#Serdadu Langit AU
Explore tagged Tumblr posts
Text
Wajah dan senyum baru lainnya.
Jihoon mengetuk pintu ruangan dengan papan bertuliskan ‘General Manager’, namun tidak ada jawaban. Baru saja Jihoon berniat untuk mengetuknya lagi, pintu dibuka secara tiba-tiba. Jihoon hampir saja terjengkang karena kaget.
“Oh! Anda tidak apa-apa?” tanya seseorang, tak kalah kagetnya.
“T-tidak apa-apa,” Jihoon menjawab sambil tersipu. Ia hampir mempermalukan dirinya sendiri kalau saja tubuhnya benar-benar terjengkang di depan orang lain.
“Silahkan masuk,” ujar orang tersebut.
Jihoon melihat seseorang yang menyambutnya tadi sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan.
Seorang pria yang bisa ditebak gemar mengadopsi gaya classic gentlemen jika dilihat dari caranya berpakaian dengan menggunakan setelan dari designer ternama, kemeja yang sepertinya diterjang badai pun tidak akan pernah kusut, sepatu kulit oxford, dan tatanan rambutnya yang kelimis menonjolkan kesan elegan dan berkelas.
“Hong Jisoo,” katanya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangannya. “Anda..? Tuan Jihoon, betul?” lanjutnya lagi.
Jihoon menyambutnya. “Iya. Saya Lee Jihoon.”
“Maaf, ya. Seharusnya kita bertemu kemarin.”
“Oh, iya. Tidak apa-apa.”
“Saya dengar Anda baru saja sembuh dari sakit, ya? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah sudah lebih baik?” tanya Tuan Hong penuh dengan perhatian.
Suara pria ini terdengar sangat lembut dan santun, Jihoon hampir terhipnotis karenanya. Gerak tubuhnya terkesan seperti seseorang yang selalu berhati-hati, perhatian dengan lingkungan sekitar, jauh dari karakter orang yang tinggi hati dan juga sangat mudah tersenyum. Jihoon terheran-heran, mengapa belakangan ini ia selalu dipertemukan dengan orang-orang yang punya sindrom ramah berlebih.
“Saya sudah jauh lebih baik. Terima kasih,” jawab Jihoon sambil tersenyum, tidak ingin kalah ramah dari Tuan Hong.
“Syukurlah,” seru Tuan Hong. “Omong-omong, ternyata Anda lulusan Anyang University, ya?”
Jihoon mengangguk dan tidak begitu kaget jika Tuan Hong mengetahui latar belakangnya, ia pasti sudah membaca resume data diri Jihoon sebelumnya.
“Saya juga alumni Anyang University! Satu tahun di atas Anda!” serunya bersemangat, suaranya yang lembut kini terdengar berapi-api.
Lagi, untuk yang kesekian kali, Jihoon merespon dengan mengangguk, kali ini sedikit lebih kencang agar terkesan sama antusiasnya dengan lawan bicaranya itu.
“Bicara santai saja, ya. Supaya nggak begitu tegang. Kecuali..”
“Kecuali?” Jihoon mengangkat salah satu alisnya, menanti Tuan Hong menyelesaikan kalimatnya yang terjeda.
"Kecuali kalau di depan Pak Hae In. Beliau agak kuno. Tipikal kkondae,” lanjut Tuang Hong sambil berbisik seolah takut ada yang mendengar, padahal mereka hanya berdua di dalam ruangan.
Jihoon mengangguk lagi, terlebih ia tidak mengetahui siapa sosok Pak Hae In yang Tuan Hong maksud. Kemudian, secara tiba-tiba Tuan Hong menggebrak mejanya dengan brutal, Jihoon terperanjat kaget.
“Ah! Lo belum bertemu dengan Pak Hae In, ya? Corporate owner hotel ini!” seru Tuan Hong menggebu-gebu dan mulai meninggalkan bahasa formalnya.
Berlebihan sekali.
Jihoon menggeleng.
“Oke. Nanti sebelum jam makan siang, kita ke ruangan beliau dulu, ya!”
“Oh. Oke!” jawab Jihoon sembari tersenyum yang membuat matanya melekung membentuk bulat sabit dan lesung pipinya yang mungil menampakkan diri.
Selalu begitu. Jihoon tetaplah menjadi sosok yang tenang di depan siapa pun. Hemat bicara dan tidak begitu pandai mengekspresikan emosinya. Entah karena dirinya lebih suka bergerak secara lambat dan hati-hati atau memang ia tidak lagi memiliki cukup tenaga untuk sedikit lebih meletup-letup dalam memperlakukan banyak kejadian di dunia.
0 notes
Text
Sebab gelisah.
“Ah, kenyang!” Chan berseru, kemudian bersandar di sofa sambil mengelus-elus perutnya yang sudah penuh dengan semangkuk tteokkbokki, dua buah bungeoppang, dan sebuah kesemek.
Jihoon mengerutkan kening. “Gue ada egg tart di kulkas. Lo mau, Chan?”
Chan menggeleng cepat. “Thank you, Hyung. Gue sudah kenyang banget. Terima kasih banyak, ya. Lo malah jadi menafkahi perut gue malam ini. Hahaha..” Chan tergelak dengan leluconnya sendiri, entah apa yang lucu tapi tawanya renyah sekali
Tidak berapa lama, Chan menarik napasnya dalam. Terlihat dengan jelas semburat gelisah di wajahnya. Jihoon tidak berniat menanyakan apapun meskipun ia dapat membaca bahwa ada sesuatu yang mungkin saja mengganggu pikiran sang National Maknae ini.
