#Tawanya
Explore tagged Tumblr posts
Text
Yang terlihat baik-baik saja, bukan berarti ia tak memiliki luka. Yang terdengar keras tawanya, bukan berarti ia tak memiliki kepelikan dalam hidupnya. Yang dikira bahagia belum tentu ia tak pernah mengalami duka.
Pada hakikatnya kita semua sama, pernah, sedang, akan, terluka. Hanya saja yang membedakan perspektif dan caranya dalam mengahadapinya.
19 notes
·
View notes
Text
🌷✍🍁
puncak dari kesabaran,yaitu ketika kamu diam padahal dalam hatimu ada luka yang berbicara, dan puncak dari kekuatan yaitu ketika kamu bisa tersenyum sedangkan matamu ada seribu air mata..
Jika ingin tau seberapa deritanya dia selama ini duduklah di sampingnya liatlah ketika dia tertawa, apakah kamu melihat atau kamu bisa membandingkan mana tertawa bahagia dan mana tertawa yang bersifat menutupi luka..
Jangan terkecoh dengan tawanya seseorang karena belum tentu dia tertawa karena bahagia bisa jadi itu hanya sampul ketika beban masalah yang dia hadapi tidak menemukan titik terang lantas dia menutupi masalah kesedihan kebingungan juga beban itu dengan melampiaskan hanya dengan tertawa...
6 notes
·
View notes
Text
MEMAKNAI TAWA
Jika kamu ditanya, tawa seperti apa yang kamu suka? Apakah tawa dari seorang yang jatuh hatinya? Apakah tawa dari penonton yang tengah menonton panggung hiburannya?
Kalau aku, selalu menyukai suara tawa bayi atau anak kecil, entah mengapa Rasanya tawa mereka selalu terasa tulus dan penuh makna Nyaringnya penuh jujur dan tanpa berpura-pura
Rasanya tawanya akan selalu menular ke sesiapa pun di sekitarnya Meredakan berbagai pikiran yang tengah menerpa Menghilangkan segala penat meski hanya sementara
Sebab tampaknya semakin mendewasa, kita maka semakin jarang pula gelak tawa terdengar dari kita Sebab sepertinya semakin lama hidup di dunia, rasanya ada begitu banyak hal yang membuat tawa itu sirna
Entah karena proses mendewasa yang banyak menuntut kita untuk menerima realita
Entah karena proses mendewasa dengan segala beban dan tanggungjawab yang ada
Entah karena semakin lama semakin sedikit pula berbagai kolega yang dulu saling berbagi cerita
Meski memang tawa tak lagi hadir sesering dengan sebelumnya, namun tak berarti kita tak mampu untuk berbahagia
Sebab bahagia dapat muncul dari berbagai hal di sekitar kita, dari berbagai hal yang mungkin tak kita duga Lewat berbagai hobi dan aktivitas favorit kita Lewat tontonan yang penuh dengan sukacita Atau mungkin lewat diskusi dan berbicara dengan orang yang kita suka
Semoga setiap tawa yang kelak hadir dalam hidup kita mampu menjadi pereda dari bisingnya dunia
12 notes
·
View notes
Text
Littles
Suara bell tiba-tiba berbunyi di apartemen yang masih sepi suara itu, jam 6 pagi di hari Minggu, belum ada orang yang beraktifitas.
DUG DUG DUG
Mendengar suara itu, si gadis tidak lagi bisa berpura-pura tertidur. Lagipula siapa yang akan tidak sopan menggedor pintu orang lain di pagi hari, khususnya di hari Minggu?!!
Dengan masih mengernyit, mata yang menyipit, perempuan itu meninggalkan hangat dari pelukan kekasihnya, juga selimut tebalnya untuk melihat siapa yang ada di depan.
Perempuan itu justru semakin mengernyit, dari lubang pengintipnya ia melihat kakak perempuannya ada di depan pintu bersama kedua balita kembarnya.
Click
“AUNTIEEEEEE!!!”
Teriakan dari kedua bocah itu seketika memenuhi unit apartement beserta seisi lorongnya, membuat sang ibu buru-buru melangkah masuk, takut-takut mengganggu yang lain.
Keduanya menyerbu paha perempuan itu, karena tingginya yang belum seberapa, tetap semangat menyambut tantenya yang baru bangun tidur.
“Sorry, really need your help. i have to go to the hospital”
Seakan kakaknya bisa menebak apa yang dipikirkannya, anak kembar yang belum mengerti percakapan orang dewasa itu masih asyik bermain dan bercakap dengan mainan yang dibawanya masing-masing.
“Here I already prepared their meals, this-is what you should cook for them, and these are the list they couldn’t eat— you can bill me for the expenses okay? I really need your help sissy, -must go now!”
Bicaranya dengan kecepatan yang membuat adiknya sendiri termenung diam, berusaha mencerna semuanya. Kakak perempuannya menghampiri kedua balitanya dan mengecup pipi mereka masing-masing.
“You both are happy right? I granted your wish to go to Aunt’s house, now mommy gonna go for a while and you guys— don’t be naughty and give your auntie a hard time, alright? Bu-bye”
Lagi-lagi keduanya masih terlihat senang, mengecup balik pipi ibunya sebelum sang ibu meninggalkan mereka di tempat yang masih sedikit asing untuknya.
Click
Perempuan itu mengerjapkan matanya, apa.. yang baru saja terjadi.. tiba-tiba keponakannya berkunjung- atau lebih tepatnya terpaksa berkunjung?
Ia masih terduduk diam di kursi meja makan, menatap ke arah ruang tamu di mana keduanya sedang bercanda dan bermain, sampai tiba-tiba ia lengah dengan pengawasannya.
Salah satu dari gadis kecil itu membuka kamarnya, dan berteriak memanggil saudara kembarnya.
“PLAY HERE!! IT’S COOL IN HERE!!”
Dilanjut dengan tawanya dan kaki kecil itu mendepak lantai berlari dengan semangat, belum sempat dihentikan.
Oh tidak, Chan sedang tertidur di dalam. Hari ini seharusnya jadi hari istirahat Chan, setelah berminggu-minggu tidur di subuh hari dan kembali bekerja di pagi hari.
Bahkan, ia juga tidak tahu kekasihnya suka anak kecil atau tidak. Tidak pernah melihatnya bersinggungan atau berinteraksi dengan anak kecil sebelumnya, membuatnya sedikit tak enak hati kalau kedua keponakannya akan mengganggu.
“Wait guys! You can’t-“
“AUNTIE THERE’S SOMEONE SLEEPING!!”
Gadis itu tambah terbelalak dengan teriakan salah satu dari mereka, buru-buru ia masuk ke dalam kamar melihat pemandangan horror, keponakannya berloncat-loncat di ranjangnya. Bahkan tubuh Chan terlihat ikut sedikit terguncang karena ulah mereka.
“AUNTIEE LOOK WHO IS THIS!!!”
