Tumgik
#Lihat Fotonya!
ibnufir · 7 months
Text
Surat cinta untuk putriku
Awal tahun ini bikin email untuk anak pertama, saat usianya tiga tahun. Pake namanya sendiri.
Ternyata akun gmail untuk anak bisa dikelola orang tua sampai dengan 13 tahun. Itu artinya, saat usianya 13 tahun anak sudah dibolehkan mengakses emailnya sendiri.
Meskipun saya rasa, usia itu masih belum cukup untuk memahami pesan yang dikirimkan.
Mungkin saat usianya 17 tahun, atau ketika memasuki perguruan tinggi passwordnya akan saya berikan.
Alasan kenapa bikinin email, karena ada banyak sekali pesan dan peristiwa yang terlewat gitu aja.
Pas lihat-lihat kembali galeri foto "loh ini kapan yah, ini di mana, lagi ngapain kita?" Padahal sudah banyak banget fotonya dan bikin galeri penuh.
Ya, hanya sekumpulan foto tanpa cerita.
Ketika sudah besar nanti, disaat kk buka foto-fotonya, buka albumnya waktu kecil, barangkali disaat itu saya akan kebingungan menjelaskan peristiwa detailnya.
Bukan ingin menjadi orang tua yang dianggap perjuangannya.
Tapi lebih ke dia berhak tau aja cerita masa kecilnya, yang suatu saat kita akan lupa dan tidak bisa mengingat semuanya dengan jelas.
Meskipun sudah terlambat, tiga tahun terlewat yang rasanya baru kemarin. Tetapi teramat sulit untuk diceritakan kembali.
Entah akan mengirim berapa banyak surat nantinya. Dan entah dia bakal baca atau engga.
Entah apakah gmail ini dua puluh tahun mendatang apakah masih bisa dipakai.
Saya hanya ingin dia tau perasaan-perasaan yang kami rasakan sebagai orang tua ketika memilikinya.
Betapa berharganya dia dan betapa kami cintainya anugerah yang telah Tuhan titipkan kepada kami.
Sehingga ketika dewasa nanti dia merasa tidak dicintai seperti yang dia inginkan, dia pun tetap bisa melihat bagaimana orang tuannya memberikan kasih sayangnya.
Karena seringkali kita berbeda pandangan perihal bahasa cinta.
Ingin dicintai seperti apa, ingin mencintai dengan cara apa.
Ini baru cerita kakak, belum nanti cerita adek.
Saya hanya bisa membayangkan, saat dewasa nanti mereka bisa bertukar cerita ketika membuka emailnya masing-masing.
Cerita yang mungkin sering mereka jadikan pertimbangan kasih sayang kepada siapa yang lebih besar.
Tetapi ternyata sama berharganya dengan ceritanya sendiri-sendiri.
—ibnufir
86 notes · View notes
khairunnisaamci · 2 months
Text
"Dialog"
"Bodoh kau, Sukab. Kau pikir mengirim foto perempuan ke grup yang isinya laki-laki itu soalan kecil? Kau pikir itu layak kau sebut "hiburan"? Memang hiburan itu, untuk laki-laki murahan."
"Ya itukan cuma bahan di grupku saja, Cha. Biar hidup itu grup, biar seru. Cuma memang bangsat itu yang membocorkan isi grup ke luar, orang lain jadi tau, mudahlah orang jadi memandang buruk ke arah kami, aishh. Padahal mereka juga punya aib, tak segan-segan kubocorkan juga itu!"
"Kau yang bangsat, Sukab. Pakaianmu saja yang bergamis, terlihat agamis tapi otak kau cabul.
Dan masih pula kau pusingkan pandangan orang? Cih, baik kau khawatirkan bagaimana Tuhan memandangmu sekarang.
Jangan, Sukab. Jangan kau jadi laki-laki murahan! Tak tentu dimana qowwamahmu, lisanmu kotor lagi tajam ke perempuan, bicaramu tak berbobot tak berbukti, mulut serampanganmu itu buat kau sempurna jadi tong kosong nyaring bunyinya. Laki-laki macam apa itu, Sukab?
