#Nama perempuan yang artinya sedikit ombak
Explore tagged Tumblr posts
Text
Nama Bayi Perempuan: Rangkaian dan Arti Nama Xiliah
Nama Bayi Perempuan: Rangkaian dan Arti Nama Xiliah
Arti Nama Xiliah – namaanakperempuan.net. Anak adalah titipan dari sang Maha Kuasa. Sebagai orangtua sudah sepantasnya untuk menjaga dan memberikan nama nan keren & bermakna bagi putri pertamanya. Perhatikan juga arti/ makna & maksud melalui nama anak yang dipilih.
Sebuah arti nama pastilah akan berpengaruh pada kehidupannya nanti. Nama bayi Xiliah contohnya berasal dari negara & bahasa Italia.…
View On WordPress
#Arti Xiliah#Gabungan Nama Xiliah#Makna Nama Xiliah#Maksud Nama Xiliah#Nama perempuan yang artinya sedikit ombak#Rangkaian Nama Xiliah
0 notes
Text
Virtual Presentee-ism: Warta Amatir Media Daring dan Lahirnya Netizen
Oleh: Waluyo Rohmanuddin (Nama Samaran)
Sumber: http://www.statepress.com/article/2016/02/news-quiz-feb-16
SEJAK ombak besar tsunami meluluhlantakkan rumah dinas pamanku beserta keluarganya pada tahun 2004 lalu dan akhirnya mereka berhasil terselamatkan berkat informasi dari berita di televisi yang dengan cepat sampai di ruang tamu keluargaku, aku berjanji akan menghargai informasi sebesar dan dalam bentuk apapun dengan kebesaran hatiku yang luhur. Sebagai bukti nyata dari komitmenku itu, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ini aku melakukan kajian dan riset terkait beredarnya informasi di era digital ini. Apapun, dimanapun, dan dalam bentuk apapun itu. Hasilnya, kini aku mengantongi 34.571 halaman jurnal yang ku kerjakan dengan tangan dan jerih payahku. Aku merangkumnya menjadi 986 halaman sebagai disertasi untuk gelar doktor di Queens College, City University of New York yang terkenal akan studi medianya.
Di sela penantianku akan penilaian yang ketat dari universitas yang memang terkenal sampai ke negeri rempah ini, teman kecilku sejak sekolah dasar Almer, menghubungiku dan berbasa-basi busuk mengenai perjalanan studiku di negeri Paman Sam itu. Kau tahu, Almer sangat mengidolakan Paman Sam (meski ia hanya tokoh fiktif propaganda Amerika untuk menjaring pemuda-pemuda pengangguran ke medan peperangan). Belakangan aku baru tahu alasannya; Ia sangat jengkel dan memusuhi tokoh fiktif propaganda milik Britania Raya. Setelah hampir tiga puluh menit percakapan dihabiskan dengan basa-basi busuk, ujung-ujungnya Ia memintaku mendiskusikan disertasi yang sedang ku tunggu hasil penilaiannya itu–padahal lulus juga belum tentu.
Entah setan apa yang lewat berbisik, aku dengan reflek mengiyakan tawaran itu. Dan bangsat, malam yang harusnya ku gunakan untuk mencari kebahagiaan virtual dengan menembak-nembaki payudara bergelambir yang berlarian di Sanhok itu, harus rela ku habiskan dengan membaca dan merangkum ulang disertasiku menjadi sekiranya 63 halaman—agar teman-teman forum diskusi Almer yang bahkan belum S1 itu tidak kelojotan membacanya.
Baru tiga belas kata terketik, pecah keributan kira-kira lima langkah dari jendela ruang kerjaku. Belasan warga sedang asyik memukuli seorang nabi palsu. Dari balik jendela, nampak beberapa bapak-bapak yang biasa ku lihat sedang main gaplek di pangkalan ojek pada ujung jalan gang Kikir—satu-satunya jalan dari pusat Kabupaten Temanggung menuju kediamanku. Ada tiga punggawa ormas Islam yang memakai pakaian serba putih, adapula menantu pak RT. Semuanya ikut memukuli, kecuali empat orang anak-anak berusia sekitar sepuluh tahun yang hanya menyumbang ludah busuk bekas mengunyah telor gulung dan ibu-ibu yang berkumpul dengan sorot mata keheranan tapi mulut bergosip.
Aku yang sedikit panik serta penasaran segera meraih baju yang tergantung di balik pintu kamar dan keluar rumah berniat menyambangi kerumunan itu. Rupanya sang nabi palsu sudah disirami Pertalite yang dijual di toko kelontong mbah Jum. “Wes lah bakar ndang, ra sah kesuwen!” teriak salah seorang punggawa ormas yang kira-kira artinya seperti ini: “sudahlah cepat bakar saja, jangan kelamaan!”. Lantas teriakan itu disahuti kerumunan dengan sorakan “bakar! bakar! bakar! bakar!”.
Dari ibu-ibu yang bergosip aku mendengar bahwa Ia diringkus di kediamannya dan ditinggal kabur oleh sekitar delapan belas orang jemaatnya. Belakangan aku mengetahui bahwa dengan bermodalkan rambut wajah yang hitam pekat serta lebat dan janggut yang panjangnya hampir menyentuh lubang udel. Ia mengaku bahwa dirinya merupakan cucu kandung nabi ummat Islam yang terakhir, Muhammad SAW. Ia berujar bahwa sang nabi ketika menerima wahyu pertamanya di gua Hiro, menyempatkan diri beranak-pinak dan dengan mukjizatnya membuat keturunannya itu tidur hingga hampir seribu lima ratus tahun lamanya. Ketika terbangun, anak nabi itu entah dengan cara apa pergi berdagang ke pulau Jawa dan menikahi seorang pedagang mebel asal Semarang. Dan dari liang kewanitaan perempuan itu, Ia dilahirkan. “Gendheng.” ucap seorang Ibu yang menceritakannya kepadaku. Ketika api disulut, kerumunan dan beberapa orang yang menepi karena penasaran segera merogoh kantong dan hampir semuanya mengeluarkan telepon genggam buatan Cina dan berdesak-desakan merekam sang nabi palsu yang dilahap api. “Viralkan, lur! viralkan” teriak orang-orang di kerumunan tersebut.
