#Tangis Penderitaan Rakyat
Explore tagged Tumblr posts
Text
Gelar Aksi di DPRD Kabgor, Tapera Pertanyakan Kelanjutan Persoalan Pemdes-BSG
Hargo.co.id, GORONTALO – Massa aksi yang mengatasnamakan aliansi Tangis Penderitaan Rakyat (Tapera) kembali menggelar aksi di depan Gedung DPRD Kabupaten Gorontalo pada Senin (21/10/2024). Pantauan media ini, aksi yang mempertanyakan kelanjutan persoalan Dinas Pemerintahan Desa dan Bank Sulutgo tersebut sempat diwarnai aksi saling dorong antara massa aksi dan kepolisian. Aksi saling dorang…
#Aksi Massa#Aliansi Masyarakat#BSG#Kelanjutan#Pemdes#Persoalan#Tangis Penderitaan Rakyat#Tapera#Tuntutan
0 notes
Text
Al-Manfaluti : Sastrawan Mesir yang Terkenal di Indonesia.
Al-Manfaluti memiliki nama asli Mustafa Lutfi bin Muhammad Hasan Lutfi Al-Manfaluti. Ia dilahirkan di Kota Manfalut, Manfalut merupakan salah satu kota di distrik Asyuth pada tahun 1873 M. Ia berasal dari keluarga keturunan asli Mesir yang terkenal dengan kemuliaan dan etika yang sangat baik. Ia di didik dan dibesarkan dengan keluarga yang paham agama dan haus akan ilmu pengetahuan terkhususnya di bidang fiqh.
Keluarganya mewarisi ilmu hukum dan syari’ah, serta kepemimpinan kelompok sufi selama hampir dua ratus tahun. Ia juga hidup di lingkungan islami, dan bangga akan agama Islam, mensucikan Al-Qur’an, memperhatikan ilmu hadits dan menghafalkan sejarah Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam.
Saat berusia sebelas tahunn, Al-Manfaluti dikirim ayahnya ke al-Azhar untuk meneruskan pendidikannya. Ia belajar disana selama sepuluh tahun. Tak lama kemudian, ia bertemu dengan Syekh Muhammad Abduh yang mengajar Tafsir Al-Qur’an dan kedua kitab Abdul Khoir di bidang Ilmu Balaghah, khusunya Dalail al-I’jaz dan Asrar al-Balaghah.
Ia terkesan dengan Muhammad Abduh serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan ia merasa kurang puas dengan metode pengajaran Al-Azhar, Al-Manfaluti meninggalkan al-Azhar, pendidikannya, serta ajaran-ajarannya. Kemudian, ia belajar dengan Muhammad Abduh dan terpengaruh dengan ajaran-ajarannya.
Aktivitas kesastraanya dimulai ketika ia menjadi seorang mahasiswa di al-Azhar. Saat itu, ia pernah menulis puisi yang berisi caci maki terhadap Abbas, penguasa pada masa itu. Karena puisi yang dibuatnya itu, ia ditangkap dan dipenjara lumayan lama. Pengalaman di dalam penajra, ia menyaksikan penderitaan rakyat Mesir di bawah penjajahan Inggris menciptakan tangis dan getir pilu dalam tulisan-tulisannya.
Di masa mudanya, Al-Manfaluti merasakan bahwa dalam dirinya terdapat keinginan untuk mempelajari sastra. Sejak itulah, lambat laun ia menekuni ilmu-ilmu kesusastraan, baik puisi, prosa, maupun tata bahasa. Di samping itu, Al-Manfaluti juga suka membaca kumpulan puisi dari para penyair yang tinggi bahasanya dan tulisan para penulis yang tidak diragukan lagi kemampuannya.
Al-Manfaluti adalah salah satu penggemar Muhammad Abduh. Ia selalu menghadiri perkuliahan yang dibimbing Muhammad Abduh. Tujuannya bukan untuk mendalami ilmu agama, tetapi mengharapkan ilmu sastra. Ia disibukkan dengan mempelajari kitab-kitab lama di bidang sastra dan pustaka syair Arab masa Abbasiyah, menghafal syair yang pendek maupun panjang yang didapatkannya dari tulisan Muhammad Abduh.
