Tumgik
#Serdadu Langit AU
semangkuk-uji · 17 hours
Text
No, you are not fine.
“Hyung, bisa minta tolong temani Jihoon-hyung dulu? Gue mau apotek untuk beli obat dan sekalian beli bubur sebentar. Dia belum makan dari pagi,” kata Mingyu kepada Soonyoung setelah membantu Jihoon merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu apartemennya.
“Oke,” sahut Soonyoung tidak keberatan.
Mingyu meraih jaketnya yang tadi pagi ia simpan di coat stand sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Soonyoung. Sementara itu, Soonyoung terus memperhatikan Jihoon yang tertidur lemas di atas sofa, napas beratnya naik dan turun, ada rasa khawatir menyelimuti dada Soonyoung.
“Masih hidup kah ini anak?” gumam Soonyoung pelan.
“Masih,” jawab Jihoon pelan.
Soonyoung salah tingkah, tidak menyangka Jihoon mendengarnya bergumam.
Jihoon membuka matanya, “gue nggak apa-apa, lo pulang aja."
“Apanya yang nggak apa-apa? Lo harus liat penampakan lo sekarang kayak gimana, benar-benar kayak zombie,” jawab Soonyoung mendengus kesal.
Jihoon tertawa kecil, “by the way, thank you, Young. Maaf merepotkan.”
“Ini pertama kalinya dia menyebut nama gue,” gumam Soonyoung dalam hati, merasa takjub setelah mendengar Jihoon menyebut namanya. Soonyoung tersenyum tipis.
Jihoon bersusah payah bangun dari tidurnya, kepalanya masih terasa sangat nyeri, perutnya perih dan dadanya sesak sekali.
“Lo mau ngapain?” Soonyoung dengan sigap membantu Jihoon.
“Mau duduk aja. Masa ada tamu, tapi gue malah tiduran.”
“Lo yakin nggak mau ke rumah sakit?”
“Gue nggak apa-apa,” jawab Jihoon terus meyakinkan Soonyoung bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Jihoon melihat ID Card perusahaan yang dikalungkan di leher Soonyoung, “lo kerja di Guhada Bank?”
“Oh? Ah, iya.”
“Kalau.. gue mau ambil kredit pinjaman dengan agunan rumah, bisa?”
“Bisa. Lo ada rencana ambil kredit?”
“Hm,” Jihoon mengangguk. “Prosedurnya giman-ah!” Jihoon mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Nggak bisa. Lo harus ke rumah sakit, Jihoon. Lo bisa mati kalau begini terus. Sebentar! Gue ambil kunci mobil dulu, tunggu di sini.”
Soonyoung beranjak dari duduknya, ia bangun dengan terburu-buru dan berlari menuju pintu sebelum langkahnya berhenti, “sandi apartemen lo apa?!”
Jihoon tidak menjawab, sepertinya dia kehabisan tenaga untuk bicara. Soonyoung tidak kehabisan akal, ia mencari benda yang berat untuk mengganjal pintu apartemen agar tidak tertutup, lalu berlari menuju apartemennya sendiri untuk mengambil kunci mobil.
0 notes
semangkuk-uji · 17 hours
Text
I am not fine.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore saat Mingyu selesai memarkirkan mobil di rubanah apartemen. Ia melirik Jihoon yang masih duduk tercenung. Wajah Jihoon yang sudah seputih salju itu nampak semakin pucat.
“Lo nggak apa-apa?”
Lagi-lagi, Jihoon hanya menggeleng dan tersenyum. Mingyu sangat khawatir melihat keadaan sahabatnya itu. Ia turun dari mobil dan membuka pintu Jihoon untuk membantunya turun. Belum juga Jihoon melangkahkan kakinya, tubuhnya roboh. Mingyu terkesiap, ia menyentuh dahi Jihoon yang terasa sangat panas.
“Lo demam, Hyung! Kita ke rumah sakit, ya?”
“Gak perlu, Gyu. Gue istirahat aja,” kata Jihoon, suaranya terdengar sangat lemah.
***
Soonyoung baru saja sampai ke apartemen setelah pulang dari kantor, ia memarkiran sepedanya di area parkir. Sudah menjadi kebiasaannya untuk selalu menggunakan sepeda kemana pun ia pergi di akhir pekan. Supaya sehat dan berumur panjang, begitu kira-kira motto hidupnya.