Belum setengah menit api itu berkobar, puluhan karung goni basah dilemparkan ke tubuh sang nabi palsu. Lemparan itu berasal dari tangan-tangan santri Gus Hanan, seorang ulama toleran yang cukup disegani di Kabupaten Temanggung. “Astaghfirullah, gendeng kabeh!” ucap Gus Hanan dengan sorot benar-benar marah bercampur kecewa. “Iki yo manusia to?” lanjutnya. Aku tak mendengar apa yang selanjutnya dikatakan oleh Gus Hanan karena para santrinya sibuk mengusiri warga yang berkerumun dan ibu-ibu gosip di dekatku juga ribut berbicara satu sama lain dan beberapa diantaranya memarahi anak-anaknya yang baru kembali dari kerumunan. Seketika kerumunan terpecah-pecah dan bubar menghilang satu persatu. Ibu-ibu tetap saja bergosip.
Anjing. Aku baru teringat kembali bahwa aku sedang merangkum disertasiku yang akan menjadi bahan diskusi di Rawamangun pada Kamis lusa.
Aku membeli tiket kereta ke stasiun Jatinegara dan dijadwalkan berangkat pukul tujuh pagi nanti. Artinya, aku punya waktu tujuh jam mengerjakan rangkuman ini, tentunya tanpa tidur. Ini akan sulit tapi aku sudah terbiasa bekerja dengan waktu yang mepet, sekiranya begitulah budaya belajar orang Asia di negeri-negeri adidaya. Saat melanjutkan rangkumanku, untuk sekadar mencari masukan-masukan penting aku membuka laman facebook dan melihat kembali jejak komentar pembimbing disertasi, kerabat-kerabat akademik serta chat tanpa lelah Siswanto, promotor beasiswaku yang terus mengingatkan bahwa aku di New York bukan untuk main-main.
Wedus. Ya menurutmu sepanjang tahun ini kerjaku menjinakkan kuda nil?
Baru saja laman home terbuka, di urutan feeds paling atas, temanku Neno yang kini menempuh studi Ekonomi Syariah di UIN Jakarta membagikan ulang postingan berisi video nabi palsu yang tadi dibakar warga dengan beberapa kalimat keterangan bertuliskan “Inilah akibat mengaku nabi. Belum mati saja sudah dapat azab dari Allah. Inikah tanda bahwa kita berada pada zaman dan pemimpin yang kafir? Naudzubillah. #2019GantiPresiden”.
“Bangsat, kok cepat sekali.” ucapku. Lagipula apa hubungannya dengan presiden? Entah si nabi palsu atau siapa yang gendeng. Sampai aku melihat itu, postingan tersebut sudah dibagikan oleh empat ratus ribu orang lebih. Sableng. Tapi dengan melihat itu, aku jadi teringat kira-kira sebulan lalu ada video suporter klub sepakbola asal Jakarta yang dikeroyok habis bobotoh, suporter klub sepakbola Bandung. Bahkan nyawanya tak disisakan. Dan belum sebulan berlalu, beredar rekaman amatir yang dengan nekatnya merekam musibah tsunami di Palu dan Donggala. Minatku langsung berubah dan mencoba menelusuri data-data risetku yang membahas bagaimana hal seperti itu justru jadi dilomba-lombakan oleh orang-orang dan mengapa hal tersebut sangat cepat beredar di dunia maya.
Temuan pertamaku setelah sibuk membulak-balik halaman data risetku merupakan lansiran riset data Statista (kanal daring riset statistik asal Jerman), yang memperkirakan terdapat 2,5 miliar pengguna smartphone di seluruh dunia tahun ini. Sayang aku sekarang menganggur dan masih miskin untuk mengakses kembali hasil riset berbayar itu. Smartphone melekat pada si pemiliknya hampir tiap saat, bahkan saat tidur. Didukung dengan fitur kamera yang mudah dioperasikan dan koneksi internet, rekaman-rekaman amatir makin sering muncul di dunia maya.
Lanjut mencari, aku mendapatkan potongan kuliah Stuart Jeffries (intelektual asal London, beberapa bukunya diterbitkan Verso) yang menyatakan bahwa “Smartphone sangat portabel dibandingkan kamera atau perangkat apapun, dan paling penting, smartphone menawarkan koneksi internet, ini adalah kunci bagi lahirnya fenomena yang saya sebut 'virtual presentee-ism'.” Virtual presentee-ism, yang disebut Jeffries, merupakan fenomena tentang tersebarnya pengalaman seorang perekam peristiwa pada khalayak luas. Ia merekam karena ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia ada di lokasi saat suatu kejadian terjadi. Bila disangkutpautkan, bisa saja aku kembali membaca teori hyperreality dari Jean Baudrillard. Tapi akan memakan waktu untuk mengetiknya. Lagipula kalian pasti tahu hal itu: ketika kenyataan dalam layar terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Jadi mereka merasa share dan like sebagai validasi masyarakat dalam kehidupan mayanya—terasa nyata.
Data risetku yang entah ku kerjakan di bagian mana Brooklyn tetapi tertulis “29 Juni 2017” disitu, menyatakan bahwa ada faktor budaya yang mempengaruhi ini. Beberapa diantaranya adalah faktor iliterasi dan keminiman-upaya penyaringan informasi, ditambah-tambah algoritma sosial media yang makin menjadi-jadi gilanya mempengaruhi mekanisme kognisi individu manusia era digital. Ingin makan apa saja kita mengandalkan algoritma. Kalau tak salah pernyataan ini juga dipengaruhi pidato kebudayaan Roby Muhammad di Taman Ismail Marzuki tahun lalu. Aku akan coba menontonnya lagi di Youtube.
BANGSAT. Akibat menonton video pidato kebudayaan, Aku jadi terseret-seret rekomendasi video Youtube, mulai dari kuliah-kuliah online, anak yang diazab menjadi ikan pari, tragedi petasan jumbo pemalang, hingga kata-kata mutiara Tony Blank ku tonton sampai lupa ini sudah pukul enam dan sudah pasti aku tertinggal kereta ke Jakarta. Tapir kontet, mau bilang apa aku pada Almer.