Anak kecil itu menunjuk pria yang perlahan terbangun, menyipitkan matanya berkat gorden yang sudah dibuka lebar oleh salah satu dari mereka. Laki-laki itu mengusap matanya, tubuhnya ikut berguncang dengan dua orang anak kecil terus berlomba-lomba meloncat lebih tinggi di atas kasur.
“Oh my God.. guys guys, come on come here”
Perempuan itu berbisik, yang tentu saja tidak mempengaruhi keduanya. Justru Chan yang memunggunginya tadi berbalik menghadapnya yang ada di pintu, berusaha memanggil kedua gadis kecil itu.
Oh she feels sorry for him
Kamar itu dipenuhi dengan berisik teriakan seru anak kecil, dan tak lama kekasihnya sepenuhnya terbangun. Tampaknya anak kembar itu juga tidak takut dengan pria asing yang sama sekali tidak pernah dikenal mereka.
Malahan keduanya tertawa tergelitik melihat, dengan berani menyentuh rambut keriting Chan, tapi justru malah membuat care takernya panik.
“Why your hair look like this mister?” One of them grab a small part of his curly hair and giggles.
“No baby.. no-no-no.. you can’t touch anyone without their permission okay? What do you say now?”
Tawa kecilnya diinterupsi karena tidak sopan pada pria asing di depannya, matanya membulat merasa bersalah.
“Awe it’s okay hahaha, who are you guys little girls hmm?”
Chan merespon dengan senyum lesung pipinya, tangannya menadah dan ditepuk dengan gadis kecil satunya, menjawab dengan riang.
“I’m Anne! That’s my sister Anna��� Also answering on her behalf of her sister.
“I’m Chan”
“They are my nieces, twins. My sister just dropped by, she said she had an urgent, so.. yea”
Kekasihnya sedikit menjelaskan, sementara pria itu menggenggam tangan kecil yang menepuk tangannya tadi.
“Now.. girls come on, don’t bother uncle Chan because he needs to sleep, yea? Let’s go out”
Ajaknya berharap keduanya mengikuti, tapi tidak.
“Why? the sun is up already”
Chan yang mendengar itu malah tertawa kecil, pikiran anak kecil memang terlalu polos.
“It’s okay babe- I’m awake already”
“I’m really..sorry about this. You can just go back to sleep okay?”
“What do you mean? The sun is already up Anne said”
Ketiganya termasuk Chan tertawa serempak, bahkan sempat-sempatnya pria itu memberikan tangannya untuk ditos kedua anak kembar itu.
“Are you guys like mommy and daddy? Mommy and daddy says babe at home too”
Pertanyaan Anna membuat keduanya saling melirik.
“Yeah we are”
Jawab Chan mendahului kekasihnya yang berpikir menyiapkan jawaban.
“Now, what’s for breakfast? Did you guys aready have breakfast? Come on let’s go out”
Entah ia kurang mengenal kekasihnya sendiri, atau situasi yang menurutnya aneh ini sedikit menenangkannya. Bahkan Chan berhasil membawa kedua bocah kecil itu keluar dari kamar, tanpa paksaan atau teriakan.
33 notes
·
View notes
Text
Diam Terniat
ApaKamuPernahMerasakanTerpaksaUntukIkhlas? memilih diam untuk tidak lagi menganggu orang yang kamu cintai, memilih jatuh cinta sendirian tanpa perlu memperlihatkannya, dan memilih untuk tetap waras ketika tatapan, senyuman tawanya bukan lagi untuk kamu. kamu diam-diam hanya bisa memperhatikan itu, kamu hanya bisa mengajak hatimu berdamai dengan perasaanmu sendiri, mengajak hatimu untuk tidak memperlihatkan jatuh cintanya lagi. diam paling niat, meski dalam dada masih tidak bisa merasa baik-baik saja.
diammu bukan berarti tidak mencintainya lagi, hanya saja diammu adalah bahagia untuknya. kamu memilih membiarkan dirimu jatuh cinta sendirian tanpa kata, tanpa seorangpun mengetahuinya, tanpa seorangpun yang perlu kamu berikan penjelasan, dalam dada perasaan itu kamu tenggelamkan menjadi kenang yang selalu kamu sambut untuk pulang.
tidak ada benci dalam hatimu, tidak ada dendam terhadapnya. air mata yang pernah kamu jatuhkan kini bisa kau hentikan dengan doa-doa, tidak ada ragu dalam diammu bahwa perasaanmu yang kini kamu simpan adalah cinta paling serius. namun bertemu dengannya kamu dipaksa harus terlihat baik-baik saja, tidak ada lagi yang perlu kamu perlihatkan, didepannya kamu mengatakan pada dada bahwa semuanya memang sudah tiada, namun ternyata melihat dan bertemu lagi dengannya adalah jatuh cintamu untuk kesekian kalinya.
dalam diam kamu bertumbuh dengan luka-luka kemarin bersama dengan harapan-harapan, namun pada akhirnya kamu paham bahwa kamu memang tidak pernah diinginkan olehnya. jatuh cintamu kini hanya lewat doa. berkali-kali kamu mencoba membunuhnya, berkali lipat ia tumbuh di dada.
pada akhirnya kamu hanya ingin menghindari apa yang berkaitan dengannya. sebab, setelah ia memilih pergi waktu itu, segala rencana tidak lagi ada!
25 notes
·
View notes
Text
Banyak Tanya
Mereka sibuk bertanya-tanya; Bagaimana rasanya dicintai oleh perempuan sepertiku? Yang meriah tawanya Yang lebar senyumnya Yang banyak katanya
Sayangnya mereka enggan bertanya; Bagaimana rasanya menjadi perempuan sepertiku. Sebab aku tahu persis rasanya Bukan diam memperbaiki diri, ada yang sibuk berkemas untuk pergi Bukan mendengar untuk mengerti, malah bersiap untuk mengkhianati
Mereka tetap sibuk bertanya-tanya; Siapa gerangan yang akan menggenapkan perempuan sepertiku? Yang keras kepalanya Yang banyak kurangnya Yang rumit pikirnya
Sayangnya mereka tak pernah tau; Bagaimana rasanya dicintai sebegitunya Sebab aku tahu persis rasanya Diberi ratusan bunga matahari tanpa pamrih Menjadi tamengku tanpa pernah ingin diketahui
Kelak, akan datang hari dimana semua tanya itu menemukan jawabannya. Akan ada waktu dimana semua tanda tanya itu menjadi titik. Karena selesai sudah. Perempuan sepertiku akhirnya menemukan lelakinya. Kemudian, lembar cerita baru akan dimulai.
{Ccl}
#original poem#poetry#poetic#original poetry#poets on tumblr#bersama jadi baik#puisipendek#sajak puisi#puisiindonesia#kumpulan puisi#sastra#sajak#muslimah berdaya#menulis
15 notes
·
View notes
Text
ICU
Masih ingat sekali menemani "om" ku yang tiba tiba drop tanpa aba-aba. Sebelumnya kami masih saling ngobrol diruang tv, tapi tiba-tiba di hari sabtu malem aku harus mengantarkan orang yang menjadi tempat aku berkeluh kesah untuk berjuang bersama di IGD.
