#Ternyata Begini dapat Informasi Soal Artis
Explore tagged Tumblr posts
hanissintia-blog · 7 years ago
Text
Anji Bongkar Rahasia Lambe Turah, Ternyata Begini dapat Informasi Soal Artis, Ini Tanggapan Netter
Hanis Sintia Anji Bongkar Rahasia Lambe Turah, Ternyata Begini dapat Informasi Soal Artis, Ini Tanggapan Netter Artikel Baru Nih Artikel Tentang Anji Bongkar Rahasia Lambe Turah, Ternyata Begini dapat Informasi Soal Artis, Ini Tanggapan Netter Pencarian Artikel Tentang Berita Anji Bongkar Rahasia Lambe Turah, Ternyata Begini dapat Informasi Soal Artis, Ini Tanggapan Netter Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Anji Bongkar Rahasia Lambe Turah, Ternyata Begini dapat Informasi Soal Artis, Ini Tanggapan Netter Belakangan penyanyi Anji justru berhasil membongkar rahasia besar Lambe Turah tersebut. Minggu (19/11/2017), Anji mengunggah... http://www.unikbaca.com
0 notes
kupamanduka · 4 years ago
Text
dissimilar fix
 Versi telah diperbaiki dari Dissimilar.
「i.」
Akhir-akhir ini Askar suka sekali melamun. Bilamasa bertanya-tanya. Hari ini tim futsal laki-laki dan perempuan berkumpul untuk rapat membahas tambahan jadwal latihan. Yang bicara adalah para ketua, dan Bilamasa hanyalah salah satu dari banyaknya anggota yang datang, dan melakukan apa yang menjadi kebiasaannya: membaca materi untuk persiapan pre-test. Ngomong-ngomong soal itu, bahkan kadang-kadang ia bisa membuka laptop untuk mencicil bahan laporan praktikum.
Tentu saja pertanyaan itu tidak bertahan lama di kepalanya, karena Bilamasa tidak dilahirkan untuk tahan meladeni satu per satu pikiran yang memasuki kepala tanpa sama sekali menyuarakannya. Keduanya boncengan dalam perjalanan pulang karena Askar hanya di-drop Kalih saja, dan saat Bilamasa memundurkan motornya, ia berkata, “Kar, apakah kamu nggak papa?”
Yang membuat Askar harus berpikir dua kali sebelum menjawab, “Nggak papa,” adalah karena saat Bilamasa menanyakannya, Askar pun sedang melamun. Jadi sebenarnya yang Bilamasa lakukan tadi bisa dikatakan ia menangkap basah Askar. Lagi pula, biasanya, kalau Bilamasa yang memboncengi dan sedang memundurkan motor, Askar akan memberi bantuan dengan menarik pegangan besi yang ada di bagian belakang motor. Tetapi kali ini ia tidak melakukan itu.
Askar mengangkat alis, kaget, lalu memberi gumaman panjang. “Mmm. Mungkin.”
Bilamasa tertawa. “Serius, itu jawabanmu?”
Tetapi Askar hanya tertawa. “Aku naik, ya?”
“Hei, itu bukan jawaban!”
“Itu jawaban, Bil.”
Sekalipun Bilamasa dapat sekeras kepala itu untuk kembali bersikap terus terang, ia tidak mengatakan apa-apa lagi perihal itu. Ia mengangguk. “Kamu boleh naik,” katanya, dan selagi Askar naik, Bilamasa merasa bahwa barangkali, sikap aneh Askar akhir-akhir ini punya hubungan dengannya.
「ii.」
“Kalian KKN semester depan, ya?” Kalih bertanya.
Ah, atau mungkin juga karena KKN.
Kuliah Kerja Nyata. Angkatan mereka diperbolehkan mengambilnya mulai semester depan. Kadang-kadang sudah ada pesan di grup angkatan untuk tim-tim KKN yang akan melakukan rekrutmen terbuka, dan Bilamasa hanya menganggapnya lalu saja. Bilamasa memberi anggukan, dan Askar hanya memainkan sedotan di dalam gelas.
Ia melirik Askar di sebelahnya yang tidak mengatakan apa-apa, lalu saat ia mengarahkan tatapan pada Kalih di hadapannya, ternyata ia juga sedang menatap Askar. Sebentar kemudian, keduanya bertatapan. Bertukar informasi, menyamakan isi kepala: bahwa mereka sama-sama tahu apabila ada yang dipikirkan Askar. Entah apa, meskipun Bilamasa—lagi-lagi—merasa bahwa Kalih lebih tahu daripada dia.
Itu jenis firasat yang sepenuhnya datang berdasarkan intuisi. Bilamasa jarang melakukan pembacaan mendalam mengenai suasana atau air muka untuk bisa sampai pada kesimpulan itu. Hal yang sulit dijelaskan menggunakan kata-kata. Ia tahu bahwa, misalnya, kebaikan Askar tulus padanya—dan pada siapa pun, atau dengan kata lain, Askar memang baik orangnya, pada dasarnya. Atau ia tahu bahwa teman-teman Askar juga orang-orang baik semuanya, sebenarnya.
Ia tahu teman-temannya di tim futsal menunggu saat-saat ia kelelahan dan diam-diam membuat perhitungan dengannya. Ia tahu teman-temannya di jurusan beraneka ragam sifatnya, tetapi rasa kompetitif seperti gaung yang memekakkan telinga.
Ia tahu bahwa orang-orang yang ada di sekitar Askar dan Kalih akan mencuri kesempatan untuk saling membicarakan satu sama lain di belakang apabila mereka mengobrol dalam jumlah yang lebih sedikit. Mungkin Askar dan Kalih pun akan melakukannya saat mereka berdua saja. Kadang di antara mereka ada yang bicara dengan dikeras-keraskan, meskipun mereka semua bisa saling memberi kritik dan saling mendiskusikan apa pun. Mengenai hal itu, Bilamasa mendapati dirinya merasa iri.
Kalau Kalih masih tetap menyebalkan, sih. Berusaha melihat kebaikannya adalah usaha keras tersendiri. Bilamasa menyimak Kalih yang kemudian mencerocos soal KKN, barangkali memanfaatkan saat-saat Askar sibuk dengan pikirannya sendiri. Biasanya Kalih tidak bicara panjang-lebar kalau ada Askar, padahal Bilamasa senang mendengarkan yang seperti ini. Askar tidak pernah mau menerangkan seantusias Kalih ….
Dan saat memikirkan itu, Bilamasa tertegun.