------
BARUSAN aku menghubungi Almer dan Ia bilang mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi aking. Hal ini mau tak mau akan menjadi urusannya—mungkin juga teman-temannya yang lebih percaya diri. Dan aku, mau tak mau harus menyaksikan saja dari Temanggung sini, menjadi intelektual sombong–tapi masih miskin dengan karyanya yang tebal bukan main dan kelak akan menjadi hasil studi paling berpengaruh bagi generasi Z–yang karyanya didiskusikan oleh mahasiswa-mahasiswa yang konon suka mabuk setelah berdiskusi. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mudah-mudahan setidaknya, walau diakhiri dengan mabuk-mabukan, karyaku bisa didiskusikan dengan cukup khidmat.
0 notes
Text
Menelusuri Selatan Negeri Kangguru
Buku ini saya pinjam dari seorang teman setelah mengikuti workshop di tempat yang begitu indah, di Pantai Watu Kodok. Di sana saya bertemu langsung dengan penulis buku ini yang sekaligus menjadi pemberi materi dalam workshop. Dari caranya bercerita, sepertinya saya harus membaca bukunya. Buku ini mengisahkan pengalaman pribadi sang penulis. Bercerita tentang perjalanan panjang dari Perth menuju Melbourne.
Cerita ini berawal dari pertemuan 4 orang pengelana, seorang gadis dari Indonesia, seorang gadis dari Jerman, dan 2 pemuda dari Prancis. Mereka berangkat menggunakan sebuah Station Wagon, mobil klasik untuk sebuah perjalanan panjang. Pada saat itu, Australia sedang berada pada puncak musim panas di bulan Januari-Februari yang suhunya dapat mencapai 40 derajat celsius. Dan kebetulan mobil yang akan membawa mereka melakukan perjalanan mengalami kerusakan pada AC-nya.
Sebelum pertemuan mereka berempat, seorang gadis asal Indonesia yang merupakan solo traveler mencari tumpangan dengan tujuan ke Melbourne melalui website Gumtree. Di website tersebut terdaftar puluhan orang menawarkan tumpangan atau mencari rekan perjalanan. Setiap pemilik mobil mencantumkan jenis kendaraan, kota tujuan, jumlah penumpang yang bisa ditampung, perkiraan tanggal keberangkatan, dan lama perjalanan. Sang gadis pun akhirnya memberanikan diri menulis bahwa ia adalah seorang solo traveler perempuan yang membutuhkan tumpangan menuju Melbourne untuk waktu keberangkatan sekitar 2 minggu lagi dan mencantumkan nomor telepon serta email.
Aturan-aturan dasar ditetapkan tanpa membatasi kebebasan setiap orang. Semua pengeluaran bersama yang didominasi oleh makanan dan bahan bakar dibagi rata. Mereka sepakat untuk tiba di Melbourne paling lambat pada akhir Februari dengan menyusuri garis pantai selatan. Hal tersebut berarti mereka memiliki waktu satu bulan penuh untuk menikmati keindahan alam. Tingkat kriminalitas wilayah Australia bagian selatan cukup rendah, tapi yang perlu dikhawatirkan bukanlah manusia melainkan binatang-binatang liar yang tinggal di alam bebas Australia.
Ada pun buku yang mereka andalkan dalam melakukan perjalanan, yaitu Camp 5. Buku itu berisi peta dan paduan perjalanan yang terdapat simbol-simbol untuk menujukan keterangan-keterangan penting bagi para traveler sebelum bermalam di taman konservasi. Contohnya simbol $ yang berarti tempat tersebut tidak gratis. Semakin banyak jumlah simbol $ yang berbaris maka tempat tersebut semakin mahal.
Langit masih berwarna abu-abu dan embun masih menempel pada rerumputan. Tiba-tiba terlihat dari kejauhan sepasang mata diam menatap tidak bergerak. Makhluk itu berdiri dengan dua kaki dengan ekor besar yang menjuntai ke belakang. Ya, itu adalah kanguru. Berdasarkan cerita yang beredar, nama kanguru didapat karena adanya miskomunikasi antara bangsa Inggris dan suku Aborigin. Saat melihat makhluk aneh yang berjalan dengan cara melompat, orang Inggris bertanya kepada penduduk lokal, namun karena berbeda bahasa, ia kebingungan lalu berkata, “kangaroo?”, yang artinya aku tidak mengerti. Orang Inggris tersebut salah mengira, lalu ia bercerita kepada teman-temannya bahwa makhluk itu bernama kangaroo.
Setelah melanjutkan perjalanan hingga sore hari, akhirnya mereka tiba di Tuart National Park. Mereka menemukan area piknik di mulut taman nasional yang tak berpagar dan tak terjaga. Tetapi mereka tidak sendiri, di sana terparkir sebuar camper van. Kemudian mereka bertemu dengan seorang pria dan seorang wanita berkebangsaan Jerman. Mereka berdua pun bertemu berkat bantuan situs Gumtree.
Dua backpacker asal Jerman itu memutuskan untuk bergabung bersama hingga Albany. Mereka memacu kendaraan menuju Busselton, sebuah kota tepi pantai yang memiliki dermaga kayu sepanjang 2 km. Pasir putih, laut biru, dan dermaga kayu berwarna abu-abu, bagaikan sebuah gambar pemandangan di kartu pos. Busselton merupakan kota pertama di wilayah barat yang diberi nama Geographe Bay. Area ini menawarkan pemandangan pantai barat yang belum dijinakan, pohon eukaliptus langka, ombak yang memecah karang, dan tebing batu raksasa.
Setelah terus memacu kendaraan ke arah barat, tibalah mereka di tepi sebuah mercusuar putih bernama Cape Naturaliste Lighthouse. Nama Naturaliste dan Geographe diambil dari nama dua buah kapal Prancis di bawah pimpinan Nicolas Tomas Baudin yang dikirim oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1800 dalam rangka ekspedisi ilmu pengetahuan.
Sebelum makan siang, mereka mengunjungi sebuah tebing yang bernama Sugarloaf Rocks. Tebing tersebut merupakan dua buah bukit yang tersusun dari ribuan batu bersudut tajam berwarna cokelat kemerahan. Satu bukit terletak di ujung teluk, sedangkan satunya lagi berdiri terpisah di tengah laut.