Ia juga membaca tulisan Ibn al-Muqaffa, al-Jahiz, Budi’u Zaman al-Hamdani, dan buku Naqd al-Adab larya al-Amidi dan Baqilani. Dengan itu, ia telah mempersiapkan dirinya untuk menjadi jurnalis yang handal. Al-Manfaluti mendapatkan popularitas yang tinggi di Al-Azhar sebab kecerdasan dan metodenya yang sangat menarik. Bahkan, Muhammad Abduh mengakui kecerdasannya. Muhammad Abduh menerangkan kepada al-Manfaluti bahwa yang paling baik untuk mencapai keberhasilan hidupnya adalah sastra.
Al-Manfaluti meraih banyak manfaat dari pergaulannya dengan Muhammad Abduh dan Saad Basya Zaghul. Saad sangat tertarik dengan Al-Manfaluti dan memilihnya menjadi sekretaris di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah kepemimpinan Saad. Bahkan, ketika Saad pindah ke Kementrian Kehakiman dan Hukum, ia membawa Al-Manfaluti ikut bersamanya.
Akan tetapi, tak lama kemudian Al-Manfaluti meninggalkan pekerjaannya karena Saad sendiri telah keluar dari cabinet kementrian. Al-Manfaluti terus menerus menulis di surat kabar sehingga Mesir mendirikan Parlemen pada tahun 1923. Selanjutnya, Saad pun memilihnya menjadi ketua kelompok penulis di parlemen. Namun, tak lama kemudian Al-Manfaluti wafat.
Al-Manfaluti memiliki watak seniman dengan cita rasa seorang sastrawan. Sebenarnya, ia sendiri tak pandai dalam berbahasa asing, akan tetapi berkat jasa teman-temannya oa mampu menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Perancis. Al-Manfaluti adalah sastrawan Mesir yang sangat terkenal di Indonesia melalui pengaruhnya atas Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Ia merupakan seorang sastrawan yang sastranya berstandar atas revolusi dan rasional, karena ia termasuk orang yang menganut aliran sastra pemikiran (Literature of Idea) yang mempunyai dua keistimewaan pokok,yaitu keistimewaan bentuk dan keistimewaan tema. Sastranya merupakan titik pertemuan antara sistem Arab Klasik dan isi kehidupan nyata.
1 note
·
View note
Text
Tangisan Mega
KONTENISLAM.COM - MESKI muncul agak lambat untuk klarifikasi, Mega menayangkan video yang menunjukkan kesehatannya. Dipertanyakan mengapa Sekjen Hasto tidak berada di dekat Ketum di momen penting ini. Mega justru didampingi dua petinggi PDIP lainnya. Sedih akibat orang membicarakan sakitnya, Mega seperti menahan tangis haru atas perhatian besar pendukungnya. Dengan nada pasrah berbasis kesabaran, Mega menampilkan wajah lain dari yang biasanya. Sekretarisnya dilarang mengamuk ketika mantan Menterinya minta agar soal sakit tidak ditutup-tutupi. Terlihat dalam gambar sebelah, Hasto Kristiyanto menyeka air mata, turut bersedih. Mengingat hal ini berhubungan dengan partai politik dan tokoh politik, maka wajar muncul berbagai tafsir politik. Ada yang membela habis dan mengecam hoax media, ada pula yang menilai jangan-jangan ini adalah skenario partai untuk bermanuver “playing victim”. Cara mengucapkan, gestur tubuh, tertawa, nyinyir, marah atau tangisan yang dilakukan oleh tokoh politik maupun pejabat dapat ditafsirkan secara politis. Ada lagi yang mengambil momen untuk cari muka dengan melapor-laporkan ke Kepolisian. Hersubeno Arief akan dilaporkan oleh Gardu Banteng Marhaen ke Bareskrim Mabes Polri dengan alasan menyebarkan hoax. Banyak kalangan menilai bahwa Hersubeno Arief sana sekali tidak menyebarkan hoax tetapi memverifikasi atau mendorong agar ada klarifikasi. Jika benar dilaporkan maka isu akan semakin bergulir dan membesar. Bukan simpati tetapi juga antipati. Pertarungan politik bukan Mas Hersu dengan Banteng Marhaen lagi tetapi menohok pada Hersubeno versus Megawati. PDIP tidak mendapat manfaat dari guliran ini. Penyebar awal lah yang semestinya diperiksa, jangan jangan itu dari kalangan internal partai sendiri. Sebenarnya ketika belum ada klarifikasi atas suatu berita, maka semua informasi