#OcaLanJalan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Si Cantik Mistis, Alas Purwo
Taman Nasional Alas Purwo, kalau intip di peta, letaknya di ujung tenggara Pulau Jawa. Sangking luasnya, tak semua spot wisata bisa kami kunjungi hari itu. Salah satu yang tidak kami singgahi adalah Pantai Plekung yang memang areanya privat untuk surfing para bule dan akses ke sana agak sulit, sehingga harus merogoh kocek lagi untuk sewa kendaraan khusus, juga beberapa pantai lainnya. Memasuki area ini, kami disambut pepohonan cantik di kanan kiri sepanjang jalan. Berhubung sepi, driver kami langsung memarkirkan kendaraan. Lalu kami foto-foto cantik di jalanan tersebut. Sepintas seperti autumn di luar negeri, padahal di dalam negeri loh.
Sepanjang jalan dari pintu masuk ke dalam, banyak satwa liar yang kami temui,seperti rusa, monyet, ayam hutan, dan sebagainya. Sesampainya di dalam, kendaraan berhenti. Driver kami Mas Ali dan Mas Putut (adik Mas Sigit) lanjut ziarah ke Gua Istana. Ternyata mereka alumni sejenis perguruan di sana. Maklum, Alas Purwo dikenal penduduk sekitar sebagai salah satu kawasan mistis. Di sana ada Goa Istana yang merupakan tempat wisata spiritual. Apalagi saat itu 2 hari setelah malam 1 Suro, banyak pengunjung yang juga berziarah ke gua tersebut. Ditawari berkunjung ke gua tersebut, saya dan Indri sontak menolak. Mending telusur pantai deh! Hanya dengan trekking beberapa menit, sampailah kami di Pantai Parang Ireng. Saat itu, pengunjung pantai ini hanya kami bertiga (Mas Sigit, Indri, dan saya) loh! Serasa private beach yah. Pantainya cantik, meski masih ada sedikit sampah di pinggir pantai, dengan tekstur pasir seperti merica, warna lautnya gradasi tosca, biru muda, dan biru tua. Langit biru dengan matahari cerah khas siang hari. Duh, what a perfect beach life!
Puas bermain di pantai, bersama Mas Ali dan Mas Putut yang juga sudah selesai urusannya, kami lanjut berkendara ke Sadengan, padang savana untuk mengamati banteng-banteng jawa. Yang saya tahu sih hanya ada 2 tempat konservasi seperti ini di pulau Jawa, satu di sini, satunya lagi di Ujung Kulon. Beruntungnya kami yang baru pertama kali ke sini, kawanan banteng jawa yang tampan dan cantik sedang asyik santai sore di hadapan kami saat kami tiba! Duh senangnya mendapat moment langka seperti ini!
“Emang bejone (beruntungnya) kalian Ca, Ndri! Kemarin loh, aku nganter tamu ke sini ga ada bantenge!” kata Mas Sigit antusias. Alhasil Mas Sigit yang dipercayakan memegang kamera Indri pun sibuk foto-foto sampai masuk ke dalam pagar pembatas. Hampir-hampir dikejar seekor banteng jantan. Hihi
Jadi bedanya banteng jantan dan betina adalah dari warna rambut di tubuhnya. Banteng jantan warnanya hitam, sedangkan yang betina warnanya coklat. Sedangkan pembeda antara banteng dan sapi adalah kalau banteng, bagian pantatnya warna putih. Hihihi sekilas sama seperti sapi-sapi di Lombok loh!
Menjelang sunset time, kami beranjak ke Pantai Trianggulasi. Lagi-lagi hanya kami yang ada di sana. Pantainya luas dan bersih, dengah matahari yang mulai tenggelam, saya dan Indri asik lari-larian di pantai sambil sesekali berpose bak anak milenial kekinian untuk difoto oleh Mas Sigit, dengan latar cantiknya sunset di sana.
Senja begitu cepat menghilang, mengubah langit menjadi gelap. Waktunya pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Mas Sigit, Mas Ali, dan Mas Putut bergantian bercerita tentang pengalaman mistis yang tadi dan yang sebelumnya pernah mereka alami. Mungkin karena itu pula alasannya tak banyak wisatawan lokal berkunjung ke sini. Entahlah. Buat kami, Si Cantik Alas Purwo adalah salah satu destinasi yang wajib dikunjungi kalau bertandang ke Banyuwangi. Toh kalau niat kita baik, alam semesta pun akan menyambut kita dengan baik. Yes, seperti kesempatan melihat kawanan banteng Jawa baik di sini maupun di Ujung Kulon, atau melihat indahnya Blue Fire di Ijen, ya, kami saksinya betapa semesta berbaik hati pada kami!