Ada 2 kategori manusia di dunia ini: mereka yang menganggap backpacker keren dan mereka yang berganggapan sebaliknya. Polisi hutan Australia sepertinya masuk dalam kategori kedua. Wajah kucel, pakaian lusuh, dan mobil tua yang dipenuhi barang-barang penunjang kehidupan. Di mata para polisi hutan, mereka adalah tipikal orang-orang yang akan melanggar peraturan.
Australia hanya dihuni sekitar 20 juta jiwa. Masih lebih sedikit dibanding populasi provinsi DKI Jakarta. Rata-rata kepadatan penduduk Australia hanya 2 hingga 3 jiwa saja pada setiap 1 kilometer perseginya. Di tengah negara ini terhampar 3 buah gurun luas dengan Uluru, batu megalith berwarna merah yang dikeramatkan oleh suku Aborigin yang terletak di tengahnya. Di antara Adelaide dan Sydney didominasi oleh perkebunan, gunung salju, serta rangkaian Blue Mountain. Di area timur laut Australia terdapat Great Barrier Reef dengan pasir putih dan keberagaman biota laut dan hutan tropis mewarnai wilayah daratnya.
Bagaimana dengan area barat daya tempat mereka berada? Di sana tidak ada tanah merah dan gunung salju yang membentang. Namun di Margaret River terdapat ribuan pohon eukaliptus raksasa yang tumbuh dari zaman purba. Ada 4 spesies pohon eukaliptus yang hidup secara spesifik di beberapa titik pada Australia bagian barat daya. Ada pohon tuart yang hanya tumbuh di antara Burnbury dan Busselton. Kulit kayunya terang dengan daun hijau berbentuk spiral. Ada pohon jarrah dengan kulit batang yang pecah-pecah, tumbuh mendominasi di sekitar Margaret River. Kemudian pohon-pohon yang mereka lewati di Vasse Highway adalah kumpulan pohon karri. Mereka tersebar di antara daerah Manjimup dan Denmark. Tinggi pohon tersebut mencapai 90 meter sehingga menjadikannya salah satu pohon tertinggi di dunia.
Ada beberapa pohon karri tua yang bisa dipanjat di sekitar Pemberton. Gloucester Tree setinggi 61 meter, Dave Evans Bicentennial Tree setinggi 68 meter, dan Diamond Tree setinggi 58 meter. Gloucester Tree berusia lebih dari 350 tahun. Sebuah pos pengamatan kebakaran hutan dibangun di puncaknya pada tahun 1930. Ada 153 batang besi terpancang melingkari pohon tersebut hingga mencapai puncak. Karena pohon tersebut bukanlah tempat tujuan wisata, maka tidak ada bentuk satu pengamanan pun yang terpasang di sana. Pemerintah setempat memberi peringatan akan risiko dan aturan menaiki pohon itu dilengkapi dengan tanda seru besar terpasang di samping pohon.
Tibalah kita di bab kedelapan buku ini, yang juga berarti jika dihitung dari keseluruhan buku, halaman yang kita buka ini belum mencapai setengahnya. Jutaan batu raksasa mengepung tinggi menjulang dan kokoh tanpa tulang. Taman Nasional Torndirrup terletak 20 kilometer di selatan Albany. Kata di dalam buku panduan yang bertuliskan Antartika mengundang rasa penasaran yang besar bagi mereka. Ternyata dahulu kala, Antartika pernah mengalami iklim tropis. Pergeseran lempeng tektonik dan retakan yang terjadi 45 juta tahun yang lalu menyebabkan benua Australia dan Antartika berpisah. Setelah mereka puas mengagumi Natural Bridge, mereka berkendara menuju blowhole. Blowhole adalah lubang sempit di antara batu-batu granit yang menembus masuk hingga ke dalam permukaan laut.
Kota Albany adalah kota terakhir kebersamaan mereka berenam karena kedua backpacker asal Jerman yang mereka temui di tengah perjalanan akan menuju ke Perth. Jarak antara Perth-Albany adalah 650 km yang mereka tempuh dalam waktu 8 hari. Waktu yang sangat lama mengingat mereka harus menempuh jarak sekitar 4500 km lagi untuk mencapai Melbourne. Jarak tersebut harus mereka capai hingga awal bulan Maret, berarti mereka hanya memiliki waktu 3 minggu lagi.
Setelah menempuh jarak 450 km, akhirnya mereka tiba di Esperance. Di sana mereka bertemu Great Ocean Drive yang merupakan jalan melingkar sepanjang 38 km dengan pemandangan tepi pantai terbaik di Australia dan beberapa tempat menarik di sekitar Esperance. Setelah mereka puas mengunjungi Rotary Lookout, Twilight Beach, Old Wind Farm , dan berkemah 1 hari di kota kecil bernama Condingup, mereka segera memacu kendaraan menuju Taman Nasional Cape Le Grand. Tentu saja tempat itu tidak gratis, mereka harus mengeluarkan uang AU$43 yang sudah termasuk biaya masuk kendaraan. Mereka sangat penasaran dengan keindahan alam Cape Le Grand dan memutuskan untuk melihat lookout keseluruhan tempat tersebut dengan menaiki batu setinggi hampir 300 m yang memiliki total jarak sejauh 3,5 km pulang pergi. Ya, sudah pasti untuk sampai ke sana tidaklah mudah.
Bagaimana rasanya melewati jalan lurus yang sangat panjang dengan pemandangan yang tidak berubah? Pasti membosankan bukan? Seperti itulah yang mereka alami. Mereka mau tidak mau harus melewati jalan lurus terpanjang di Australia sepanjang 146,6 km untuk mencapai tujuan berikutnya. Ditambah mereka harus duduk di dalam mobil tanpa AC dengan suhu udara 42 derajat cesius, tentunya akan meningkatkan kegelisahan mereka selama perjalanan berlangsung. Tapi mereka punya cara tersendiri untuk mengatasinya dengan menikmati hal-hal kecil yang mereka punya dan sedikit kegilaan seperti yang dituliskan pada buku ini.
