
Teddy melirik dari balik bahunya Pop menuntun Sasha pergi ke dapur, wiski di tangannya. Sambil berjongkok memasukkan potongan-potongan kayu ke dalam perapian satu per satu, menumpuk mereka dengan rapi, menyalakan korek kayu yang ditemukannya di atas perapian, dan melemparkannya ke dalam perapian, ia menyaksikan perapian menyala dengan dada yang seketika menghangat memikirkan perasaan dan ketidaktahuannya akan Sasha.
 Di antara hangat perapian dan dingin ruang keluarga di sisi yang jauh darinya, Teddy lebih memilih yang dingin, semata-mata karena sebuah foto dalam bingkai kecil yang warnanya sudah memudar termakan waktu di atas meja kecil yang hanya berisi lampu meja dan asbak berisi kunci di bawah tangga. Sasha di usia belia—mungkin saat ia SMA?—dengan tatapan tajam yang bengis berdiri kaku di sebelah Pop di tengah atau akhir paruh bayanya dan tengah memotong daging, keduanya difoto berada di balik konter daging delikatesen, menatap balik dirinya. Meski sedari tadi hanya foto itu yang ditatapnya namun tidak ada niatan darinya untuk beranjak. Foto itu—sosok Sasha secara spesifik—terlalu mengingatkan dirinya dengan dirinya di masa lalu.
Ia sangat tidak menyukainya.
Sayang pikirannya hanya semakin mengkhianati dirinya semakin keras hati ia menuntut pikiran akan masa lalunya untuk pergi.
Ia sangat tidak menyukainya.
 —Namun ia tetap terlambat. Berapa kali pun ia memutar ingatan ini, keterlambatannya tidak akan pernah dapat diperbaiki. Ingatan ini akan terus berakhir dengan sosok menggantung—
 “Terlihat sangat mengancam, yea?”
Teddy sedikit terlonjak saat dirasakannya tangan Sasha mengusap punggungnya. Matanya berkedut hebat namun ia menelan satu napas besar untuk mengendalikan dirinya dari luapan emosi. “Oh, uh, yea.”
“Teddy. Hei, Teddy. Lihat aku. Kamu baik-baik saja?”
Tanpa mengindahkan ucapan Sasha, ia malah mendekapnya. Erat. Mendekapnya dengan erat tanpa memberi ruang untuk Sasha melepaskan diri. Dan Sasha tidak melepaskan diri. Dirasakannya lengan-lengan Sasha melingkari tubuhnya, tangan kirinya mendekap belakang kepalanya dengan penuh kehati-hatian, tangan kanannya mengusap punggungnya dengan penuh kesabaran.
Ia mendengar langkah kaki yang menjauh di atas kepalanya dan Sasha yang membuat gerakan mengangguk—Pop meninggalkan mereka untuk malam ini.
“Shh. Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Kamu baik-baik saja. Aku di sini, Teddy.”
Ia mendekap Sasha lebih erat. Entah mencari kehangatan seperti apa lagi, ia pun tidak menahu. Yang ia tahu, hangat tubuh Sasha di dalam dekapannya, napas teratur Sasha pada bahunya, dan detak jantung Sasha yang lebih cepat dari biasanya, semuanya jauh lebih baik daripada dingin. Ia tidak membenci musim dingin yang dingin seperti milik New York ataupun Kanto. Ia hanya tidak ingin lagi teringat—apalagi merasakan—tubuh yang mendingin di dekapannya. Dekapan itu berlanjut setidaknya dua atau beberapa menit.
 Bunyi kayu yang terbakar di dalam perapian mengisi ruang keluarga menemani bunyi pergerakan tubuh Teddy dan Sasha. Sasha duduk memeluk lutut-lututnya dan bersandar di bahu Teddy, sedang Teddy membiarkan kakinya berselonjor menikmati lantai kayu yang menghangat di depan perapian dan menenggerkan dagunya di puncak kepala Sasha. Keduanya masih membiarkan diam berbicara. Mereka telah menanggalkan jaket musim dingin dan sepatu dan menaruh semuanya di lantai. Teddy tetap mengenakan kacamatanya sebab mata rabunnya hanya menghalanginya untuk menikmati Sasha yang sekali ini—dan memang sangat jarang—melepas cepolnya dan membiarkan rambutnya terurai terserah bagaimana gravitasi mengaturnya. Meski sofa Pop lebih besar dari sofa di tempatnya maupun Sasha, keduanya tetap nyaman berada sedekat itu dan membiarkan separuh ruang kosong di sebelah mereka tak terjamah. Di luar badai salju semakin tanpa maaf.
“Aku meninggalkan Pop dan rumah ini setelah dikeluarkan dari sekolah,” ucap Sasha memecah keheningan pada akhirnya.