PS: untuk versi yang dimuat di wewerehere.id dan tentunya sudah disunting sila lihat ke sini -> http://wewerehere.id/post/benarkah-si-cantik-alas-purwo-mistis
0 notes
Text
Ke Baduy Dalam, Lewat Ciboleger atau Cijahe?
Suku Baduy adalah satu kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Suku Baduy terbagi dua kelompok. Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar sudah mulai menerima teknologi masa kini, boleh naik kendaraan, memakai alas kaki, dan sebaginya. Sebaliknya, suku Baduy Dalam masih berpegang teguh dengan aturan adatnya, tidak boleh menggunakan kendaraan (ke mana-mana jalan kaki, bahkan sampai ke Jakarta), alat elektronik, juga dilarang menggunakan alas kaki. Jangan harap ada listrik di Desa baduy Dalam. Saat malam tiba, rumah-rumah diterangi lilin. Bila memasuki Desa Baduy Dalam, pengunjung dilarang memotret, menyalakan alat-alat elektronik, menggunakan sabun dan pasta gigi, juga merokok. Oh ya, ciri suku Baduy Luar pakaiannya hitam dan biru tua, sedangkan Baduy Dalam pakaiannya berwarna hitam dan putih.
Tahun 2014, saya mengunjungi Desa Baduy dua kali. Keduanya sama-sama ikut open trip dan menginap satu malam di Desa Baduy Dalam, meeting point sama-sama di Stasiun Tanah Abang dengan tujuan akhir ke Rangkasbitung. Jalurnya saja yang berbeda, yang pertama via Desa Ciboleger. Dari Ciboleger, kami trekking menuju Desa Cibeo, Baduy Dalam. Kali kedua via Desa Cijahe yang tujuan akhirnya Desa Cikeusik. Hanya ada tiga desa yang didiami suku Baduy Dalam, yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Lantas apa bedanya? Mari saya ceritakan satu per satu.
Dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung waktu tempunya sekitar 2 jam. Kali pertama, dari Rangkasbitung menuju Desa Ciboleger (desa terdekat menuju Desa Baduy Luar dan Baduy Dalam) dengan menumpang mini bis. Lama perjalanan sekitar 1 jam, jalannya sudah diaspal dan kami disuguhi pemandangan indah sepanjang jalan. Di Ciboleger ada satu minimarket yang sudah pasti padat apabila ada yang berkunjung, dipenuhi para turis lokal yang berbelanja keperluan atau sekedan jajan untuk terakhir kalinya sebelum memasuki Desa Baduy Luar dan Baduy Dalam. Ingat, di Desa Baduy tidak ada minimarket, atau ATM, atau kedai kopi, atau produk-produk hasil modernisasi lainnya. Kami benar-benar akan memasuki desa yang hidup berdampingan sangat erat dengan alam.
Kali kedua, dari Stasiun Rangkasbitung, dengna menumpang mini bis juga, kami menuju Desa Cijahe. Ternyata perjalanannya lebih lama, sekitar 3 jam, dengan jalur yang tidak bisa dibilang mulus pada saat itu. Kadang serasa sedang offroad karena jalannya belum diaspal. Seorang kawan sampai jackpot di perjalanan menuju Cijahe. Tiba di Cijahe, ternyata tidak ada minimarket di sana, hanya ada warung, tapi cukuplah untuk berbelanja jajanan dan sebagainya.
