#SarikatDagangIslam
Explore tagged Tumblr posts
Text
Sang Pemula
Bedah buku "Sang Pemula" karya Pramoedya Ananta Toer oleh Nobi Asshofa Zen, alumni Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Kalimat ini terdapat pada akhir bab "babak akhir" buku yang berjudul "Sang Pemula". Kalimat ini seperti tantangan bagi penulis untuk mencari tahu lebih dalam mengenai sosok yang dibahas Pramoedya Ananta Toer dalam buku ini. Sosok tersebut adalah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora pada tahun 1880. Saat kecil, Tirto dipanggil dengan nama Djokomono. Tirto adalah cucu dari R.M.T Tirtonoto, Bupati Bojonegoro saat itu, dan anak dari R. Ng. Moe Hadjihammad Chan Tirtodhipoero, pegawai kantor Pajak (collectoer). Darah bangsawan yang mengalir dalam Tirto tidak membuat ia menyukai pangkat dan kasta yang disandang. Sang nenek, Raden Ayu Tirtonoto pernah mengubur hadiah dari pihak Belanda, bahkan pernah berwasiat bahwa anak cucunya tidak akan meminta apapun ke Belanda. Hal-hal tersebut yang mungkin membentuk Tirto punya sifat oposisi sejak kecil.
Begitu lulus sekolah dasar Belanda, Tirto masuk ke sekolah dokter STOVIA di Betawi pada umur 13/14 tahun. Saat bersekolah, ia dengan cepat menyerap dialek Melayu-Betawi dan menggunakannya pada tulisan yang ia sebar ke berbagai surat kabar seperti Chabar Hindia Olanda, Pembrita Betawi, dan Pewarta Priangan.
Setelah dikeluarkan oleh STOVIA, Tirto, pada usianya sekitar 20 tahun, diangkat menjadi redaktur Pembrita Betawi. Secara cepat, ia diangkat menjadi redaktur-kepala lalu penanggungjawab di surat kabar tersebut. Saat itu, Tirto berkawan baik dengan pemimpin Nieuws van den Dag, Karel Wijbrands. Tirto belajar "menghantam" aparat pemerintah melalui tulisan dari Wijbrands. Dari situlah, Tirto mulai membongkar ulah para pejabat Belanda maupun lokal. Nama Tirto menanjak ketika menulis skandal Residen Madiun, J.J. Donner yang bersengkokol untuk menjatuhkan Bupati Madiun, Brotodiningrat. Tirto langsung dipanggil polisi saat itu. Akhirnya, putusan hukum terhadap Brotodiningrat dianggap keliru. Ini adalah pertama kalinya pers digunakan untuk memperjuangkan hak dan keadilan di tanah Hindia. Terlebih yang dilawan saat itu adalah pejabat tinggi Belanda.
Setelah mengalami kegagalan bertunangan dengan seorang anak bangsawan, Tirto menikah dengan seorang dari kalangan menengah. Ia menjual semua miliknya dan membawa istrinya ke desa Pasircabe, tidak jauh dari Bandung. Di sanalah ia justru mampu mengorganisasikan penduduk untuk meningkatkan taraf ekonomi dan pendidikan di desa tersebut. Bahkan, ia menerbitkan Soenda Berita pada Februari 1903 di desa Pasircabe. Namun kurangnya kemampuan dalam mengatur keuangan, surat kabar ini harus dijual. Selanjutnya, tanpa alasan yang jelas, Tirto mengadakan perjalanan ke Bacan, Maluku. Selama dua tahun di sana, ia menikah dengan saudari sultan Bacan saat itu bernama Fatimah dan menerbitkan karya fiksi berjudul Seitang Kuning.
Sekembalinya dari Maluku, pada Januari 1907, Tirto menerbitkan surat kabar Medan Prijaji di Betawi. Untuk mendukung surat kabarnya, bersama dengan H.M. Arsad dan Pangeran Oesman, ia mendirikan NV Medan Prijaji yang menjalankan perniagaan dengan pulau-pulau di luar Jawa-Madura. Ini adalah pertama kalinya perusahaan pribumi berbadan hukum "NV".