Ia teringat apa yang terjadi pada mereka berdua akhir-akhir ini. Perihal ia makin gencar mendesak Askar untuk mempersilakannya memasuki dunianya.
Sebenarnya, Bilamasa ingin mengejar Askar lagi, “Kenapa kamu nggak ingin kalau aku masuk ke dalam lingkaran diskusi kecilmu?” atau pertanyaan yang semacam itu. Kenapa Askar tidak pernah mau menjelaskan kalau dia bertanya, kalau dia menunjukkan rasa ingin tahu? Kenapa balasannya di Insta Story yang dibuat Askar hanya dibalas dengan emoticon, padahal itu merupakan pertanyaan? Seperti, apakah diskusinya menarik, atau apa yang dibicarakan dengan teman-temanmu?
Mungkin Askar punya alasannya sendiri. Tetapi apa pun alasan itu, keputusan Askar melibatkan Bilamasa di dalamnya. Dan adalah aneh apabila ia tidak diikutsertakan dalam merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Maka, saat Kalih mengkritik bahwa rendahnya kesejahteraan suatu kampung tidak bisa diselesaikan dengan mendatangkan pahlawan kesiangan yang besar di kota dengan banyak kemudahan, Bilamasa hendak menyuarakan pendapatnya. Kalih menyeruput es tehnya, lalu melanjutkan pendapatnya bahwa KKN dan Indonesia Mengajar tidak pernah bisa berhasil, “Karena ini kemiskinan struktural. Apanya yang asal datang dan bawa-bawa tips agar bisa menghabiskan masa tua tinggal rebahan dan duit masuk terus?”
“Nggak begitu juga.” Bilamasa mengerutkan kening. Ia sendiri tidak tahu apa itu kemiskinan struktural, tetapi kurang lebih ia tahu poin apa yang dibawakan Kalih. “Setidaknya niatnya mereka baik, kan.”
“Niat nggak bisa bikin kenyang!”
Sepertinya apa yang ia katakan selalu sukses membuat Kalih meledak.
Bilamasa mendapatkan kesan itu, kesan yang datang melalui intuisi, bahwa tatapan Kalih padanya seperti ditujukan pada makhluk terbodoh sejagat raya. Barangkali bagi Kalih, Bilamasa begitu orangnya: makhluk terbodoh sejagat raya. Tentu itu tidak benar. Ia tidak pintar, tetapi ia bukannya orang yang paling bodoh. Ia mendapat tatapan menyakitkan itu karena ialah yang duduk di hadapan Kalih sekarang, yang menyuarakan pendapatnya.
Orang-orang yang ada di sekitarmu selalu begitu, kan, Lih? batin Bilamasa.
Selalu sama pemikirannya denganmu. Selalu memiliki latar belakang pengetahuan yang sama. Kamu belum pernah bertemu yang sepertiku, yang vokal memamerkan kebodohan pikirannya secara terang-terangan di hadapanmu. Itu karena kepintaran yang kamu punya membuat orang-orang yang tahu diri akan menjauh, sebagaimana orang-orang tahu diri yang lain akan mendekat.
Dan aku tidak termasuk di antara dua kelompok itu. Aku tahu bahwa aku ada dalam kelompok orang-orang yang seharusnya menjauh dengan tahu diri, tetapi aku tidak melakukannya. Bilamasa dipenuhi keyakinan itu, dan ia menyahut, “Kamu terlalu naif kalau berpikir usaha-usaha mereka nggak ada yang berguna.”
“Kamu terlalu naif kalau berpikir usaha mereka ada gunanya!”
Bilamasa diam.
Bilamasa menolehkan kepalanya ke samping, menatap Askar.
Askar sedang mengarahkan tatapannya lurus-lurus pada Kalih. “Lih,” ujarnya.
Lalu, sudah, begitu saja. Lebih dari cukup. Sebenarnya tatapan saja cukup.
Tidak ada yang bicara. Bilamasa menatap Kalih yang sedang membalas tatapan Askar. Di belakang punggung Kalih adalah suasana malam di luar Warmindo yang terletak di dekat indekosnya. Suasananya cukup ramai, ada pertandingan sepak bola juga yang disiarkan, jadi tuturan-tuturan yang mereka ucapkan dalam nada tinggi dapat teredam.
Bilamasa termangu, memandang beberapa motor yang melintas pintas di gang. Ia tidak menyukai Kalih, dan ia yakin bahwa Kalih juga tidak menyukainya. Sifat mereka berdua berbeda, apa yang keduanya prioritaskan juga berbeda, apa yang keduanya anggap berharga juga berbeda. Keduanya tidak pernah bisa akrab satu sama lain. Atau setidak-tidaknya, batin Bilamasa, apabila mereka dapat akrab pun, tidak dengan pengertian akrab yang biasanya diketahui orang.
Kalih berdecak. “Aku mau merokok di luar.”
Atau mungkin mereka berdua tidak pernah bisa akrab.
Bilamasa menatap Askar dan menghela napas. “Maaf,” katanya.
“Kamu jangan minta maaf dulu kalau belum sadar salahmu di mana,” kata Askar, menyahut dengan tenang. Ia mengaduk es nutrisari dengan sedotannya, sebagaimana yang sejak tadi ia lakukan. “Kalih ada poinnya. Kamu naif, Bil. Kebanyakan orang-orang yang tontonannya Atta atau Pewdiepie karena mereka nggak punya akses informasi dari awal, meskipun kita sama-sama buka YouTube. Itu nggak sesederhana kamu kasih mereka daftar channel informatif yang harus mereka tonton.”
“Tapi, hal sederhana itu tetap bagus kan? Kita datang ke sana dan menayangkan video-video yang edukatif, misalnya.”
Askar membalas tatapannya. Lalu menunduk lagi, menyeruput minumannya.
Bilamasa mengerutkan kening. Tidak boleh Askar, kamu tidak boleh begini. Aku salah, dan kamu perlu memberi tahu bagian mana yang salah, agar aku bisa tahu dan bisa mengubahnya. Maka, saat tahu bahwa ia takkan dapat jawaban, Bilamasa mencoba lagi, merasa bahwa ia harus ganti komentar. “Iya, sih, pasti nggak akan selesai satu kali juga. Aku tahu, kok. Tapi nggak perlu berkata seolah-olah itu nggak ada artinya.”
“Jangka pendeknya memang punya arti.” Askar menelan seruputannya lalu kembali bicara lagi. “Tapi, ya sudah. Kamu pikir anak-anak itu akan tergerak untuk bikin gerakan agar pesangon guru di daerah mereka naik? Sekolah mereka juga masih bobrok-bobrok saja, Bil.”