Saya pernah bersepeda dari rumah ke tempat kerja pertama kira-kira 1 jam lamanya. Saya juga sering berjalan kaki dari kantor ke rumah, atau ke manapun yang jaraknya sekitar 1 jam, entah karena tidak ada transportasi, tidak ada uang untuk bayar angkot, atau karena macet akibat banjir. Berjalan sejauh 6 km di kebun teh di daerah Gunung Mas, Cisarua pun tidak masalah. Pengalaman-pengalaman berjalan kaki ini membuat saya ‘sombong’, merasa mampu trekking dari Ciboleger menuju Desa Baduy Dalam yang konon membutuhkan waktu 4-5 jam. Ternyata saya salah. 5 menit pertama, saya berjalan dengan angkuh membawa tas ransel dengan perlengkapan yang tidak seberapa namun tetap terasa berat. Jalur yang dilalui ternyata jalur setapak yang kadang harus mendaki, kadang jalan menurun. Bukan jalur yang landai seperti yang semula saya kira. Paru-paru terasa terbakar, saya tumbang 10 menit kemudian. Akhirnya saya minta tolong porter (orang Baduy Dalam) juga untuk membawakan tas saya lalu kembali berjalan. Melewati jalur naik, jalan turunan yang kadang terjal, berhenti sejenak untuk istirahat, meniti jembatan, melalui beberapa Desa Baduy Luar yang ternyata ada yang menjual air mineral dalam kemasan, tak lupa foto-foto guna mengabadikan pemandangan yang indah. Selama perjalanan saya berkeringat, lelah, terengah-engah, kadang menggerutu dalam hati, “Kapan sampai? Kapan sampai?”, namun tetap menahan nafas memandangi sungai yang indah, hijaunya pepohonan di kanan kiri, dan pegunungan yang berjejer di depan mata. Setelah trekking 4,5 jam, akhirnya saya tiba di Desa Cibeo, Baduy Dalam saat matahari sudah terbenam.
Belajar dari pengalaman trekking itulah, saat kedua kalinya saya kembali ke sana, saya ikut open trip yang jalurnya via Cijahe. Trekking dari Cijahe menuju Desa Cikeusik, Baduy Dalam hanya 45 menit saja. Kami tiba di Desa Cikeusik saat hari masih sore, sehingga masih sempat berkeliling desa dan bermain-main di sungai.
Kembali lagi ke cerita di Cibeo. Setelah menemukan nama kami di salah satu rumah penduduk (laki-laki dan perempuan menginap di rumah yang berbeda), kami mengucap salam,lalu bersiap untuk mandi. Yes, di malam nan dingin karena berada di gunung, kami para perempuan sangat bersemangat mandi di sungai (laki-laki dan perempuan dipisah). Meski tanpa sabun, shampoo, dan pasta gigi, saya dan seorang teman berendam di sungaim airnya segar sekali. Untuk membersihkan daki, kami menggosok tubuh dengan batu kali (yang akhirnya membuat kulit kami lecet-lecet, mungkin karena menggosoknya terlalu kencang hihi). Di tengah ritual mandi, ada seekor kunang-kunang terbang rendah kemudian menjauh. INI PERTAMA KALINYA SAYA MELIHAT KUNANG-KUNANG! Saya terharu. Serius. Acara malam itu dilanjut dengan makan malam bersama, tuan rumah kami memasakkan bahan makanan yang kami bawa, beras, sarden kalengan, mie instan, abon, dan beberapa buah. Karena kelelahan, kami semua langsung ketiduran. Sayang sekali, kami melewatkan waktu untuk berbincang dan berbaur dengan Suku Baduy Dalam yang baik hati, ramah, dan sangat menerima kami.
Lain halnya saat di Cikeusik. Saya baru tahu bahwa porter yang mengantar kami ke Cikeusik ternyata orang Cibeo. Pantas saja rasanya saya familiar melihat wajah-wajah mereka. Mengapa orang Cibeo? Menurut pengamatan saya yang sok tahu ini, kemungkinan karena kendala bahasa. Urang Kanekes (sebutan untuk Suku Baduy Dalam) memang berbahasa Sunda, namun beda dengan bahasa Sunda yang digunakan secara umum. Kanekes dari Cibeo sudah banyak yang bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga sudah terbiasa bertemu dengan pengunjung dari luar Baduy, sehingga mereka lebih ramah saat mengobrol dengan kami. Sedangkan penduduk desa Cikeusik sendiri, kurang fasih berbahasa Indonesia. Untuk berinteraksi dengan Kanekes Cikeusik, kami diperantarai oleh para porter dari Cibeo. Alhasil, kami kurang bisa berbaur untuk mengobrol dengan penduduk setempat, hanya mengobrol dengan para porter saja saat di sana.
Saat turun gunung dari Cibeo, berjumpa lagi dengan trek yang aduhai capeknya. Saat itu saya bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Baduy mengingat medan perjalanannya amat sangat melelahkan. Ditambah lagi saya sempat terjatuh dan terkilir saat perjalanan pulang. Rasanya kapok! Namun esok harinya saya sudah rindu dengan Baduy, dan berencana untuk kembali ke sana. Hingga akhirnya saya kembali lagi ke Baduy Dalam 3 bulan kemudian, via Cijahe.Nah, kalau turun dari Cikeusik, kita bisa mampir dan berfoto-foto dulu ke Desa Baduy Luar yang membuat kerajinan besi.