secara hukum belum dapat dikualifikasi hoax. Setelah ada penjelasan dan pembuktian tetapi masih juga disebarkan maka barulah disebut penyebaran hoax. Disinilah sering terjadi salah kaprah dalam pelaksanaan hukum dan disini pula jebakan-jebakan politik bisa dimainkan. Tangisan politik Mega ini untuk kedua kalinya. Pertama saat menangisi Jokowi yang menurutnya sering disebut “kurus” dan “kodok”. Ia merasa iba kepada Jokowi. Kedua ya inilah saat ia mengiba dirinya sendiri. Mega terharu atas perhatian orang yang memperdulikan diri dan kesehatannya. Sebagai manusia wajar jika secara emosional banyak hal yang membuatnya menangis. Wanita ataupun lelaki, petinggi maupun rakyat jelata. Rakyat yang kini banyak menangis karena penderitaannya. Sebenarnya hewan pun bisa menangis pula. Sebagai contoh pada Januari 2013 terungkap berita bahwa seekor banteng yang akan dipotong menangis. Shiu salah satu pekerja di rumah potong hewan merasa gemetar ketika melihat si banteng matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba banteng itu berlutut dan meneteskan air mata. Shiu menarik-narik, tetapi hewan itu menolak bergerak. Akhirnya ia membatalkan niat untuk memotong dan segera mengumpulkan dana. Ia serahkan banteng itu kepada biarawati di sebuah kuil untuk memeliharanya. Banteng bisa berdiri dan bergerak mengikutinya. Tayangan video telah ditampilkan, klarifikasi telah dilakukan. Mega sehat. Yang belum terjawab adalah siapa yang memulai melempar isu Mega sakit keras sehingga menjadi “Isu Nasional”? Maklum Ketua Umum dari partai berkuasa. Rakyat tidak menghendaki adanya tangisan berseri. Mega tentu memahami hal ini. Bangsa butuh spirit perjuangan yang didorong oleh para pemimpin negeri yang timbul tenggelam bersama rakyat. Bukan yang jauh dari penderitaan rakyat atau sekedar pandai mempermainkan perasaan rakyat. *Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
from Konten Islam https://ift.tt/3C3bpW7 via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/09/tangisan-mega.html
0 notes
Text
0 notes
Text
Cerpen : Gerimis Senja Ini
Hari ini adalah hari kedua puluh di bulan Agustus tahun ini. Ditempatku, hari telah beranjak sore. Sebentar lagi bila langit cerah, pesta warna stasiun senja pasti dimulai. Kita bisa melihat jingga yang merona penuh pesona di langit barat. Sesekali, kalau kita beruntung, kita pun bisa menyaksikan sekawanan burung terbang pulang ke sarang. Sayang, hari ini, awan kelabu sedari fajar memeluk langit, mengukung sendu bumi, dan menyembunyikan sinar mentari. Tirta langit pun terus merintik lembut. Tidak deras. Tidak membawa petir nan gelegarnya menciutkan nyali. Butir-butir air kecil itu menghujam ke tanah dengan pelan, berirama dan menentramkan. Tak Masalah. Gerimis senja ini juga tak kalah indah.
Aku duduk santai membaca koran di teras rumah. Di depanku, sepiring pisang goreng dan teh hangat menemani. Otakku demikian fokus terhadap setiap kata, setiap kalimat, yang mengabarkan beragam kejadian di seantero negeri ini. Sesekali aku geleng-geleng kepala, prihatin dengan berita yang kubaca.
“Yah, lihat ini! Jaket ini sudah tidak kebesaran untukku bukan?”, suara Satria membuyarkan konsentrasiku terhadap berita tawuran pelajar di ibukota yang sedang kubaca.
Aku mendongak dan menengok ke arah pintu. Aku pun tersenyum melihat Satria mengenakan jaket almamaternya. Nampaknya, usaha Ratri, istriku, untuk mengecilkan jaket itu sesuai tubuh Satria berhasil. Ya, sekarang Satria terlihat sangat gagah dengan jaket bewarna biru tua itu. Rasa bangga pun memenuhi batinku ketika melihat senyum Satria. Sulungku itu, tinggal beberapa hari lagi akan resmi menjadi mahasiswa di salah satu universitas negeri terbaik di negara ini.
“Bagaimana Yah, sudah sesuai kan?”, tanya Satria lagi kali ini seraya berjalan menghampiriku.