Bilamasa diam.
Diam-diam ia merasa malu.
「iii.」
Kar. Kamu marah, ya.
Tetapi, kalau memang keanehanmu akhir-akhir ini karena aku, jangan dipendam sendirian saja.
I'll use you as a warning sign That if you talk enough sense Then you'll lose your mind ... Talk some sense to me
0 notes
intansyahputria · 7 years ago
Text
Belajar dari Semangat Dina
Saya mau berbagi cerita sedikit soal keharubiruan saya kemarin malam, yang disponsori oleh salah satu murid les saya hehe. Sebelumnya perkenankan saya untuk menceritakan siapa dan bagaimana dia sepanjang saya mengenalnya.
Namanya Dina, murid kelas 4 salah satu SD Negeri di Sidoarjo. Dina sudah ikut tambahan belajar di tempat saya sejak 3 bulan belakangan ini, setelah mendapat informasi dari 2 orangtua teman sekolahnya yang lebih dulu mendatangi saya untuk meminta membantu mereka belajar. Seperti anak usia 9 tahun pada umumnya, Dina yang lugu suka bermain, bersenda gurau bersama teman-temannya, dan akan ngambek kalo salah satu teman ada yang membuatnya jengkel, sampai-sampai mengompori anak lain untuk tidak berteman dengan temannya itu. Tapi hal itu biasanya tak berlangsung lama, sejam kemudian Dina selalu memulai untuk minta maaf dan mengajak temannya bermain bersama kembali.
Dina paling suka pelajaran Matematika, Dina paling tidak suka pelajaran yang menuntutnya untuk membaca dan menghafal terlalu banyak seperti PKS. Dina paling tidak bisa belajar dengan kondisi kelas yang bising, sehingga dia akan menegur siapapun yang ramai ketika pelajaran berlangsung. Dina suka bertanya jika ada yang hal tidak bisa dia pahami. Dina pintar. Begitu yang saya lihat dan dengar dari apa yang diceritakan olehnya, Ibundanya, serta teman sekelasnya.
Rumah Dina dan rumah saya masih dalam satu komplek perumahan. Jarak rumah kami sekitar 3 km. Biasanya Dina diantar-jemput oleh Ayahnya. Kadang-kadang dia juga memilih untuk menempuhnya dengan naik sepeda. Kadang juga kalau Ayahnya berhalangan menjemput, saya mengantarnya pulang. Dina punya adek bayi sehingga Ibundanya tidak bisa meninggalkan si Bayi untuk mengantar-jemput Dina.
Selama 3 bulan membersamainya dalam belajar, menurut saya Dina adalah anak yang rajin, cepat tanggap, dan aktif dalam menjawab, meskipun terkadang sedikit ragu-ragu karena takut salah. Dina juga anak yang punya semangat belajar tinggi, meskipun awalnya suka merasa pesimis lebih dulu.
Pernah pas awal-awal belajar bersama saya, saya minta anak-anak untuk hafalan perkalian, karena mayoritas mereka belum hafal perkalian padahal sudah duduk di bangku kelas 4 dan 5 SD (yang kelas 6 dipisah jadwalnya supaya lebih fokus). Jadi, tiap 10 menit terakhir sebelum jam belajar selesai, saya minta mereka untuk setor hafalan dan tanya jawab seputar perkalian. Jika mereka sudah lancar menghafal perkalian 1-10, saya janji akan memberinya reward.
Keempat anak terlihat antusias dalam menghafal dan setor hafalan sekaligus menjawab pertanyaan di akhir pembelajaran, kecuali Dina. Dina sempat merasa bahwa kemampuan menghafalnya jauh lebih buruk daripada keempat temannya yang lain. Ia selalu mendapat poin paling sedikit tiap kali tanya jawab. Saya selalu bilang tidak apa-apa, yang penting ia mau mencoba dan mau terus belajar menghafal. Nanti lama-lama pasti akan bisa dan lancar.
Dina juga pernah diam-diam menangis ketika saya minta untuk menghafalkan arti dari ayat-ayat surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An-Nas. Terlalu panjang katanya, padahal itu adalah salah satu materi ujian Agamanya besok. Saat itu saya coba mendekatinya supaya tenang. Saya tahu kalau mood belajarnya sudah berantakan di awal, ia tidak akan bisa menerima pelajaran selanjutnya dengan baik. Sambil mengelus lembut kepalanya, saya bilang,
"Ndak apa-apa kalo sekarang Dina belum bisa menghafal arti keempat surat itu dengan lancar. Nanti sepulang les, Dina baca-baca lagi aja sendiri artinya ya. Dina berdoa sama Allah supaya bisa lancar belajarnya. Nanti kakak bilang ke mama deh, supaya mama membantu & menemani Dina belajar. Sekarang Dina cuci muka dulu, yuk! Terus kita lanjut belajar materi yang lain aja. Jangan sedih lagi, jangan ngambek, jangan takut. Emangnya enak ya belajar sambil sedih, takut-takut gitu? Senyum dulu dong. Kakak percaya Dina itu pintar, Dina pasti bisa. Oke?"
Akhirnya Dina mau cuci muka dan melanjutkan belajar lagi bersama teman-teman. Sepulang les, saya menceritakan kejadian hari ini kepada Ibunda Dina via WA, untungnya Ibunda Dina adalah Ibu yang kooperatif.
Setelah kejadian itu, selama empat hari berturut-turut Dina tidak masuk les. Saya khawatir Dina ngambek dan marah sama saya. Di hari kedua Dina absen, saya tanyakan ke Ibunya. Beliau bilang Dina selalu ketiduran di waktu seharusnya ia berangkat les. Ibunya tidak tega untuk membangunkan dan memaksanya berangkat les. Mendengar hal itu saya merasa sedikit lega ternyata Dina tidak masuk les bukan karena dia ngambek sama saya.