Buat apa kau mencak-mencak? Kayak bocah! Lagipula ya, bukan soalan aibmu... sebab toh di luar sana banyak juga laki-laki yang buat salah tapi dia berdiri dengan gagah, mengaku salah, minta maaf dan memperbaiki. Tak sudi ia lempar salahnya kesana-kemari karena bukan seperti itu sikap laki-laki perkasa. Itu yang bikin orang rispek berat, Sukab karena ia jadi laki-laki yang utuh; gagah, melindungi, mengayomi, membimbing lagi lihai mengemudi hidupnya sendiri dan melindungi orang lain.
Sudahlah, Sukab bodoh. Sesederhana fungsi muliamu diciptakan Tuhan untuk melindungi wanita saja kau tak becus, malah kau sebar fotonya untuk santapan nafsu kau dan teman-temanmu itu. Asal kau tau, itu bentuk laki-laki murahan, Sukab. Bukankah ibumu perempuan ha?! Apa saat kau dan teman² gilamu itu membicarakan payudara dan bokong wanita itu tak ingat kau pada ibumu? Ibumu, Sukab. Ibumu! Ibu kalian itu juga perempuan.
Dasar laki-laki gila! Atau minimal kau malulah pada nilai qowwamah yang Tuhan sematkan padamu.
Taubatlah dari prilaku busukmu itu. Dan berhati-hatilah kau dari menyakiti jiwa yang tidak dapat membalas kejahatan kecuali dengan erangan yang hanya dapat didengar oleh Tuhan."
dan serbuan doa dipanjatkan dari lisan wanita di tengah malamnya, moga Sukab tak kehilangan wibawa dan qowwamahnya, minimal untuk kehormatan dirinya sendiri.
Doa itu dipanjatkan sebab si wanita yang berdiri menikmati waktu mengadunya ke Tuhan paham betul bahwa laki-laki adalah bagian penting koentji peradaban agama ini, bila kedepannya laki-laki terus saja jadi murahan, habislah ummat digelondong kenaasan.
Bila kedepannya si laki-laki ini terus saja bodoh bengkok begitu, siapa kemudian yang hendak meluruskan perempuan yang pada fitrahnya memang bengkok tapi padanya juga kunci kegemilangan generasi dihadiahkan? Tidakkah kau lihat, busuknya ikan selalu dimulai dari kepala?
"tidaklah mulai kecuali laki-laki yang memuliakan wanita, dan tidaklah hina kecuali laki-laki yang menghinakan wanita"
-Rasulullah, Muhammad peace be upon him.
Jakarta, Mampang Prapatan, 12 Juli 2024
3 notes · View notes
masbaper · 5 days
Text
Seketika aku menyadari kalau aku sudah "biasa aja". Padahal dulu kalau gak sengaja lihat medsos dia atau nemu foto dia, aku kayak kena serangan panik. Rasanya takut banget mau lihat hp.
Tapiiiii hari ini gatau kenapa semua perasaan itu hilang, bahkan aku bisa banget zoom fotonya dan melihat dia kayak orang asing lalu menekan tombol hapus.
Alhamdulillah
Rasanya semelegakan itu ternyata.
2 notes · View notes
piecesofmylife · 22 days
Text
Berdamai
Dua hari ini bersliweran foto-foto wisuda UI, temen-temen w banyak bener yang udah lulus S2 yak. ada yg fisip, ekonomi sampe lanjut FKM lagi. so proud of them. tetapi sungguh ada yang mengganggu perasaan saya.
yes, apalagi kalau bukan "harusnya aku juga disana.. mendampingi suamiku wisuda spesialisnya...."
ditambah lagi, lihat postingan kak silmi, sesama pejuang istri residen 4 tahun.. teman-teman suami saya.. mereka berpose bahagia. jujur dari hati yang terdalam, kok sedih ya rasanya?
