#MegaProyekTol
Explore tagged Tumblr posts
Text
Rencana Mega Proyek Tol Gilimanuk-Mengwi Mengancam Tri Hita Karana, Subak dan Adat
BALIPORTALNEWS.COM - Senin, 5 September 2022 telah dilaksanakanan Diskusi publik dengan tema “Masa Depan Subak Menghadapi Mega Proyek Tol Gilimanuk-Mengwi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Bali bertempat di Pasraman Satyam Eva Jayate, Penatih, Denpasar Timur. Diskusi ini mengundang empat narasumber yaitu DR (HC). Ida Bagus K Susena, S.Kom (Ketua Puskor Hindunesia), I Made Kariada, SE., SH., MH. (Pakar Hukum), Gede Kamajaya, S.Pd., M.Si. (Sosiolog Universitas Udayana), dan Prof. Dr. Ir., Wayan Windia., SU (Akademisi Pertanian Universitas Udayana). Namun Akademisi Pertanian Universitas Udayana Prof Windia berhalangan hadir karena kendala Kesehatan. Dalam pemaparan materi oleh Bapak Ida Bagus Susena menyatakan bahwa pada dasarnya, kita bukan anti pembangunan, namun pembangunan yang dilakukan haruslah berkeadilan sosial dengan memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat. Dengan rencana pembangunan Mega Proyek Tol Gilimanuk-mengwi akan berdampak buruk pada sektor pertanian yang akan menerabas ratusan hektar sawah produktif terlebih lagi Bali sudah mengalami defisit pangan juga menerabas banyak rumah masyarakat lokal di kabupaten Jembrana, Tabanan dan Badung. Persoalan lalu lintas yang ada selama ini ada dikarenakan banyaknya truk bermuatan melebihi kapasitas yang lolos dari pengecekan karena maraknya pungli untuk memfasilitasi supir truk yang membawa truk bermuatan melebihi kapasitas atau Over Dimension Over Loading. Pemerintah Pusat sedang menggalakkan tol laut yang berguna untuk mencegah jalan dipenuhi oleh mobil pengangkut barang. Shortcut dirasa masyarakat lebih cocok dikarenakan mampu mempercepat akses tanpa menerabas subak dan rumah masyarakat. Sistem transportasilah yang perlu kita perbaiki aspal di jalan arteri dan angkutan umum yang nyaman. Pariwisata Bali dikenal dunia bukan karena insfrastruktur, namun karena pariwisata budaya. Subak sebagai akar kebudayaan Bali saat ini peraturan yang berpihak kepada subak atau sektor pertanian di Bali masih sangat lemah. Sangat banyak petani sering tidak mendapat air dikarenakan air dimaksimalkan untuk kepentingan pariwisata. Alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali untuk pembangunan rumah dan proyek-proyek seperti Tol Gilimanuk-Mengwi padahal subak merupakan warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO sejak tahun 2012. Pembanguanan Mega Proyek Tol Gilimanuk-Mengwi akan sangat mengancam budaya dan ketahanan pangan Bali. Pembangunan di Bali sebagai ekosistem pulau kecil tidak bisa disamakan dengan pulau besar seperti Pulau Jawa. Unsur Tri Hita Karana merupakan acuan utama dan pembangunan di Bali dengan mengedepankan kebutuhan religious dan budaya. Bapak Gede Kamajaya menyampaikan metode pembangunan di Bali sekarang tidak lagi berpihak pada bidang pertanian, kurangnya dukungan pemerintah terhadap pertanian membuat minimnya generasi muda Bali untuk bercita-cita menjadi petani. Beliau mencontohkan air bendungan untuk subak Tabanan di bawa ke Badung untuk keperluan pariwisata. Pertanian Bali pada masa konolial jauh lebih baik dibandingkan sekarang dengan Bali swasembada pangan pada masa tersebut. Eksploitasi besar besaran terhadap air tanah Bali menyebabkan menurunnya air tanah di Bali sekitar 50-meter pada tahun 2019. Beliau menambahkan kondisi Masyarakat Bali yang sangat tabu untuk berbeda pendapat dan dalam realita lebih sering suryak siu dan tak berani berargumen karena sering kali menjadi sorotan jika berbeda pendapat. Pembanguanan haruslah Sustainable atau berkelanjutan untuk memikirkan generasi selanjutnya dan tidak hanya untuk kepentingan sesaat, partisipatif harus melibatkan masyarakat terdampak serta masyarakat secara umum, dan ekologis melaui uji kelayakan oleh kementria lingkungan hidup. Tiga hal tersebut tidak dapat dilihat secara partial atau tidak bisa dipisahkan dari syarat pembangunan di Bali yang menjadikan Tri Hita Karana sebagai landasan pandangan hidup masyarakat Bali. Bapak Kariada menyampaikan Pembangunan Tol Gilimanuk-Mengwi dinaungi oleh Undang Undang Cipta Kerja. Dalam Undang Undang Cipta Kerja pembangunan didasarkan pada kajian sosial dan ekonomi dan aspek lainnya dikesampingkan. Pembangunan di Bali berlandaskan Tri Hita Karana yang selalu mengutamakan kajian religi, budaya dan lingkungan. Pembangunan di Bali tidak bisa dihitung dalam matematika yang hanya memandang sosial dan ekonomi. Dalam situasi ini pertanyaannya adalah apakah Bali membutuhkan Mega Proyek Tol? Persoalan dilapangan menunjukkan adanya komunikasi satu arah, dimana rakyat hanya diberitahukan tanpa ada dialog dan juga banyaknya ketidaktahuan publik terkait dengan hal teknis seperti data jumlah lahan sawah, hutan, dan rumah yang terancam terkena Mega Proyek Tol Gilimanuk-Mengwi. Jalan arteri yang sudah ada inilah yang seharusnya menjadi jalur yang bebas hambatan dengan memastikan tidak ada truk over dimention over loading yang pastinya akan membuat jalan menjadi lancar. Pembangunan Bali di era sekarang cenderung tidak melibatkan publik dan dilaksanakan secara diam-diam dan komunikasi satu arah tanpa melibatkan pertimbangan maupun aspirasi masyarakat yang akan terdampak dari setiap pembangunan. Dialog dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali perlu dilakukan masyarakat untuk trasnparansi informasi. Salah satu peserta diskusi menyampaikan pernyataan bahwa kita perlu mengetahui siapa pemilik Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi tersebut, dan apakah warisan leluhur yang dengan penuh perjuangan waktu, tenaga dan perasaan dipertahankan dari abad ke abad akan kita jual dengan sedemikian murahnya kepada pihak yang bahkan belum jelas. Beliau menyampaikan pengalaman melewati jalan Tol dan biaya untuk melewati jalan tol sangatlah mahal dan kemudian apakah ada kontribusi untuk rakyat Bali? Berapa mitigasi air yang terputus? Bagaimana perubahan iklim akibat alih fungsi lahan akibat rencana pembangunan Mega Proyek Tol Gilimanuk-Mengwi? Berapa desa adat yang terbelah? Hal hal semacam tersebut sangatlah penting diketahui masyarakat untuk dialog dengan masyarakat sebelum pengambilan keputusan. Yang menjadi permasalahan adalah ketidak transparanan data yang diberikan kepada masyarakat dan terkesan ada yang disembunyikan dari masyarakat.(I Putu Dika Adi Suantara, Ketua Biro Kajian dan Isu Pimpinan Daerah KMHDI Bali) Read the full article
0 notes