Teddy menarik dirinya—membuat Sasha menggerutu sebagai bentuk komplain—dan menatap Sasha dengan dahi mengernyit.
Sasha tertawa, memutar badannya sehingga ia bersandar di bahu sofa, jemari-jemari kakinya memijat-mijat paha Teddy. “Oh, yah, bocah yang kamu lihat di foto itu tidak bercanda soal membuat onar.”
“Oke, aku jelas butuh cerita soal Sasha yang jagoan itu.” Teddy mengangkat kaki-kaki Sasha dan meletakkan mereka bertumpu di atas pahanya.
“Entahlah, kurasa Sasha yang jagoan itu hanya merasa perlu membuktikan diri kalau dia bukan cecunguk kampungan yang bisa dirundung oleh bocah-bocah yang memiliki privilese.”
“Ooh, Sasha si jagoan kelas sosial.”
“Meninju hidung bocah lelaki kelas menengah atas, satu demi satu.”
“Oh, ayolah, Sasha, serius sedikit.”
“Aku tidak bercanda. Sasha yang jagoan itu nyatanya memang hanya tahu cara meninju dan ditinju balik. Ya, memang, bukan masalah tinju-meninju seperti itu yang membuatnya dikeluarkan, hanya saja sekali itu—“
Sasha terdiam, membiarkan kalimatnya menggantung di sana, jeda itu terasa signifikan. Teddy mengusap kaki-kakinya, mengisyaratkan bahwa Sasha tidak perlu menceritakan apa yang tidak dirinya kehendaki padanya.
“—Dia hampir membuat bajingan itu gegar otak—selain sudah mematahkan hidung dan rahangnya. Yang dia tahu setelahnya, dia dikeluarkan dari sekolah dan disudutkan dengan pilihan penjara anak-anak atau dikirim bergabung dengan Angkatan Darat.”
Teddy melotot. “Kamu tentara!?”
Air muka tidak nyaman yang sebelumnya memenuhi wajah Sasha kini berganti dengan senyum tipis yang tidak bisa Teddy tebak maknanya. “Penembak jitu, sebenarnya.”
Teddy semakin melotot. Di titik ini bola matanya bisa saja melompat keluar.
“Maksudku, otot-otot ini tidak membuatmu berpikir ke sana?”
“Tentu saja terkadang aku menebak-nebaknya, tapi aku tidak ingin terlihat terlalu ikut campur.”
“Tebakan lainnya?”
“Polisi, binaragawan, entahlah, penagih utang?”
Sasha mendengus menahan tawanya.
“Yea, itu dulu. Sudah lama sekali. Ketika tersudut dengan pilihan-pilihan yang sama tidak menguntungkannya bagi Sasha yang jagoan itu, dia... memutuskan untuk meninggalkan Pop.”
Teddy dapat melihat kembali air muka sendu berisi rasa bersalah, penyesalan, dan malu—malu yang lebih menyerupai rasa jijik—di wajah Sasha. Ia kembali mengusap kaki-kaki Sasha di pangkuannya, kini dengan lebih sabar. Sasha hanya menyunggingkan senyum pilu kepadanya.
“Dengar. Aku sudah terlalu banyak berutang budi pada Pop. Pop memungutku dari jalanan. Pop bisa saja membiarkanku mati kedinginan dan kelaparan di bak sampah belakang tokonya, aku bukan siapa-siapa, hanya bocah ilegal yang mati pun cuma akan masuk ke truk sampah bersama sampah-sampah lainnya, tapi dia tidak melakukannya. Pop mengangkat dan memperlakukanku seperti anak kandungnya sendiri meskipun dia tidak berkeluarga, bahkan menyekolahkanku meskipun dia tahu biaya pendidikan di sini sangat mencekik. Dan aku membalas semua itu dengan berbuat onar hanya karena aku terus diperlakukan seperti orang asing oleh orang-orang di sekolahku. Aku bahkan tidak punya muka untuk menemui dan menatap wajahnya saat itu. Aku hanya ingin berhenti menjadi malu dan beban bagi nama baiknya. Tidak ingin menimbulkan lebih banyak masalah baginya. Jadi aku kabur meninggalkan Pop dan rumah ini untuk bergabung dengan Angkatan Darat. Dan demi Tuhan, Teddy, meskipun semuanya begitu sulit saat itu, aku terus bersumpah aku akan bertahan demi menebus dosa-dosaku pada Pop.”
“Oh, Sasha...”