"Nikmati moment yang dipunya, mencinta, memberikan kasih dengan orang yang kita cintai. Karena kita tau waktu sangat amat berharga"
Tepat dihari senin pagi om ku drop setelah divonis gagal ginjal. Kami sempat memperjuangkan bersama di ruang hemodialisa, aku yakin om ku kuat, om ku hebat. Semua pasti terlewati.
Tapi ternyata om ku hampir menyerah, sampai pada akhirnya beliau harus berjuang lebih di ruang ICU. Kami menemani dari luar ruang ICU, dengan segala bacaan doa, berharap semua segera membaik.
Gak terasa aku ketiduran. Bangun sahur di hari selasa hatiku patah saat diberi kabar perawat bahwa om ku memasuki fase kritis. Aku hancur hancur hancur. Aku masih kosong, bingunng mencerna semua darimana. Kami berdoa, tanteku mendampingi omku di ruang icu. Berharap masih ada kesempatan untuk kembali sehat.
06.37 ternyata Allah lebih sayang om ku. Tidak ada susah, semua Allah mudahkan. Allah hilangkan rasa sakitnya, Allah kembalikan omku ke pelukan-Nya dibulan yang baik ini. Om ku pergi selama-lamanya.
Aku sangat tau omku lelah, maka dari itu kami juga ikhlas. Karena kami tau ini yang terbaik.
Om, hatur nuhun untuk segala nasehat2nya. Untuk segala canda tawanya. Sekarang berbahagialah disana, sampaikan salam hangat kami pada Allah, sampaikan padaNya bahwa kami selalu merindukan om.. InsyaAllah jannah ♥︎
Love you, jantung hati kami.
18 notes
·
View notes
Text
Jeda diantara keramaian.
CW: Smoking, kissing (with a stranger)
Dengung musik memenuhi lapangan, disertai sorotan lampu dan sorak sorai lautan manusia. Senyum merekah, tawa menggema, dan wajah-wajah bahagia menggantikan rasa penat setelah seminggu dikejar setan—maksudnya, pekerjaan.
Aku pun menjadi salah satu dari mereka, ikut bernyanyi meski tidak seheboh teman-temanku. Setelah cukup lama berkerumun, aku memutuskan mundur ketika mendapat izin dari temanku; terlalu sesak rasanya.
Aku mundur sampai ke pembatas ujung, bergabung dengan orang-orang yang tampaknya sudah mulai lelah berteriak dan menari di tengah kerumunan. Aku merogoh kantong, mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api.
Sudah lama aku tidak menghisap nikotin, pikirku. Sekali-kali tidak masalah, 'kan?
Aku menyalakan rokok dengan gerakan yang sudah lama tidak kulakukan. Asap tipis pertama mengepul saat ujungnya membara, membentuk garis halus yang meliuk di udara malam yang hangat. Kurasakan sensasi nikotin yang perlahan menjalar ke dalam, menenangkan kegelisahan yang sempat tertinggal.
Aku menyandarkan punggung ke pembatas, membiarkan paru-paru terisi penuh sebelum melepaskan napas perlahan. Asap keluar membentuk pusaran kecil, menghilang seiring hembusan angin. Di sekelilingku, wajah-wajah lelah tetap memancarkan senyum samar, beberapa menoleh ke panggung, yang lain sekadar menikmati jeda mereka sendiri.
Sesekali, ujung rokok berpendar merah dalam kegelapan, kontras dengan gemerlap lampu panggung. Di momen itu, segala kebisingan terasa lebih jauh, dan aku, meski hanya sebentar, merasa seolah dunia melambat.
Di sela-sela dentuman musik yang masih menggema, aku menikmati momen sendiriku, ditemani asap tipis yang semakin menipis di udara. Dari sudut mataku, kulihat seorang perempuan berjalan mendekat. Rambutnya pirang, tergerai sedikit berantakan karena angin malam, memberikan kontras mencolok di bawah pancaran cahaya lampu. Wajahnya memancarkan kelelahan yang sama, namun dengan sorot mata yang tetap hidup.
“Hai, boleh pinjam koreknya?” tanyanya dengan senyum setengah mengulas di bibirnya.
Aku menoleh, sedikit terkejut namun segera menyadari situasi. Kugeser korek dari tanganku yang terjepit di antara jari-jari, memberikannya padanya. Jemarinya menyentuh sekilas saat ia mengambil korek, dingin dan sedikit gemetar karena udara malam.
“Terima kasih,” ucapnya, lalu dengan gerakan cekatan menyalakan rokoknya. Api kecil itu memantulkan sinar di matanya, menambah kedalaman pada ekspresi yang sudah cukup menarik perhatian. Aku hanya mengangguk, mengambil satu hisapan lagi sambil memerhatikan sosoknya yang ikut menyandarkan diri di pembatas, mengembuskan asap ke langit gelap yang penuh sorotan lampu panggung.
“Aku butuh momen keluar dari keramaian,” katanya tanpa menoleh, seolah membaca pikiranku.
“Ya, di sini lebih tenang,” jawabku pendek, membiarkan suasana berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Kami berdiri dalam keheningan yang nyaman, diiringi suara gemuruh musik yang terasa seperti latar belakang jauh. Dia mengembuskan asap terakhir dari hisapannya, memiringkan kepala sedikit ke arahku.
“Sering datang ke acara seperti ini?” tanyanya, nada suaranya ringan, seakan pertanyaan itu hanya pembuka, bukan sesuatu yang penting.
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Jarang. Biasanya sibuk dengan kerjaan. Kamu?”
Dia terkekeh, suara tawanya terdengar seperti kilasan cahaya di antara riuh suara malam. “Sama. Ini pertama kalinya aku memutuskan ikut teman. Biasanya... ya, terlalu sibuk juga.”
Sekilas tatapan kami bertemu, dan ada sesuatu dalam pandangan itu—entah rasa kelelahan yang sama, atau hanya pengakuan diam-diam bahwa dua orang asing bisa berbagi sejenak keheningan tanpa perlu memaksakan percakapan. Dia memalingkan pandangannya ke arah kerumunan, matanya memantulkan kilatan lampu neon yang menari-nari di atas panggung.
“Kadang rasanya hidup terlalu cepat, ya?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup keras hingga aku bisa mendengarnya.
“Ya, kadang kita perlu jeda,” jawabku, menghisap rokok terakhir sebelum membuang puntungnya, menghancurkannya dengan tumit.
Dia tersenyum samar, lalu mengembalikan korekku. “Makasih, aku butuh momen ini,” katanya, suaranya lebih pelan, lebih tulus.
“Sama-sama,” balasku, menerima korek dengan satu anggukan kecil.