Hari ketiga Dina belum juga masuk les, saya kembali khawatir, dan kekhawatiran saya terbukti benar ketika Amel, teman sekelas Dina yang juga ikut belajar di rumah saya, berkata bahwa tadi di sekolah Dina bercerita kepadanya kalau ia takut masuk les karena belum hafal perkalian. Rasanya saya dapat tamparan keras, sedih sekali. Saya merasa bersalah karena belum menemukan metode belajar lain yg lebih menyenangkan selain metode hafalan supaya anak-anak bisa memahami perkalian & pembagian dengan baik. Supaya tidak sampai bolos les begini. Saya tahu bahwa menyuruh anak didik untuk menghafalkan bukanlah metode belajar yang efektif. Adakah teman-teman mempunyai metode belajar lain untuk bisa memahami perkalian yang bisa di-share ke saya? Saya butuh masukannya 🙏
Empat hari berlalu, saya senang Dina akhirnya kembali masuk les. Senyum sumringah khas Dina sudah melebar sejak turun dari sepeda motor Ayahnya dan menemui saya di depan pintu pagar. Setelah bersalaman dengan saya, tanpa saya tanya Dina sudah menjelaskan alasan kenapa ia bolos les. Dina dengan jujur berkata bahwa ia membolos karena belum menghafal perkalian. Tapi sekarang ia sudah menghafal perkalian 1-8 dan siap untuk tanya jawab, katanya. Ya, jadi selama bolos les, Dina mencoba menghafalkan perkalian sendiri di rumah, dibantu dengan Ibundanya. Hal itu terbukti ketika setor hafalan dan tanya jawab, Dina bisa menghafal dengan lancar dan mendapatkan poin tertinggi.
Dina juga berkata bahwa ia mendapatkan nilai 100 saat ulangan agamanya waktu itu. Dia akhirnya hafal arti ayat-ayat dari surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An-Nas. Berkat doanya malam itu dikabulkan sama Allah, katanya. Saya senang sekaligus terharu oleh cerita dan semangat belajar Dina.
Tiga bulan berlalu, Dina secara tidak langsung terus memberikan kesan dan pelajaran-pelajaran hidup yang baik kepada saya. Seperti kemarin malam, dimana kota Sidoarjo dan sekitarnya dilanda hujan lebat. Jadwal les malam itu seharusnya dimulai pukul setengah 7. Biasanya pukul 18.15 anak-anak sudah datang dan meramaikan ruang belajar. Namun semalam, sampai pukul 18.40 belum juga ada yang datang. Saya paham, mungkin karena hujan lebat jadi hari ini anak-anak tidak masuk les.
Berulang kali saya menengok ke pagar, tidak ada tanda-tanda kedatangan anak-anak. Akhirnya saya memutuskan untuk mematikan lampu ruang belajar. Seekitar 10 menit setelah saya mematikan lampu, ada suara kecil yang memanggil saya, "Kak Intan..." diiringi ketukan di pintu pagar. Saya segera membuka pintu ruang tamu dan mendapati Dina yang menggunakan jas hujan dengan sepeda kecilnya di balik pintu pagar. Lekas-lekas saya menghampiri Dina yang tampak kedinginan. Setelah masuk dan duduk di depan meja belajar, saya suguhkan teh manis hangat yang sudah saya seduh untuk Dina.
"Kakak kira Dina juga ndak masuk les hari ini karena hujan deras," kata saya sambil menyiapkan peralatan belajar.
Dina hanya tersenyum sambil nyeruput teh.
"Dina naik sepeda? Kenapa nggak diantar Ayah?," tanya saya penasaran.
"Ayah masih belum pulang kerja, jadi aku naik sepeda aja, pake jas hujan," jawab Dina.
Mendengar jawaban itu saya rasanya mau nangis. Terharu, membayangkan Dina menempuh jarak 4,5km menggunakan sepedanya di tengah hujan deras malam-malam, anak perempuan, sendirian.
"Kenapa Dina nggak ijin aja sama kakak buat nggak masuk les hari ini kalo emang Ayah nggak bisa nganter? Atau telepon kakak, nanti kakak jemput. Hujannya deras, Dina nggak takut? Ada PR untuk besok kah, Dek? Atau besok ada ujian?," tanya saya lagi.
Dina menggeleng seraya menjawab, "Nggak apa-apa. Aku mau belajar sama kakak. Sebentar lagi UAS, aku masih banyak yang nggak mudeng, terutama Bahasa Inggris, Kak. Aku nggak bisa. Mama sama Ayah juga nggak bisa."
Air mata saya sudah mau tumpah saja. Rasanya ada yang nyekik leher saya, sampai mau ngomong aja susah. Saya sungguh-sungguh terharu sekaligus malu sama besarnya semangat belajar Dina.
Saya mengusap pipi dan kepala Dina sambil berusaha ngomong tanpa nangis, "Kakak suka, bangga, karena Dina semangat belajar. Tapi lain kali, kalo hujan deras dan Ayah nggak bisa nganter les, Dina telpon kakak aja. Kakak jemput. Jangan naik sepeda, bahaya, nanti Dina juga sakit." Mendengar perkataan saya itu, Dina tersenyum sambil mengangguk. Kita pun mulai belajar.
Pukul 20.30 pelajaran kita sudahi, hujan sudah sedikit reda tetapi hari sudah terlalu malam untuk Dina pulang sendirian. Akhirnya Dina saya suruh meninggalkan sepedanya di rumah saya, dan dia saya antarkan pulang.
Begitulah Dina, siswa kelas 4 SD yang secara tidak langsung selalu mengajarkan kepada saya bagaimana untuk menjadi guru dan pembelajar yang baik. Saya malu sama semangat belajar Dina yang begitu besar. Sedangkan jika saya mengalami sedikit kesusahan dalam suatu urusan saja, langsung mengeluh, pesimis, bahkan butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan semangat dan mau menyelesaikan urusan itu kembali.
Dina mengajarkan saya untuk tidak menyerah pada kelemahan. Dina mengajarkan saya untuk berani melawan rasa takut akan kegagalan. Dina mengajarkan bahwa jika kamu ingin berhasil dalam suatu bidang, kamu harus bersungguh-sungguh dalam menekuninya. Tidak peduli seberapa besar rintangan yang menghadang, kamu harus tetap berjuang. Dan percayalah bahwa Tuhan tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian. Dimana ada kemauan, di situ Tuhan pasti beri jalan.
Dina juga mengajarkan bahwa hubungan antara guru dan murid tidak selamanya adalah guru sebagai pendidik dan murid sebagai pembelajar. Dalam suatu hal, kami adalah sama-sama pendidik dan pembelajar. Saya mungkin adalah guru bagi Dina untuk mempelajari ilmu akademis. Dina mungkin adalah guru saya untuk mempelajari bagaimana seharusnya menjadi guru itu sendiri. Kami saling belajar tentang bagaimana hidup ini seharusnya dipelajari dan dijalani.
Terimakasih, Dina.
0 notes
thezacksid · 8 years ago
Text
LOGIKA by Dina Sulaeman
Logika, secara singkat berarti: cara berpikir yang benar, yang dinyatakan dalam kata-kata.