Ternyata ada peraturan unik di Australia yang tidak mereka ketahui. Perarturan itu melarang setiap mobil yang melintasi perbatasan Western Australia dan South Australia untuk membawa masuk buah dan sayuran segar di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari masuknya bakteri dan virus dari negara bagian lain. Di dekat Eucla ada sebuah area pengecekan dan karantina untuk memeriksa setiap mobil yang melintas. Di bagian ini, mulai diceritakan konflik di antara mereka. Hal ini diawali karena mereka baru saja membeli sekantung jagung, wortel, tomat, timun, selada, dan apel untuk persediaan selama di Nullarbor. Dan suatu hal yang sulit untuk menghabiskan semuanya dalam beberapa jam. Setibanya di Eucla, tanpa banyak kata, mereka memutuskan untuk bermalam dengan biaya AU$20 per malam dan AU$2 setiap 15 menit untuk mandi. Menjelang malam, pesta barbecue yang cukup aneh disiapkan. Tidak ada daging di atas plat panggangan, hanya ada bawang bombay, jagung, tomat, wortel, dan jamur.
Hanya 5 menit dari Eucla, tibalah mereka di perbatasan yang disebut Village Border. Suasana tampak lenggang, tidak ada siapa pun di tempat yang seharusnya menjadi tempat pemeriksaan barang dan karantina. Mereka pergi berjalan ke minimarket untuk bertanya mengenai hal ini. Penjaga minimarket mengatakan bahwa titik pemeriksaan dan karantina di sana sedang tidak beroperasi, titik pemeriksaan dan karantina berikutnya ada di Ceduna, sekitar 500 km lagi. Upaya mereka membayar penginapan dan menghabiskan buah dan sayuran yang ada terasa sia-sia. Suhu udara saat itu 43 derajat celsius.
Malam datang memberikan ketenangan dan membangkitkan kenangan. Suhu udara pun turun drastis menjadi 19 derajat celsius. Rasi bintang pari mulai menampakan diri di luasnya langit yang terbentang. Orang prancis menyebutnya Croix du Sud, di Australia dikenal dengan nama Southern Cross. Suku aborigin di sana menyebutnya dengan nama Mirrabooka. Menurut legenda, Mirrabooka adalah nama salah satu ketua suku yang paling bijaksana dan selalu memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Karena pengaruh dan karismanya itu, Dewa Langit memberi cahaya pada tangan dan kakinya lalu menempatkannya di angkasa, sehingga ia mampu membantu mengawasi Bumi. Itulah sebabnya Mirrabooka selalu menunjukan arah selatan, ke tempat rumahnya berada.
Sesaat sebelum tiba di Celduna, kendaraan mereka dihentikan dan diperiksa oleh petugas karantina. Semua orang diminta turun dan bagasi belakang dibuka. Setelah melihat penuhnya barang-barang di sana akhirnya para petugas memutuskan hanya memeriksa cool box dan dua buah chiller bag milik mereka. Ya, perkiraan bahwa tidak semua tempat akan diperiksa ternyata memang begitulah kenyataannya, tapi apa boleh buat, mereka sudah menghabiskan semua sayur dan buah di malam pesta barbecue di Eucla. Kemudian sesampainya mereka di supermarket di Ceduna, layaknya balas dendam, mereka memutuskan membeli 3 buah daging kanguru merah, juga banyak sayur dan buah.
Perdebatan demi perdebatan mengiringi perjalanan mereka berempat. Mulai dari makan jagung atau daging hingga harus ke Kangaroo Island atau tidak. Untuk pergi ke Kangaroo Island, mereka harus bergegas menuju Cape Jervis yang berjarak 40 km, lalu menyebrangi laut dengan menggunakan kapal feri. Harga tiket masuknya AU$68 per orang, harga tiket kapal feri pulang pergi AU$86 per orang, dan biaya untuk membawa sebuah mobil sebesar AU$84. Tempat yang luar biasa dengan harga yang juga luar biasa. Di tengah kebimbangan, untuk sementara mereka memutuskan mengunjungi Deep Creek Conservation Park yang berjarak 11 km sebelum Cape Jervis. Namun perdebatan kali ini sangat sulit untuk mereka hindari, sudah banyak emosi selama perjalanan yang mereka tampung dan siap untuk meletus. Akankah kebersamaan mereka berakhir di titik ini?
2 notes
·
View notes
Photo
Pulau Dua - Balantak, 25 Maret 2017
Akhirnya fix, siang itu kami (Aku dan Takiya) berangkat ke Balantak diantar om Tono dengan menggunakan mobil pick up yang biasanya digunakan untuk mengangkut ikan. Enggak, kita nggak duduk di capnya. Karena kita gadis-gadis muda yang langsing-langsing (*yang baca boleh muntah*), jadi pas-pas aja duduk di samping om Tono yang menyupir.
Perjalanan dari Luwuk hingga sampai di bibir pantai menuju pulau dua hanya memakan waktu tiga jam.Kami berangkar dari rumah jam 12.00 dan sampai sekitar jam 14.50. Iya, itu sepanjang perjalanan om Tono ngebut was wus was wus.. sengaja; agar kami tidak kesorean sampai di Balantak.
Sebelum berangkat, aku sudah menanyakan tentang tetek-bengek perihal cost dan keadaan di sana pada adikku yang beberapa bulan lalu kesana. Sebab itu, ketika melakukan tawar menawar biaya kapal untuk menyeberang ke Pulau dua-nya, aku sudah punya patokan harga; 200ribu. Si bapak yang menawari perahunya, meminta bayaran 350ribu untuk perahu yang cukup besar. Tapi kami tetap keukeuh untuk perahu yang 200ribu. Kebetulan budget kali ini emang ngepas banget. Dan fix, si bapak menawarkan perahu kecil berwarna hijau. PERAHU KECIL??? aku sempat deg-degan saat bapaknya menunjuk perahu yang dimaksud.
“Ndak papa. Aman itu perahunya, biar lagi ombak di tengah (laut) te’ tagoyang dia.”