Setelah sejenak terdiam, dia menghela napas panjang dan menoleh ke arahku, mata birunya memancarkan ketenangan yang jarang terlihat di tengah kerumunan. Dia menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga, sedikit ragu sebelum berbicara lagi.
“By the way, namaku Nirmala,” ujarnya sambil mengulurkan tangan, ekspresi wajahnya berubah lebih hangat.
Aku tersenyum, menerima uluran tangannya yang terasa dingin namun lembut. “Aku Peter,” jawabku, mengenalkan diri dengan sedikit anggukan.
Nirmala mengangguk kecil, bibirnya mengulas senyum yang lebih lebar. “Senang bisa bertemu di tengah keramaian begini, Peter.”
“Ya, jarang-jarang ada yang benar-benar memperhatikan orang lain di acara seperti ini,” balasku, mencoba mencairkan suasana.
Nirmala tertawa kecil, suaranya terdengar lebih jernih kali ini. “Mungkin karena kita sama-sama butuh napas sejenak.”
Kami terdiam sejenak, membiarkan keheningan di antara kami diisi oleh dentuman musik yang tetap menghentak di depan. Meski baru saja bertemu, ada sesuatu yang terasa nyaman, seolah pertemuan ini adalah momen yang memang harus terjadi di tengah hiruk-pikuk malam itu.
Obrolan kecil yang seharusnya terasa canggung justru terasa alami di antara kami. Nirmala bersandar lebih santai pada pembatas, memutar-mutar rokok di antara jemarinya.
“Jadi, apa yang kamu lakukan di luar kerjaan yang bikin sibuk itu?” tanyanya, sorot matanya mengarah padaku, seakan ingin tahu lebih dari sekadar jawaban umum.
Aku menghela napas, mengangkat bahu kecil. “Tidak banyak. Biasanya membaca, kadang menulis kalau sedang ada ide. Musik juga... semacam pelarian.”
Nirmala mengangguk pelan, senyum simpul di wajahnya. “Aku suka menulis juga. Tapi lebih ke jurnal, catatan sehari-hari yang... entah, membantu meredakan pikiran,” ungkapnya.
Mendengar itu, ada rasa akrab yang mulai terjalin. “Jadi, penulis jurnal yang juga pengamat konser?” candaku, membuatnya tertawa ringan.
“Begitulah kira-kira,” sahutnya dengan mata berbinar. Ia mengembuskan asap terakhir sebelum mematikan puntung rokok di aspal. “Kadang aku datang ke sini untuk menemukan cerita baru. Ada banyak yang tak terlihat di balik keramaian ini, kalau kamu tahu di mana mencarinya.”
Aku tersenyum, menyadari bahwa percakapan ini sudah lebih dalam daripada basa-basi biasa. “Mungkin kita bisa berbagi cerita suatu hari,” kataku tanpa sadar, merasakan dorongan keberanian yang jarang muncul.
Nirmala memandangku, sedikit terkejut tapi kemudian mengangguk. “Mungkin. Kedengarannya menarik, Peter.”
Sebelum aku sempat menanggapi lebih jauh, sorakan keras dari kerumunan menandakan bahwa lagu baru yang populer baru saja dimainkan. Nirmala menoleh, senyumnya semakin lebar. “Sepertinya aku harus kembali ke teman-temanku. Tapi... sampai ketemu lagi?”
Aku mengangguk, mataku mengikuti saat dia berjalan menjauh, kembali menyatu dengan lautan manusia. Korek di tanganku terasa lebih ringan, seolah meninggalkan kesan momen singkat namun tak terlupakan.
Malam semakin larut, dan kelelahan mulai terasa lebih nyata saat suara gemuruh musik perlahan mereda. Orang-orang di sekeliling kami mulai berkurang, sebagian besar sudah pulang atau duduk kelelahan di sudut-sudut lapangan. Aku melihat Nirmala berdiri di tepi panggung, memandang ke arah lampu-lampu yang mulai redup. Pandangan kami bertemu, dan tanpa kata, ia mendekat.
“Aku hampir pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal,” katanya dengan senyum menggoda.
“Aku kira kamu sudah hilang di kerumunan,” balasku, mencoba terdengar santai meski jantungku berdetak lebih cepat.
Hening beberapa saat, hanya diisi oleh embusan angin malam yang sejuk. Nirmala mendekat, menatapku dengan mata yang memancarkan rasa penasaran dan keberanian. Tanpa berkata-kata, jarak di antara kami semakin tipis, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang tak karuan.
“Bolehkah?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suasana malam.
Aku hanya menjawab dengan mengangguk samar, dan sekejap kemudian bibir kami bertemu dalam ciuman lembut. Awalnya penuh kehati-hatian, namun perlahan, ciuman itu semakin dalam, seperti mengukir momen yang akan teringat dalam waktu lama.
Saat kami saling melepaskan, Nirmala tersenyum, pipinya memerah samar meski dalam remang-remang lampu. “Sampai jumpa di cerita berikutnya, Peter,” bisiknya, sebelum kembali berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan aku yang masih tersenyum sendiri.
2 notes
·
View notes
Text
Memori, 3 November 2024
Aku bertemu dengannya pertama kali di sore itu. Tampangnya yang mengesalkan dibalut dengan kaos sablon anime yang terlalu besar di dadanya begitu membekas di benakku. Wajahnya tak beraturan, senyumnya sarkastik, namun kini justru itulah yang kurindukan. Pertemuan kami yang awalnya tak menyenangkan, kini menjadi salah satu hari terindah yang pernah ada—hari di mana aku pertama kali diizinkan Tuhan untuk menatap netranya, mata yang hangat, penuh mimpi, seolah ia bisa menantang dunia dengan sepenuh hati.
Sore itu, angin membawa namanya kepadaku—Sangga. Ia hadir dengan setiap gesturnya yang polos sekaligus sombong, tiap helai rambutnya yang beterbangan karena angin sore itu, bercerita lebih banyak dari kata-katanya yang penuh canda. Seperti senja yang menua di atas langit Bandung, Sangga membuatku jatuh sedikit demi sedikit, tak terduga namun nyata.
Hubungan kami berkembang dengan cara yang halus dan perlahan; tiap pertemuan seolah merajut benang di antara kami, satu per satu, seperti … “satu-satu anak tangga yang tak mungkin kita daki berbalik, hanya terus mendaki ke puncak tertinggi.” Entah kapan, aku sadar aku mulai mengenalnya bukan hanya sebagai Sangga, tapi sebagai bagian dari diriku sendiri, seolah takdir sudah mengikat kami dalam ikatan yang tak bisa kuurai lagi.
