#Perkumpulan Guru Agama Buddha Indonesia
Explore tagged Tumblr posts
Text
Wasiman Dipilih Sebagai Ketua PERGABI Provinsi Banten
TANGSEL – Musyawarah Daerah 1 Perkumpulan Guru Agama Buddha Indonesia (PERGABI) memutuskan memilih Wasiman sebagai Ketua PERGABI Provinsi Banten untuk periode kepemimpinan 2024-2027. Kegiatan musyawarah berlangsung Minggu, 24 Maret 2024 di Hotel Starlet BSD Tangerang Banten. Kehadiran Ketua Umum PERGABI Sukiman dan jajaran pengurus pusat, diharapkan memberikan dorongan moral dan komitmen…
View On WordPress
0 notes
Text
Gubsu dan Kapoldasu Hadiri Perayaan Waisak
Medan (SIB) -Gubsu Ir HT Erry Nuradi MSi pada perayaan Waisak 2561 BE tahun 2017 di CBD Polonia mengingatkan, dijajah selama 350 tahun adalah pengalaman sangat pahit, karena Indonesia bangsa yang besar, memiliki 17.000 lebih pulau, 700 lebih suku dan beragam agama, tapi dijajah bangsa yang kecil. Itu terjadi karena bangsa Indonesia waktu itu bisa dipecah belah lewat politik adu domba (devide et impera) oleh penjajah. Itu harus jadi pengalaman berharga agar tidak terulang. Jangan mau diadu domba, nanti kita bisa terkotak-kotak dan menjadi negara kecil yang gampang dijajah kembali. Semboyan founding father kita Ir Soekarno dengan Bhineka Tunggal Ika sangat brilian, kita berbeda-beda tapi tetap satu," ucapnya di hadapan ratusan umat Buddha Kota Medan yang merayakan Waisak yang diselenggarakan Perkumpulan Sinar Buddha Indonesia (BLIA), Kamis (11/5) di Vihara Sinar Buddha. Belakangan ini, kata Gubsu, Indonesia sudah masuk negara G 20, yakni 20 besar dunia yang tingkat pertumbuhan ekonomi negaranya maju dari 190 negara di dunia. Karenanya, sekarang Indonesia sudah menjadi negara yang diperhitungkan dunia. Kalau warga negaranya terus bersatu, tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk 6 besar dunia. "Syarat utamanya adalah bagaimana kita bergandengan tangan walaupun kita berbeda suku, agama dan ras, tapi kita satu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Keberagaman suku ada di seluruh Propinsi termasuk di Sumut. Itu makanya pendiri bangsa kita berupaya keharmonisan di dalam kemajemukan bisa terjaga dengan baik," terangnya. Di era kemajuan sekarang ini, kata Gubsu, membuat berita-berirta darimana saja cepat masuk ke setiap orang, apakah itu berita positif maupun hoax. Tapi umat manusia diberikan Tuhan akal dan fikiran yang sehat. "Makanya kita harus mengandalkan akal dan pikiran yang sehat untuk menghalau berita-berita adu domba dan hoax. Mari kita gunakan akal pikiran yang diberikan Tuhan kepada kita untuk menilai berita yang masuk," tuturnya. Ajaran Sang Buddha kata Erry Nuradi sangat luar biasa dan mulia karena mengajarkan berpikir positif. Untuk itu dia berpesan lagi agar masyarakat jangan ada lagi yang saling menyalahkan dan main hakim sendiri, karena sudah ada aparat penegak hukum. "Kita akui manusia tidak ada yang sempurna, tapi marilah kita minimalkan pemikiran-pemikiran yang negatif pada diri kita," ajaknya. Kapoldasu Irjen Pol Dr H Rycko Amelza Dahniel mengapresiasi thema perayaan Waisak 2561 yang dilaksanakan BLIA Sumut bertajuk: "Cinta Kasih penjaga Kebhinekaan". Dikatakannya, yang bisa mempersatukan kebhinekaan adalah cinta kasih, karena itulah yang bisa jadi perekat kehidupan. Cinta kasih, kata Kapoldasu tidak melihat perbedaan atau latar belakang agama, suku bangsa dan bahasa. "Ada makhluk yang tidak bisa bicara tapi memiliki cinta kasih, ada manusia dengan berbeda bahasa juga memiliki cinta kasih. Apalagi saya dan saudara, bukan satu suku dan agama, tapi kita bisa bersama-sama merayakan Hari Raya Waisak di sini, karena kita sudah menjadi satu bangsa dan cinta kasih bangsa Indonesia. Maka banggalah kita menjadi bangsa Indonesia yang berbeda-beda suku, agama, warna kulit, bahasa, ibarat satu mozaik yang indah yaitu mozaik NKRI," tutur lulusan terbaik Akpol tahun 1988 ini. Anggota DPRD Sumut Brilian Mochtar merasa bangga perayaan Waisak tahun ini dihadiri Gubsu dan Kapoldasu. Bahkan Kapoldasu sangat intens dengan Kamtibmas dengan tetap melaksanakan operasi Lilin Toba sampai Waisak. Perayaan Waisak, kata politisi PDI Perjuangan ini diawali dengan kebaktian, penyalaan lilin, pembacaan Kitab Tripitaka, ceramah, pemandian Rapung Buddha dan diakhiri acara umum bersama Gubsu dan Kapoldasu. Ketua Perkumpulan BLIA Anthony Ho mengatakan, setiap tahun BLIA merayakan Hari Raya Waisak dengan berbagai kegiatan. Khusus tahun ini dirayakan di Vihara Sinar Buddha yang baru diresmikan. Umat Buddha, kata dia, mendoakan agar bangsa Indonesia makin makmur, sejahtera, saling toleransi antar umat beragama dan tetap menjaga NKRI. Turut hadir Ketua Umum WALUBI Sumut Dr Indra Wahidin, Pebimas Buddha Kanwil Kementerian Agama Sumut I Ketut Supardi Sag MSi, pengusaha Drs Beni Basri, Guru pembimbing BLIA Bhisuni Cong Ru, Ketua DPC PDIP Medan yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan Hasyim SE dan tokoh-tokoh lainnya. (A10/q) http://dlvr.it/P73mdf
0 notes
Photo
Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita Pelopor Kebangkitan Agama Buddha Di Indonesia Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1923. Beliau menyelesaikan sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya. Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya. Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran. Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan. Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat, belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran. Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide brelian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai meyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia. Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang sramanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang). Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Sramanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang sramanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang Bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya. Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi Bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia. Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang Bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya. Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia. Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri. Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsepp Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini. Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha", ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama. Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia. Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Sebagai seorang Bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services. Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap ‘mengajarkan’ kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari. Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia. – View on Path.
0 notes