awal tahun lalu, saya sudah berekspektasi, agustus ini bapak suami akan selesai. berasa bisa bernafas sebagai pencari nafkah utama di keluarga. saya sudah berandai bisa ikut foto di fk ui salemba pakai kebaya, lalu foto mendampingi beliau pake toga warna hijau dengan dua selempang. saya sampai mikir "lepas behel aja kali ya biar fotonya cantik?" diet lumayan, supaya bagus fotonya. wkwk. yah, mengkhayal dan berekspektasi memang menyenangkan saat itu. tapi saat melihat realitanya, kadang perlu mengambil nafas dalam.
kemarin malam saya sampai nangis, haha kenapa ya. sedih, perjuangan masih berlanjut sampai tahun depan. karena, walau mungkin beliau sudah bisa yudisium bulan oktober (aamiin) tetapi ijazah baru keluar bulan maret tahun depan. belum lagi menunggu STR dan SIP. kadang rasanya ingin teriak "sampai kapan aku harus menunggu~~"
Saya gatau harus menulis apa dan gimana, yg hari ini wisuda pun pasti perjuangannya luar biasa. S2 sambil kerja, sambil ngurus anak, sambil menunggu jodoh.. ya namanya postingan istagram, fana. tp tetep aja bikin iri hati. harusnya saya sih yang bersihin hati.
ambil napas, buang..
kemarin pagi saya juga telponan sama adik saya. dibalik sedihnya ga bisa foto wisuda tahun ini, sebenarnya ada kegusaran dalam hidup saya. iya, saat ini saya sedang hamil 15 minggu, dan arfa tahun depan masuk SD. wich is, harus siapin dana yang cukup lumayan.
sejujurnya aku yakin rezeki Allah yang sudah atur. insyaAllah juga ada tabungan. tapi yah, uang saku dari mama mertua di rekening suami sudah setipis tisu. bulan-bulan kedepan, harus spending lumayan besar plus kontrol hamil. aku yakin Allah cukupkan rezekiku.. tapi ya tetep aja ada rasa khawatir:")
kata adik saya, yang saya rasakan itu wajar. kembali, coba komunikasikan lagi ke suami. dan ya, sebenernya yang bikin saya lebih sedih karena saya sudah berekspektasi ini itu di awal, "andai aja elu ga berekspektasi sebentar lg laki lu lulus, dan lu ga harus kerja sendiri.. mungkin lo gaakan sesedih ini. yaudah give secukupnya aja. krn lo kasih banyak, lo juga berharap banyak. yg penting lo sudah sampaikan kegelisahan elo. dan ya mau gimana lagi, kondisinya kaya gini, bukan maunya dia juga ga lulus sekarang kan?
satu lagi, gue paham kegelisahan elo. kalo gue pernah nonton video, itu karena psichologycal elo about money. insyaAllah mah cukup-cukup aja. tp lo butuh ambang batas nilai yg cukup di rekening lo supaya lo merasa save. jadi, yg perlu diperbaiki ya psikologisnya, plus gue coba bantu untuk up ambang batas di rekening elo ya. yaudah, coba nonton video yg gue share. gapapa, semangat ya kak!"
iyes, satu poin itu bikin saya ngerasa lebih rileks. intinya:
Ekspektasi
Psikologis terkait money
duaduanya harusnya bisa pelan-pelan diperbaiki. insyaAllah selama ini Allah cukupkan. setiap anak pasti sudah diatur rezekinya sama Allah. kalau sekarang harus lebih sabar dulu, lebih irit dulu, yasudah jalani saja.
ga perlu membandingkan diri dengan temen-temen yang sudah lulus S2, punya rumah, punya mobil, punya ART, bisa lebih santai hidupnya. saat ini mungkin Allah lagi kepengen saya lebih banyak bekerja keras. mudah-mudahan ada masanya nanti lebih baik.
dear adik bayi, kita berjuang bersama ya sayang. semoga bunda dan adik bayi sehat, bisa bertumbuh dengan baik. lahir dengan kondisi yang sehat, baik, sempurna dan Allah mampukan bunda mendidik adik bayi menjadi hamba yang bertaqwa kepada Allah. aamiin.
walau hati kadang masih sedih, tp semoga Allah lapangkan, Allah luaskan ya.
terima kasih ya Allah atas segala nikmat yang Engkau beri. ampuni hamba jika masih banyak kesalahan yang hamba buat. semoga hamba bisa mendekatkan diri lebih dekat lagi kepada Engkau.