Jika aku bisa mengulang waktu—kembali ke sore di tahun 2017 itu—aku akan memeluknya erat, tanpa ragu, dan langsung mengatakan, “Aku mencintaimu. Ayo hidup lebih lama lagi bersamaku.” Aku ingin membisikkan kalimat itu, tak peduli seberapa nyaring suara dunia yang mungkin menghalangi. Seandainya aku bisa, aku ingin mengajaknya lari, menuju dunia mimpi yang tak berujung, dunia di mana hanya ada kami berdua, tanpa takdir yang datang untuk memisahkan. Dunia di mana senyumnya takkan pernah pudar, di mana aku bisa mencintainya tanpa takut hari esok.
Kukira aku punya banyak waktu untuk mencintainya. Kukira pertemuan ini adalah awal yang panjang, persis seperti hujan pertama yang membawa harapan. Tapi ternyata semua itu hanya pengandaian yang fana. Aku sadar kini, bahwa tidak setiap perjalanan bisa kita tempuh tanpa akhirnya—aku tahu ini akan usai, cepat atau lambat. Namun, aku hanya ingin, setidaknya, bisa bersamanya sedikit lebih lama. Aku masih ingin mendengar tawanya yang bisa membangkitkan musim semi di hatiku yang gersang. Aku masih ingin ia menyebut namaku, lagi dan lagi, dengan nada yang hanya dimiliki Sangga.
Aku masih ingin berharap banyak hal yang mungkin takkan pernah terwujud—hanya kenangan kecil yang terus bersenandung dalam hatiku, tentang hari itu, saat aku pertama kali menatapnya dengan rasa yang kini tak lagi bisa kugenggam.
#aksara#book quotes#fiksimini#kata#poetsandwriters#sajak#short poem#short story#writing#senandika#prosa#lee haechan#haechan#alternate universe#fiksi#sajak puisi#tulisan#november#menulis
4 notes
·
View notes
Text
Dive Into You
Genre: Fluff & smut
Words: 2.5K
Warnings: Pool sex, unprotected sex, teasing, fingering, nipple play, semi-public sex, talking about pregnancy.
Playlist: It's you by Zayn Malik
Alessia
Kesibukan pekerjaan agaknya menjadi momok yang nggak bisa gue ataupun Damian hindari hingga detik ini. Momen kita bersama hampir bisa dikatakan cukup singkat sebab kegiatan masing-masing yang amat padat. Gue bisa menghabiskan lebih dari dua puluh empat jam di rumah sakit lalu pulang hanya untuk singgah tidur, sedangkan Damian sibuk menjajahi berbagai sirkuit selama berbulan-bulan dan menetap selama beberapa hari lalu menghilang bak seperti rutinitas.
Hubungan ini tetap berjalan baik, bahkan jauh dari kata baik sebab gue sendiri merasa semua hal berjalan dengan semestinya. Awalnya gue khawatir hubungan ini nggak akan berjalan mulus seperti kebanyakan orang karena kita terlalu fokus dengan diri sendiri, tapi ternyata dugaan itu malah terjadi sebaliknya. Gue menemukan keseruan disana, kita menemukan keasikan menjalin hubungan ditengah kesibukan ini. Akan ada banyak stock cerita yang kita simpan untuk diceritakan pada masing-masing saat waktunya tiba, dan menurut gue itu adalah hal yang seru.
Hari ini Damian pulang. Seperti halnya seorang istri yang baik, gue akan membuatkan masakan kesukaannya, merapikan seisi rumah, lalu menyambutnya dengan hangat. Kalau boleh jujur, perasaan kangen yang menghantui gue selama dua minggu terakhir ini cukuplah menyiksa. Bahkan mendengarkan suaranya melalui telepon pun nggak mampu menghilangkan rasa kangen itu.
Senyum gue merekah ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Kaki gue berjalan dengan penuh excited beserta senyum lebar saat sosoknya menatap gue bingung.
“Hai!” sapa gue dengan perasaan bersemangat disertai dada gue yang terasa begitu penuh saat wajah lelah dan seringai khasnya itu merontokkan rasa kangen ini.
Gue masih diam beberapa langkah di depannya sambil merentangkan kedua tangan dengan percaya diri. Dia terkekeh kecil sembari mengerutkan alisnya, mungkin merasa bingung sebab istrinya ini terlihat jauh lebih bersemangat daripada sebelum-sebelumnya.
“Are you okay?” tanyanya lalu mendekat untuk kemudian menarik tubuh ini masuk kedalam pelukan hangatnya.
Lega. Rasanya benar-benar lega seolah semua masalah gue bisa terselesaikan hanya dengan masuk ke dalam dekapannya. Jantung gue masih berdetak begitu cepat, sensasi excited yang timbul ketika melihatnya seperti tidak pernah hilang hingga detik ini. Bahkan pipi gue sering kali memerah tanpa sebab yang jelas ketika berada didekatnya. Gila, gue benar-benar udah gila karena cowok satu ini.
“Ini mah bukan kangen lagi namanya.” cibirnya kembali mengolok-olok gue karena masih terlalu gengsi untuk bilang kangen secara langsung.
Gue nggak tahu bagaimana mendeskripsikannya, tapi pelukan Damian adalah pelukan paling nyaman yang pernah gue rasakan. Lebaynya gue nggak akan bisa hidup tanpa pelukan ini untuk waktu yang lama. He's so comfortable, He has a warm chest, broad shoulders, soft touch and he smells good.
“Mau berdiri aja atau gimana?” tanyanya dengan nada lembut yang membuat gue semakin nggak ingin lepas dari pelukannya.
“Diam dulu, ini aku masih sharing energy sama badan kamu.” jawab gue asal yang kemudian mengundang gelak tawanya.
“Bisa gitu, ya?” Gue hanya mampu memberikan cengiran kecil lalu kemudian melepaskan tautan diantara kita.
Gue kembali mengikuti langkah kaki Damian menuju kamar untuk meletakkan beberapa barang-barangnya. Saat dia mulai sibuk mengeluarkan beberapa baju dari dalam kopernya, gue hanya berdiri tegap seperti anak kecil sambil menunggu sosoknya kembali mengalihkan atensinya pada gue.
Hari ini gue kenapa, ya? Iya, gue juga cukup bingung dengan sikap gue hari ini yang menjadi sangat manja dari sebelumnya. Gue cukup sadar akan rasa kangen ini, tapi gue nggak menyangka akanmenjadi bersikap clingy seperti ini.
“How's your day, sayang?” Pertanyaan sederhana itu hampir nggak pernah terlewat dia lontarkan setiap harinya. Hal simple yang menurut gue punya impact yang besar tanpa gue sadari.
“Aku hari ini cuma rapi-rapiin rumah, terus baca buku sebentar sama tadi tidur siang dua jam an. It was good, jarang-jarang juga aku bisa tidur siang.” jawab gue dengan mata yang masih sibuk menatap punggung lebarnya itu.
“Terus tadi sempat telepon sama Mama juga sebentar.”
“Oh, ya? How is she?” Damian kembali menutup kopernya lalu menyisihkannya ke sisi lain begitu barang-barangnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing.