“Dia hampir meninju nasabah tadi, Hoon.” Soonyoung menoleh ke arah Chan dan tersenyum, sepertinya Soonyoung dapat melihat tanda tanya besar di atas kepala Jihoon.
Jihoon terperanjat kaget. “Kok bisa?”
“Ada nasabah yang sudah beberapa hari ini berdemo di kantor. Pengajuan kreditnya ditolak, beliau butuh dana untuk pengobatan anaknya yang sedang koma. Pagi tadi, orang ini hampir merangsek masuk ke dalam ruangan dan berusaha mencekik Chan,” kata Soonyoung bertindak seperti juru bicara pribadinya Chan, sementara itu Chan hanya mengangguk-angguk saja.
Jihoon tidak menjawab, bingung harus memberi reaksi seperti apa.
“Satu sisi, gue merasa bersalah karena nggak bisa membantu beliau. Tapi, di sisi lain, gue pun nggak bisa berbuat banyak. Riwayat kreditnya buruk, beliau punya tunggakan di beberapa bank dan riwayat transaksinya banyak yang mengarah ke situs perjudian online,” tambah Chan, ia memijat kepalanya yang pening.
Soonyoung berbalik arah dan menepuk pundak Jihoon.
“Lo tahu nggak? Dulu anak ini lebih brutal! Gue kenal Chan lumayan lama, gue sempat jadi employee trainernya,” matanya membulat. “Chan! Tahun berapa lo masuk Guhada Bank?”
“Um.. 2018?”
“Dulu, anaknya nggak kayak gini. Teman-teman satu angkatannya banyak yang kesal sama dia. Hahaha..” Soonyoung tertawa geli.
Jihoon meraih kaleng minumannya, wajahnya memasang raut penasaran. “Karena?” tanyanya.
Soonyoung mengendikkan bahunya. “Karena memang pemarah saja, sih. Mirip angry bird!” ia tertawa lagi.
“Sialan!” seru Chan ketus, namun tak lama ia ikut tertawa juga.
Sementara itu, Jihoon diam-diam menikmati obrolan ini.
0 notes
Text
Chan, si Tokoh Utama
Proses wawancara tidak berlangsung begitu lama, tidak seperti yang Jihoon pikirkan. Hanya sekedar menanyakan hal-hal mandatory semacam data diri, alasan mengajukan kredit, membaca riwayat kredit Jihoon dan informasi mengenai pekerjaannya saja.
“Kalian memang sengaja langsung ke sini kah? Nggak pulang dulu?” tanya Jihoon yang masih penasaran.
Chan mengambil bungeoppang kemudian melahapnya. “Iya. Biar sekalian, Hyung.”
“Bahaya kalau anak ini pulang dulu. Dia bisa kebablasan tidur di apartemennya,” Soonyoung menimpali.
Jihoon mengangguk. “Setelah ini tinggal menunggu jadwal survey rumah, ya?”
“Iya. Nanti gue hubungi lagi, ya. Tapi kemungkinan jadwal surveynya ada di jam kerja”
“Oke!”
Setelah obrolan singkat itu, Jihoon diam-diam melirik ke arah Chan yang masih sibuk memakan camilan tanpa bersuara sedikit pun.
“Dia lagi stress berat. Sorry, Hoon. Ini anak jadi kayak tamu kelaparan.”
Rupanya Soonyoung menyadari bahwa Jihoon memang sedang memperhatikan Chan.
"Ah, Hyung! Thank you! Ini tteokkbokkinya enak banget!! Hehehe,” kata Chan.
Bicaranya tidak jelas lantaran mulutnya penuh dengan makanan. Jihoon tersenyum tipis kemudian memberikan semacam kode dari lirikan matanya kepada Soonyoung. “Dia stress kenapa?”
0 notes
Text
Jamuan dan pertemanan
Jihoon tengah menata camilan dan berbagai macam buah yang baru ia beli saat perjalanan pulang dari hotel. Malam ini, seperti yang sudah dijanjikan, Soonyoung dan Chan akan datang ke apartemennya untuk melakukan proses wawancara. Ia bertekad untuk menyuguhkan makanan yang layak bagi para tamu.
Bel berdering saat Jihoon hendak menutup pintu kamar. Sudah terhitung dua minggu sejak kepindahannya ke Yongsan, kamarnya masih belum rapi dengan sempurna dan Jihoon tidak ingin tamunya melihat pemandangan kurang sedap kamarnya sebab itu akan melukai citranya yang terkesan rapi dan tidak sembrono.
“Halo!” seru Soonyoung dan Chan berbarengan saat pintu apartemen terbuka.
Jihoon membungkukkan tubuhnya untuk menyambut tamu. “Halo.”
Mereka bertiga masuk ke dalam apartemen setelah Jihoon mempersilahkan. Soonyoung dan Chan masih mengenakan setelan bekerja mereka lengkap dengan papan nama yang menggantung di leher. Agak mengherankan, padahal mereka bisa saja pulang sebentar untuk mengganti pakaian yang lebih nyaman sebelum datang ke apartemen Jihoon mengingat mereka juga tinggal di gedung yang sama.
“HEOL!” Chan hampir saja berteriak kalau ia tidak segera menutup mulutnya.