Setelah selesai memarkirkan sepeda, ia berjalan menyusuri area parkir untuk menuju lift. Soonyoung melihat Mingyu yang sedang tergopoh-gopoh memapah Jihoon tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sontak, ia pun berlari menghampiri mereka berdua.
“Jihoon kenapa, Gyu?”
“Eh, Soonyoung-hyung? Boleh minta tolong ambilkan dokumen dan bungkusan makanan di dalam mobil, nggak?” kata Mingyu sambil menunjuk benda-benda yang ia maksud kepada Soonyoung.
“Oh.. i-iya,”
Soonyoung melihat dokumen yang Mingyu titipkan kepadanya, tertera tulisan Certificate of Title dan nama Lee Jihoon pada dokumen tersebut. Kepalanya dipenuhi dengan banyak sekali pertanyaan, namun Soonyoung segera menepis hasrat ingin tahunya sebab ia merasa tidak sopan karena terlalu penasaran dengan urusan orang lain.
Sepanjang perjalanan menuju lantai apartemen mereka, Soonyoung hanya memperhatikan Mingyu dan Jihoon yang berjalan di depannya. Jihoon nampak sangat lemah, ia terus menutup matanya, wajahnya pucat dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
0 notes
semangkuk-uji · 18 hours
Text
Nanti kecewa.
“Hyung, tolong jangan dengarkan perkataan Ibu. Aku masih bisa membiayai pengobatan Ibu. Kamu nggak perlu menjual rumah ini. Hyung, tolong maafkan Ibu.”
Jaehyuk terus menggenggam tangan Jihoon dan tidak berhenti menangis sejak ia mengantarkan Jihoon keluar dari rumahnya.
“Apa yang Ibumu katakan memang ada benarnya juga, aku pun nggak membutuhkan rumah ini. Jaga Ibumu baik-baik, ya.”
Jihoon memeluk Jaehyuk erat sebelum ia berjalan menuju mobil yang sudah lebih dulu diparkir oleh Mingyu.
“Gue nggak akan nanya gimana keadaan lo karena gue tahu lo nggak baik-baik aja,” kata Mingyu ketika Jihoon sudah duduk di kursi penumpang.
“Harapan gue terlalu tinggi untuk banyak hal. Ibu gue benar, jangan terlalu berharap kepada manusia, nanti kita kecewa,” kata Jihoon lesu.
Sepanjang perjalanan, Jihoon hanya diam seribu bahasa. Wajah Jihoon terlihat semakin pucat, ia meremas tangannya yang gemetar dan terus memperhatikan dokumen yang berada di pangkuannya sambil sesekali menatap jendela mobil, entah apa yang ia lihat di luar sana, matanya nampak kosong dan menyimpan banyak kekecewaan.
***
Mingyu memarkirkan mobil di lahan parkir rest area. Ia bermaksud untuk membeli beberapa makanan mengingat mereka berdua belum memakan apapun sejak pagi tadi.
“Hyung, lo mau makan apa?”
Jihoon tersadarkan dari lamunannya.
“Hm?”
“Mau makan apa? Gue mau ke mart, kita belum makan apapun sejak pagi tadi.”
Jihoon menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum, hangat sekali. Dalam kondisi seperti ini, ia masih bisa memberi seberkas senyum hangat meski hatinya sedang dihantam banyak sekali pukulan hingga babak belur.
“Beli buat lo aja. Kalau lo mau makan di resto cepat saji dulu juga nggak apa-apa, Gyu. Gue tunggu di mobil aja, ya.”
Sekembalinya Mingyu dari mart, ia membawa beberapa bungkus onigiri, dua bungkus sandwich dan air mineral. Mingyu menyodorkan sebungkus sandwich kepada Jihoon, namun Jihoon menolak secara halus, ia tidak berselera untuk makan.
“Nanti dimakan, ya. Lo belum makan apapun, Hyung.”
Jihoon hanya menggangguk. Mingyu melanjutkan perjalanan sambil mengunyah sandwich-nya. Ia lapar sekali, emosi menguras banyak tenaga ternyata.
0 notes
semangkuk-uji · 18 hours
Text
Daegu dan segala kejutannya.
Mingyu tertidur sepanjang perjalanan, sepertinya kelelahan karna bersepeda tadi pagi.