“Sehat kok, dua hari lalu udah aku cek gula darah, tensinya dan lain-lain, semuanya normal. Orangnya telepon nanyain mantunya udah pulang apa belum.” ujar gue yang membuat Damian langsung tertawa.
Damian berjalan untuk kemudian membuka pintu samping kamar yang membuat angin malam itu sukses menyapu kulit gue. Gue mengikuti langkah kakinya munuju luar kamar, lalu terdiam saat dia menepuk-nepuk pahanya, meminta gue untuk duduk diatas pangkuannya.
Damian
“Kamu mau berenang?”
Gue hampir terkekeh kecil begitu melihatnya mengalihkan pandangan ke arah kolam renang untuk mengabaikan instruksi gue. Gue nggak langsung menjawab pertanyaannya untuk mengamati gerak-gerik salah tingkahnya yang begitu lucu itu.
Masih sama. Ales nggak pernah benar-benar berubah sejak dulu, tingkahnya masih seperti anak kecil yang ajaib. Kadang membuat gue hilang kata-kata, atau sakit perut karena terlalu lama tertawa.
“Iya, habis ini sekalian mandi.” jawab gue lalu kemudian beranjak untuk duduk bergabung bersamanya di pinggiran kolam.
Ales adalah tipe orang yang cukup gengsi untuk mengungkapkan perasaannya, tapi dia selalu punya cara tersendiri supaya perasaannya itu bisa tersampaikan meskipun nggak melalui kata-kata secara langsung. Seperti hari ini contohnya, melihat dia excited ketika menyambut gue lalu memeluk gue dengan manja sudah cukup menggambarkan bagaimana perasaannya.
“Tapi airnya dingin, nanti kamu—” Tawa gue nggak tertahan begitu dia dengan reflek mengalihkan pandangan saat gue dengan jahil langsung membuka baju.
“Ihhhh, kan aku belum selesai ngomong!” serunya dengan wajah cemberut sambil sesekali melirik gue.
“Kenapa lihat ke arah lain? Masih malu lihat suami sendiri nggak pakai baju?” goda gue sambil mencolek dagunya.
“Nggak! Siapa juga yang malu?!” jawabnya sambil pura-pura berani menatap kearah gue. Pipinya tiba-tiba merona saat dengan iseng gue mengangkat alis kiri gue sembari tertawa.
“Apasih, nggak usah ketawa! Udah sana renang!”
“I'd love to.” jawab gue lalu dengan kecepatan kilat mencium bibirnya itu untuk kemudian masuk kedalam kolam.
***
Tentu saja Alessia tahu bahwa suaminya itu sangat-sangat jahil. Sifat yang dari dulu tidak pernah berubah dan sering kali membuatnya jengkel. Meskipun begitu, tak jarang sifat menyebalkan Damian yang satu itu sukses membuatnya tersipu malu, seperti saat ini contohnya.
Ia hanya mampu terdiam dengan tingkah laki-laki itu. Dalam hati ia ingin berteriak karena sudah dibuat salah tingkah seperti ini. Alessia berdehem singkat, kemudian memperhatikan Damian yang masih sibuk berenang kesana kemarin di kolam renang mereka. Ia sempat bergidik singkat karena air kolam yang terasa begitu dingin ini menyelimuti kakinya.
“Yan,” Alessia kembali bersuara saat laki-laki itu berenang menuju ketepian.
“Hmm?”
“Kayaknya aku telat datang bulan deh.” Gadis itu sempat ragu dengan asumsinya sendiri. Pasalnya memang benar jika sudah seminggu lebih tamunya itu belum datang. Awalnya ia berpikir jika semua itu disebabkan karena stress semata, tapi Alessia ingat jika kesibukannya akhir-akhir ini cukuplah normal.
“What does it mean?” tanya Damian dengan polos yang membuat Alessia pun tiba-tiba menjadi kikuk.
“Ya, telat. Biasanya kan siklus menstruasiku datangnya tepat waktu, tapi udah semingguan ini nggak dateng-dateng.” Damian berenang mendekat kearah Alessia dengan berbagai macam pertanyaan di kepalanya.
“Kamu hamil?” tanya laki-laki itu spontan yang membuat Alessia hampir tersedak air ludahnya sendiri.
“No! I mean, I don't know yet. But, what if I did?” ujarnya lemas yang membuat Damian malah tambah dibuat bingung.
“Come in.” ujar laki-laki itu yang langsung dibalas gelengan kuat oleh Alessia.
Mungkin Alessia pikir penolakannya barusan sudah cukup membuat Damian paham, tapi ia baru ingat jika Damian bukanlah Damian apabila keinginannya tidak terpenuhi.
Laki-laki itu menarik pinggang Alessia masuk kedalam kolam yang membuat istrinya itu memekik kaget.
“Yan!!”
“Kamu apaan sih! Dingin airnya!” seru Alessia dengan kedua tangan yang bertaut erat pada leher suaminya itu. Ia menatap Damian kesal lalu memukul dadanya yang malah mengundang senyum menyebalkan khas milik Damian.
Kini tubuh dan juga rambutnya basah kuyup, angin malam yang berhembus hari itu membuat air kolam yang sudah dingin bertambah dingin.
“Stay still.” ujar Damian sambil mengeratkan tautan tangannya pada pinggang istrinya itu.
"Nanti airnya nggak bakal dingin." ujar Damian yang membuat Alessia tidak bergerak. Tak lupa ia masih mengalungkan kedua tangannya pada leher Damian supaya dirinya tidak tenggelam karena tidak bisa berenang.
Alessia cukup dibuat kaget karena kata-kata Damian barusan benar adanya. Air yang membalut seluruh tubuhnya itu secara perlahan terasa lebih hangat menyesuaikan suhu tubuhnya.
“What if I'm pregnant?” tanya Alessia kembali.
Selama dua tahun menikah, obrolan tentang memiliki anak di antara mereka masih belum begitu sering. Bukan karena mereka tidak menginginkan hal itu, tapi dua tahun masih belum cukup bagi mereka untuk menghabiskan waktu hanya berdua. Damian dan Alessia masih ingin melanjutkan hubungan seperti halnya pacaran itu sedikit lebih lama.
“Then I'll be the luckiest husband in the world.” jawab Damian yang membuat Alessia pun langsung terdiam.
“Maaf ya?”
“Kenapa jadi minta maaf?” Damian mengusap pipi kanan istrinya itu saat tiba-tiba ekspresi murung menghiasi wajah cantik Alessia.
“Ya, aku nggak nyangka aja bakal secepat ini. Apalagi dari awal kita masih mau habisin waktu berdua dulu.”
Hati Damian pun sukses dibuat tersentuh. Laki-laki itu kembali tersenyum lalu memeluk Alessia kuat, mencium pipi dan juga bibirnya secara bergantian.
“But still, itu masih asumsiku aja. Aku nggak berani ngecek sendiri.” ujar Alessia.
“Nanti kita cek bareng-bareng.” tutur Damian yang dijawab berupa anggukan kecil oleh istrinya itu.