Chan dan Soonyoung dibuat terkesima ketika melihat meja ruang tamu yang penuh dengan berbagai macam camilan, buah dan tiga mangkuk besar tteokbokki.
“Ck. Kan sudah gue bilang.. jangan repot-repot, Hoon.”
Soonyoung melipat kedua tangannya di dada, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa takjub sekaligus prihatin.
“Sepertinya anak ini memang belum terbiasa menghadapi banyak pertemuan dan belum begitu terlatih untuk memulai pertemanan,” batin Soonyoung.
0 notes
Text
Kopi dan masa lalu seorang anak
“Nanti gue dan Chan akan ke apartemen lo untuk melakukan sesi wawancara. Setelah itu, kita akan verifikasi data pekerjaan lo dan..”
Belum selesai Soonyoung menjelaskan, Jihoon sudah membuka mulutnya.
“Dan kalian akan melakukan penilaian agunan. Karena properti itu milik gue, jadi gue harus ada di sana. Lalu, bank akan analisis kelayakan pengajuan kredit gue. Seluruh prosesnya mungkin memakan waktu 14 hari kerja. Setelah itu, kalau sudah disetujui pihak bank, dana bisa dicairkan dalam 24 jam,” Jihoon menyelesaikan kalimatnya lalu meneguk kopi hangatnya dengan bangga.
Hal ini sudah dijelaskan oleh Chan pagi tadi, entah kenapa Soonyoung merasa perlu mengulangnya kembali padahal Jihoon sudah mengetahuinya dan mengingatnya dengan baik.
“Young, kemarin Mingyu bertanya-tanya kenapa gue mau melakukan ini dan lo juga merasa aneh dengan keputusan gue,” kata Jihoon tiba-tiba.
Soonyoung mengalihkan perhatiannya pada Jihoon dan menyimak pembicaraan Jihoon dengan seksama.
“Dulu hidup gue dan Ibu nggak mudah. Kita sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Siang hari, Ibu bekerja di satu restoran dan malam hari Ibu bekerja di tempat pemandian umum. Sementara itu, gue menjalani hari-hari di rumah sendirian. Singkatnya, jalan kami tidak beraspal, nggak mulus. Gue pernah merasa dimusuhi dunia karena kami berdua harus menderita sendirian tanpa ada satu jiwa pun yang menolong,” Jihoon memberi jeda pada bicaranya.
Ia memperhatikan sekeliling halaman belakang gedung dan terpaku pada seorang Ibu yang sedang menggendong anak laki-lakinya dengan susah payah.
“Hidup gue dan Ibu dipenuhi dengan ketidakberdayaan, gue tahu rasanya mendambakan bantuan orang lain. Gue nggak mau jadi salah satu dari mereka yang lupa caranya menolong selagi gue mampu untuk itu,” pungkas Jihoon.
Soonyoung meremas gelas kopi yang sudah kosong kemudian ia menepuk pundak Jihoon.
“Gue nggak tahu apa yang lo lalui selama ini dan kisah apa saja yang sudah orang lain tulis di hidup lo. Tapi, sepertinya gue ngerti. Gue yakin lo sudah cukup mempertimbangkan keputusan ini dengan matang.”
Soonyoung melirik jam tangannya dan harus segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Belum lama ia melangkahkan kakinya menuju kantor, Soonyoung memanggil Jihoon lalu berlari menghampiri lelaki itu.
“Jihoon! Gue tahu kita memang diharuskan menjadi orang baik, tapi gue harap lo nggak lupa bahwa ada yang lebih penting ketimbang menjadi malaikat untuk orang lain. Lo harus jadi malaikat penolong untuk diri lo sendiri. Jangan lupa, diri lo juga perlu dikasihi.”
Jihoon tertegun ketika mendengar perkataan Soonyoung, persis seperti apa yang ibunya katakan kemarin.
Jangan lupa mengasihi dirimu sendiri.
0 notes
Text
Keberuntungan nomor 17
Nomor antrian 17A, silahkan menuju counter 13.
Nomor antrian Jihoon dipanggil lewat pengeras suara. Beruntung sekali penantiannya tidak memakan waktu yang lama. Keputusannya untuk berangkat menuju bank pagi-pagi sekali agar bisa dapat nomor antrian lebih awal tidaklah sia-sia.
Jihoon menuju counter pelayanan nomor 13 dan disambut dengan sumringah oleh Chan. Jihoon senang bukan main karena bisa dilayani oleh orang yang dikenalnya.
“Selamat pagi, Tuan. Silahkan duduk,” Chan menjalani Standar Operasional Prosedur pekerjaannya dengan baik, ia menjulurkan tangannya dan menjabat tangan Jihoon bersemangat.
“Selamat pagi..” jawab Jihoon sambil tersenyum kikuk. Ia juga ikut menjalankan perannya sebagai nasabah yang baik dan benar.
“Hyung.. gimana kabar lo pagi ini?” tanya Chan dengan sedikit berbisik.
“Baik,” Jihoon menjawab dengan mantap.
“Dokumennya sudah dipersiapkan?”
Jihoon mengangguk dan menyerahkan beberapa dokumen yang kemarin sudah dijelaskan oleh Soonyoung.
“Oke. Sebentar, ya. Gue salin dokumen lo dan persiapkan beberapa formulirnya lebih dulu,” Chan masih berbicara sambil berbisik, mungkin takut didengar oleh petugas lain karena menggunakan bahasa informal kepada Jihoon.