Aku kembali tersenyum memandang Satria, mengiyakan pertanyaannya dengan anggukan kepala. Aku pun memberi isyarat, memintanya duduk di sampingku. Satria dengan segera menuruti mauku, duduk di atas kursi kayu bewarna cokelat tua, tepat di sampingku.
“Kau masih sibuk nak?”, tanyaku sambil menepuk lembut bahunya
“Tidak Yah, semua keperluan besok sudah selesai Satria siapkan. Ada yang ingin Ayah sampaikan dengan Satria?”
“Ayah ingin minum teh bersamamu Nak. Sudah lama bukan kita tidak mengobrol? Besok, kau pun sudah harus berangkat ke kota rantau untuk kuliah. Entah berapa lama kau akan pulang kembali ke rumah ini. Kau tidak keberatan kan?”
Satria mengiyakan tawaranku dengan senyuman. Dengan riang segera ia tuang teh hangat ke dalam dua cangkir. Satu cangkir teh hangat itu pun disodorkan kepadaku. Sejenak kami pun larut dengan teh manis hangat masing-masing.
Gerimis masih terus merintik lembut mengetuk atap rumah. Tetes-tetes kecil air hujan itu tampak bercanda riang dengan angin sore. Dahan dan daun pohon mangga yang berdiri tegak di sudut kanan halaman rumah pun sesekali ikut bergoyang.
“Satria, apakah kau pernah mengenal cerita tentang Elang, Royan, Hendriawan, dan Hari Hartanto? Ayah tidak tau apakah guru sejarahmu masih sempat bercerita soal mereka atau tidak. “, kataku memulai percakapan.
“Sedikit Yah. Satria hanya pernah mendengar nama-nama itu sekilas di pelajaran sejarah sekolah. Ada apa dengan mereka Yah?”
Aku tersenyum mendengar jawaban Satria. Peristiwa itu memang sudah lama tertinggal dalam perjalanan bangsa ini. Karenanya, wajar bila sebagian besar orang tak lagi ingat akan mereka. Maklum bila sebagian besar orang sudah melupakan mereka.
“Satria, mereka memang bukan atlet peraih medali, tokoh nasional, apalagi pejabat yang akhir-akhir ini berlomba-lomba mencuri hati rakyat dengan pencitraan. Mereka memang hanya rakyat biasa. Mereka hanya anak-anak muda yang bermimpi menjadi insinyur dan ekonom di abad dua puluh satu ini. Tapi, menurut Ayah, sebagai calon mahasiswa, sebaiknya kau mengenal mereka, meneladani mereka.”
“Apa Ayah tau banyak tentang mereka?”
Pertanyaan Satria tersebut membuatku tertegun, sejenak merenung. Potongan demi potongan kejadian 17 tahun lalu pun kini sempurna membayang dalam benakku. Orang-orang boleh jadi memang telah melupakan semua kejadian memilukan itu. Tapi, aku tidak mungkin bisa lupa pada tubuh-tubuh muda yang terbujur kaku serta berlumur darah itu. Ya, aku tidak mungkin lupa pada isak tangis dan ratap kehilangan itu. Semua itu amat lekat di pelupuk mataku. Semua itu amat dekat di hadapanku.
“Ayah juga tidak terlalu banyak mengerti kisah hidup mereka. Tapi, kalau kamu mau, Ayah akan sedikit bercerita tentang mereka.”
Satria mengiyakan tawaranku dengan anggukan kepala. Di matanya, aku melihat keingintahuan yang besar. Ya, keingintahuan yang diharap akan terjawab oleh sepotong ceritaku ini.
Baiklah, aku akan memulai cerita dari kondisi negara ini 17 tahun lalu, tahun 1998. Saat itu, negara ini diguncang krisis moneter yang amat hebat. Harga satu lembar dollar melambung tinggi. Semua harga sembako mencekik leher. Kehidupan rakyat pun sangat menderita.
Kala itu, Elang, Royan, Hendriawan, dan Hari Hartanto masih duduk di bangku kuliah Universitas Trisakti. Di kampus, sebagian besar dari mereka berempat itu adalah mahasiswa biasa, bukan aktivis ataupun organisatoris. Ya, mahasiswa biasa. Namun, penderitaan rakyat dan kondisi negara yang makin tak menentu telah mengetuk hati mereka dengan sempurna. Mereka mengerti arti mahasiswa bagi rakyat. Mereka mengerti dengan baik arti mahasiswa bagi bangsa ini. Hari itu, hari kedua belas di bulan Mei 1998, mereka meninggalkan kuliah, memilih jadi anggota parlemen jalanan. Mereka turun ke jalan, bergabung dengan semua civitas akademika kampus Trisakti yang menggelar aksi damai untuk menuntut pemerintah agar segera menyelesaikan krisis. Mereka gagah berjalan, lantang berteriak, tak peduli pada semua lelah, dan acuh akan sinar raja siang yang menghadirkan peluh.