Teddy memberanikan diri untuk meraih wajah Sasha. Ia mendaratkan tangan kanannya dan mengusapkan ibu jarinya pada pipi porselen yang kini menghangat dan memerah karena sentuhannya. Sasha menerima upaya meringankan beban yang ia tawarkan dengan menikmati sentuhan tersebut dan mengecup telapak tangannya beberapa lama. Gestur itu membuat bulu kuduk Teddy berdiri.
“Aku juga berutang banyak cerita padamu, Teddy. Kamu berhak untuk mengetahuinya,” bisik Sasha, masih sambil mengecup telapak tangannya.
Teddy sangat menyukai—tidak, mencintai, ya, mencintai—wanita ini. Sangat amat mencintainya. Sejak awal jumpa, dan hingga kini perasaan itu terpupuk dan tumbuh entah seberapa tinggi dan lebatnya.
“Aku mempercayaimu.” Ia memutar badannya beberapa derajat lebih ke kanan menghadap Sasha, membiarkan kepalanya bersandar pada puncak punggung sofa. “Aku tidak akan bertanya atau menerka apa pun. Bukan karena aku takut akan apa yang akan kuketahui setelahnya, semata-mata aku ingin kamu menceritakannya hanya ketika kamu merasa saatnya tepat untuk aku mengetahuinya.” Sekali lagi ia mengusapkan ibu jarinya pada pipi Sasha, kini menelusuri bentuk wajahnya. “Aku sama sekali tidak meragukanmu dan masa lalumu, Sasha. Aku menerima semuamu.”
“Oh, Teddy...”
Kayu terakhir di dalam perapian terbakar habis. Api mengecil, meredup, hingga akhirnya padam sepenuhnya. Di dalam gelap, hitam pekat malam tak berbintang serupa obsidian Teddy dan biru laut dengan ombak bergemuruh serupa safir Sasha terus saling mencari satu sama lain. Keduanya dipenuhi perasaan diburu, butuh, namun tubuh mereka tetap bergeming.
“Teddy?”
“Mmm?”
Teddy mendengar Sasha menghela napas yang jauh lebih berat dari sebelum ia membuka salah satu kartu masa lalunya padanya.
 “Aku mencintaimu, Teddy.”
 Ada jeda yang begitu memberatkan setelah kalimat tersebut.
“Yuuri Hoshigawa, apa kau sedang tersenyum atau terkena serangan jantung?”
“Keduanya, Nona Makarovna?”
“Boleh aku menawar agar kau tersenyum saja, tidak usah terkena serangan jantung?”
“Aku sedang mengusahakannya, Nona Makarovna.”
“Jangan terkena serangan jantung.”
“Yyyep. Masih mengusahakannya.”
Teddy merasakan Sasha bangkit dari duduknya. Kemudian ia merasakan tangan-tangan Sasha membimbingnya bangkit dan menuntunnya berjalan ke arah tangga. Meski sinar rembulan dan lampu jalan menyelusup di antara deru badai salju dan membuatnya bisa melihat dengan cukup jelas, ia membiarkan Sasha menuntunnya menaiki anak tangga, melewati lorong lantai dua, memasuki pintu terakhir di ujung lorong, kamarnya. Kamar itu—sama seperti ruangan di lantai dasar—praktis dan fungsional saja, rapi, namun tidak khas, malah menyerupai kamar motel.
“Sasha yang jagoan itu hidup seperti ini?”
“Oh, Sasha yang jagoan itu hanya peduli soal meninju hidung bocah lelaki kelas menengah atas. Dia tidak punya waktu untuk memiliki hobi.”
“Bahkan tidak ada sedikit pun eksistensi Dean Martin atau Louis Armstrong dan Ella Fitzgerald?”
“Jangan memaksakan keberuntunganmu, Yuuri Hoshigawa.”
Pun begitu, Sasha berjongkok di sebelah kasurnya dan menarik keluar sebuah kotak sepatu yang meski sudah ditinggal bertahun-tahun lamanya tidak berdebu sama sekali—terima kasih, Pop! Teddy turut berjongkok di sebelah Sasha yang dari dalam kotak mengambil Walkman usang dan sebuah kaset dengan label bertuliskan “Mixtape ‘60”.
“Oh, Tuhan, apakah aku akan mendengarkan kumpulan musik rok keras—karena rok keras adalah musik yang sangat menggambarkan Sasha yang jagoan itu?”
“Teddy, aku bersumpah sekali lagi kamu meledekku aku akan membuatmu tidur di sofa.”
“Jadi kita akan tidur bersama di kasur masa mudamu? Tunggu, itu terdengar salah.”
Sasha melotot, dan alih-alih menanggapi Teddy, ia menyumpalkan sebelah penyuara telinga ke telinga kanannya.
“Ada baterainya?”
“Pop pasti merawat semuanya dengan apik.”