“Itu! Permennya boleh dimakan sambil menunggu,” lanjut Chan sambil menunjuk keranjang mini berisi permen rasa buah.
0 notes
Text
Rindu yang berisik
Jihoon termenung di atas kasur, ia mengamati sekeliling kamarnya, sepi sekali. Tidak terdengar suara apapun kecuali suara kesepian di hatinya yang ramai.
Setelah Mingyu pulang dari apartemen dan setelah ia melakukan kegiatannya hari ini, baru terasa betapa menyebalkannya hidup sebatang kara di dunia yang sungguh luas dan sibuk ini.
“Ibu.. apakah ini sudah benar?” tanyanya pelan, entah kepada siapa.
Jihoon mulai meragukan keputusannya sendiri, merasa bimbang dan kebingungan.
“Begini rasanya ditinggal seorang diri, aku jadi kebingungan sendiri tanpa tempat untuk berpegang,” lanjutnya sambil tersenyum risau.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang sedang memencet kode door lock apartemennya. Jihoon kaget sekaligus merasa ngeri sebab tidak ada yang mengetahui kode untuk kunci pintu apartemennya, sekalipun itu Kim Mingyu.
“Siapa?!” teriaknya sambil bergegas keluar dari kamar.
Jihoon berjalan dengan berjinjit, ia sudah memasang mode siaga sambil mencari benda yang bisa dijadikan senjata. Pintu berderit ketika dibuka dengan perlahan, Jihoon bergidik.
“SIAPA?!” Jihoon berteriak sekali lagi, namun tidak ada jawaban.
Sesaat setelah Jihoon membuka pintu kamarnya, seseorang masuk dengan tergopoh-gopoh. Jihoon memicingkan matanya untuk memperjelas pandangannya. Gagang sapu yang sedari tadi ia pegang, terlepas dari genggaman.
“Ibu?” kata Jihoon gemetar, hatinya mencelus, kakinya lemas.
Seorang wanita yang sangat ia kenali sekaligus ia rindukan ini sedang berjalan di depannya sambil membawa beberapa kotak dosirak yang nampak berat.
“Jihoon, sudah berapa kali Ibu bilang untuk jangan menggunakan angka 1234 sebagai kode pintu rumah? Kode seperti ini sudah ketinggalan zaman sekali, sangat mudah bagi para maling itu untuk membobol masuk,” kata seseorang yang Jihoon panggil Ibu itu.
Jihoon masih memandanginya dengan lekat dan tidak percaya. Ibu nampak sehat dan bugar, wajahnya cantik dan rambutnya masih lebat, tidak seperti terakhir kali saat Jihoon masih bersamanya.
Tanpa sadar, pandangan matanya menjadi kabur lantaran sudah tergenang dengan air mata. Seperti ada batu besar yang tersangkut di dalam hatinya, dadanya sangat sesak, Jihoon sangat rindu dan kerinduan itu membuncah tidak terkendali.
Wanita itu menaruh kotak dosirak di atas meja ruang tamu, lalu menghampiri Jihoon yang masih berdiri mematung di hadapannya. Ia menghapus air mata yang begitu deras mengaliri wajah pucat anaknya itu.
“Sudah lama sekali, ya? Pasti berat, ya?” gumam Ibu, ia mengelus rambut Jihoon lembut.
Jihoon mengangguk, seperti anak kecil yang sudah lama menanti kehadiran sang Ibu untuk mengadu dan mengaduh. Tangisnya semakin kencang. Ibu memeluk Jihoon dan terus mengelus punggung anaknya yang sudah begitu rapuh.
“Apa pun keputusanmu, Ibu akan selalu mendukung. Ibu tahu kamu adalah anak yang selalu mementingkan kebahagiaan orang lain, Ibu bangga dengan itu. Tapi.. satu hal yang harus kamu ingat, kebahagiaan kamu juga lebih penting dari apapun. Jangan lupa untuk mengasihi dirimu sendiri.”
Ibu berbicara dengan penuh kasih, ada rasa khawatir yang begitu besar di tengah bicaranya. Ia menatap kembali wajah anaknya.
“Jangan sakit, Jihoon-ah. Kamu harus sehat dan berumur panjang. Ibu ingin melihatmu mencapai bahagia dan hidup lebih lama dengan itu agar Ibu bisa melepasmu dengan bahagia juga. Hm?”
Jihoon tidak menjawab, ia menundukkan wajahnya, berusaha untuk menyembunyikan segala luka yang ia miliki agar tak terlihat oleh orang yang paling ia cintai ini.
“Ibu.. Aku ingin ikut Ibu..” kata Jihoon dengan suara tersengal-sengal.
Tidak ada jawaban lagi setelah itu. Jihoon mengangkat wajahnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Matanya sibuk mencari sosok wanita itu. Ibu menghilang dengan meninggalkan angin sejuk di wajah Jihoon.
Tidak ada kotak dosirak yang tadi dibawanya, tidak ada Ibu.
“Ibu!” Jihoon terus memanggil-manggil ibunya.
Apartemennya kembali sunyi, Jihoon jatuh terduduk.
“Ini berat sekali, Bu. Kenapa aku ditinggal sendirian?”
0 notes
Text
Satu siang di rumah tetangga.
“Young, lo bisa jelasin ke gue tentang prosedur kredit pinjaman dengan agunan rumah yang kemarin sempat gue tanyakan?”