Pada tahun 1908, Tirto memenangi perkara terhadap Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon, yang terbongkar skandalnya dalam pengangkatan lurah. Kemenangan ini tidak lepas dari campur tangan Gubernur Jenderal Van Heutsz. Hal ini membuatnya melebarkan sayapnya dengan menerbitkan Poetri Hindia, Soeara B.O.W. (Departemen Pekerjaan Umum), Soeara S.S. (Perusahaan Kereta Api Negara), dan Soeara Pegadaian. Poetri Hindia tercatat sebagai surat kabar pribumi pertama untuk perempuan. Redaktur surat kabar ini terdiri dari hampir seluruhnya perempuan. Surat kabar ini bahkan mendapat apresiasi dari Ratu Wilhelmina, ratu Belanda saat itu.
Selepas masa jabatan Heutsz habis, kasusnya dengan A. Simon dilanjutkan. Pengadilan menjatuhkan pembuangan Tirto ke Lampung selama dua bulan. Saat pembuangan, Tirto mengirimkan tulisannya mengenai penganiayaan dan pemerasan oleh para pejabat.
Sekembalinya ke pulau Jawa, Tirto langsung disambut dengan surat-surat permohonan bantuan hukum dari berbagai daerah. Selain itu, ia membenahi NV Medan Prijaji yang tidak berkembang. Di tangannya, Tirto mampu membeli sebuah rumah yang diubah menjadi hotel di Betawi. Rinkes sebagai Adjunct Penasihat Urusan Pribumi mulai mengadakan penyelidikan pada Tirto. Menurut Rinkes, tahun 1909-1911 adalah masa jaya Medan Prijaji. Namun akibat berkurangnya penjualan dan perginya para pemasang iklan, Medan Prijaji dinyatakan pailit pada 22 Agustus 1912. Hal ini diduga karena berbagai tulisan Medan Prijaji yang menyerang pejabat Belanda dan pribumi. Pada 17 Desember 1912, Tirto dijatuhi hukuman buang akibat tuduhan memfitnah Bupati dan Patih Rembang. Selain itu, Tirto mempunyai hutang yang tidak mampu ia bayarkan. Mentalnya yang jatuh membuatnya berkhianat dengan menyebut sumber informasi pada kasus Bupati Rembang. Pada akhir 1913, Tirto dibuang ke Ambon selama 6 bulan. Sekembalinya dari sana, hidupnya semakin tidak jelas. Tirto mencoba mengurus hotel sampai akhir hayatnya pada 7 Desember 1918.
Selain menjadi pelopor dalam dunia jurnalisme, Tirto juga menjadi salah satu orang yang mempelopori pergerakan nasional. Pada 1906, Tirto mendirikan Sarikat Priyayi yang ditujukan sebagai studie fonds bagi para anak priyayi. Namun organisasi ini tidak berjalan lama karena donasi tidak berjalan dengan lancar. Selanjutnya, ia mendirikan Sarikat Dagang Islamiah pada 5 April 1909 di Buitenzorg (Bogor). Sarikat Dagang Islamiah (SDI) mendapatkan dukungan dari pedagang Arab dan Melayu. Dalam waktu singkat, terdapat permintaan pertemuan untuk menjelaskan organisasi dari Betawi, Bondowoso, Sukabumi, Surabaya, dan Ciamis. Selama setahun masa berjalan, SDI tidak mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum. Tirto mengklaim bahwa SDI mempunyai anggota sebanyak 20.000 orang. Menanggapi menggeliatnya pedagang Tionghoa saat itu, Tirto mengakui sulitnya menyaingi pemodalan mereka namun menyatakan sama-sama bersaing untuk mencari makan, jangan sampai timbul perselisihan.
Catatan:
Terkait sejarah SDI memang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Mulai dari yang manakah yg lebih berperan antara SDI dengan Budi Utomo, tahun kelahiran dan pendiri (yang dibahas dalam buku ini). Penulisan sejarah sejauh ini menyatakan H. Samanhoedi sebagai pendirinya di Surakarta. Namun bukti-bukti di buku ini mencoba menyatakan bahwa Tirto lah yang menjadi pendirinya. Rinkes menjadi tertuduh yang mengatur jalan cerita sejarah. Rinkes dianggap mengurangi peran Tirto dalam pergerakan nasional. Rinkes pula yang dianggap mengadu domba pedagang pribumi dengan pedagang Tionghoa pada kerusuhan-kerusuhan rasial terkait perdagangan batik khususnya di Surakarta. SDI Surakarta, yang membesar karena banyaknya pemilik modal, diatur sebagai pendiri oleh Rinkes. Hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut karena terkesan mendeskreditkan Samanhoedi dan SDI.
5 notes
·
View notes