Cerita Rumah Selaras dengan Olymplast
Photo by Elle Hughes on Pexels.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.
― Joko Pinurbo, Kepada Cium
Syair puisi di atas persis ditulis tahun 2007 dan berisi setidaknya dua penanda hajat hidup masyarakat Indonesia yang relevan hingga sekarang: rumah murah.
Perhatikan bagaimana satu Indonesia pernah geger lantaran ibu menteri keuangan, Sri Mulyani, beberapa waktu silam berujar bahwa milenial akan sulit memiliki rumah di masa depan dan harus rela menetap di pondok indah mertua (PIM). Implikasinya ialah banyak masyarakat yang langsung merespons dengan memborong KPR atau yang lainnya justru mengaduh nasib di media sosial.
Fenomena ini lantas menggiring kita pada tanda tanya baru terkait: mengapa seseorang amat mendambakan rumah?
Esensi Rumah
Saat usia belia, kita mungkin pernah memelihara kelomang. Kelomang terlahir ke dunia dengan tubuh lunak tanpa cangkang. Sehingga, sepanjang hidupnya kelomang perlu mencari ‘rumah’ yang tepat dari gastropoda untuk dapat melindungi tubuh rentannya.
Kelomang. Photo by Taryn Elliott on Pexels.
Kelomang juga bersembunyi di balik cangkang untuk menghindari serangan predator. Di sisi lain, hawa panas saat di ‘hah’ oleh bocah SD konon memaksa kelomang untuk absen muka.
Kelomang menjadi metafora terbaik peran rumah bagi setiap manusia. Esensinya sangatlah sederhana yakni tempat ternyaman untuk berlindung.
Hal serupa juga dapat ditelusuri melalui jejak manusia purba zaman Mesolitikum yang singgah di abris sous roche, sejenis gua yang menyerupai ceruk batu karang yang berlokasi dekat sungai atau pantai, untuk berteduh dari hujan badai dan teriknya matahari.
Abris sous roche. Photo by David Yu on Pexels.
Manusia purba masa itu hidup nomaden dengan keahlian seadanya yakni berburu. Baru ketika volume otak mereka kian membesar dan cukup andal dalam bercocok tanam, Homo Sapiens di masa Holosen mendirikan rumah sederhana di atas pohon, di tengah sawah atau hutan untuk tempatnya bernaung. Pada fase ini, rumah berarti lebih dari shelter (tempat berlindung), melainkan mencirikan kemajuan peradaban.
Rumah vs Manusia
Masalahnya, yang terjadi belakangan ini justru pembangunan rumah mendatangkan problemanya tersendiri. Sebab dasarnya ialah kenaikan populasi. Di Indonesia, hanya dibutuhkan waktu setengah tahun untuk menambah 1,5 juta jiwa di tahun 2022. Kehadiran ‘warga baru’ praktis memerlukan lahan untuk ditinggali.
Hal ini tak jarang mengorbankan penopang alam, wabil khusus hutan. Prof. Dodik Ridho Nurrohmat, guru besar kehutanan IPB, menyebut bahwa penyebab utama deforestasi ialah kecilnya nilai hutan. Nilai hutan akan naik 10 kali lipat jika jadi perkebunan sawit dan naik 100 kali lipat jika jadi perumahan. Dalam konteks ini, hutan yang disulap jadi perumahan dipastikan purna tugas dalam menyeimbangkan ekosistem dan menyuplai oksigen yang notabene dibutuhkan manusia untuk tetap eksis di muka bumi.
Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai di Kepulauan Riau yang kini diubah menjadi kaveling siap bangun (KSB). Photo by Pandu Wiyoga on Kompas.
Selain itu, kita juga dihadapkan oleh fenomena gentrifikasi. Loretta Lees, profesor Geografi dari University of Leicester, mendefinisikannya sebagai proses transformasi kawasan dengan kondisi fisik buruk (baca: kumuh) atau lahan kosong di perkotaan menjadi aneka properti mewah yang hanya dapat dinikmati oleh pekerja kerah putih (kelas menengah ke atas) untuk fungsi komersil.