“Prosedurnya nggak begitu menyulitkan, sih. Lo cukup datang ke bank dengan membawa beberapa dokumen seperti data diri, data pekerjaan, dan data agunan berupa sertifikat properti yang mau dijaminkan,” jelas Soonyoung serius.
Tanpa disadari, Seokmin dan Chan sudah berhenti bermain dan ikut mendengarkan penjelasan Soonyoung sambil memakan hotteok yang dibawa Jihoon.
“Nanti kalau sudah mengajukan aplikasi permohonan kredit, tinggal tunggu proses analisis data dan penilaian agunan lo aja. Kalau sudah disetujui, bisa langsung dicairkan pendanaannya.”
Dahi Soonyoung berkerut saat menjelaskan hal ini kepada Jihoon, ia lalu menarik napasnya dan menutup penjelasannya dengan penuh rasa bangga.
“Kalau gue ke Guhada Bank besok, apa bisa diproses langsung sama lo?”
“Besok? Besok jadwal pelayanannya Chan, mungkin lo akan ketemu dia dan dibantu Chan di sana. Tapi, tergantung antrian. Bisa jadi nanti lo diarahkan ke staff yang lain.”
Chan mengacungkan jempolnya seolah baru saja mendapatkan peran penting untuk Jihoon.
“Hyung? Eh.. anu.. Tuan?” seru Seokmin tergagap.
“Ngomong santai aja,” kata Jihoon, sepertinya ia mengerti kecanggungan Seokmin.
“Keadaan lo sekarang gimana, Hyung? Gue dengar dari Chan, katanya lo hampir mati kemarin.”
Seokmin berbicara dengan nada khawatir yang tidak dibuat-buat.
“Gue sudah baik-baik saja, kok. Thanks to Soonyoung and Chan, they helped me a lot!” Jihoon berseru sambil memandang Soonyoung dan Chan secara bergantian. Chan terlihat bangga sekali, ia menepuk-nepuk dadanya yang membusung.
“Jadi ini yang lo pikirkan dari kemarin? Sampai keadaan sekarat begitu pun masih sempat nanyain soal kredit pinjaman,” Soonyoung menyambungkan kembali topik pembicaraan yang semula dibahas.
Jihoon meraih kaleng minuman bersoda dan membukanya.
“Istri mantan suaminya ibu gue sakit keras, beliau butuh biaya untuk pengobatan. Gue takut terlambat kalau menunda,” katanya.
“Istri mantan suaminya ibu lo?” tanya Soonyoung tidak mengerti.
“Ibu tiri Jihoon-hyung,” kata Chan menyederhanakan ucapan Jihoon agar mudah dimengerti.
“Oh..”
0 notes
Text
Ngobrol dulu.
Tok-tok!
Jihoon mengetuk pintu apartemen Soonyoung sambil menenteng kantong kertas yang bertuliskan “Hotteok Bunga Matahari”. Tak lama, pintu terbuka.
“TUAN JIHOON?!” teriak seorang laki-laki, ia menjabat tangan Jihoon dengan heboh.
Jihoon diam tak bergeming, ia lumayan kaget ketika melihat Seokmin ada di hadapannya. Jihoon kenal betul sosok Seokmin mengingat dia adalah orang pertama yang menyapanya di Tissue Club.
“Tuan Seokmin? Ini betul apartemennya Tuan Soonyoung, kan?” tanya Jihoon. Tiba-tiba ia mulai ragu dengan siapa pemilik apartemen di seberangnya ini.
“Iya betul! Mari masuk!”
Seokmin memimpin Jihoon untuk masuk ke dalam apartemen dan Jihoon tambah kaget ketika ia melihat ada sosok familiar sedang duduk dengan gelisah sambil menatap layar televisi dengan seksama dan menggenggam erat pengontrol konsol permainan.
“Chan! Ada Tuan Jihoon!” kata Seokmin membuyarkan konsentrasi Lee Chan, si bungsu di Tissue Club.
“JIHOON-HYUNG?! GIMANA KEADAANNYA? SUDAH BAIKKAN?”
Chan sekonyong-konyong meninggalkan konsol permainan dan beranjak menghampiri Jihoon yang masih berdiri dengan canggung tidak jauh dari pintu apartemen. Ia meraba lengan, meremas kedua pipi, dan menyentuh dahi Jihoon lalu menyamakan suhu tubuh Jihoon dengan suhu tubuhnya sendiri.
“HEI KALIAN! JANGAN BEGITU, DONG!”
Dari kamar, menyembul kepala Soonyoung sambil terus berteriak menenangkan dua bocah kematian itu agar berhenti membuat Jihoon merasa tidak nyaman.
“Sorry, Hoon-ah. Gue nggak bilang ada mereka di sini,” kata Soonyoung. Ia akhirnya keluar dari kamar dengan kaos yang belum terpakai dengan sempurna. Baru selesai mandi sepertinya.
“Kalian lanjut main saja, gue ada urusan sama Jihoon,” lanjut Soonyoung memberi instruksi agar Seokmin dan Chan kembali ke urusannya masing-masing, mereka berdua mengangguk patuh.
“Oh, iya. Young.. terima kasih untuk bantuannya kemarin, maaf gue baru sempat bilang terima kasih secara langsung,” Jihoon melongok ke arah Chan dan Seokmin. “Chan.. terima kasih juga, ya.”