Untuk beberapa saat dua insan yang berpelukan erat itu hanya saling bertatapan. Berjalan perlahan menuju sisi lain kolam tanpa niat untuk melepaskan tautan di antara mereka.
"Aku nggak bohong soal I'm the luckiest husband in the world, because I am. Kalau kamu pikir aku nggak bahagia, kamu salah. I'm more than happy and grateful, Al. I swear to God." kata Damian yang entah mengapa membuat Alessia seperti ingin menangis.
"Me too, thank you, Yan." jawab Alessia dengan senyum lebarnya.
Tidak ada perasaan kecewa sedikitpun yang Damian rasakan. Mungkin berita yang disampaikan istrinya barusan masih belum tentu kebenarannya, tapi ia sangat bahagia. Dan mungkin ia akan menjadi orang paling bahagia di bumi ini jika istrinya itu benar-benar hamil.
“I think I wanna learn how to swim.” celetuk Alessia ketika tubuhnya jauh lebih relax setelah beberapa kali berjalan ke sisi-sisi kolam bersama Damian.
“I'll teach you.” jawab Damian sambil tersenyum tipis.
Damian brought the two of them closer to the edge, so she could hold onto the pool stairs. Alessia felt Damian's wet lips and tongue in her neck, causing her to moan his name.
“Wait—” Interupsi Alessia sambil menahan dada telanjang Damian supaya sedikit menjauh darinya.
“Yes?” Alessia menelan ludah susah payah saat tatapan Damian kembali menusuk ke arah matanya. Rasanya ia kini seperti seekor kelinci yang hendak diterkam singa yang lapar.
“Kalau misal ternyata aku nggak hamil gimana?” tanyanya kembali dengan khawatir.
Kemungkinan penyebab ia telat datang bulan tidak benar-benar condong pada satu hasil saja. Meskipun setengah bagian hatinya berharap ia hamil, tapi rasanya akan cukup sulit jika ia menerima hasil yang sebaliknya, apalagi pernikahan mereka sudah berjalan selama dua tahun dan mereka tidak benar-benar menggunakan pengaman saat berhubungan seks.
“I'll get you pregnant then.”
She whined softly, being sensitive to his touch. Alessia membekap mulutnya ketika suara tak senonoh itu lolos begitu saja dari bibirnya saat ciuman Damian di bagian lehernya menjadi brutal.
He's craving her all day long, and he deserves to get his meals. Damian mengarahkan tangan Alessia pada rambut laki-laki itu saat ia mulai bermain di sisi lain leher istrinya itu.
With the light of the moon, the stars and the burning torches it felt special. Alessia melingkarkan kakinya di pinggul Damian dengan erat ketika tangan laki-laki itu mulai menjarahi area lain tubuh Alessia.
He slipped his fingers between her legs, rubbing her clothed core, then slid her mini dress bottom to the side and slowly entered her pussy with his fingers.
“Ahhh…” Her fingers danced through his hair, drawing him in as a delicious wave of pleasure washed over her. Alessia found herself breathless, her body trembling with anticipation. Damian felt her growing intensity, his touch deepening as shivers ran down her spine.
Damian tersenyum menang saat melihat ekspresi wajah Alessia yang tidak karuan. Laki-laki itu menarik tengkuk istrinya untuk kemudian menyatukan bibir mereka. Damian mencium, menyesap bahkan menggigit bibir bawah Alessia tanpa ampun seolah tidak akan ada hari esok.
Alessia tried to stay quiet. Meskipun ia tahu tidak ada orang lain selain mereka berdua di rumah ini. Tapi tetap saja ia tidak ingin erangan menjijikkannya itu menggema di seluruh rumah mereka.
“Let me hear your voice, sayang.” His index finger trailing down in between her breasts, Alessia felt herself going insane. She couldn't help but let a moan slip from her lips.
“Damian…” Kepala Alessia terasa begitu penuh. She loves it, she loves every touch of Damian's hands all over her body. It's so overwhelmed that she couldn't think insanely.
“Nervous?”
She shook her head and met his eyes again, “No. Are we going to do this here?” tanya Alessia dengan nada polos yang membuat Damian tidak mampu menahan rasa gemasnya. Laki-laki itu mengangguk lalu kembali mencium bibir istrinya itu.
“Pool sex sounds so much interesting.” bisik Damian lalu menjilat telinga Alessia dengan sensual.
“Please…” ujar Alessia lirih yang membuat senyum miring Damian kembali terbit.
He was so goddamn cocky and she's begging did nothing to help that. Alessia couldn't help but think the smug look on his face would be there all night.
Damian pressed his wife firmly against the cool surface of the pool wall. A fleeting sensation brushed against her back, but lost in the intensity of the moment, it barely registered.
“Relax, sayang.” Damian kissed her cheek, her jawline, then stopped to nibble on the pulse point on her neck.
He undress himself and help her to unbutton her underwear. Tubuhnya yang setengah telanjang dan basah itu terlihat begitu sexy di mata Damian. His eyes went darker when Alessia grabbed his neck to kiss his lips.
She kissed him, then he kissed her back like he was about to eat her alive.
Alessia moaned as the both of you let out a guttural moan when he pushed himself deeper inside her hole. “Ahh, Damian…”
"Are you okay?" He rasped.
“I'm fine.”
She held onto Damian tightly, making him smile. He kept her close as they moved together. The water made things a little slow, but Damian enjoyed being close.
Alessia moans grew louder with every thrust, and she felt as if her bodies were colliding in the dance of pure desire under the moon's ethereal glow.
“Ahh, Damian I’m—”
Her big breasts bounced lightly, splashing the warm water on his chest. He took her right nipple in his mouth, giving it a harsh suck.
“Ahhh, no…”
Damian beralih pada sisi buah dada Alessia untuk dimainkan dengan lidahnya. He moved into her deep and hard, that makes her eyes rolling back out of pleasure.
“Dam— Ah…”
He nearly made Alessia scream with how hard he fucked her. The tears disguised by the pool water were enough to describe the pleasure that Alessia felt.
Damian looked down at her, his eyes filled with lust, watching her write underneath him. He shook his head, his pace increasing,
“Shit, I’m not gonna last much longer,” he grunted out another moan, cursing under his breath.
Damian kembali bergerak cepat mengikuti puncaknya yang hampir sampai. Gerakannya yang begitu lambat karena bertarung dengan air tak membuat laki-laki itu tertahan. He adjusted himself slightly, sending both of them over the edge as he buried himself deeper inside of her.
Only a minute later Alessia felt herself climax on his dick, sending herself into a heavenly headspace. Her body shook around him, her nails digging in his shoulders as she felt his cum over her womb.
Nafas mereka memburu, berebut untuk menyerap oksigen sebanyak-banyaknya setelah pertarungan penuh hasrat itu. Air kolam yang semula terasa dingin kini berganti menjadi panas sebab nafsu membara mereka.