“Ck. Katanya mau nemenin gue. Kalau begini, gue lebih mirip pengasuhnya,” gerutu Jihoon kesal.
Setelah tiga jam perjalanan, mereka pun sampai juga ke kediaman Jaehyuk. Bangunan megah ini terasa begitu sepi dan usang, gerbangnya dikelilingi dengan tanaman rambat liar dan cat yang menempel pun nampak mengelupas di beberapa bagian. Sangat berbeda dengan terakhir kali ia mengunjungi rumah ini satu tahun lalu.
“Udah sampai, Hyung?”
“Hm.”
“Nggak turun?” tanya Mingyu bingung karena melihat Jihoon tidak melakukan pergerakan apapun, ia hanya tercenung di balik kemudi.
“Hyung?” tanyanya lagi.
Jihoon tersentak.
“Ayo,” kata Jihoon. Ia turun dari mobil, Mingyu mengikuti.
Mingyu memencet bel berwarna merah kusam yang berada di sisi kanan gerbang. Tidak ada jawaban. Jihoon memencetnya lagi, terdapat suara dari saluran intercom doorbell.
“Siapa?” tanya seseorang dari seberang sana.
“Ini Jihoon,” jawab Jihoon.
Klik! Gerbang terbuka.
Jaehyuk menyambut Mingyu dan Jihoon ramah, ia berkali-kali memeluk Jihoon saat mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
“Sebentar, ya. Aku beritahu Ibu dulu.”
Jihoon nampak gugup, wajahnya pucat dan terus memijat telapak tangannya. Mingyu menyadari itu, ia pun menuangkan air ke dalam gelas dan menyuruh Jihoon untuk meminumnya, berharap dapat sedikit meredakan kecemasan sahabatnya ini.
Jaehyuk membawa Ibunya yang berada di atas kursi roda menuju ruang tamu. Terdapat perubahan yang sangat drastis dari penampilan Ibu Jaehyuk sejak satu tahun lalu saat mereka terakhir kali bertemu. Tubuhnya kurus seperti hanya menyisakan tulang yang dibalut kulit keriputnya, matanya sangat cekung, ia terlihat begitu lemah dan kesakitan.
“Jihoon..” kata Ibu Jaehyuk.
Jihoon menghampiri wanita tua itu dan memeluknya.
Hati Mingyu mencelus, ia masih mengingat kejadian tahun lalu saat Ibu Jaehyuk bersumpah serapah kepada Jihoon di depan matanya sendiri. Mingyu kagum sekaligus merasakan nyeri di hatinya saat melihat betapa lapang hati Jihoon memeluk wanita yang dulu menyakitinya tanpa ampun itu.
Tanpa berbasa-basi, Ibu Jaehyuk membuka suara.
“Jihoon.. kamu tahu kalau rumah ini atas nama kamu?”
Jihoon kaget dan menggelengkan kepalanya.
“Satu tahun lalu, kami baru mengetahui bahwa rumah ini ternyata dibangun atas nama kamu. Pada surat wasiat yang ditinggalkan Ayahmu, seluruh aset yang tersisa di rumah ini adalah milikmu. Tidak ada yang tersisa untuk saya. Laki-laki tua itu bahkan hanya meninggalkan bangunan tua di pinggir kota untuk Jaehyuk.”
“Lalu?” tanya Jihoon, suaranya gemetar.
Ibu Jaehyuk mengeluarkan sebuah dokumen yang ia sembunyikan di balik selimutnya.
“Bisakah kamu jual rumah ini untuk saya?”
“IBU!” teriak Jaehyuk marah. Ia bangkit dari duduknya, tangannya mengepal.
Jihoon tidak menjawab, ia justru menggenggam kepalan tangan Jaehyuk untuk menenangkan anak muda itu.
“Saya membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Anggap ini adalah bentuk baktimu sebagai seorang anak. Kamu bahkan tidak mengenali wajah Ayahmu, namun dia meninggalkanmu warisan yang tidak semestinya kamu dapatkan. Sementara, saya yang menemani Ayahmu sejak dia masih belum memiliki apa-apa hingga dia wafat. Rasanya sangat wajar jika saya meminta kamu untuk membantu saya sedikit saja setelah apa yang selama ini saya berikan untuk Ayahmu. Toh, tanpa rumah dan aset Ayahmu pun kamu masih hidup dengan sangat layak.”