Saya dan anda mungkin tanpa disadari telah merasakan tanda-tanda kemunculan gentrifikasi. Sebagai contoh, menjamurnya bangunan mewah seperti apartemen, real estate, mall, dan hotel. Pemerintah kota tentu mengatakan agenda ini sebagai upaya peremajaan kota.
Sayangnya, alih-alih mewujudkan kota impian, gentrifikasi justru menebalkan kesenjangan dan merugikan kota maupun warganya secara keseluruhan. Warga Kampung Miliran di Yogya misalnya, sejak tahun 2014 mengalami penyusutan muka air tanah di musim kemarau lantaran pembangunan hotel-hotel di sekitarnya. Atau tentang penggusuran paksa warga Tamansari Bandung di tahun 2017 yang memicu unjuk rasa sebagai ongkos pendirian taman kreatif dan apartemen. Apakah kini artinya yang langgeng ialah HAM (Hotel, Apartemen, Mall) di atas HAM sesungguhnya?
Konsep Ugahari dan Esensialisme
Maka, saat Olymplast bertanya perihal “Makna Rumah Untukmu”, hal ini hanya bisa saya jawab ketika saya telah mendefinisikan rumah secara proporsional dan bijaksana.
Bagi saya, rumah adalah citra. Saat kita menciptakan tempat yang memenuhi kebutuhan kita dan mengekspresikan karakter kita, kita sejatinya sedang memperkaya hidup kita.
Ada konsep yang bernama Ugahari, yang memiliki arti pas, tidak kurang dan tidak lebih.
Ugahari adalah perspektif selaras yang dapat diemban ketika sedang membangun rumah. Konsep ini fokus melihat potensi yang ada di sekitar bangunan.
Dalam konsep Ugahari, kata kuncinya ialah “memberi”. Apa yang bisa kita beri pada tetangga, pada alam, dan seterusnya.
Jika arus modernitas mengusir penduduk dan mengusik kesejahteraan lingkungan, maka Ugahari berusaha mempertahankan apa yang telah ada. Misalnya, apakah pohon X yang berada di lahan yang hendak dibangun bisa dipertahankan atau ditebang separuhnya untuk memastikan suasana tetap teduh?
Tak kalah pentingnya, Ugahari juga fokus mengidentifikasi sumber daya terdekat. Apakah keluarga atau tetangga ada yang berprofesi sebagai tukang? Lalu, kita punya apa saja? Apakah punya teralis bekas, pintu bekas, lemari warisan, dan sebagainya. Baru setelah itu kita membayangkan kebutuhan semen, paku, dan aneka bahan bangunannya itu berapa. Tidak serta merta salin tempel desain yang ada di Pinterest, tetapi lebih visioner dan realistis dalam praktiknya.
Saya merasakan sendiri betapa Ugahari menyediakan sedikit ruang untuk nostalgia. Jendela tua di rumah saya misalnya, berasal dari rumah masa kecil bapak saya yang terkena gempa. Meski digoncang gempa yang dahsyat, jendela tua itu justru yang paling kokoh di antara retakan tembok rumah kakek dan nenek. Sekarang, jendela tua itu menjadi tempat favorit saya saat melihat langit yang mulai memar, dari ungu ke biru hingga menjadi hitam legam.
Dalam misi mengisi rumah, bapak dan ibu saya turut pula membeli aneka perabot baru. Prinsip yang dipegang ialah esensialisme yakni memprioritaskan fungsionalitas barang di atas aspek estetikanya saja. Sehingga, barang yang dibeli tepat guna.
Misal, di rumah kami ada ranjang. Apa yang ada di kolong ranjang bukanlah debu semata, tetapi foldable box yang dapat diisi oleh koleksi baju maupun printilan aksesoris.
Membeli barang baru tidak mesti membuang barang lama dan berkontribusi menciptakan polusi jika yang dibeli ialah barang yang siklikal atau bisa dipakai selama mungkin.
Totalitas Mengisi Rumah dengan Olymplast
Resiko tinggal di negara tropis ialah lembap sepanjang tahun. Apa boleh buat, lemari kayu di rumah kami pun sekali waktu pernah dibabat habis oleh koloni rayap.
Namun, seperti kata pepatah “Selalu ada jalan menuju Roma”, saat ini kita terbantu oleh brand perabotan lokal yang mendukung konsep esensialisme dan Ugahari.