Ada 4 hukum dasar logika (perlu dihafal nih): 1. Hukum kesamaan: sesuatu itu adalah sesuatu itu sendiri. Bashar Assad, ya Bashar Assad. Bashar Assad jelas bukan Moammar Qaddafi. 2. Hukum kontradiksi: Libya pasti bukan Suriah (tidak mungkin kita bilang: negara ini adalah Libya sekaligus Suriah) 3. Hukum penyisihan jalan tengah: kalau Libya, pasti bukan Suriah, pasti bukan juga setengah Libya, setengah Suriah (ga bisa “setengah-setengah”) 4. Hukum cukup alasan: sesuatu itu berubah jika memiliki alasan yang cukup. Contohnya, “siang berubah jadi malam, setelah matahari tenggelam”. Tidak logis kita bikin kalimat: “Pada pukul 12.00 WIB, tiba-tiba saja siang berubah jadi malam.” Atau “Assad itu dulunya baik, mau menampung jutaan pengungsi dari Palestina dan Irak, mau melindungi dan membantu HAMAS, tapi sejak 2012 dia membantai rakyatnya sendiri dengan senjata kimia”.
Jadi, bila kita menemukan situs Hizbut Tahrir menulis “Qaddafi adalah pemimpin tiran”, sementara situs PBB menulis, “Pendapatan perkapita Libya (sebelum 2011) mencapai 14.581 Dollar dan Human Development Index Libya adalah yang tertinggi di Afrika”, alarm di otak kita harus segera menyala. Baca hukum no. 2: tidak logis ada dua hal kontradiktif dalam satu entitas: tiran tapi sekaligus bisa bikin makmur rakyatnya. Jadi, perlu digali lagi, mana informasi yang lebih benar.
--
Dalam ilmu logika, ada 3 hal terpenting yang perlu dipelajari (ada banyak hal lainnya, tapi 3 ini yang paling penting), yaitu DEFINISI, ARGUMENTASI, dan FALASI.
Definisi adalah keterangan atau penjelasan atas sesuatu.
Pendefinisian ini penting sekali karena kalau definisi sudah salah, proses penyusunan argumentasi pun akan salah.
Contoh 1: untuk kasus Libya, perlu dikritisi definisi ‘tiran’ yang dimaksud oleh situs Hizbut Tahrir, mengingat Hizbut Tahrir adalah lawan politik Qaddafi (bisa jadi, sebagian besar rakyat Libya -yang bukan anggota Hizbut Tahrir- tidak mendefinisikan Qaddafi sebagai tiran).
Contoh 2: -A: Assad itu kejam sama orang Sunni, makanya kita orang Sunni sedunia harus membantu penggulingan Assad! -B: Buktinya apa? -A: Tahun 1982, Assad membantai ribuan orang Sunni di Hama.
Minimalnya ada dua masalah definisi di kalimat si A: 1. Siapa Assad yang dimaksud? Hafez Assad atau Bashar Assad? Kalau Hafez Assad, kan sudah mati, mengapa peristiwa di masa lampau dijadikan alasan untuk penggulingan Bashar Assad? 2. Siapa orang Sunni yang dimaksud? Apakah seluruh orang Sunni, atau yang dimaksud adalah kelompok Ikhwanul Muslimin yang melakukan kudeta bersenjata, mengebom fasilitas umum dan melakukan pembunuhan, dengan suplai senjata dari AS, pada tahun 1982 di Provinsi Hama?
Contoh 3: A: Pak Jokowi itu anti Islam! Masak dia bilang “agama harus dipisahkan dari politik”?!
Sebelum kita berdebat soal pernyataan Pak Jokowi (itu pun harus dicek ulang, benarkah dia berkata demikian?), perlu kita perjelas definisinya. Apa yang dimaksud agama, apa yang dimaksud politik? Beda definisi, akan beda analisisnya. Apakah agama yang dimaksud Pak Jokowi adalah “kulit” atau “esensi”? Apakah yang dimaksud adalah Islam, atau agama lain? Apakah politik yang dimaksud adalah politik dalam makna upaya meraih kekuasaan, atau politik dalam makna ‘mengatur kehidupan negara agar mencapai kemakmuran bersama’? Dan seterusnya.
Contoh 4: A: Syiah itu kafir, bukan Islam! B: Buktinya apa? A: Syiah itu suka menghina Ummul Mukminin dan para khalifah, kecuali Ali!
Di sini, perlu jelas dulu: apa definisi Islam? Apa definisi kafir? Apakah syarat masuk Islam adalah “tidak menghina Ummul Mukminin”? Ataukah menghina Ummul Mukminin sebatas “perbuatan haram”? Lalu, apakah seorang muslim yang berbuat sesuatu yang dihukumi haram otomatis keluar dari Islam? Lalu apakah semua orang Syiah suka menghina Ummul Mukminin, atau segelintir oknum saja? (dan sangat banyak pertanyaan lanjutan soal definisi ini).
Jadi, sekali lagi, definisi itu penting. Saat kita mendengar orang bicara (dan saat kita bicara/menulis), kritislah pada definisi ini. Jangan sampai kita terjebak dalam perdebatan konyol karena ternyata definisi yang dipakai berbeda. Jangan sampai kita buru-buru menghujat orang karena ternyata salah paham definisinya. Dan, jangan mau dibodohi orang yang bicara dengan mengaburkan definisi.
Ada komentator yang membantah saya dengan mengatakan “definisi itu relatif”. Jawaban saya: kalau mau relatif-relatifan, pembahasannya beda lagi, bukan di ilmu logika yang ini (yang sedang saya sampaikan ini). Dalam ilmu logika yang ini (yang sedang saya sampaikan) tidak ada relatif-relatifan, hanya dua pilihan: kalimat Anda salah atau benar (ingat 4 hukum dasar logika kemarin).
Ilmu logika yang sedang saya sampaikan ini punya asumsi bahwa hakikat itu ada, sementara di luar sana ada pemikiran bahwa segala sesuatu itu relatif, bahkan termasuk logika itu pun relatif. Buat saya, kalau semuanya relatif, buang saja otak dan akal kita. Saya sedang menulis untuk orang yang percaya bahwa hakikat itu ada dan akal itu adalah sesuatu yang bisa dipakai. Kalau Anda ada di luar dua wilayah itu, tidak perlu repot-repot mempelajari apa yang saya tulis. Jelas ya?
Dan, seperti saya tulis di awal, pelajaran yang saya sampaikan memang sederhana dan karena itu banyak dilakukan penyederhanaan (dan menyederhanakan sesuatu yang rumit bukan kerjaan yang mudah, untuk nulis 1 artikel ini, prosesnya sudah saya mulai sejak Rabu siang).