“Ibu! Apa-apaan ini?!” Jaehyuk merasa tidak percaya atas apa yang telah Ibunya ucapkan itu.
Mingyu hanya bisa mengepalkan tangannya dan menyembunyikan amarahnya. Sementara, Jihoon menatap wanita itu dalam sekali, ia mengangguk dan meraih dokumen yang berada di atas meja.
“Baik,” jawabnya singkat.
“Hyung..” kata Mingyu dan Jaehyuk berbarengan.
Jihoon bangkit dari duduknya, “saya pamit dulu. Anda tidak perlu khawatir, akan saya usahakan rumah ini terjual dalam waktu dekat.”
“Gyu, ayo pulang.”
0 notes
semangkuk-uji · 18 hours
Text
Yakin.
Jihoon sibuk mencari kunci mobilnya, saking lamanya ia tidak pernah menggunakan kendaraan pribadi, Jihoon lupa di mana terakhir kali ia menyimpan kuncinya. Setelah lima belas menit pencarian, akhirnya Jihoon menemukan kunci mobil yang entah bagaimana ceritanya bisa disimpan di dalam kotak perkakas.
Saat sedang bersiap untuk keluar dari apartemen menuju basement, pintu apartemen diketuk dengan sangat tidak sabar. Jihoon membukanya dengan terburu-buru.
“Hyung! Minta minum!” kata Mingyu sambil terengah-engah.
Jihoon menatap punggung Mingyu yang sudah menyelonong masuk menuju dapur dengan tatapan keheranan.
“Kan gue yang jemput lo ke apartemen lo. Kenapa tiba-tiba lo datang ke sini? Baju lo juga kenapa basah begini?” tanya Jihoon, ia menyentuh baju Mingyu yang sangat lepek dengan keringat.
“Tadi sekalian sepedaan. Numpang mandi dulu, ya?”
Jihoon menggelengkan kepalanya. Ia merasa ini adalah kesalahannya karena terlalu terikat dengan Mingyu, anak ini jadi menganggap hidup milik Jihoon adalah miliknya, yang berarti apartemen Jihoon adalah apartemennya juga. Jihoon tidak begitu senang, namun juga akan sangat kesepian jika membayangkan Mingyu menghilang dari dunianya.
Setelah selesai, Mingyu dan Jihoon bersiap untuk berangkat menuju Daegu. Mingyu melihat satu keranjang buah dan satu kantong plastik besar berisi beras dan beberapa bahan pokok pangan di pojok ruangan.
“Udah siap banget kayaknya,” katanya sambil mengangkat keranjang buah. Jihoon tidak menjawab, ia mengikuti Mingyu yang sudah keluar dari apartemen.
“Lo yakin, kan?” tanya Mingyu memastikan saat mereka sudah berada di dalam mobil. Jihoon hanya mengangguk dan menyalakan mobil.
0 notes
semangkuk-uji · 9 days
Text
Rooftop, angin, dan pertandingan putus asa
Jihoon meneguk minuman kaleng sambil menatap ‘angin’. Udara malam ini terasa sangat dingin, jemari Jihoon membeku, ia menggenggam kaleng minuman yang sudah kosong dengan erat. Rooftop apartemennya selalu sepi, mungkin cuaca dingin musim gugur di bulan Oktober cukup membuat orang-orang malas berada di sana saat malam hari.
Sudah beberapa hari ini, Jihoon sering menghabiskan malamnya dengan duduk saja di rooftop apartemen. Mimpinya beberapa hari lalu terus mengganggu kepalanya. Jihoon sudah memutuskan untuk datang ke Daegu, meskipun belum mengetahui kapan ia akan siap untuk berangkat ke sana. Namun, entah mengapa ia merasa mimpi itu seperti bola besi yang memberatkan langkahnya.
Jihoon tidak bergeming sedikitpun meski minuman kalengnya sudah habis, meski udara dingin semakin menusuk kulitnya, meski kepalanya mulai berdenyut nyeri. Ia masih betah berlama-lama, suara angin dan lolongan anjing cukup membuatnya tidak begitu kesepian.
Dari kejauhan terdengar derap langkah kaki, Jihoon terkesiap.