Jihoon membungkukkan badannya dan Chan membalas dengan senyuman serta lambaian tangan.
“Ini! Kebetulan tadi gue ketemu gerai hotteok,” Jihoon menyerahkan bungkusan hotteok yang masih hangat. Soonyoung menerimanya dengan senang hati.
“Lo mau ngobrol di sini atau di balkon? Atau.. mau ngobrol di apartemen lo?” tanya Soonyoung, ia ingat bahwa ada yang ingin Jihoon bicarakan hari ini.
“Di sini saja. Gue juga mau lihat mereka main,” ujar Jihoon sambil menunjuk ke arah Seokmin dan Chan yang sedang berjibaku dengan permainan.
“Memangnya nggak apa-apa kalau mereka dengar sesuatu yang mau lo obrolin dengan gue?” tanya Soonyoung memastikan.
“Nggak apa-apa. Lagi pula obrolan ini bukan tentang rahasia negara, kok,” imbuh Jihoon meyakinkan.
Seperti sedang bertemu dengan orang yang berbeda, sikap Jihoon cukup berbeda dengan kesan pertama Soonyoung saat bertemu Jihoon di Tissue Club maupun setelah beberapa kali ada kesempatan menemuinya belakangan ini. Jihoon jauh lebih santai dan terbuka.
Soonyoung mempersilahkan Jihoon untuk duduk di ruang tamu dan menyediakan sebotol minuman bersoda sembari terus meminta maaf sebab tidak ada yang bisa ia suguhkan selain minuman itu. Tanpa berbasa-basi, Jihoon membuka pembicaraan yang memang menjadi tujuannya mendatangi Soonyoung.
0 notes
Text
Tinggal di sini aja, boleh?
“Hyung, gue pulang, ya,” kata Mingyu sambil mengikat tali sepatunya.
“Terima kasih, Gyu. Maaf banget gue merepotkan terus,” ujar Jihoon penuh dengan penyesalan.
Mingyu berdiri dan berjalan ke arah Jihoon yang sedang bersandar di depan pintu kamar. Mingyu memperhatikan Jihoon dari atas hingga bawah, meneliti sahabatnya yang masih terlihat sakit itu, ada gurat khawatir yang tidak dibuat-buat di wajah Mingyu.
"Apa gue nginep lagi, ya? Atau pindah sekalian ke sini? Gue boleh tinggal di sini saja, gak?” tanyanya tiba-tiba.
Jihoon buru-buru menggelengkan kepalanya, ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Jihoon mengerahkan seluruh tenaganya untuk menolak meskipun ia baru saja mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Mingyu.
“Yah, kenapa?” tanya Mingyu memelas.
Jihoon hanya menjawab dengan gelengan kepala, ia tahu Mingyu sangat mengkhawatirkannya, namun akan jadi lebih merepotkan jika ia mengizinkan Mingyu tinggal lebih lama di apartemennya. Mingyu memiliki kehidupannya sendiri, selalu berada di dekat Jihoon bukanlah kewajibannya.
Tidak berapa lama, Mingyu berkacak pinggang. “Gue tahu lo bukan orang yang mudah membuat keputusan apalagi mengubahnya. Apapun itu, gue dukung. Tapi tolong diingat, jangan terlalu sering mengorbankan diri sendiri.”
Mingyu membereskan tasnya dan sudah bersiap untuk pergi. “Kalau ada apa-apa, tolong langsung kabari!”
0 notes
Text
Kepalanya yang ramai.
Kemarin malam tepat pukul 10, dokter akhirnya mengizinkan Jihoon untuk pulang. Mereka berdua pulang menggunakan mobil milik Jihoon yang tadi di bawa oleh Mingyu saat menuju rumah sakit. Sementara itu, Soonyoung sudah pulang 15 menit lebih awal setelah memastikan Jihoon sudah dalam keadaan baik-baik saja karena ada pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan.
“Terima kasih, Gyu,” kata Jihoon.
Ini sudah yang ke tiga belas kali Jihoon mengucapkan terima kasih, Mingyu diam-diam menghitungnya dalam hati.
“Lo sudah bilang terima kasih tiga belas kali sejak kita pulang dari rumah sakit loh.”
Mingyu menoleh dan memperhatikan Jihoon yang tertunduk lesu, ia tahu sahabatnya ini adalah orang yang sangat mudah kecewa dengan diri sendiri.
“Gue nggak merasa direpotkan sama lo. Gue nggak merasa capek, gue nggak merasa terbebani. Jadi, sebaiknya lo berhenti bilang terima kasih dan tidur saja. Nanti gue bangunin kalau sudah sampai.”
Jihoon menanggapi ucapan Mingyu dengan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, ia membuka jendela mobil dan diam saja sambil memandangi lampu kota.
“Gyu.. untuk biaya pengobatan ibu Jaehyuk, gue mau ambil kredit pinjaman dengan jaminan rumah itu ke bank,” ujar Jihoon seraya menutup kembali jendela mobil karena cuaca malam sangat dingin, kepalanya jadi tambah pusing.
Mingyu tidak begitu kaget, ia sudah mendengar ini dari Soonyoung saat di rumah sakit.
“Kalau rumah itu gue jual, mereka harus pindah ke pinggiran kota. Kasihan. Mobilitas mereka jadi jauh untuk pengobatan,” Jihoon mengutarakan pikirannya.