------ DEFINISI (bagian 2)
Definisi berasal dari kata Latin ‘definire’ yang berarti menandai batas-batas pada sesuatu atau batasan arti sesuatu. Kalimat definisi: X adalah... atau, Y adalah....
Cara membuat definisi: 1. Definisi harus menunjukkan ciri-ciri hakiki dari sesuatu yang didefinisikan, menunjukkan pengertian umum berserta ciri pembeda sesuatu itu dengan yang lainnya, berupa subjek dan predikat. Contoh : Moammar Qaddafi adalah [Presiden Libya yang digulingkan NATO tahun 2011] ---> bagian definisi adalah yang di dalam kurung, ada subjek, ada predikat.
2. Definisi tidak boleh terlalu sempit, atau terlalu luas; -Barrack Obama adalah orang AS ---> terlalu luas, karena yang dimaksud adalah Obama warga negara AS yang pernah menjabat jadi presiden pada periode 2008-2016.
-Politik adalah upaya merebut kekuasaan --> terlalu sempit, yang lebih benar, “Politik adalah segala sesuatu yang terkait dengan kekuasaan”.
3. Definisi tidak boleh sirkular (‘muter’ atau ‘daur’): Contoh salah: -Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui. [Akan muncul pertanyaan: trus sesuatu yang diketahui itu apa? Jika dijawab: ‘pengetahuan’, jadi ‘muter’ kan?] -Hukum waris adalah hukum yang mengatur warisan.
4. Dalam kalimat definisi, predikat harus lebih dikenal daripada subjek. Contoh: Daoud Rajiha adalah menterinya Assad yang beragama Kristen Ortodox (karena Assad lebih dikenal daripada Rajiha, sehingga Assad digunakan sebagai penjelas siapa itu Rajiha). Tidak logis bila kita bilang sebaliknya: Assad adalah boss-nya Rajiha.
[FYI: Rajiha tewas tahun 2012 akibat dibom Al Nusra]
5. Definisi dinyatakan dalam bentuk positif, jangan negatif -Definisi salah: Suriah adalah sebuah negara yang bukan Libya. -Definisi benar: Suriah adalah negara yang terletak di pinggir laut Mediterrania, berbatasan dengan Jordan, Palestina, Israel, Turki, dan Lebanon.
6. Definisi harus singkat dan jelas, tidak menggunakan kiasan atau kata yang ambigu. Contoh salah: Suriah adalah belahan jiwaku yang terletak di pinggir laut Mediterania. Dalam kalimat ini, “belahan jiwa” adalah kiasan, bukan benar-benar jiwa (ruh)-nya dibelah dua dengan pisau. Tentu adalah urusan lain (bukan urusan ilmu logika) bila kalimat ini dipakai dalam novel atau lagu.
7. Definisi itu harus mengandung kebenaran material. Sangat mungkin ‘bentuk kalimat’-nya benar, tapi material (substansi/isi)-nya salah. Misalnya: Bumi adalah planet ke-3 dari tata surya yang bentuknya datar. Secara ‘bentuk', kalimat ini sudah benar (sudah memenuhi 6 kaidah definisi di atas), tapi isinya/material-nya, bermasalah. Perlu argumen tambahan: apa buktinya bahwa bumi itu datar? ---. Jadi, contoh kalimat yang kemarin (logika bagian-2) dapat diperbaiki seperti ini: a. Menurut aktivis Hizbut Tahrir Libya, Qaddafi adalah sosok pemimpin yang tiran sehingga harus digulingkan. [artinya: definisi ‘tiran’ di sini adalah versi Hizbut Tahrir; kita sudah melakukan ‘pembatasan’ di sini, karena ‘definisi adalah batasan arti sesuatu’] b. Hafez Assad adalah mendiang Presiden Suriah yang pernah bertindak brutal saat memberangus pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin dengan dukungan AS, pada tahun 1982 di Provinsi Hama. [Perhatikan bahwa ini kalimat yang berbeda dari sebelumnya: Assad adalah presiden kejam yang membantai Sunni] c. Pak Jokowi menyatakan bahwa agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik, dengan makna bahwa agama adalah.... dan politik adalah.... [buat definisinya, dengan mengikuti 7 kaidah di atas] d. Menurut ustadz saya, orang Syiah adalah ... [berikan definisi dengan mengikuti 7 kaidah di atas]
Di bagian sebelumnya kita bahas DEFINISI. Kini kita masuk ke ARGUMENTASI, yaitu penalaran yang disampaikan dalam rangka meyakinkan pihak lain.
Ingat kata kuncinya adalah ‘penalaran’ atau proses berpikir. Karena itu, bila ada orang yang beragumentasi dengan cara begini: “Assad itu diktator Syiah yang kejam, saya tahu dari ustadz X yang pernah datang ke Suriah.” --> ini bukan argumentasi; kalimat tersebut mengandung fallacy (kesalahan berpikir). Tentang fallacy akan dibahas di bagian 5.
Sekarang kita mempelajari PENALARAN, yaitu proses penarikan kesimpulan dari satu atau lebih proposisi (pernyataan).
Ada 2 jenis penalaran, yaitu langsung atau tidak langsung. (1) Penalaran langsung, adalah menalar dengan berdasarkan 1 pernyataan saja, yaitu jika suatu pernyataan dianggap benar maka pernyataan yang kontradiktif menjadi salah.
Contoh: “semua warga RW 1 bisa membaca” --> artinya, kalimat “sebagian warga RW 1 buta huruf” adalah salah.
“Libya di masa Qaddafi memiliki Human Development Index tertinggi di Afrika” ---> artinya kalimat “Rakyat Libya pada masa Qaddafi hidup tertindas” adalah kalimat yang SALAH (karena kontradiktif dengan kalimat pertama).
“Setiap pekan, Assad sholat Jumat berjamaah bersama para ulama” ---> artinya kalimat “Assad memerintahkan seluruh rakyat Suriah untuk menyembah dirinya” adalah kalimat yang salah (karena kontradiktif dengan kalimat pertama).
(2) Penalaran tidak langsung, yaitu menalar dengan berdasarkan 2 (atau lebih) pernyataan (proposisi). Ada 3 jenis: INDUKSI, DEDUKSI, ANALOGI
INDUKSI Induksi adalah pengambilan kesimpulan umum (generalisasi) atas beberapa proposisi khusus (partikular).