“Jihoon?” tanya seseorang di belakang Jihoon. Ia menoleh, Soonyoung rupanya.
“Lo ngapain malam-malam di sini?” Soonyoung melemparkan pertanyaan lagi.
“Loh lo juga ngapain malam-malam ke sini?” tanya Jihoon.
Ini lebih terdengar seperti perang pertanyaan yang tidak memiliki jawaban, atau lebih tepatnya para pembicara ini memang enggan untuk menjawab.
Soonyoung duduk di atas dipan sebelah Jihoon, ia memakai jaket tebal dengan membawa dua gelas kopi panas di tangannya dan menyodorkan salah satunya kepada Jihoon.
“Mau kopi?”
Jihoon menggeleng.
“Lo minum dua gelas kopi sekaligus?”
“Hm. Biasanya tiga gelas malah.”
Jihoon menggeleng lagi, kali ini karena heran.
“Sering ke sini?” tanya Soonyoung membuka obrolan.
“Hampir setiap malam.”
“Sudah hampir seminggu lo pindah ke Seoul. Gimana?”
“Nggak ada testimoni istimewa soal Seoul,” jawab Jihoon singkat.
Mereka terdiam dan menatap ‘angin’ bersama.
Aneh, biasanya Jihoon akan segera menghindar jika ada orang lain yang mendekatinya. Namun, kali ini ia tidak berniat untuk beranjak pergi dan justru membiarkan dirinya duduk di sana bersama Soonyoung menikmati malam yang sunyi namun tidak menenangkan ini.
“Sewaktu baru pindah ke sini, gue juga nggak punya testimoni istimewa tentang Seoul,” kata Soonyoung tiba-tiba. “Gue ke sini cuma untuk bertahan hidup supaya kehidupan gue yang lain tetap berjalan sebagaimana mestinya. Jadi, bagi gue Seoul nggak lebih dari sekedar arena perang,” lanjutnya lagi.
“Perang?” tanya Jihoon, ia mulai tertarik dengan obrolan ini.
“Iya, perang. Kita semua ibarat para pejuang yang ada di medan perang. Kita berjuang untuk bertahan di tengah hiruk pikuk kota demi mencapai sebuah kemenangan. Keluarga, cinta, cita-cita.” 
Soonyoung menyesap kopinya. “Lo ke sini untuk perang juga, kan?”
“Alih-alih sebuah perang, gue ke sini cuma seperti hantu yang gentayangan. Gue nggak punya perang, gue juga nggak punya tujuan. Dibilang bertahan hidup pun gue nggak berusaha untuk bertahan.”
“Menarik,” Soonyoung terdengar seperti seorang cendikiawan yang baru menemukan ilmu baru.
“Apanya yang menarik?” tanya Jihoon sedikit jengkel.
“Lo dan hidup lo. Ternyata ada yang lebih putus asa dibanding gue,” kata Soonyoung sambil terkekeh.
Soonyoung mungkin mengira Jihoon akan sangat jengkel dengan jawabannya, namun Jihoon justru tertawa. Tidak ada yang lucu dari kalimat yang terlontar dari mulut Soonyoung, ia hanya sedang menertawakan sebuah fakta bahwa orang lain pun dapat menilai dengan cermat, dirinya memang terlihat sangat putus asa.
0 notes
semangkuk-uji · 9 days
Text
Seokmin, the living capslock.
Ponsel Soonyoung berdering nyaring, alarmnya terdengar rewel sekali pagi ini. Belum sempat Soonyoung menyentuh ponselnya, terdapat panggilan masuk. Soonyoung meraih ponsel dan melihat layarnya, siapa lagi kalau bukan Seokmin.
“LO BARU BANGUN?”
“Hm.”
“BURUAN SIAP-SIAP! HARI INI KITA ADA RAPAT BARENG DIREKSI! JANGAN BILANG LO LUPA?”
“Nggak. Gue nggak lupa.”
“OH BAGUSLAH!”
Klik. Sambungan telepon dimatikan. Soonyoung dibiarkan diam tak bergeming di sisi kasurnya, ia terus bertanya-tanya mengapa Seokmin selalu berbicara seolah hanya ada pengaturan capslock di hidupnya.
0 notes
semangkuk-uji · 9 days
Text
Cuma mimpi.