Inilah makna perjuangan sesungguhya : selalu penuh risiko dan pengorbanan. Senja itu, 12 Mei 1998, Elang dan ketiga kawannya yang berjuang atas nama rakyat, telah mengorbankan harta yang paling berharga miliknya : nyawa. Ya, ketika para mahasiswa telah kembali ke kampus, aparat keamanan justru menyerang mereka. Mereka yang katanya garda terdepan penjaga kedaulatan dan ketertiban negara itu, menembaki para mahasiswa dengan penuh membabi buta. Mereka bukan maling, bukan koruptor, apalagi pembunuh. Ya, mereka adalah para mahasiswa yang berjuang menjalankan perannya bagi rakyat negeri ini tetapi justru diberondong tembakan di dalam kampusnya sendiri. Korban pun berjatuhan. Darah pengorbanan anak-anak bangsa mengucur deras, menjemput awan hitam dan hujan deras tangis kehilangan di langit ibukota.
Elang Mulya Lesmana, calon arsitek yang suka melukis itu, tersungkur bisu setelah peluru tajam menerjang dada kanannya hingga tembus ke punggung. Kekejaman tirani juga telah memupus semua mimpi aktivis kampus nan vokal bernama Hafidhin Royan. Calon insinyur itu tewas setelah tertembak di bagian kepala. Ya, para penggenggam senapan yang dibeli dengan uang rakyat itu tiada lagi memiliki hati. Suara tembakan itu tak kunjung mereda, terus menerjang, mematahkan paksa mimpi-mimpi anak-anak terbaik bangsa ini. Hendriawan Sie, calon ekonom dari tanah borneo itu juga akhirnya terbujur kaku setelah lehernya tertembus pelor tajam. Pun demikian dengan anak muda bersahaja bernama Heri Hartanto. Senja itu, calon insinyur mesin yang bermimpi dapat membuka bengkel untuk memperkerjakan banyak orang tersebut, juga terlelap damai setelah tertembak di bagian dada.
Senja kedua belas di bulan Mei 1998 itu amat memilukan. Empat anak muda yang berjuang untuk negaranya justru tewas terbunuh oleh peluru-peluru yang dibeli dari uang jutaan rakyat. Tangis dan ratap kehilangan begitu besar, menyayat hati. Tragedi itu pun membangkitkan kemarahan rakyat. Gelombang demonstrasi terus membesar. Tirani pun akhirnya berhasil dijatuhkan. Angin harapan bernama reformasi pun bertiup secara pelan dan pasti.
Gerimis senja ini masih belum nampak akan reda. Terus merintik, kian memeluk erat angin senja. Terus menetes, membuat basah dan segar daun-daun Aglaonema yang menghijau di sudut kiri halaman rumah. Menyisakan dingin.
“Satria, hanya itu yang bisa Ayah ceritakan soal mereka. Ayah melihat mereka untuk yang pertama sekaligus yang terakhir di tempat pertama kali Ayah bertugas sebagai seorang dokter. Ya, di kamar jenazah Rumah Sakit Sumber Waras. Ayah melihat dengan mata Ayah sendiri tubuh mereka membiru. Sungguh, mereka masih sangat muda ketika takdir menjemput, mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua dari usiamu saat ini.”, kataku bergetar menahan haru
“Anak muda yang hebat. Anak muda yang sangat mencintai negerinya. Sayang, mereka harus pergi secepat dan setragis itu Yah.”, kata Satria tak kalah bergetar
“Kau benar Satria, mereka adalah anak-anak yang hebat. Anak-anak muda yang memahami dengan baik bahwa arti mencintai adalah memberi dan berkorban tanpa berharap menerima. Tapi, begitulah hidup. Manusia tak dapat menerka sedikitpun kata langit, takdir yang digariskan. Manusia tak dapat sedikitpun menghindar ketika Tuhan sudah menghendaki. Sekalipun mereka pergi teramat pagi, Ayah yakin mereka ikhlas. Ya, Ayah yakin mereka telah rela. Karena mereka paham arti mahasiswa sesungguhnya nak. Karena mereka berjuang untuk jutaan rakyat negeri ini. Karena kematian mereka menjadi awal lahirnya perubahan bagi negara ini. Pun demikian kalau sampai nanti keadilan dunia tak pernah mereka peroleh, biarlah..biarlah nak, pasti mereka dapatkan keadilan yang paling adil di akhirat. “
“Arti mahasiswa sesungguhnya Yah?”, tanya Satria ragu
“Iya Nak, seperti kata Soe Hok Gie, arti mahasiswa sesungguhnya adalah sedikit orang yang terseleksi untuk bahagia karena dapat kuliah, mengenyam pendidikan lebih tinggi dari sebagian besar orang. Karenanya, sudah seharusnya mahasiswa berjuang untuk membela kepentingan rakyat, memperjuangkan kemajuan bangsanya. Elang dan ketiga temannya telah memahami serta melaksanakan arti mahasiswa yang sesungguhnya tersebut.”