Contoh: (a) Asma Al Assad adalah warga Suriah, tidak berjilbab. (b) Sarab Abed adalah warga Suriah, tidak berjilbab. (c) Afraa Dagher adalah warga Suriah, tidak berjilbab. KESIMPULAN: semua warga Suriah yang perempuan tidak berjilbab
Kesimpulan ini SALAH karena faktanya ada banyak perempuan Suriah yang berjilbab. Dengan demikian, generalisasi (induksi), tidak memberikan kepastian kebenaran (kadang benar, kadang salah).
Yang bisa disimpulkan dari penalaran induksi adalah ‘probabilitas’ (kemungkinan). Semakin banyak sampel (contoh) yang diambil dan semakin sedikit populasi sampel, semakin tinggi kemungkinan benarnya.
Misalnya, di sebuah kelas berisi 10 anak, 7 di antaranya sakit flu, kemungkinan besar seluruh anak di kelas itu sakit flu. Generalisasi menjadi BENAR ketika semua sampel diteliti (ke-10 anak di kelas itu diteliti dan semuanya memang sakit flu.
DEDUKSI Deduksi adalah pengambilan kesimpulan dari sebuah proposisi umum (universal) dan sebuah proposisi khusus (partikular).
Contoh: (a) Seluruh warga Suriah berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. (b) Asma adalah warga Suriah. Kesimpulan: Asma berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis.
KESIMPULAN dipastikan benar, jika pernyataan umumnya (a) dan pernyataan khususnya (b) benar.
HATI-HATI, deduksi bisa salah kalau pernyataan (a) dan (b) sama-sama khusus (partikular) atau sama-sama negatif.
Contohnya, bisa dilihat spanduk yang di Logika Bag. 3 saya jadikan kuis. (a) Liberalisme adalah paham yang menolak hukum agama. (b) PKI adalah organisasi yang pahamnya menolak hukum agama. Kesimpulan: PKI adalah paham yang sama dengan liberal.
Orang yang pernah belajar filsafat meskipun sedikit, akan tertawa terbahak-bahak membaca kesimpulan itu, karena salah banget. Analisis kesalahannya sudah saya tulis panjang lebar di Bag. 3 (di kolom komen). Tapi ditinjau dari penalaran deduksi, penalaran di atas salah karena pernyataan (a) dan (b) sama-sama partikular, sehingga tidak bisa diambil kesimpulan apapun.
ANALOGI Analogi adalah mekanisme pembuktian atas sesuatu (misalnya A) dengan menunjukkan bukti yang ada pada sesuatu lain (B) yang memiliki kemiripan atau kedekatan dengan sesuatu itu (A).
Contoh: (a) Pisang adalah buah yang rasanya manis. (b) Kedondong adalah buah. Kesimpulan: Kedondong pasti rasanya manis.
Kita tahu, umumnya kedondong rasanya asam. Artinya, analogi sering SALAH, jadi sebaiknya tidak beragumentasi dengan analogi.
Analogi bisa mencapai kebenaran ketika ada argumen lain yang terbukti benar. Misalnya: (a) Nasir mahasiswa HI Unpad, jago filsafat Barat. (b) Budi mahasiswa HI Unpad Kesimpulan: Budi jago filsafat Barat.
Kesimpulan ini bisa benar bila ada data lain yang mendukung (misalnya, bahwa seseorang harus lulus tes Filsafat Barat supaya bisa diterima jadi mahasiswa HI Unpad; artinya seluruh mahasiswa HI Unpad dipastikan jago Filsafat Barat).
Oleh karena itu, kita bisa mengkritisi pengambilan kesimpulan yang salah kaprah berikut ini:
(a) Imam Khomeini adalah orang Syiah, ia mendirikan negara berbasis agama (Wilayatul Faqih) di Iran. (b) Bashar Assad adalah Syiah Kesimpulan: Assad ingin mendirikan negara berbasis agama di Suriah.
Kesimpulan ini salah karena: -Penalaran analogi TIDAK membawa kita kepada KEPASTIAN kebenaran. -Bukti bahwa analogi ttg Assad dan Khomeini tidak benar secara material: *Tidak semua orang Syiah ingin mendirikan negara berbasis agama, bahkan ada sebagian ulama Syiah yang menolak Wilayatul Faqih. Sistem ini disepakati melalui referendum di Iran thn 1979, sehingga akhirnya resmi berdiri sampai sekarang. *Assad belum tentu Syiah atau Alawi (banyak juga yang menyebut ia Sunni, didukung oleh berbagai foto dan video saat ia sholat bersama para ulama Sunni Suriah).
FALASI - 1
FALASI (fallacy) adalah kesalahan berpikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan dalam menyusun argumen; bisa terjadi pada pendefinisian, penggunaan premis, penggunaan data, penarikan kesimpulan, dan semua aspek logika lainnya.
Falasi terkadang mengantarkan kepada kesimpulan yang benar. Akan tetapi, seandainya itu terjadi, hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan.
Jenis-Jenis Falasi:
(1) Argumentum ad hominem, yaitu membantah argumen seseorang dengan menyerang personalitas orang tersebut, bukan menyerang argumennya.
Contoh: A: Bashar Assad itu bukan pemimpin sempurna, tapi dalam konflik ini, dia ada dalam posisi sebagai presiden yang sah yang negaranya sedang diperangi oleh milisi bersenjata yang dibiayai AS, Inggris, Perancis, Saudi, Qatar, dll. Secara de facto, dia diserang dan diperangi pihak asing dan serangan ini adalah pelanggaran hukum internasional. Dalam perspektif realis, Assad berhak melawan invasi asing demi mempertahankan pemerintahannya. B: Anda berkata demikian karena Anda Syiah! [*bayangkan ada backsound: tettoooot....]
(2) Argumentum ad verecundiam, yaitu berargumen dengan berlindung di balik kredibilitas orang atau menganggap semua perkataan orang yang dianggap kredible pasti benar, padahal: - kebenaran materialnya harus dibuktikan dulu -kredibilitas seseorang harus relevan dengan pernyataannya
Contoh: A: Bumi itu datar. B: Apa argumennya? A: yang bilang Bapak A! Dia itu profesor, lho! Masa kamu ga percaya?? Pertama, kita menyimpulkan bahwa bumi itu bulat atau datar harus berdasarkan argumen&bukti, bukan semata-mata ‘kata profesor’. Kedua, kalaupun mau ‘bertaklid’ pada profesor (karena tidak mungkin bagi kita untuk meneliti hingga detil seluruh fenomena di alam semesta), perlu dilihat, apakah Bapak A profesor di bidang astronomi (relevan dengan topik yang dibahas), atau bidang lain?