Mingyu kelihatan sangat frustasi.
“Pertama, ayah lo udah ninggalin lo sejak bayi, lo berhak atas rumah itu. Kedua, nggak masuk di logika gue kenapa lo malah memilih untuk membiayai hidup istri dan anaknya yang selama ini mereka sudah hidup dengan damai dan tenang. Sekarang? Lo malah jadi terkesan bertanggung jawab untuk hidup mereka setelah apa yang sudah ayah lo perbuat?” tandas Mingyu sebal.
Alih-alih menimpali, Jihoon memilih untuk diam. Ia menutup mata karena tubuhnya masih terasa sangat sakit. Dalam hati, ia tidak menyangkal sekalipun pendapat Mingyu.
0 notes
Text
Dunianya sibuk.
Mereka kini sudah berada di area taman rumah sakit untuk mencari udara segar sebab ruangan di rumah sakit terasa sangat menyesakkan. Mingyu menggenggam gelas kopinya erat. Udara malam ini dingin sekali.
“Hyung, lo pulang duluan saja.”
“Gue tunggu sampai Jihoon bangun,” jawab Soonyoung singkat.
Mingyu merasa tidak enak karena merasa sudah merepotkan Soonyoung. Meskipun dirinya sudah lumayan lama mengenal Soonyoung, namun hubungan mereka tidak bisa dibilang dekat hingga mengharuskan Soonyoung ikut terlibat dalam urusan hidupnya.
“Tadi Jihoon nanya gue soal kredit pinjaman dengan agunan rumah, bahkan di mobil pun masih bahas hal yang sama. Dia bilang, takut terlambat.”
Soonyoung menyeruput kopinya yang sudah tidak panas lagi.
“Kata dokter, salah satu penyebab sakitnya adalah karena stress. Isi kepalanya lagi ramai banget kayaknya, ya, Gyu?”
Mingyu menghela napasnya dalam, ia meneguk kopinya sampai habis lalu meremas gelas yang sudah kosong dan berhasil memasukkannya ke tong sampah yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk dengan satu kali lemparan tanpa aba-aba.
“Dunianya sibuk, kepalanya ramai, kedua kakinya sudah nggak begitu kokoh, jiwanya dilumat banyak luka,” kata Mingyu.
Soonyoung diam saja, sedikit banyak ia mengerti.
“Jihoon-hyung sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya sendiri, tapi, Hyung.. gue berharap kalian bisa berteman dengan baik,” lanjut Mingyu dengan penuh maksud.
0 notes
Text
Terima kasih.
Terdengar suara langkah kaki yang sibuk dan berisik dari luar bilik, Soonyoung seperti memiliki telepati, ia mengenali suara itu dan keluar dari bilik. Soonyoung melihat Mingyu sudah berada di tengah ruangan sambil celingukan.
“HYUNG!” teriak Mingyu ketika matanya menemukan Soonyoung yang berdiri di depannya.
“Barusan dokter cek kondisinya. Kata dokter, demamnya sudah mulai turun. Kita tunggu satu jam lagi, kalau sudah mencapai suhu normal, diperbolehkan untuk pulang.”
Soonyoung menoleh ke arah Mingyu yang masih memperhatikan Jihoon di atas ranjang. Wajah cemasnya tidak bisa ditutupi, pelipisnya basah dengan keringat, bisa ditebak kalau laki-laki ini sudah bergerak dengan tergesa-gesa.
“Hyung, terima kasih banyak,” kata Mingyu pelan, lalu menepuk bahu Soonyoung.
0 notes
Text
Bagaimana?
Ponsel Soonyoung berdering, ia merogoh ponselnya dan terlihat ada belasan panggilan masuk dari kontak yang bernama Kim Ming-you (former Kim-ssi) yang tidak sempat Soonyoung angkat.
Soonyoung bergegas keluar dari bilik ruangan, khawatir akan membangunkan Jihoon karena mendengar suara ponsel dan suaranya sendiri. Ia menjawab panggilan telepon, ia dapat menduga bahwa Mingyu pasti sedang menanti kabarnya dengan cemas di apartemen.
“DI MANA? HYUNG DI MANA? JIHOON-HYUNG GIMANA?!”
Belum sempat Soonyoung mengucap salam pembuka, ia sudah diberondong dengan banyak pertanyaan.
“Soonchunhyang University Seoul Hospital,” jawab Soonyoung mencoba untuk tetap tenang.
“Jihoon-hyung gimana?”
Soonyoung dapat merasakan kecemasan yang lekat dan kuat dari suara Mingyu di seberang telepon.
“Sudah di tangani dokter, katanya masih menunggu observasi beberapa jam ke depan. Kalau kondisinya membaik, diperbolehkan pulang malam ini.”
“Oke. Gue jalan sekarang.”
Klik. Panggilan telepon terputus.
0 notes
Text
Kamu juga perlu diobati.
Ruang gawat darurat nampak sibuk sekali, ada banyak petugas medis yang berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak semua manusia mengerti.
Sementara itu, di sisi yang lain, Soonyoung mondar-mandir gelisah, menunggu dokter yang memeriksa Jihoon keluar dan memberikan kepastian mengenai keadaan tetangga barunya itu. Ia terus menggigit ujung jemarinya karena gugup dan cemas.