3 notes · View notes
lamyaasfaraini · 7 months
Text
Day 10 - Childhood memory
30 days photography challenge
Tumblr media
Foto2 ini udah tersimpan di galeri, lupa kapan fotoin dari album fotonya langsung.
Duh kalo nyerita atau liat2 lg foto masa kecil itu beneran lsg waas dan keueung gituloh, paham ngga sih? Mana masih ada ibu pula ya Allah pengen nangis :( ibunya masih muda segar cerah ceria. Cuma bisa mengenang aja lihat senyum manis dan cantik ibu huhu.
Foto pertama masih jadi anak tunggal baru brp bulan ituu, 5-6 bulan yah kayanya, soalnya itu ada tulisan di fotonya jun 89 wkwk lawaaassss.. Ibu belom pake kerudung saat itu.
Foto kedua yg kanan atas, kaya lg ada acara dirumah tp lupa acaranya siapa dan kalo ngga salah msh jadi anak tunggal tp udah mau jadi calon kakak. Saat itu ibu lg mengandung adikku. Berarti sekitar tahun 91/92 dan ibuku udah mulai berhijab. Foto 1 dan 2 gemesin yah akutu huahaha.. Pernah lucu gening akutu
Foto ketiga kiri bawah, wah udah ber4 nih. Adikku jg udah gede itu tp lg rese2nya tantrum mele, segala keinginannya harus dipenuhi, sampe pusing aku sbg tetehnya wkwk. Lokasinya dirumah emak (ibunya bapak) singaparna, tasik. Tempat fav kami saat liburan. Kayanya sih aku dah SD, adikku berumur sekitar 3 thn kayanya.
Foto keempat yg terakhir, di cibodas lagi ada fam gath nya kantor bapak, tapi kayanya sih gara2 ibu punya bayi alias adikku, bapak cuma ngajak aku doang. Bapak hobi bgt ngajak kemana2 berdua, ke tasik jg sering bgt berdua naik bisa saat itu dan aku mau2 aja lagi berduaan bapak haha padahal bapak ngga sehangat itu orgnya. Ini umurku kayanya 4/5 thn.. Btw, aku suka bgt sama jaket bapak yg ini warnanya lilac trus fit aja gt keliatan lebih muda (ya emg msh muda wkwk, msh 30 tahuan pasti atau akhir 20an).
Nah tau kan gen rambut tebal lurus berkilaunya dari mana, iyakkk itu bapak rambutnya ya begitu.. Kalo ibu keriting, tipis.. 2 anaknya ngga ada nurunin rambutnya hehe.
5 notes · View notes
am1905pm · 2 years
Text
Kesempatan Kedua yang Terakhir [Johnny Suh]
Tumblr media
"untuk yang dipaksa berpisah, sebab katanya hidup bukan hanya soal cinta. tapi juga urusan perut dan trah yang patut selalu dijaga."
- Salazar dan Radea mungkin adalah kamu di sisi lainnya dunia. selamat membaca! -
***
Konser penutup kali ini benar-benar menguras tenaga gue bahkan sampai ke isi sel-selnya. Masih dengan pening di kepala, gue menatap wajah lelah teman-teman gue yang kini tidur di sofa pun di atas karpet.
"Party?" satu tanya gue membuat keempatnya menoleh dan membuka mata.
Si manusia yang paling diam di antara kami hanya menggeleng, "Gue skip, mau balik ke rumah."
"Gue juga nggak dulu, mau anter mantan," ucap si paling tampan yang gue bersumpah harus dapat perempuan paling cantik luar dalam di hidupnya.
