#Nama Arti Tekun Untuk Anak Laki Laki
Explore tagged Tumblr posts
Text
29 Nama Bayi Laki Laki Yang Artinya Tekun
29 Nama Bayi Laki Laki Yang Artinya Tekun
tanyanama.com – Nama bayi laki laki modern berikut ini adalah kumpulan nama lengkap untuk laki-laki yang mempunyai arti Tekun. Nama anak laki laki ini tentunya bisa dikombinasikan dengan nama lain untuk membentuk sebuah rangkaian nama bayi laki laki 2-3 suku kata yang cocok dengan makna nama yang pas dan indah untuk calon bayi laki laki Anda.
Ketika mencari ide nama bayi laki laki yang baik,…
View On WordPress
#Nama Anak Laki Laki Arti Ketekunan#Nama Anak Laki Laki Arti Tekun#Nama Anak Laki Laki Dan Artinya Ketekunan#Nama Anak Laki Laki Dan Artinya Tekun#Nama Arti Ketekunan Untuk Anak Laki Laki#Nama Arti Ketekunan Untuk Bayi Laki Laki#Nama Arti Tekun Untuk Anak Laki Laki#Nama Arti Tekun Untuk Bayi Laki Laki#Nama Bayi Laki Laki Afrika#Nama Bayi Laki Laki Amerika-Inggris#nama bayi laki laki arab#Nama Bayi Laki Laki Arti Ketekunan#Nama Bayi Laki Laki Arti Tekun#Nama Bayi Laki Laki Dan Artinya Ketekunan#Nama Bayi Laki Laki Dan Artinya Tekun#Nama Bayi Laki Laki Indonesia#Nama Bayi Laki Laki Indonesia-Manado#nama bayi laki laki inggris#Nama Bayi Laki Laki Inggris-Amerika#nama bayi laki laki islami#Nama Bayi Laki Laki Jawa#nama bayi laki laki jerman#Nama Bayi Laki Laki Tionghoa
0 notes
Text
Sepatu Kesayangan Bapak dan Rosario Terbaik Mamak
Bapak
Ibuku (aku biasa memanggilnya Mamak), jelas lebih pintar dari ayahku (yang biasa aku panggil Bapak). Ibuku tamatan S1 Pendidikan Guru Agama Katolik dari salah satu universitas di Malang (sampai sekarang aku tidak tahu nama universitasnya). Ayahku hanya tamatan D3 Pendidikan Bimbingan Konseling IKIP Medan pada zamannya.
Ayahku adalah pria yang sangat pendiam. Jika tidak diajak untuk berbicara terlebih dahulu oleh orang lain, dia akan memilih diam saja. Mungkin ini juga termasuk efek samping dari pribadinya yang merasa minder terhadap kolega-koleganya. Ayahku sampai saat ini pun, seperti selalu dikatakannya, “Kita cuma punya rumah ini”, rumah kotak nan sederhana milik keluarga kami di Kabanjahe (yang bahkan cicilannya belum lunas sampai saat ini) sebagai harta bendanya. Dia terlambat menikah sehingga umurnya yang sudah tua tidak diimbangi dengan anaknya yang sudah mapan atau berkeluarga selayaknya kondisi teman-teman seangkatannya saat ini. Kemanapun dia pergi, dia selalu mengandalkan kakinya, berjalan kaki dan naik angkutan umum disaat orang lain (bahkan yang lebih muda darinya) sudah memiliki kendaraan pribadi.
“Mari Pak!” ujar orang lain biasanya setelah membunyikan klakson mobilnya saat mendapati ayahku sedang berjalan kaki menyusuri jalanan.
Namun, setelah belasan tahun menjadi anaknya, aku setuju pada pernyataan Andrea Hirata pada novel Sang Pemimpi bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih sayang yang jauh lebih berlebih dibanding pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya.
Sore itu kusampaikan kabar pada ayahku terkait hari wisudaku.
“Pak, aku jadinya wisuda tanggal 22 Oktober ya. Nanti aku yang belikan tiket pesawatndu biar datang kam sama Mamak sama adek Nuel”, ujarku dari telepon.
Aku memiliki ekspektasi bahwa beliau akan bersemangat mendengar hal ini. Seperti yang selalu dia katakan, “Kalau bukan karena kalian sekolah, kayaknya ga bakal pernah aku keluar dari Sumatera Utara ini”. Ya benar, sejak kecil ayahku selalu hidup di kampung. Hidup di tengah keluarga yang masih kolot yang tidak mementingkan sekolah, serta sebagai anak yang termuda, dia banyak mengalah demi abang-abangnya sehingga dia tidak pernah memiliki kesempatan bahkan untuk bermimpi bersekolah tinggi, kuliah ke Tanah Jawa (begitu orang-orang di kampungku menyebutnya).
“Iya nakku”, jawab beliau merespon dengan singkat.
Sampai pada saatnya tiba, Oktober 2016 lalu, ayah ibu dan adikku datang ke Bandung untuk menghadiri acara wisudaku. Pagi itu di hari H, dia mengeluarkan batik berwarna cokelat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia memakainya dengan sangat bangga. Baru setelahnya aku mendengar cerita dari ibuku, bagaimana ayahku sangat bersemangat mempersiapkan baju itu untuk hari wisudaku.
“Ayo Mak, kita jahitkan dulu satu bajuku baru untuk wisuda Ika”, begitu ibuku menceritakan pernyataan ayahku.