Tirai masih tertutup, kegundahan Soonyoung meletup-letup. Hingga akhirnya, seorang dokter yang sepertinya sudah mencapai usia setengah abad keluar dari bilik pemeriksaan, wajahnya bijaksana dan terlihat sangat berpengalaman dalam hal mengobati kesakitan manusia di muka bumi.
“Apakah Anda adalah wali dari Tuan Lee?” tanya dokter sambil membetulkan posisi kaca matanya.
“Iya, dok. Saya temannya,” jawab Soonyoung segera.
“Pasien saat ini sudah ditangani. Setelah melalui beberapa tahap pemeriksaan, Tuan Lee menderita gastroesophageal reflux disertai dengan demam tinggi. Singkatnya, pasien mengalami masalah pada sistem pencernaan yang bisa disebabkan oleh pola makan tidak sehat, istirahat yang tidak cukup, atau disebabkan oleh stress berat. Pasien kesulitan bernapas dan saturasi oksigennya cukup rendah, jadi kami pasangkan selang oksigen. Kita observasi terlebih dahulu dalam beberapa jam ke depan, jika kondisinya membaik dan demamnya turun, Tuan Lee diperbolehkan untuk pulang malam ini. Anda tidak perlu khawatir.”
Soonyoung mengangguk-angguk saja. Meskipun dokter mengatakan padanya untuk tidak khawatir, nyatanya rasa cemas itu tetap tidak hilang.
Setelah dokter pergi meninggalkannya, Soonyoung menghampiri Jihoon yang tertidur di atas ranjang emergency room, wajahnya nampak lelah.
Tidak berapa lama kemudian, dokter yang sama kembali datang menghampiri Soonyoung.
“Ini! Plester untuk luka di jemari Anda,” kata sang dokter sambil menunjuk jemari-jemari Soonyoung yang sudah berdarah di beberapa bagian.
Entah sejak kapan kebiasaan ini datang, Soonyoung selalu mengigit dan mengelupaskan kulit jemarinya setiap kali ia sedang mengalami kecemasan.
“Terima kasih,” Soonyoung membungkukkan tubuhnya dengan kikuk.
“Sama-sama. Anda tidak perlu cemas dan khawatir, Tuan. Teman Anda pasti baik-baik saja,” balas dokter sambil menepuk bahu Soonyoung, bermaksud untuk menenangkannya.
0 notes
Text
Takut terlambat.
Soonyoung bersusah payah memapah Jihoon yang semakin lama bobot tubuhnya terasa semakin berat karena kesadarannya terus menurun.
Lift apartemen turun dengan sangat lambat, Soonyoung kewalahan mengatasi keadaan ini. Ia merasakan suhu tubuh Jihoon semakin panas dan sudah dibasahi oleh keringat. Soonyoung berdecak kesal saat pintu lift terbuka di lantai 13, di hadapannya masuk seseorang yang ia kenali.
“Chan! Bantuin gue!” seru Soonyoung tanpa ragu.
“HYUNG? ADA APA? INI SIAPA? KENAPA?” kata Chan, hampir berteriak. Ia kemudian melihat wajah orang yang sedang dipapah oleh Soonyoung.
“Oh? Ini siapa?” tanya Chan masih kebingungan.
Soonyoung tidak menjawab. Ia terus memencet tombol lift dengan tidak sabar sebab pintunya tidak juga tertutup.
Biar pun Chan penasaran setengah mati, ia tetap dengan sigap membantu Soonyoung sambil berusaha keras mengingat siapa laki-laki yang sedang sekarat ini karena wajahnya nampak tidak asing.
“Jihoon-hyung? Di-dia kenapa?”
“Nanti gue ceritain,” imbuh Soonyoung.
────୨ৎ────
Setelah berhasil membantu Jihoon duduk di kursi penumpang mobilnya, Soonyoung menitipkan pesan kepada Chan agar segara menuju apartemen di seberang apartemen miliknya karena ia baru ingat, pintu apartemen Jihoon masih dalam keadaan terbuka dan terganjal karton susu yang ia temukan sembarang di koridor apartemen.
“Kalau bisa stay di sana sampai Kim Mingyu datang, beri tahu dia kalau gue dan Jihoon ke rumah sakit,” tambah Soonyoung.
“Kim Mingyu?” tanya Chan, lagi-lagi ia merasa seperti sungguh mengetahui sesuatu, namun tidak mengetahuinya juga dalam satu waktu.
“Iya Kim Mingyu, konselor Tissue Club. Gue jalan, ya!”
“Kok bisa?”
Belum sempat Chan mendapatkan jawaban, Soonyoung sudah menancap gas mobilnya dan pergi meninggalkan Chan yang ditakdirkan hidup dengan banyak sekali tanda tanya.
“HATI-HATI!”
────୨ৎ────
Dalam perjalanannya menuju rumah sakit, Soonyoung sangat gelisah. Sesekali ia mengklakson apapun yang menghalangi laju mobilnya dan beberapa kali melihat keadaan Jihoon.
“Soonyoung..” tiba-tiba Jihoon membuka suara, sementara itu matanya masih tertutup.
“Ya? Apa?” tanya Soonyoung mendesak. Kecemasan membuatnya bertingkah tersera-sera dengan apapun itu.
“Nanti.. tolong bantu gue..”
“Bantu apa?”
“Urus kredit pinjaman..”
“Gila! Dikondisi kayak gini lo masih mikirin kredit pinjaman?!”
Jihoon tertawa kecil, “Gue takut terlambat.”
0 notes