Tawa gue menyela, "Mantan terussss!"
"Ya daripada elo Bang Sal, mantan nggak ada, pacar nggak punya, gosipan doang lo banyakin!" seruan dari si bungsu memancing gelak tawa yang lainnya.
Refleks gue berdiri dan mengambil sebotol beer yang ada di lemari pendingin. "Salah gue?"
"Iya, soalnya lo nggak pernah mau serius."
Teman-teman gue tuh beneran kompak kalau soal urusan sindir-menyindir seperti ini. Padahal kehidupan percintaan mereka juga nggak benar-benar amat, tapi yang selalu jadi bulan-bulanan selalu gue, hanya karena nama gue sering mampir di akun-akun gosip itu.
"Bukan gamau, belum nemu aja," kali ini gue berkata dengan penuh kejujuran, tapi sepertinya mereka masih menganggapnya gurauan. Karena tetap saja jawaban berikutnya yang mampir membuat gue tertawa kecut.
"Makanya dicari yang bener, jangan porta parti terus, Bang."
"Bawel deh bocil!"
Gue baru akan kembali duduk ketika manager kami masuk sambil mengipasi dirinya dengan kertas putih. "Sal, dicariin tuh sama orang di depan."
"Siapa?"
"Siapa deh namanya tadi."
"Lah siapa? Lagian tumben banget lo iya-iyain aja kalau ada yang nyariin gue. Wartawan?"
Gelengan kepala dia berikan sebagai jawaban, sembari matanya bergerak ke sana ke mari mengingat informasi yang gue juga nggak tahu apa. Ibu jari dan jari tengahnya kini kompak memberikan bunyi jentikan yang nyaring. "Radea!"
"Hah? Radea?"
Hanya ada satu Radea yang gue kenal semasa hidup. Dan gue rasa mustahil kalau orang itu yang dimaksud sama manusia berkacamata di depan gue ini. "Lo nggak salah?
"Kagak, lo pernah cerita sama nunjukin fotonya ke gue, 'kan? Orangnya tinggi, putih, cantik, ada tahi lalat di tengah keningnya, mirip kayak orang In—"
Gue nggak perlu lagi mendengar ucapan dan penjelasannya. Karena saat ini yang ada di otak gue hanya satu perintah yang meminta kaki gue lekas berlari mencarinya.
Radea gue, Radea Shalitta Tarigan.
***
Senyumku masih terpasang sempurna menyapa beberapa orang yang tengah sibuk merapikan barang-barang, usai perhelatan musik yang sangat amat sukses di malam ini. Senyumanku memang terpasang, tapi jujur saja debaran di dada tak henti membuatku berulang kali ingin ke kamar mandi.
"Dea?"
Suaranya. Suara itu masih sama seperti suara yang begitu kusukai dua tahun yang lalu. Aku menoleh dengan cepat, bahkan mungkin terlampau cepat. Senyumku merekah sempurna, mengabaikan semua bunyi drum yang bertalu di dada. "Sal, hai!"
Tatapannya masih setajam dulu. Ia melirikku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tatapan yang jika dihadiahkan dua tahun lalu selalu sukses membuatku seketika meminta ampun, karena aku bersedia berada dalam peluknya semalam suntuk.
"Kamu, kamu tadi nonton?"
Aku mengangguk tenang, walau sepertinya binar mataku terang memancarkan rasa senang. "Of course. Seneng banget lihat kamu udah sekeren ini sekarang.You did it! You prove it, Sal."
"I am," singkat jawabannya dengan rasa bangga yang menyelimuti. 
Aku tahu, dia pasti benar-benar begitu bangga atas semua pencapaian yang di awal-awal kariernya selalu diremehkan banyak pihak. Tidak terkecuali kedua orangtuaku. Yang sejak pertama berjumpa dengannya jelas sudah menolak cinta yang bagi kami tak lagi seumur jagung.