Jadi, silahkan pilih sendiri mau ke Baduy lewat mana :
1. Via Ciboleger yang jalur mini bisnya cuma sebentar (1 jam), trekking ke Cibeo-nya lama (4-5 jam) namun bisa berinteraksi, mengobrol dan bercanda dengan penduduk setempat, baik bapak-bapak, ibu-ibu, maupun remaja dan anak-anak di sana. Atau
2. Via Cijahe, jalur mini bis agak lama (3 jam), trekking ke Cikeusik hanya sebentar 45 menit, tapi selama di sana, ngobrolnya terbatas dengan para porter dari Cibeo saja.
Kalau menurut saya, keduanya sama-sama seru dan ngangenin. Kenapa Baduy ngangenin? Mungkin karena kesederhanaannya. Tanpa listrik dan alat elektronik pun mereka bisa hidup dan berbahagia. Bayangkan betapa kita yang sudah mengenal gadget dan sebagainya sering lupa bersyukur atas nikmatnya hidup. Setiap hari menggerutu. Mungkin juga karena keramahan mereka namun saya belum sempat mengenal mereka lebih jauh. Dan mungkin, karena Baduy memang menyenangkan, membuat siapapun mudah jatuh cinta, pada budayanya, pada orang-orangnya, pada kehidupannya, dan pada alamnya. Saya harap Suku Baduy tetap mengamalkan adat istiadatnya. Bagi saya, mereka adalah cermin, bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana kehidupan mereka, ketaatan mereka pada aturan adat, keikhlasan mereka untuk taat, kebaikan mereka, dan cara mereka memaknai hidup. Ya, sesederhana itu.
Rosa Ayu Sudarso - @owlca
0 notes
Text
8 Hari, 7 Malam, 5 Negara
Suatu hari, saya mendapat broadcast message dari Alvan, sesepuh saya di dunia travelling. Mas Alvan lagi open trip backpackeran 5 negara (Singapore – Vietnam – Cambodia – Thai – Malaysia) di tanggal 24-31 Mei 2014. Biayanya kurang lebih 7jutaan sudah termasuk tiket pesawat, hotel, dan makan pagi. Kenapa bisa murah? Karena perjalanan dari Ho Chi Minh, Vietnam sampai Kuala Lumpur, Malaysia melalui jalur darat, naik bus! Tanpa basa-basi, saya dan mama langsung ikutan. Kapan lagi bisa mengisi passport dengan banyak cap dalam sekali perjalanan? Ditambah lagi, cuma butuh cuti 3 hari saja karena hari libur nasional yang sili berganti di periode tanggal tersebut. Mulailah kami bersiap, mulai dari perpanjang passport, kirim data ke mas Alvan yang bantu pesankan tiket pesawat kami melalui Traveloka, juga menukar rupiah dengan USD, Bath, dan Ringgit (untuk di Vietnam dan Cambodia bisa tukar Dong dan Riel dengan USD on the spot).
Sabtu, 24 Mei 2014 pagi di terminal 2 Soekarno Hatta, kami siap menuju Changi untuk transit dan lanjut ke Ho Chi Minh, Vietnam. Berkenalan dengan peserta lainnya, total ada 16 orang termasuk Mas Alvan selaku tour leader kami. Yang termuda ada Keenan, umurnya sekitar 10 tahun, peserta tertua adalah oma Keenan, sekitar 70 tahun umurnya. Hari itu merupakan hari yang agak tinggi mobilitasnya. Saya sarapan di Jakarta, lalu makan siang nasi lemak yang enak tapi mahal di Changi Airport Singapore (kurs rupiah sekitar delapan puluh ribu rupiah), dan makan malam seporsi besar pho (baca : fè) di Ho Chi Minh, Vietnam. Setibanya kami di Ho Chi Minh, kami langsung menuju Basilika Notre-Dame dan Kantor Pos yang letaknya bersebelahan. Setelah itu kami ke penginapan, Ngoc Linh Hotel, makan malam, lalu belanja oleh-oleh di Night Market. Proses tawar menawar yang cukup sengit, bertukaran kalkulator dengan Mba penjual baju, akhirnya kami dapat beberapa helai kaos seharga 70.000 Dong, setara dengan 35.000 rupiah. Maklum, bukan orang Indonesia namanya kalau tidak sadis nawarnya. Teman saya yang kurang jago nawar, harus puas dengan 4 helai baju yang dibelinya dengan harga 500.000 Dong. Malam itu diakhiri dengan kongkow asik dengan teman-teman baru di Trung Nguyen Coffee, kedai kopi lokal Vietnam.