Aku menatap Satria dalam-dalam. Jagoan kecilku yang dulu seringkali merengek meminta gula-gula itu kini sudah tumbuh menjadi pemuda, calon mahasiswa. Aku membaca semangat yang besar dari kedua mata tajamnya. Aku melihat mimpi-mimpi yang besar dari tatapannya nan bening.
“Satria, kau sudah memakai jaket almamater yang selama ini kau inginkan. Kau akan segera menjadi mahasiswa. Selama ini, kau selalu bertanya kepada Ayah tentang mahasiswa teladan. Kau pun selalu berjanji akan menjadi mahasiswa teladan demi Ayah dan Ibumu. Sekarang, dengarlah Nak, mahasiswa teladan bukan sekadar mereka yang di setiap akhir semesternya selalu meraih IP cumlaude atau meraih deretan piala internasional. Bukan Nak. Mahasiswa teladan adalah mereka yang bisa memahami arti mahasiswa sesungguhnya. Mahasiswa teladan adalah mereka yang bermanfaat untuk rakyat dan bangsa ini. Peganglah kuat-kuat dalam prinsipmu anakku, IPK terbaik bagi seorang mahasiswa adalah kebermanfaatan dirinya. Muara terbaik dari segala ilmu dan proses belajar adalah kebermanfaatan.“
Satria nampak mengangguk-anguk paham mendengar penjelasanku. Hatiku sungguh bergetar menatap wajah yang selama ini selalu berjanji membuatku bangga itu. Sangat bergetar. Rasanya hampir tak percaya jika putra yang selama ini di dekatku itu akan merantau jauh dariku.
“ Satria, Ayah tidak meminta atau melarangmu menjadi parlemen jalanan seperti Elang dan ketiga temannya. Tidak Anakku. Kau sudah besar dan berhak untuk memilih. Sekarang zaman pun telah berbeda, kau bebas bersuara dan berteriak. Tapi nak, jangan pernah sekalipun kau atas namakan kebebasan apalagi kepentingan rakyat untuk merusak kenyaman umum dengan anarkisme demonstrasi. Ingat Nak, ada banyak cara untuk meneladani Elang dan ketiga kawannya. Ada banyak cara untuk mencintai negeri ini. Ada banyak cara untuk menjadi mahasiswa yang bermanfaat. Kau bisa menulis, meneliti, bahkan membina masyarakat. Ada banyak pula ruang dan peluang untuk kau melakukan semua itu. Memilih dan berkaryalah Anakku dengan almamater barumu! ”, kataku kali ini dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Yah, Satria akan selalu ingat semua cerita dan nasihat Ayah. Satria akan selalu berusaha untuk memenuhi harapan Ayah. Satria akan selalu berusaha menjadi mahasiswa teladan, mahasiswa yang bermanfaat. Satria mohon doanya ya Yah, semoga Tuhan berkenan memeluk semua mimpi dan harapan Satria.” , kata Satria juga dengan mata tak kalah berair.
Aku mendekap Satria dengan erat. Sangat erat. Bukan gerimis senja ini nan dingin yang membuat hatiku mendadak mengembun. Bukan. Aku hanya merasa bangga karena Satria selalu mampu mencerna penjelasanku dengan sempurna. Ah, semoga Tuhan menjaga janjimu anakku, karena hari esok negeri ini ada di tangan manusia-manusia muda sepertimu.(RS)
Juara 1 Lomba Penulisan Cerpen Kharisma FIB UNDIP
0 notes