“PERGI KAMU! PERGI!” “KAMU KESINI CUMA MAU MERAMPAS WARISAN SUAMI SAYA, KAN?” “TAHU DARI MANA KAMU KALAU KITA TINGGAL DI SINI? KENAPA KAMU DATANG SAAT SUAMI SAYA BARU SAJA MENINGGAL? SUMPAH MATI SAYA TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAMU MEMBAWA PULANG SEPESER PUN HARTA SUAMI SAYA!” “DASAR ANAK HARAM!”
Jihoon membuka matanya, napasnya memburu dan tubuhnya sudah di penuhi dengan keringat. Ia merasa kebingungan sampai saat bunyi alarmnya mulai nyaring terdengar di telinga.
“Ah, cuma mimpi,” katanya lega.
Ia bangkit dari tidurnya dan beranjak menuju dapur untuk mengambil air minum.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi, lumayan telat untuknya yang biasa bersiap untuk bekerja pukul 5 dini hari. Jihoon si early bird ini tidak menyukai memulai kegiatannya saat matahari sudah naik meskipun jam kerjanya adalah pukul setengah 8 pagi. Lain hal jika itu adalah akhir pekan¸ Jihoon sudah pasti memasang mode hibernasi hingga akhir pekannya berakhir.
Jihoon melihat ada sebotol pereda pengar di atas meja makan dan sebuah sticky note bertuliskan ‘minum sebelum kerja’. Laki-laki mungil ini tersenyum, ia tidak ingat betul apa saja yang terjadi semalam saat sedang minum berdua dengan Mingyu, yang ia ingat adalah ia sangat mabuk dan Mingyu cuma sibuk mengunyah cumi kering sepanjang malam.
Kesibukannya pagi ini membuat Jihoon tanpa sadar melupakan mimpinya. Begitu ia selesai dengan persiapannya, Jihoon langsung bergegas menuju stasiun dengan setengah berlari. Ia tidak sempat memikirkan hal lain selain harus sampai di stasiun pukul 7 pagi.
0 notes
semangkuk-uji · 9 days
Text
Sesungguhnya, dia hangat.
Jihoon meminum sojunya dengan sekali tegukkan. Wajahnya gelisah, nampak sangat terganggu dengan apapun itu yang ada di kepalanya. Mingyu memperhatikan dalam diam, membiarkan Jihoon selesai dengan ‘urusannya’, pun nanti ia yakin sahabatnya ini akan membuka diri mengenai resah yang sedang Jihoon rasakan.
“Gue harus gimana?” tanya Jihoon, suaranya memecah keheningan.
“Lo maunya gimana?” Mingyu balik bertanya.
Jihoon menarik napas berat, ia menyandarkan badannya di atas sofa.
“Gue masih ingat dengan jelas gambaran satu tahun lalu sewaktu mereka ngusir gue di depan jenazah Ayah gue sendiri,” kata Jihoon datar.
Biar begitu, Mingyu dapat menangkap sakit yang mendalam pada suara Jihoon.
“Kalau lo udah nggak mau ketemu atau berurusan sama mereka, ya gak usah gimana-gimana. Cuekin aja chatnya, kalau perlu blokir semua kontak yang berhubungan dengan Jaehyuk dan keluarganya supaya nggak ada yang bisa ngehubungin lo lagi.”
“Tapi Jaehyuk bilang ibunya sakit, Gyu. Jaehyuk said his mom wants to meet me. We never know what will happen if I ignore them.”
MIngyu menaruh gelas sojunya di atas meja, ia menghela napas panjang dan mengamati orang yang sedang duduk dengan gamang di sampingnya. Ia sudah tahu betul apa yang akan Jihoon putuskan.
“Lo mau kesana kapan? Mau gue temenin?”
Jihoon mungkin terlihat sangat dingin dan terkesan tidak begitu peduli dengan siapapun. Selama Mingyu mengenal laki-laki ini, ia sering sekali mendengar selentingan orang yang bergosip bahwa Jihoon adalah orang yang sangat sulit didekati, tertutup dan kaku.
Mingyu paham memang ada beberapa orang tidak suka bergaul dengan manusia semacam itu. Namun, sesungguhnya Jihoon penuh dengan kehangatan. Sayangnya, sisi yang seperti ini tidak terlihat dengan jelas oleh banyak orang.
1 note · View note