Akhirnya kami menaiki perahu kecil yang di-operatori oleh seorang bapak bernama pak Rinto. Untuk mengatasi kegugupanku di tengah laut (karena aku pernah mengalami trauma laut setelah pernah tenggelam), aku mengambil gambar pemandangan sekitar dari tengah laut. Megah. Pemandangannya emang juara banget.
Tidak sampai setengah jam, mungkin sekitar 20 menit, akhirnya kami sampai di pulau tujuan. View pohon-pohon bakau di sekitar pulau menyambut kami, airnya berwarna hijau.. mungkin ada lumut di bawahnya. Entahlah. Selain itu, sudah ada dermaga yang menanti perahu kami berlabuh di sana.
Lalu kami turun dan sedikit berjalan menuju sisi lain pulau itu dan kami kembali bertemu dengan pemandangan laut lepas yang dihiasi pulau lain. Tapi sayang di sekitaran banyak sampah makanan bertebaran. Ah, dasar orang indonesia..
Di pulau itu juga terdapat rumah-rumahan kecil (yang sepertinya tujuannya dibuat untuk tempat peristirahatan). Berdasar keterangan pak Rinto, rumah-tumahan itu dibangun oleh Pemda.. tapi lagi-lagi, bangunan yang tampak belum lama dibangun itu terlihat tak terawat. Hufff, dasar.. *ahsudahlah*
“Ini mo nae’ ka puncak?” tanya pak Rinto.
Jelas saja kami mengiyakan. Lalu pak Rinto mengarahkan kami menuju punggung gunung yang berselimut rerumputan. Mengingatkanku pada sabana di gunung Merbabu, hanya saja rerumputan itu tak tumbuh di tanah yang padat, namun pada batuan damato (nama batuan yang disebutkan oleh pak Rinto). Jenis batuan ini sangat mudah hancur, sehingga jalan cukup licin. Ditambah lagi, tiada pohon-pohon yang bisa kami pegangi selagi menaiki gunung itu. Kami bisa memegang rerumputan untuk memperyakin langkah kami, tapi itu pun harus hati-hati karena rerumputan yang baru tumbuh gampang tercabut.
Sebelumnya adikku sudah bilang, untuk hati-hati saat mendaki karena terjal, licin, dan kalau siang panas banget. Alhamdulillah, kalau panasnya sih enggak karena kita berangkat sore. Tapi terjal dan licinnya emang iya. Dan harus kukatakan, ini track yang paling sulit selama pengalamanku naik gunung, apalagi kami berdua yang benar-benar naik ke puncak, pak Rinto hanya mengantar kami sampai penanjakkan pertama. Dua penanjakan setelahnya, kami lewati berdua. Untung gunungnya tidak terlalu tinggi.. kukira tingginya tidak sampai 700 mdpl-lah.
Pak Rinto menyarankan kami untuk bacako (nyeker/melepas sendal) agar nggak licin. Namun aku cukup yakin dengan sendal gunung yang kupakai. Hanya perlu membuat perekatnya tak terlalu longgar dan terlalu kencang agar tetap nyaman di kaki. Selain itu, tanah yang berupa batuan dan serpihannya cukup tajam, pasti akan sangat menyakitkan bila jenis-jenis kaki ‘princess’ yang menginjaknya haha (*boleh muntah lagi*). Ketika mendaki, yang cukup menjadi rintangan ternyata malah kaos kakiku yang licin karena sudah agak longgar dan basah karena saat naik & turun dari perahu, harus menginjak air. Kusarankan, bagi para perempuan yang memakai kaos kaki sepertiku, paling tidak pakailah kaos kaki yang belum longgar dan nyaman agar tidak licin saat dalam keadaan basah.
Sesampainya di puncak.. ah, nggak patut rasanya kalau dijabarin. Karena terlalu indah dan penjabaran apa pun tak akan ada artinya. Yang jelas.. usaha kita mendaki kebayar tuntas, kalo itu berupa uang, kembaliannya banyak banget! Sangking indahnya..
Karena belum sholat ashar, kami pun sholat di puncak. Dan karena pas di bawah lupa wudhu, akhirnya kami tayamum di atas. Salah satu hal fatal lagi adalah kami lupa bawa minum. Walhasil kami menahan haus luar biasa di atas. Namun karena keasyikan menikmati pemandangan sambil foto-foto rasa haus itu pun sempat terlupa.
Jam lima lebih akhirnya kami memutuskan untuk turun, karena matahari hampir menyentuh bumi dan langit mulai gelap; takut kemaleman saat turun gunung, mengingat track-nya yang demikian ehemm. Dan benar saja.. saat turun memang jauh lebih sulit daripada saat naik (*representasi kehidupan banget yak). Bahkan di tanjakkan pertama kami turunnya sambil ngesot. Karena benar-benar tidak ada pegangan yang dapat meyakinkah langkah kami. Hingga akhirnya pak Rinto datang menjemput kami dan membawakan tongkat. Akhirnya Takiya turun sambil pegangan pada pak Rinto dan aku pegangan pada tongkat. Ah, salah satu pelajaran hidup dari pulau dua, bahwa hidup memang butuh pegangan.. (*apasih).
Begitu sampai di bawah, kami langsung menuju ke dermaga untuk kembali menyeberang ke Balantak. Langit kala itu amat mendung, tapi alhamdulillah selama di perahu, tak turun hujan dan ombak cukup tenang. Ketika kami sampai di pantai, hari sudah maghrib. Segera kami menuju mobil dan melanjutkan perjalanan pulang. Beberapa saat kemudian saat dalam perjalanan hujan turun. Daun-daun dari pohon-pohon di tepi jalan berguguran. Dan kita pun selamat hingga sampai rumah lagi sekitar jam setengah sebelas malam. Ah, cara Allah..
3 notes
·
View notes
Text
GADIS PANTAI (09/04/2016)
Buku yang ditelurkan dari tangan dingin seorang penulis berbakat Indonesia. Bapak Pramoedya Ananta Toer. Sekilas membaca resensi yang ada di belakang buku, aku hanya membayangkan bagaimana sistem feodal Jawa dulu, bagaimana hidup bangsawan di kala itu dan sekeji apa mereka berbuat dalam kehidupannya?
