#Rosa Bertens
Explore tagged Tumblr posts
genevieveetguy · 3 years ago
Photo
Tumblr media
The Erl King (Le roi des aulnes), Marie-Louise Iribe (1930)
11 notes · View notes
60b3r · 3 years ago
Text
Buku; Kini, Dulu, dan Nanti #1: Pelayaran Perdana Sang Kutu Buku
Hari itu hari Sabtu tanggal lima. Aku menggenjot motor gaul milik adikku (karena motorku udah laku bulan Februari lalu) ke Pasar Buku Wilis, kumpulan toko buku yang sejak setahun lalu merana karena Corona. Dari 68 bedak yang ada, mungkin hanya tersisa separuhnya saja yang buka. Para pedagang disana tampak suntuk, ngantuk, atau keduanya. Hawa panas tetap tidak bisa menghilangkan bau khas buku-buku lawas yang kena lembab dan habis dikencingi tikus. Sesampai disana, aku berbelok menuju pojokan pasar dan menemui Mas Aan, seorang pedagang yang banyak koleksi bukunya tentang filsafat politik fresh dari sebuah penerbit indie dan fotokopian karya-karya Plato yang berantakan belum dijilid. Sambil meneliti bagian rak yang dipenuhi teknik iqro', tafsir Quran, ilmu fiqh, dan satu buku teologi kekristenan yang tampaknya nyasar, aku bertanya padanya: "Ada buku filsafat, tapi yang berbahasa Inggris?"
Seluruh pasar bergejolak. Setiap ibu-ibu yang tadinya hanya santai-santai menonton drama televisi siang yang membosankan dan bapak-bapak yang tampak tidur-tiduran sambil menyedot dalam-dalam rokok yang tinggal dua sentimeter itu langsung meloncat dari posisi wenaknya masing-masing untuk mengobok-obok gudangnya di rak-rak atas. "Kalo buku filsafat ya banyak mas, tapi bahasa Indonesia. Iki sampean request-e aneh-aneh sih." ujar Pak Mayor, dari lapak sebelah. Mas Aan mengeluarkan setumpuk buku-buku dengan hardcover butut dan kertas yang sudah menguning. Tertulis di bagian spine buku, Friedrich Engels, dan yang satunya, Rosa Luxemburg. Setelah kubalik-balik halaman lapuk buku lawas itu, bisa kupastikan itu berbahasa Belanda atau Jerman. Aku keluar dan menanyakan hal yang kurang lebih sama ke hampir setiap lapak dari ujung barat sampai ujung timur: "Ada buku non-fiksi berbahasa Inggris?" dan "Apa aja boleh asal jangan novel."
Saya tahu bahwa pedagang buku bekas sangat malas menyimpan buku-buku berbahasa Inggris. Kebanyakan bakalan dikilo setelah berbulan-bulan menumpuk dan dimakan kecoak atau rayap. Habis, jarang sekali yang mencari buku-buku seperti itu disana. Kebanyakan yang mereka jual adalah textbook bekas atau komik serial, suatu komoditas yang paling cepat perputarannya di kalangan perbukuan duniawi. Dari kejauhan seorang ibu berteriak "Mas, coba lihat koleksi saya!" sambil melambai-lambaikan sebuah buku tebal yang setelah kudekati tampak seperti Sobotta's Atlas of Human Anatomy versi puluhan tahun yang lalu. Bu Tino menjelaskan padaku kalau mau cari buku Inggris, aku tinggal masuk dan ndangak. Hampir semua buku-buku bahasa Inggris yang kutemui adalah buku-buku keteknikan seperti Bejan's Advanced Thermodynamics (1988) dan buku akuntansi seperti Carmichael's Accountants Handbook (1981). Kalaupun ada buku-buku lain yang ditawarkan oleh lapak-lapak yang tidak saya masuki, biasanya novel-novel Sherlock Holmes atau buku-buku kedokteran berbahasa Jerman. Mereka ini memang ahlinya buku sekolah, tapi kalau buku bahasa Inggris (dan asing non-Inggris) mereka tidak tahu menahu apa yang mereka tawarkan.
Seorang kakek bertopi newsboy dan bercelana suspended yang berada di tengah pasar membuka ikatan dua tumpuk buku berbahasa Inggrisnya (juga bercampur dengan beberapa novel klasik Italia yang bukan Il Principe-nya Machiavelli maupun Divina Commedia-nya Alighieri). Dia menyodorkan buku-bukunya sambil bertanya-tanya ini buku apa saja, sehingga ia bisa menjualnya kepadaku. Sayang, aku hanya tertarik dengan The God Delusion terbitan tahun 2006, meski dia tawarkan dengan harga yang terlalu mahal (60 ribu rupiah) untuk kondisi buku yang sudah lepas-lepas jilidannya. Namun aku terus membantu menyortir koleksinya, dari buku panduan ibu menyusui terbitan Kanada hingga buku berjudul Principles of Transistor Circuits yang terbitnya 10 tahun sebelum manusia menjejakkan kakinya di Bulan. Feeling old, yet? Kutinggalkan tumpukan bukunya dan membayar 30 ribu rupiah untuk bukunya Dawkins yang paling laku itu. Anggaplah diskon karena sudah membantunya menyortir buku, ya.