(3) Argumentum ad baculum, yaitu berargumentasi dengan didasarkan pada kemungkinan buruk/ancaman bila sesuatu itu terjadi (atau tidak terjadi).
Contoh: “Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah sebuah solusi yang terbaik bagi Indonesia, karena jika khilafah tidak ditegakkan moral rakyat Indonesia akan semakin terpuruk dan kemaksiatan meraja lela. Lihat saja, penderita AIDS di Indonesia semakin hari semakin meningkat, itu karena kita tidak memakai sistem khilafah!” [*mau ada backsound lagi? :D]
(4) Fallacy non causa pro causa, yaitu berargumentasi secara keliru karena penyebutan ‘sebab’ yang tidak tepat (karena betul-betul bukan sebab, atau menyebut ‘akibat’ sebagai ‘sebab’, atau menyebut hanya 1 sebab padahal ada beberapa sebab)
Contoh: a. Iran menjadi sumber ketidakstabilan di Timteng karena mensponsori Al Qaida [Iran tidak mensponsori Al Qaida] b. Hosni Mobarak jatuh karena tidak disukai lagi oleh AS. [padahal ada banyak faktor: dia korup, melanggar HAM, gelombang demokratisasi, kesulitan ekonomi rakyat, krisis pangan global, pengaruh media sosial, dll]
(5) Argumentum ad Misericondiam, yaitu berargumentasi dengan membangkitkan belas kasihan/sentimental.
Contoh: A: Kita harus membantu rakyat Suriah! Mereka ditindas oleh rezim Bashar Assad laknatulloh! B: Apa buktinya mereka ditindas? A: Lho kamu tidak lihat, mereka saat ini tinggal di pengungsian, kelaparan, kedinginan. Itu karena lari dari penindasan setan Assad! Kasian sekali mereka! Ini liat, ada fotonya, anak-anak kurus kering kelaparan. Ayo kita infakkan sebagian harta kita untuk membantu mereka!
FALASI – 2
Jenis-Jenis Falasi (lanjutan) (6) Argumentum ad Populum adalah beragumen dengan berdasarkan “banyak orang yang mengatakan hal itu.”
Contoh: A: “Qaddafi itu pemimpin zalim! Memang layak ditumbangkan oleh mujahidin!” B: Apa buktinya? Kalau dia zalim kok bisa Libya jadi negara dengan kualitas pembangunan manusianya terbaik se-Afrika? Kok bisa semua digratiskan, kesehatan, pendidikan, dll. A: Semua ustadz dan ustadzah kita bilang demikian kok! . A: Kisah “bocah di kursi oranye itu” di Aleppo itu kemungkinan besar “staged” (dibuat/direkayasa), karena beberapa kejanggalan berikut ini.. [penjelasan]. B: Anda ngawur! Semua media besar, New York Times, BBC, CNN, sudah memberitakan kasus ini! .
(7) Fallacy Ignoratio Elenchi: kesimpulan yang diambil dari premis tidak relevan.
Contoh: “Dia itu ustadz besar lho! Hafal Quran! Tidak mungkin dia melakukan kejahatan tersebut!” “Anda saksikan sendiri, para anggota HTI itu pintar-pintar, sholeh, rajin mengaji, ga suka pacaran... mana mungkin mereka merencanakan makar pada NKRI?”
. (8.) Argumentum ad ignorantiam: menyimpulkan sesuatu itu benar karena negasinya belum terbukti, atau sebaliknya.
Contoh (perhatikan kata yang saya kasih tanda bintang): -Hantu itu *tidak ada*, karena tidak ada yang bisa membuktikan bahwa hantu itu *ada* -Bumi itu *bulat*, karena tidak ada yang membuktikan bahwa bumi itu *datar*. -Assad itu *pelaku* serangan gas kimia di Idlib karena *tidak ada* investigasi PBB yang menyebutkan bahwa *bukan* Assad pelakunya. . . A: Assad itu diktator Syiah yang bengis, laknatulloh! Ini lihat foto korban-korbannya! B: Lho, itu kan foto di Gaza, bukan di Suriah [sambil memperlihatkan hasil cek di google image] A: Kalau gitu, Anda buktikan pada saya bahwa Assad itu bukan diktator Syiah yang jahat! B: [dalam hati: kok elu ngasih kerjaan ke gue? Elu yang nuduh, elu yang kasih bukti dong!] .
(9) Falasi aksidensi: kita memaksakan aturan umum pada suatu keadaan yang aksidental.
Contoh: “Bashar Assad itu pemimpin brutal dan diktator, lihat saja, dia membantai para mujahidin!”
[aturan umum: membunuh adalah kejahatan; tapi dalam kasus Suriah, mereka yang disebut “mujahidin” adalah milisi bersenjata proxy AS, Saudi, dll, yang melakukan serangan bersenjata dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah yang terpilih melalui pemilu].
(10) Falasi komposisi dan divisi: kesalahan berpikir yang muncul dari anggapan bahwa apa yang benar atau berlaku bagi individu tertentu pasti juga berlaku untuk seluruh individu yang ada pada kelompok itu. Ini sama dengan analogi (jadi, analogi pada dasarnya salah satu bentuk falasi, kecuali pada kondisi tertentu, baca lagi bab analogi). Kesalahan analogi juga bersumber dari pembandingan yang tidak setara. Karena itu, contoh-contoh berikut ini malah dobel-falasi (pakai analogi + analogi tidak setara).
Contoh: -“Nak, kamu harus berani berenang dong, masak kalah sama ikan?” -“Kalau HTI dibubarkan, mengapa Syiah dan Komunis tidak dibubarkan juga?” -“Kalau Menteri Agama menolak memerintahkan agar warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag memerintahkan Bandara Bali BUKA DI HARI NYEPI untuk menghormati mereka yang tidak beribadah Nyepi!”
. PENUTUP KEPASTIAN kebenaran hanya bisa didapatkan dari DEDUKSI (dengan sejumlah aturan, tentunya), sementara itu INDUKSI hanya memberikan KEMUNGKINAN. Karena itu, kita tidak boleh memastikan, menghakimi, apalagi mengambil tindakan (misalnya, pergi jihad ke Suriah lalu mengebom-ngebom di sana) hanya berdasarkan penalaran induktif. Apalagi, berdasarkan ANALOGI.
Falasi yang dijelaskan di sini hanya SEBAGIAN KECIL dari banyak falasi lainnya (teman saya, seorang doktor filsafat, sudah menginventarisir 70-an jenis falasi). Tapi semoga dari yang sedikit ini saja, setidaknya, kita semakin kritis dan berhati-hati dalam menerima informasi.
0 notes