Lanjut membaca buku, alurnya cepat dan pasti. Penggambaran alam sangat kaya, seperti saat aku membaca buku Ahmad Tohari. Alam yang indah dan sederhana. Awan yang menggantung, angin yang berhembus dan pantai yang berdebur. Tidak ada kepongahan atau kisah mewah seperti dongeng.
Pengantar di awal menuliskan bagaimana seseorang ingin merantau dan berjanji akan membelikan mbah-nya kain sewaktu dia kembali nanti. Tetapi sebelum dia kembali, si mbah sudah tiada. Lantas dia mempersembahkan kisah ini bagi mbah-nya.
Gadis pantai hanyalah gadis biasa, lahir dari keluarga nelayan di sebuah kampung nelayan dari daerah pesisir jawa tengah. Orang tuanya adalah nelayan yang menantang ombak di pagi hari dan pulang sewaktu sore. Sementara dia bekerja di rumah seperti gadis muda pada umurnya, 14 tahun. Mencuci, menjahit jala, menjemur jala hingga menumbuk udang untuk menjadi tepung yang dijual kepada orang Tionghoa.
Jalan ceritanya sederhana, dimana akhirnya si gadis pantai terlihat oleh seorang pembesar dan membuat pembesar itu ingin menjadikannya sebagai istri. Di sinilah kisahnya dimulai. Dia harus menjalani hidup dengan pola pikir untuk mengabdi. Aku sebagai pembaca disuguhi bagaimana jalan pikiran yang begitu sederhana dari orang rendahan di masa feodalisme dulu. Sungguh mereka bukanlah orang rendahan. Mereka adalah manusia yang sama. Tetapi, kasta ada di saat itu. Bangsawan atau yang mereka panggil Bendoro adalah penguasa mereka. Para pekerja atau yang dipanggil dengan istilah bujang, hanya hidup untuk mengabdi pada Bendoro. Mereka bekerja seperti budak dan mendedikasikan hidupnya untuk membuat Bendoro senang. Bagi mereka Bendoro adalah makhluk setingkat di atas mereka, dimana Bendoro dapat membuat keputusan bagi hidup mereka sementara di atas Bendoro tidak ada siapapun selain Tuhan.
Aku disuguhi adegan dimana gadis pantai tidaklah bersekolah, sehingga tidak bisa membaca ataupun mengaji. Di jaman itu, para bangsawan adalah kaum priyayi yang sudah memiliki darah biru turunan. Tubuh mereka kuning langsat dan pucat. Mereka tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau pekerjaan kasar. Mereka mendedikasikan waktunya untuk memerintah dan beragama. Di luar dugaan ternyata agama menjadi landasan mereka. Dan apapun yang dilakukan orang di bawah mereka yang miskin dan bodoh merupakan tindakan rendah yang dianggap karena tidak beragama.
Gadis pantai harus hidup dalam kurungan rumah gedung berbeda dari rumahnya di kampung. Waktu berjalan dan dia sudah memiliki ritme hidupnya sebagai seorang Mas Nganten, istilah bagi perempuan utama di rumah. Tetapi, banyak pertanyaan yang tidak terjawab, tentang mengapa kaum priyayi harus didewakan? Atau mengapa hidup demikian berbeda?
Hingga akhirnya suatu kali, salah seorang kerabat dari Bendoro yang dipanggil dengan istilah Agus, mencuri uang si gadis pantai. Keributan timbul dan bujang tua yang selama ini mengabdi pada gadis pantai mengadu pada Bendoro. Masalah selesai dimana Agus tersebut mengaku. Namun di luar dugaanku Bendoro tersinggung atas kelancangan si bujang. Petikan kalimatnya :
Kekurangan sahaya ialah... ialah... ialah karena saya terus berusaha setia pada Bendoro dan melakukan yang dijadikan kewajiban sahaya, karena itu sampai-sampai berani menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda.
Jadi kau tahu hukumannya?
Bagi orang semacam sahaya, Bendoro, sebenarnya tidak ada hukuman lagi. Hidup pun sudah hukuman.
Syirik! Tak tahu bersyukur pada Tuhan.
Mengejutkan! Kembali membawa kata Tuhan. Padahal di kalimat sebelumnya dia sudah mencoba menjadi Tuhan. Bayangkan, dengan mudahnya si Bendoro menyalahkan seorang bujang yang berani menggugat keluarganya, seakan secara tidak langsung ingin menyatakan bahwa karena bujang adalah bujang dengan kasta berkali-kali di bawah mereka, dia tidaklah boleh menggugat seorang agus yang lahir sebagai priyayi.
Mengejutkan. Munafik.
Si bujang akhirnya terusir dan digantikan oleh bujang yang lain. Seorang gadis muda yang sudah menjanda dan sebelumnya pernah menjadis istri pembesar lainnya. Dia adalah gadis kota dan berpendidikan, bisa membaca dan pongah. Mardinah tidak pernah menerima kenyataan bahwa yang menjadi mas Nganten yang harus dilayaninya adalah seorang gadis dari kampung nelayan. Maka dia selalu menusuk gadis pantai dan bertindak satu level lebih tinggi darinya.
Alur cerita bergulir hingga akhirnya gadis pantai tahu bahwa dia hanyalah istri sementara yang akan digantikan oleh istri sebenarnya yang akan diakui karena dia lahir dengan darah biru. Dia meminta pulang ke kampung untuk menjenguk orang tuanya karena sudah 2 tahun tidak pernah bertemu dengan mereka dan membawa banyak barang pemberian Bendoro serta ditemani Mardinah.
Konflik baru terjadi, dimana Mardinah merupakan orang bayaran dari Bendoro yang ada di Demak. Bendoro ini menjanjikan Mardinah untuk menjadi istri ke-5 dari Bendoro jika berhasil membuat Bendoro menikahi anaknya. Seorang priyayi boleh memiliki ribuan gundik, tetapi istrinya hanyalah orang yang lahir dari kaum priyayi juga. Disebutkan bahwa dengan beristrikan orang biasa dan membawanya menjumpai tamu, hal itu adalah penghinaan terhadap tamu tersebut. Seakan-akan kaum pekerja atau buruh atau apapun itu yang bukan priyayi, bukanlah manusia.