Ayahku yang jarang-jarang punya baju baru (hampir 90% bajunya adalah baju bekas (loak, kami menyebutnya demikian di Kabanjahe) itu, dengan sangat antusias membuat baju baru demi hari wisuda anaknya yang pertama tutur ibuku.
Pagi itu juga, ayahku mengeluarkan sepatunya, sepatu kesayangannya yang disimpannya di bawah tempat tidur, salah satu dari hanya 3 sepatu yang pernah dibeli ayahku seumur hidupnya, yang hanya digunakannya untuk acara-acara penting saja (yang mungkin akan dipakainya juga saat aku menikah nanti :)). Ya, hari itu, hari wisudaku, pastilah hari besar bagi beliau.
Hari itu, namaku disebutkan di gedung Sasana Budaya Ganesha yang telah melahirkan ribuan lulusan ITB lainnya. Puji Tuhan kuliahku bisa kuselesaikan dengan hasil yang memuaskan. Saat kuserahkan ijazahku kepada ayahku, seperti biasa, tidak ada satu katapun yang diucapkannya. Ayahku hanya menepuk-nepuk pundakku dan tersenyum hangat. Dapat kutangkap keharuan sekaligus kebanggaan besar dalam dirinya, seolah mengatakan bahwa aku adalah harapannya, pahlawannya, yang diharapkannya dapat mengangkat harkat dan martabat keluargaku. Segala jerih payahnya selama ini seakan terbayar. Senyum tersebut, betapa aku mencintai laki-laki pendiam ini sepanjang umurku.
Mamak
Ibuku jelas sosok wanita terkuat yang pernah kukenal dalam hidupku. Di keluargaku, dia selalu bangun paling pagi dan tidur paling larut. Segala pekerjaan rumah dikerjakannya dengan tekun. Pagi-pagi benar sekitar pukul 4 dia sudah bangun untuk mempersiapkan makanan untuk keluarganya. Masakannya adalah makanan terenak yang pernah kumakan sepanjang hayatku, apapun jenis masakannya. Beliau mengajar di sekolah dan sepulang sekolah dia akan pergi bertani di ladang kecil milik orang lain di samping rumah kami yang dipinjam untuk bisa ditanami dari pada hanya dianggurkan begitu saja (tentu saja hasil pertaniannya biasanya dibagi dengan si pemilik tanah). Hal itulah yang biasanya dilakukan ibuku, setidaknya sebelum kakinya sakit seperti sekarang ini yang bahkan untuk berjalan saja pun beliau kesulitan. Pada malam hari, dia akan mempersiapkan makan malam untuk kami sekeluarga. Setelahnya, bersama ayahku, dia pun mengajari kami (walaupun mungkin pada sebagaian besar waktu dia akan berkata, “Aduh udah ga bisa lagi Mamak ajari kayaknya kam Kak, udah ga ngerti lagi Mamak pelajaranndu itu.”)
Hidupnya penuh dengan iman dan pengharapan kepada Tuhan. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh atas hidupnya dan selalu bersyukur atas apapun yang dimilikinya saat ini. Dia selalu mengawali harinya dengan mendengarkan firman Tuhan. Aku dan adik-adikku sebagai anak diajarkan beliau untuk melakukan hal yang sama, tapi kemalasan anak-anaknya yang sangat parah ini biasanya berujung pada ketidaktaatan pada ajakan tersebut.
Jika aku mengeluhkan sesuatu pada ibuku, dia pasti akan menjawab dengan himbauan untuk berdoa kepada Tuhan. Masih teringat jelas di benakku saat aku mengeluh kesusahan kuliah di ITB dan merasa salah masuk fakultas.
“Tenang nakku! Berdoa kam ya Kak. Berdoa sama Tuhan. Ga mungkin salah kok. Udah yang terbaik semua yang dikasi Tuhan itu nakku. Udah direncanakannya itu untukndu. Jadi jalani aja ya, syukuri, pasti bisa!” balasnya via telepon.
Jika aku menangis, dia akan mengusap-ngusap pundakku dan memelukku untuk menenangkanku. Jika aku, jika aku, dan banyak jika aku lainnya, ibuku selalu ada menjadi jawaban.
Hari itu, setelah menghadiri acara wisudaku dan akan kembali pulang ke Kabanjahe, ibuku menitipkan sesuatu kepadaku yang katanya hadiah wisuda untukku.
Rosario terbaik milik ibuku, “Ini buat kakak ya Kak. Setelah ini apapun kesusahan hidupndu, kalo lagi sedih kam, kalo lagi susah kam, jangan lupa berdoa ya nakku. Andalkan Tuhan!” katanya sambil memeluk aku erat.
Ku tahan air mataku dan kupandangi punggung ibuku yang berlalu masuk bandara. Betapa aku mencintai wanita yang tangguh itu sepanjang umurku.
Hari ini, ayah dan ibuku merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 24. Aku berdoa semoga mereka senantiasa saling mengasihi, sehat selalu, dan panjang umur. Mereka yang sudah menjadi panutan buat aku dan adik-adikku, yang telah mengajarkan kami arti dan cara hidup - aku sangat bersyukur.
Kemudian aku bertanya dalam hatiku, apabila aku menjadi orang tua kelak, apakah aku bisa sehebat mereka?
5 notes
·
View notes