Adalah Olymplast, perusahaan besutan PT. Cahaya Bintang Plastindo yang berdiri tahun 2015 di Gresik dan memproduksi beragam Perabotan Rumah Tangga berbahan plastik yang mengusung desain minimalis dengan ketahanan produk terbaik.
“Lho, kok pakai plastik? Gak sustainable dong.”
Justru karena bahannya plastik berkualitas, perabotan jadi awet, kan?
Plastik sekali pakai pada pembungkus makanan itu memang salah, tetapi tidak semua produk yang berbahan plastik layak dikambinghitamkan.
Nah, salah satu contohnya ada ODC (Olymplast Drawer Cabinet) 04 Modern. Drawer plastik dengan storage 4 tingkat yang kokoh, anti rayap, dan anti jamur. Anda pasti tahu kan bahwa rayap maupun jamur tidak doyan bahan plastik? Dengan bahan plastik, ini memungkinkan perawatan perabotan yang mudah, barang terjaga, dan tak perlu keluar kocek untuk sekedar membeli termisida.
Meski ODC 04 Modern ini muat segala hal dari mulai baju, tas, selimut sampai album kenangan mantan sekolah, tetapi drawer ini sangat mudah dirakit maupun diajak transmigrasi antar ruang karena bobotnya yang ringan. Apalagi, drawer ini punya warna earth tone kalem yang cocok di segala tema ruang.
Bagi para penganut esensialisme, penting memastikan multifungsi barang. ODC series punya ambalan motif kayu yang tak hanya sedap dipandang, tetapi juga kuat karena tersusun dari material particle board. Jadi, tak perlu ragu jika sewaktu-waktu ingin meletakkan perabot mini, seperti lampu tidur atau bahkan diffuser.
Selain drawer ODC, Olymplast juga punya perabot rumah yang mengesankan lainnya. Ada rak trolley OFT berwarna crème yang punya roda dan cocok untuk menaruh barang-barang ready-to-go seperti hijab, parfum, handuk atau bahkan buku-buku. Bisa dikatakan, rak ini mendukung terwujudnya pergerakan sat-set-sat-set para penghuni rumah saat memasuki jam-jam kritis (baca: kesiangan ngantor).
Rak trolley OFT. Photo by @alsafeb on Instagram.
Kalau di rumah-rumah orang Jepang, rak trolley seperti OFT biasa difungsikan untuk tempat penyimpanan pakaian yang hendak dicuci. Pakaian dipisahkan berdasarkan fungsinya (baju kerja, baju santai, dan pakaian dalam) maupun bahannya (katun, wol, sutra, dsb). Tujuannya, untuk meminimalisir kontaminasi partikel asing dan mencegah kain sutera berubah menjadi sutera kecewa alias luntur.
Setelah ruang kamar tertata rapi oleh drawer dan rak trolley plastik dari Olymplast, dapur yang rapi juga patut diwujudkan.
Jujur saja, saya sendiri auto malas memasak jika kondisi dapur kotor bin berantakan. Apalagi jika lantainya becek karena tetesan cucian piring. Duh, jadi serasa piket dua kali!
Rak piring RSOK. Photo by @olymplast on Instagram.
Rak piring RSOK dari Olymplast ialah rak peniris piring, mangkuk, dan gelas yang dilengkapi penadah air sehingga memastikan lantai dapur selalu kering. Terlebih, rak ini dilengkapi dengan wadah penyimpanan sendok dan garpu, gantungan telenan, holder handphone, dan tray atas yang bisa digunakan untuk menyimpan toples bumbu maupun stok makanan.
Pernah dengar tidak tentang teori kepuasan paripurna dalam psikologi? Ternyata, hal itu bisa dicapai hanya ketika individu melakukan aktivitas yang minim usaha (effortless), tetapi dengan output maksimal, persis seperti yang ditawarkan rak piring ini.
Dengan harga yang dibanderol sekitar Rp 100 ribuan saja, rak piring ini tentu sangat murah untuk kita yang senang menghemat tenaga, bukan?
Nah, di sela-sela padatnya aktivitas sehari-hari, keluarga kami juga rutin menyempatkan diri untuk bersantai menikmati sinar mentari. Pasalnya, cahaya matahari baik untuk merubah pro-vitamin D yang kita peroleh dari asupan makanan menjadi vitamin D yang memperkokoh tulang kita.