Sasha memasukkan kasetnya, memasang sebelah penyuara telinga yang satunya ke telinga kirinya, kemudian menekan tombol putar.
“Oh, wow.”
“’Oh, wow’ karena Walkman-nya masih menyala atau karena lagunya?”
Teddy tersenyum setengah cengar-cengir karena yang terputar adalah Anyone Who Knows What Love Is (Will Understand)­—musik balada, demi Tuhan, yang benar saja, namun ia tetap mengabaikan keinginan untuk menggoda Sasha dan lebih memilih untuk melingkarkan sebelah lengannya di punggung Sasha dan sebelah lainnya turut menggenggam Walkman di genggaman Sasha. Seraya menggumamkan lagunya, ia membawa Sasha berdansa pelan nan lembut mengikuti ritme Irma Thomas. Sasha melingkarkan sebelah lengannya yang bebas di lehernya, membawa dahi mereka saling menempel.
“Aku mulai berpikir ulang seharusnya aku memasukkan kaset yang berisi Dean Martin saja.”
“Hei, aku juga suka lagu ini, kok.”
“Ya, dan aku yang harus menahan diri karena senyum mengejekmu.”
“Oh, ayolah, balada enam puluhan tidak mungkin mengecewakanku.”
Teddy tersenyum, kali ini tanpa cengar-cengir. Hanya tersenyum menikmati momen ini.
“Pop bilang aku terlalu berhati-hati denganmu,” bisik Sasha, ia menarik wajahnya menjauh namun tatapannya tetap terpaku pada keseluruhan wajah Teddy. Dilepaskannya kacamata Teddy dan dimasukkannya ke sebelah saku kemejanya.
“Apakah kamu terlalu berhati-hati denganku?” bisik Teddy balik. Dipejamkannya matanya dan kembali menautkan dahi mereka.
“Hanya karena aku tidak ingin kamu menghabiskan hidupmu dengan barang rusak sepertiku.”
Teddy kembali membuka matanya dan merengut menatap Sasha.
“Sampai kemudian aku cemburu dengan pikiran harus kehilanganmu karena aku menyia-nyiakanmu.”
“Kalau begitu jangan sia-siakan aku. Jangan sia-siakan kita.”
Sasha memejamkan matanya. “Tidak akan lagi.”
“Mhmm. Aku suka semangatmu.”
 Teddy sangat mencintai wanita ini.
 “Terima kasih telah menjadikan Natal kali ini baik untukku—dan untuk kita, Teddy.”
 Teddy sangat mencintai wanita ini.
 “Aku mencintaimu juga, Nona Chernyavskaya Aleksandra Makarovna.”
 “Oh, demi Tuhan, jangan menyebut nama lengkapku seperti bagaimana guru-guruku dulu mengabsenku.”
 Teddy sangat gemas untuk berdebat, namun menatap Sasha yang kini bermandikan cahaya malam musim dingin New York, rambut pirang gelap lurus yang sedikit kusut dan bergelombang karena hampir selalu dicepolnya dengan ketat dan rapi, kulit porselennya yang dihiasi pelbagai macam bekas luka dari pelbagai macam masa di kehidupannya yang selalu ingin Teddy pelajari, postur tinggi besar kekarnya yang sama sekali tidak mengurangi seberapa wanita dirinya, semua itu membuatnya lebih memilih untuk menutup mulutnya daripada meracau.
 Dengan mata terpejam, keduanya kembali menautkan dahi mereka. Kemudian menautkan hidung mereka, dan dengan sangat perlahan membiarkan bibir mereka saling mencari satu sama lain. Ciuman pertama itu lembut, tidak diburu, namun sama memenuhsesakkan dada keduanya.
Berpisah.
Mengambil napas.
Kembali bertaut.
Ciuman yang selanjutnya selalu—secara perlahan—lebih dalam dari yang sebelumnya, namun sama lembutnya.
 Mungkin tidak ada yang salah dengan musim dingin New York—ataupun Kanto, Hokkaido, terserah di mana pun salju menemukan jalannya. Mungkin tidak ada salahnya menunjukkan bahwa mereka sama-sama pernah terluka. Mungkin tidak ada salahnya menjadi telap di hadapan satu sama lain. Mungkin dengan begitu mereka bisa belajar untuk mengerti luka masing-masing. Mungkin dengan begitu mereka pada akhirnya bisa memaafkan dan berdamai dengan masa lalu mereka—tanpa perlu kembali menghidupi masa lalu tersebut tentunya. Dan mungkin tidak ada salahnya juga untuk tetap lebih memilih musim dingin Santa Monica di atas segala perkara.
 “Aku sangat mencintaimu.”
 “Sangat amat mencintaimu.”
5 notes · View notes