Esoknya 25 Mei 2014 kami berangkat naik Mekong Express Limousine Bus ke Kamboja. Bus ini unik sebab selain pak sopir, ada seorang kenek yang bertugas sebagai pramugara/pramugari. Mereka menelaskan akan berangkan dari A ke B, waktu tempu sekian lama, dan sebagainya. Bus melaju, siang hari tiba di Phnom Penh, lalu lanjut ke Siem Reap. Bus sempat berhenti 2 kali. Pertama lantaran ban bocor di tengah jalan yang entah-dimana-aku-tak-tahu. Kedua, saat makan malam di pinggir jalanan yang masih antah berantah. Menu makan malam yang seadanya, nasi pulen dengan sop ikan seharga 2USD saja, cukup mengenyangkan dan menghangatkan hati kami. Udara panas di siang hari hingga AC bus tidak terasa, jalanan berdebu dan agak rusak di beberapa ruas jalan, bus berjalan lambat lantaran ada aturan speed limit (maksimum 60km/jam), diakhiri dengan hujan di malam hari. Akhirnya kami tiba di Siem Reap jam 10 malam hari. Turun dari bus, naik tuk-tuk sebentar, akhirnya tiba juga kami di penginapan kami, Home Sweet Home Guest House.
26 Mei 2014, pagi-pagi sekali kami menuju kawasan candi Angkor Wat. Ada banyak candi di sana, namun yang kami kunjungi hanya Angkor Wat (untuk hunting sunrise), Angkor Thom, dan Ta Prohm, tempat syuting Tomb Rider. Candi yang lain dilewati saja dengan alasan “sama saja bentuknya kok”. Hihihi.. Cuacanya juga agak labil, dari yang awalnya amat sangat terik, tiba-tiba hujan, hingga kami berlarian mencari tempat untuk berteduh, lalu kembali terik. Sempat nyasar juga lantaran tuktuk kami menunggu di pintu A dan kami malah keluar melalui pintu B. Perjalanan yang penuh drama ya? Berhubung pesertanya didominasi para wanita yang hobi belanja, kegiatan explorasi Angkor Wat disudahi lebih cepat. Siang itu, kami request ke Old Market untuk belanja lagi. Di sana ada streetfood berupa kerang nan spicy, pedas dan enak sekali. Padahal cuaca terik, jadilah saya belanja, tawar-menawar sambil berkeringat dan hidung meler karena kepedasan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini strateginya saya yang nawar, setelah mencapai harga yang mufakat, teman-teman ikutan belanja borongan. Hehehe.. Setelah selesai, kami kembali ke penginapan, malamnya berlanjut ke Night Market. Kami mencicipi beberapa jajanan khas Kamboja, snack tarantula dan jangkrik. Ternyata rasanya enak, rahasianya mungkin karena bumbunya yang spicy itu, sehingga rasanya mirip seperti ikan goreng.
27 Mei 2014, hari itu lagi-lagi kami habiskan sepanjang hari di bus menuju Bangkok. Sawadee kha! Sore hari kami tiba di Bangkok. Penginapan kami di kawasan Khao San Road, Roof View Place. Sesuai namanya, dari jendela kamar kami, view/pemandangannya atap rumah penduduk (Roof). Hihi. Malam hari kami keluar untuk cari makan, namun karena saat itu pasca kudeta di Bangkok, jam 10 malam hingga jam 4 pagi tidak ada warga ataupun turis yang boleh berkeliaran di jalan. Khao San Road pun sudah sepi jam 8 malam karena dibubarkan polisi. Mencekam dan sepi rasanya, malam itu kami habiskan kongkow minum bir lokal di lobby penginapan. Tenang, kami yang minum sudah 21 tahun ke atas kok.