Rumah urban seperti yang saya tinggali bergaya minimalis sehingga area outdoor tidak begitu luas. Beruntungnya, ada kursi lipat OFC Olymplast yang bisa diandalkan. Mau berjemur di sudut berbeda ataupun bercengkrama bersama banyak kawan bukanlah hal mustahil.
Kursi lipat ini dihiasi motif rotan klasik dan kaki kursi anti-slip yang membuatnya nyaman diduduki. Tinggal berdirikan kursi bila dibutuhkan dan lipat kursi ketika usai digunakan. Sangat menghemat ruang dan mendukung motto rumah yang berkelanjutan.
Sejujurnya, Olymplast masih punya segudang perabotan esensial lainnya yang menarik untuk diintip, mulai dari kasur, meja tulis hingga lemari untuk si kecil. Di mana seluruh produk Olymplast ini dijamin 100% ori, 100% gratis ongkir, dan bergaransi 2x24 jam. Wah, terpercaya sekali ya!
Tak heran, Olymplast Juaranya Rapikan Rumah bagi keluarga Indonesia. Saya saja sudah tak sabar meminang beberapa di antaranya!
Rumah Berbuah Faedah
Dalam konsep Ugahari, rumah tidak boleh sembarangan dibuat sebab akan menciderai banyak pihak. Karena itulah, persiapan yang masak dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar maupun kehidupan sosial menjadi fondasi terkuatnya.
Setelahnya, kita bertugas untuk mengisi bangunan rumah dengan kebergunaan fungsi perabot melalui konsep esensialisme. Di mana kita sangat terbantu oleh kehadiran Olymplast selaku brand perabotan plastik lokal yang menyediakan perabotan multifungsi lagi tahan lama.
Seperti yang dikatakan arsitek Mande Austriono bahwa rumah berkelanjutan paling tidak menyentuh tiga pilar, yakni sosial, lingkungan, dan ekonomi. Masih ada banyak faedah lain yang dapat kita tuai saat kita meluangkan waktu untuk memaknai kembali sebenar-benarnya rumah.
Apa itu rumah?
Bagi saya, rumah juga adalah perasaan. Tanpa cinta itu hanyalah sebuah bangunan. Saya beruntung tinggal di sini, dikelilingi oleh orang yang saya cintai dan hal-hal indah yang selaras nan berkeadilan.
**
Olah grafis: dilakukan mandiri oleh penulis.
Referensi
[1]: Laksono, Muhdany Yusuf. 2022. Kata Sri Mulyani, Bakal Makin Banyak Pasangan Muda Sulit Beli Rumah. Kompas.
[2]: Ningsih, Widya Lestari Ningsih. 2021. Alasan Manusia Purba Memilih Gua sebagai Tempat Tinggalnya. Kompas.
[3]: Mantalean, Vitorio. 2022. Jumlah Penduduk Indonesia Naik Hampir 1,5 Juta Jiwa dalam 6 Bulan Terakhir. Kompas.
[4]: Hafsyah, Siti Sadida. 2021. Solusi Menyelesaikan Konflik Sawit di Kawasan Hutan. Forest Digest.
[5]: Lees, L. 2008. Gentrification and Social Mixing: Towards an Inclusive Urban Renaissance? Urban Studies. Vol. 45 (12): 2449–2470. https://doi.org/10.1177/0042098008097099
[6]: Arumingtyas, Lusia dan Maria Junia. 2022. Berebut Air dari Bumi Yogyakarta. Mongabay.
[7]: Abdulsalam, Husein. 2017. Bandung Mau Berubah dengan Bersolek, Hanya Saja Terlalu Menor. Tirto.
[8]: ICMI Sleman. 2022. Rumah Ekospiritual, Rumah Sederhana yang Peduli Alam dan Lingkungan. ICMI.
[9]: McKeown, Greg. 2014. Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less. Crown. New York. ISBN-13: 978-0804137409.
[10]: Murdaningsih, Dwi. 2022. Apa Itu Rumah Berkelanjutan dan Bagaimana Cara Menerapkannya? Republika.
[11]: Olymplast. 2022. Official Website.
0 notes