Damian menggendong tubuh Alessia naik ke atas sebagai wujud usainya aktivitas panas mereka. Laki-laki itu menggendong sang istri ala bridal dengan kondisi tubuh mereka yang polos.
“Oh, God… What have we done…” ujar Alessia lirih sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah di antara leher suaminya itu.
“Having the hottest intellectual conversation with the hottest wife on earth.”
“Oh, shut up…” jawab Alessia yang membuat tawa Damian pun seketika meledak memenuhi kamar mereka.
17 notes
·
View notes
Text
Dua perempuan yang setiap tatapannya adalah harapan, setiap sentuhannya adalah ketenangan, dan setiap tawanya adalah kebahagiaan.
Dua anugerah yang setiap hembus nafasnya adalah doa, setiap langkahnya adalah pengorbanan, dan setiap senyumnya adalah cinta yang akan selalu diperjuangkan.
19 Oktober 2024
4 notes
·
View notes
Text
Malam ini akan jadi malam yang sok tersakiti karena dengerin lagu galau. Kerandoman akhir tahun ini harus dirayakan dengan tangisan, tersebab esok hari harus lebih banyak tawanya.
9 notes
·
View notes
Text
Hari-hari bersama Faiq adalah hari-hari yang bahagianya berlapis-lapis. Kadang masih gak nyangka, lho ini yang ditunggu 2 tahun sekarang sudah jalan 4 bulan. Tidurnya di sebelahku, tawanya jadi penghiburku.
Anak ini betul-betul hadiah dari Allah. Jadi teman yang hadirnya bukan hanya menghilangkan kesepian, tapi memberikan rasa aman. Padahal tubuhnya masih kecil (besar dan berat sih, tapi belum sebesar orang dewasa) — tapi hatinya sungguh bikin iri karena masih begitu bersih, polos, dan suci.
Kehadirannya membuat aku memaknai keberadaan diriku lebih dalam lagi. Aku bukan sekadar manusia yang diciptakan tanpa tujuan, karena melalui aku, anakku bisa merasakan kasih sayang Allah yang tidak terbilang. Kok bisa ya, amanah besar ini, Allah letakkan di pundakku? Padahal aku masih banyak kurangnya, masih malas-malasan ibadahnya. Lalu aku sadar, melalui Faiq pulalah aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang Allah buatku. Allah hadirkan Faiq sebagai sebaik-baik teman perjalananku. No matter how bumpy the road is, we'll always have each other 🤍
5 notes
·
View notes
Text
“semakin terang cahayanya, semakin gelap bayangnya” sounded like, semakin galak tawanya, semakin dalam luka yang dipendam.
10 notes
·
View notes
Text
Cahaya
*Ditulis oleh seorang perempuan depresi. Pengidap Bipolar dan Borderline Personal Disorder
Perempuan diatas dengan blues berwarna biru. Dia terlihat bercahaya. Dua matanya menyimpan kemilau bintang. Sinarnya kecil kelap kelip tapi tidak redup. Matanya? Ah keduanya hidup.
Dia ceria. Banyak bicara. Banyak temannya. Sering menjadi pelawak bahkan badut di story whatsapp. Kadang, menjadi penyair di instagram story. Orang orang menyukainya. Mungkin beberapa bahkan jatuh cinta. Ayu, genit dan lucu. Perempuan kecil itu menjadi imaji. Seperti bianglala dari kejauhan terlihat menarik dan berwarna. Memikat orang-orang untuk mendekat. Yah hanya sebatas dekat. Tapi dia punya pagar. Tinggi sekali dan tidak terlihat. Dibaliknya berbahaya. Ada banyak jerat.
Perempuan itu gila.
Yah, sayang. Begitu kata orang-orang. Hanya sedikit yang tahu. Yang sedikit itu menghibur, yang lebih sedikit lagi berusaha kabur. Tapi yang paling sedikit, memutuskan tinggal. Menemani perempuan ini hingga tertidur.
Perempuan itu, di suatu sore bertanya :
"Apa kamu takut padaku?"
"Tidak"
Lalu perempuan itu tertawa. Berlarian di padang bunga. Di tengah derai tawanya dia menangis. Di tengah tangisnya dia tertawa.
"Apa kamu tidak takut padaku?"
"Tidak"
Perempuan itu berhenti. Dia berbaring di padang bunga. Ada wangi chamomile, mawar, kayu manis. Sedikit wangi kopi. Juga aroma parfum yang membekas. Membaurkan batas realitas dan mimpi.
Yah. Perempuan itu sedang sekarat. Waktu adalah hitungan yang tidak pasti. Kadang lambat kadang berhenti. Kadang maju lebih cepat. Tapi tidak mungkin berjalan mundur. Hanya bisa digulung balik dalam memory.
"Apa kamu masih tidak takut?"
"Ya"
"Apa kamu mau ikut?"
"Ya"
"Bahkan dalam kematianku, akankah kau turut?"
Perempuan gila itu, tidak mendapatkan jawaban. Dia, tidak sekalipun merasa kecewa. Jadi kembali lagi meneruskan peran. Sebagai pelawak, badut. Kadang penyair. Dan seringkali menjadi bianglala yang didamba orang orang karena warna warninya yang menakjubkan.
Hal yang indah, jinak dan penurut. Seperti laut teduh yang tenang. Justru berbahaya. Dan buatmu terhanyut.
Tapi bukankah karena gila, dia terlihat berbahaya sekaligus mempesona?
3 notes
·
View notes
Text
Seni Untuk Tertawa
Pernah dengar kata gak semua hal bisa ditertawakan? Pasti pernah, dong. Memang benar bahwa gak semua hal bisa ditertawakan, gak ada yang salah dari tertawa namun tentu saja harus menyesuaikan situasi dan kondisinya.
Suatu ketika aku pernah dihadapkan pada sebuah permasalahan, namanya juga hidup, ya. Ketika aku bercerita yang jelas tanpa iringan air mata, aku masih bisa menertawakan hal tersebut walau nyatanya tertawa getir. Sang lawan bicaraku mungkin menyadari bahwa aku tidak dalam kondisi baik-baik saja pada saat itu. Aku masih ingat dia menyatakan, "Kak, pasti sakit, ya." sembari menatapku dengan sorot mata khawatir. Sakit, ya? Sakitlah, aku juga manusia yang jelas punya perasaan tetapi ternyata egoku lebih sakit ketika menyadari bahwa aku tidak mampu menertawakan hal tersebut dalam kondisi tawa yang lepas.
Ternyata banyak jenis tawa yang bisa diaplikasikan dalam setiap kehidupan, ya. Tawa juga tidak melulu berkaitan dengan hal bahagia, terkadang kita juga perlu menertawakan momment yang terjadi dalam hidup dengan banyak jenis tawa. Apapun itu jenis tawanya semoga tidak melunturkan rasa syukur dalam memaknai perjalanan hidup ini, ya.
3 notes
·
View notes