Di pojokan, seorang ibu-ibu berjilbab miring yang sedang marah-marah dengan suaminya yang cebol menghentikan ekspresi jeleknya ketika saya bilang ingin melihat seluruh koleksi Kees Bertens yang dia miliki. Setelah mengobrak-abrik gudang yang sempit dan bertebar jamur itu, dia menyodorkan dua fotokopian Etika Bisnis dan Pengantar Etika. Keduanya masih dibungkus ala kadarnya dan gambar kovernya menunjukkan usaha pembajakan yang kurang berhasil. Aku kembali meletakkan buku itu di depan meja kasir dan mengucapkan terima kasih kepada bapak kerdil yang memberikan senyuman terpaksanya, kemudian berlalu dari konflik rumah tangga mereka yang kembali berlanjut dengan heboh.
Tak lama kemudian, Puspa mentoel-toel pundakku dan menunjukkan komik Asterix yang dia beli dengan harga 10 ribu saja. Ya, sudah lama ada rencana untuk berburu buku bekas dengan Puspa, tetapi memang dasar selera buku yang berbeda, maka setiap pertemuan kami diwarnai dengan percekcokan tak sengit antara mana yang lebih keren, buku fiksi penuh drama yang dibacanya itu, atau buku non-fiksi pengantar tidur siang membosankan yang sering kubeli dengan harga mahal tapi jarang dibaca. Pada akhirnya kita ketemu jalan tengah: aku akan merangkum secara singkat buku-buku non-fiksi yang kubaca, dan dia mendongengkan novel-novel asyiknya yang ternyata bagus juga.
Puspa menemaniku mencari buku kedua yang sudah kuincar, karangan guru favoritku saat S2: Bioetika oleh Romo Kus. Sebenarnya saya sudah selesai sih belajar mata kuliah itu, hanya saja buku ini mungkin akan berguna ketika saya ingin melanjutkan diskusi-diskusi beliau terhadap pandangan utilitarianisme saya yang bertolak belakang dengannya yang termasuk Kant fanboy. Selain itu, aku berencana untuk mengembangkan ilmu bioetika di bumi Indonesia yang masih sangat kental dengan etika kedokteran ketimbang sebagai ilmu transdisiplin yang luas. Meskipun usaha orang tua digampar habis dengan pandemi selama hampir dua tahun, aku merasa masih beruntung dapat berkuliah master dengan uang hasil tabungan yang kukumpulkan sendiri selama menempuh sarjana, dan berhasil menghemat uang kos setahun melalui kuliah online. Yah, meskipun memang harus menjual motor Supra-X kesayangan dan uangnya aku buat bayar uang kuliah semester 2 lalu.
Aku kemudian kembali mengarungi samudera ilmu pengetahuan yang bau pesing dan penuh spora di beberapa lapak penyedia buku bekas, dengan sesekali lontaran pertanyaan klasik yang selalu saya dapat dimanapun, kapanpun, dan dari siapapun warga lokal setempat: "Masnya asli mana?" dan "Lha, Cino kok iso ngomong boso Jowo?". Age old question. Cerita-cerita seperti ini kutulis di timeline, kupakai seperti diary saat kuliah S1 dulu (sekarang nggak pake LINE). Yah memang tampang default ini masih belum lepas dari strereotipe ke-Tionghoa-an yang dikira sebagian besar orang kaya, privileged, dan sombong. Aku tahu mereka tidak melakukannya karena rasis, kok. Mereka hanya kurang paparan terhadap Cina-cina nyeleneh kayak aku. Karena takut dianggap menyinggung, mereka sih bilangnya aku kayak orang Jepang atau Korea, dan menduga Puspa adalah mistress-ku. Padahal kami hanyalah sepasang penggemar buku dari dua dunia yang berbeda, namun sama-sama suka satu hal: sambat. Pertemanan kami hanyalah sekedar sambat dan mesum, dan sesekali ngomongin buku yang nggak pernah ketemu.
Yah, memang jarang seorang Cina belanja buku bekas di Pasar Buku Wilis. Lebih jarang lagi seseorang cari buku filsafat yang berbahasa Inggris di sana, sampai menghebohkan seisi pasar. Yang pasti, perjalanan setengah hari di Wilis itu berhasil menyulut sebuah perenungan lama setelah beberapa bulan tidak membaca, membeli, maupun menulis sebuah karya tulisan: bahwa sebuah karya mungkin dapat dikatakan bagus ketika mulai banyak orang yang 'membajaknya'. Tentu saja dari kacamata (dan kenaifan) seorang mantan guru dan mantan aktivis kiri, manurut saya hal itu bukan bermaksud tidak menghargai, melainkan karena orang-orang berpendapat mereka harus menyebarkan karya bagus itu seluas-luasnya kepada masyarakat dengan biaya yang lebih murah atau bahkan gratis. Kemudian langsung sore itu juga, aku bersama Puspa berlalu menuju Pasar Buku Velodrome, yang terus disebut-sebut olehnya ketika kita bersama ngobrolin buku bekas untuk dijual ulang secara online. Temukan episode kedua serial Buku; Dulu, Kini, dan Nanti disini.
2 notes · View notes
lvst · 7 years ago
Link
0 notes