Bagi gadis pantai kembali ke rumahnya tidak lagi sama. Orang-orang memperlakukannya dengan kaku dan hormat yang berlebihan serta tidak tulus. Bahkan ibunya tidak berlaku seperti dulu dan bapaknya malah enggan berada di ruangan yang sama dengan dirinya. Ada penggalan dimana si gadis pantai meminta agar ayahnya menyebut namanya seperti biasa dan ayahnya tidak mau. (Aku penasaran dengan nama di gadia pantai karena sejak awal tidak pernah disebutkan sama sekali, hingga akhir buku itu.)
Cerita bergulir dimana orang sekampung mengerjai Mardinah dan akhirnya Mardinah memutuskan tinggal di kampung nelayan dan menjadi istri seorang nelayan. Gadis pantai kembali pada rumah gedungnya untuk melayani Bendoro seperti biasa.
Suatu ketika datang seorang tamu, Bendoro dari Demak. Gadis pantai mempersiapkan rumah dan di saat yang sama dia baru menyadari bahwa dia sedang hamil. Di malam yang sama, Bendoro mengaku bahwa dia tidak tahu menahu dimana keberadaan Mardinah pada tamu tersebut dan gadis pantai bersuara muntah. Suaranya terdengar oleh sang tamu.
‘Ah, mengerti aku sekarang!’ Dan diteruskan dengan nada menggugat, ‘mengapa tak kau taruh dia di kamar dapur? Tidak patut! Tidak patut! Lihatlah aku. Kau kira patut kau tempatkan dia di bawah satu atap dengan aku?’
‘Beribu ampun, Mas Ayu.’
Perjuangannya sewaktu hamil berlanjut. Bendoro bahkan tinggal di mesjid. Hingga suatu hari dia melahirkan seorang bayi perempuan. Bendoro bahkan tidak sudi melihat bayi tersebut. Kemudian cerita berlanjut dengan kasar, dimana Bendoro meminta ayah si gadis pantai menjemputnya.
Sudah dicerai. Gadis pantai tertampar, dia menangis, ingin memohon pada Bendoro untuk melihat anak mereka sekali saja. Di luar dugaannya Bendoro justru tidak mengijinkannya membawa putri itu dan mengusirnya seorang diri. Sewaktu dia berkeras untuk tetap membawa putrinya, Bendoro mengusirnya dengan kasar.
Pulang ke kampung, gadis pantai tidak kuasa pulang. Dia memilih pergi jauh dan meminta sedikit uang pada ayahnya. Tidak sanggup dia menatap mata bapak, ibu dan saudaranya. Tidak sanggup menatap mata penduduk kampung dan Mardinah. Dia pergi begitu saja.
Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar berhenti di depan pintu pekarangan depan Bendoro dan sebuah wajah mengintip dari kiraian jendela dokar, tapi tidak ada terjadi apa-apa di pekarangan itu. Lewat sebulan, tak pernah lagi ada dokar berhenti, tak ada lagi wajah mengintip dari kirainya.
Tamat!
Bagian tersedih dari kisah ini adalah ternyata kisah ini merupakan trilogi yang artinya terdiri dari 3 jilid buku. Gadis Pantai adalah kisah awal dan masih ada 2 buku lagi yang tidak akan pernah bisa kubaca. God damn it!
Akibat vandalisme angkatan darat, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan kekerdilan tradisi aksara. Menyedihkan. Sungguh. Aku tidak lagi bisa mengetahui apa yang terjadi pada gadis pantai, pada anaknya hingga hidup setelah itu. Sebenarnya kalau saja di awal tidak ditulis pengantar demikian, mungkin aku tidak akan memikirkannya. Aku akan membacanya dengan perasaan gantung pula. Tetapi karena sudah disebutkan bahwa terdapat lanjutan yang tidak bisa aku baca, rasanya hatiku ikutan kosong. Seperti ada bagian yang hilang pula.
Aih.
Namun demikian, buku ini mengagumkan. Cara bapak Pramoedya menulis sangat jenius. Gila. Indah. Nyata. Jelata. Tapi sederhana seperti layaknya hidup itu.
Pekanbaru, 09 April 2016 23.58
- C. Narasia
Quote dari buku ini :
‘Kalau kau kuat sekalipun, jangan kau tentang maut kalau tak perlu.’ (hal 83)
‘Bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya. Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya. Orang rendahan ini, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari.’
0 notes
Text
Nama Bayi Perempuan: Rangkaian dan Arti Nama Xylia
Nama Bayi Perempuan: Rangkaian dan Arti Nama Xylia
Arti Nama Xylia – namaanakperempuan.net. Bagi orangtua yang memiliki bayi perempuan pasti sedang bingung ketika memilih nama bagi anaknya. Bapak/ibu tidak boleh asal dalam memilih nama tentu harus cermat. Ketahui dahulu dengan baik seperti maksud nama, makna nama bahkan arti nama itu.
Seperti nama anak cewek Xylia. Dari arti kata Xylia bagus sebagai bentuk cinta kasih kepada anak tercinta. Tidak…
View On WordPress
#Arti Xylia#Gabungan Nama Xylia#Makna Nama Xylia#Maksud Nama Xylia#Nama perempuan yang artinya sedikit ombak#Rangkaian Nama Xylia
0 notes
Text
Nama Bayi Perempuan: Rangkaian dan Arti Nama Xilia
Nama Bayi Perempuan: Rangkaian dan Arti Nama Xilia
Arti Nama Xilia– namaanakperempuan.net. Pasangan yang baru memiliki anak perempuan pasti kebingungan mencari nama untuk calon bayinya. Ayah/Bunda harus memilihnya dengan teliti dan bijak. Telusuri baik-baik arti nama, maksud nama atau makna nama bayi.
Nama anak perempuan yang bisa jadi pilihan terbaik misal Xilia. Makna kata Xilia bagus dan dapat kado terindah buat bayi perempuan tersayang. Xilia…
View On WordPress
#Arti Xilia#Gabungan Nama Xilia#Makna Nama Xilia#Maksud Nama Xilia#Nama perempuan yang artinya sedikit ombak#Rangkaian Nama Xilia
0 notes