28 Mei 2014, Yuhuuuu Grand Palace kami dataaang! Biar panas, kami tetap semangat! Kuil-kuil di sana cetar mentereng menyilaukan mata. Didominasi warna emas, megah dan cantik sekali. Kemudian kami lanjut ke Wat Pho, ada Sleeping Buddha nan besar lagi megah, tapi mama malah lebih memilih menunggu di luar, asik foto-foto di kolam ikan depan kuil. Hihihi.. Setelah itu kami ke Wat Arun, demi hasil foto yang oke, saya rela naik turun tangga Wat Arun tanpa pakai sunblock di siang hari nan cerah itu. Akibatnya, kulit saya merah dan perih. Meski perih, kami masih semangat belanja dan berburu oleh-oleh di MBK sebelum sorenya kami ke terminal untuk naik bus ke Phuket.
29 Mei 2014, semalaman kami tidur di bus tingkat alias double decker, tiba di Phuket pagi hari dan segera kami naik angkutan umum semacam mikrolet menuju penginapan, Journey Guesthouse. Setelah meletakkan tas dan barang bawaan kami yang lain, berangkatlah kami ke Maya Bay, snorkeling, lalu ke Phi Phi Don untuk makan siang cantik, diakhiri dengan bermain di pantai. Ini kali kedua saya ke Phi Phi Island ini. Yang pertama tahun 2011, kami naik kapal yang agak besar, sehingga tidak menepi ke Maya Bay, hanya memandang dari kejauhan saja. Kali kedua ini kapalnya agak kecil, dan merapat ke Maya Bay yang cantik sekali. Tak heran selalu ramai oleh turis. Sorenya kami kembali ke guesthouse, bersih-bersih badan, istirahat, makan malam, kemudian lanjut bermalam di bus lagi. Kali ini menuju Hat Yai, perbatasan Thailand dan Malaysia.
30 Mei 2014 subuh kami tiba di Hat Yai. Udara masih dingin sekali, matahari pun belum tampak. Di sana kami sarapan dimsum enak nan murah (satu keranjang kalau dikurs ke rupiah hanya sekitar tujuh ribu rupiah saja). Selesai sarapan, kami kembali ke kantor agen bus, lalu naik bus berangkat ke Kuala Lumpur. Perjalanannya cukup lama ternyata, namun tak apa, kami disuguhi pemandangan indah sepanjang perjalanan. Saya baru tahu bahwa kota Kuala Lumpur itu dibangun di dataran tinggi. Takjub juga mengingat jalur daratnya agak berkelok, bagaimana mengangkut bahan material untuk membangun peradaban di atas gunung seperti itu ya? Kami tiba di KL jam 10 malam waktu setempat. Tubuh sudah lelah, namun masih ada saja kejadian nyasar mencari penginapan kami yang letaknya di China Town (banyak kios, tapi yang berjualan justru kebanyakan orang India). Setelah akhirnya tiba di penginapan kami, Bunc @ Radius, kami keluar lagi untuk cari makan malam, lalu lanjut (lagi-lagi) belanja oleh-oleh di toko yang belum tutup, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.30.
31 Mei 2014 hari terakhir! Agenda hari itu hanya ke KLCC untuk bernarsis ria di bawah Menara Petronas. Setelah itu, saya dan mama berpamitan dengan peserta lain karena kami masing-masing beda penerbangan. Kami dengan mas Alvan menuju ke KLIA, dan pesawat kami transit dulu ke Changi Singapore, baru kemudian kami pulang ke Jakarta.
Sungguh perjalanan yang amazing! Dari perjalanan ini, saya makin bersyukur dilahirkan sebagai orang Indonesia. Memang tidak semaju negara Singapore dan Malaysia, namun toh tidak seburuk negara lain. Contoh di Cambodia, di sana anak-anak mengemis sampai minta es krim ke kami saat jalan malam ke Night market. Seorang teman juga sempat membagi roti untuk anak-anak pengemis saat perjalanan dari Vietnam ke Cambodia. Mereka yang kebagian roti terlihat senang sekali. Kalau kata Mas Alvan, Vietnam itu seperti Indonesia tahun 80an. Sedangkan Cambodia itu seperti Indonesia saat tahun 70an. Ternyata benar! Saat jalan malam di Ho Chi Minh, ada banyak anak muda berkumpul di taman dan bermain sepatu roda, persis seperti saat mama saya muda dulu. Dan di Siem Reap, Cambodia, angkutan umum yang banyak terlihat di jalan adalah tuk-tuk, seperti becak bermotor atau bemo seperti jaman dulu. Hehehe.. Itulah yang saya suka dari traveling. Seperti quote dari Ibn Battuta yang pernah saya baca “Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller”.
0 notes