"Wanna go out for a while?" pertanyaannya membuatku tersadar jika tadi sempat ada hening yang semakin membuat canggung ini menguar. "Nggak enak banyak orang lalu lalang di sini," jelasnya lagi seraya menatap sekitar yang sejak tadi memang membuatnya kerap menarikku mendekat, karena orang-orang yang berjalan di antara kami tengah membawa barang-barang besar.
"Bukannya di luar jauh lebih nggak enak? Ada banyak fans kamu dan media, Sal."
Ia terkekeh. Aku berani bersumpah, gelak tawanya masih jadi candu yang sanggup membuat kupu-kupu di perutku ikut heboh dan bangun dari tidur lamanya. "Iya juga sih, bentar deh."
Ia melangkah sedikit menjauh dariku, dan mendekati pria berkacamata yang tadi sempat terkejut menatap kehadiranku yang meminta untuk bertemu dengan Sal. "Dea, sini! Ada ruangan yang bisa dipakai."
"Gapapa kalau aku masuk?"
Senyumnya merekah, kali ini tidak ada kecanggungan, bahkan seperti menyambutku untuk pulang. "It's okay, you're with me, yakali ada yang ngelarang."
Langkahku akhirnya mengikuti langkahnya yang panjang. Ia membawa kami ke salah satu ruangan yang kuperkirakan sempat dijadikan tempat mereka berhias, karena ada kaca-kaca besar dan juga box-box make-up yang sudah tersusun rapi.
Lagi-lagi kami terjebak di antara hening yang mungkin sanggup membuat dia mendengar debaran jantungku. Tapi Sal tidak pernah suka dengan hening, ia selalu tahu bagaimana cara untuk membuatku bersuara. "So, how's life,Dea?"
"Gitu-gitu aja," balasku tak berselera, karena memang hidupku tak lagi berwarna sejak kami memutuskan sudah. Aku lekas mengembalikan kesadaran ketika menatap isi dari tasku yang terbuka. "Eh ya, aku ke sini tuh sebenernya mau kasih kamu sesuatu. Kamu ganti nomor hape soalnya kata orang-orang."
"Oh ya, hape aku waktu itu hilang. Males juga ngurus nomornya, jadi sekalian ganti aja."
"Ini," tanganku terulur membawa kertas tebal berwarna maroon untuk sampai di tangannya.
Ia menyambut uluranku dengan tawa yang mengikuti, "Hahahaha. Ini undangan nikahmu?"
Aku menggeleng dengan cepat, "No. Kakakku. Itu ada namanya, Sal. Dibaca dulu makanya," bisa-bisanya dia bilang aku yang akan menikah, padahal aku saja masih tak sanggup mengenyahkan semua tentangnya dari benak bahkan jejaknya di seluruh tubuhku.
"Kamu masih aja nggak berubah, ya? Cepet banget ambil kesimpulan," biar saja, kali ini giliran aku yang menyindirnya hingga membuat tawanya yang tadi menghina, kini berganti kecut dan juga pias di wajah.
"Aku diundang? Orangtuamu gapapa?"
Anggukan yakinku ada untuk menjawab pertanyaannya. "Udah kubilang 'kan kalau kamu berhasil buktiin ke semua orang, bahwa kamu dan band-mu tuh nggak sekadar main-main doang."
Ting! Ting Ting Ting!
Bunyi-bunyi pesan mulai menghiasi percakapan kami, aku membaca pesan dan juga nama yang tertera di layar, lalu menghela sebal karena harus mengakhiri percakapan ini dengan cepat. "Hmm maaf aku gabisa lama-lama, Sal. Aku udah dijemput soalnya."
Binar matanya menampilkan keterkejutan yang aku masih coba terka; apakah karena ia enggan untuk lekas berpisah denganku, atau justru memang sudah menantinya sejak tadi. "Nggak mau aku anter aja?"
"No need, Sal.My fiancéudah sampai kok."
Ia yang masih duduk kini sontak berdiri, membuatku kembali harus mendongak menatapnya karena ia lebih tinggi lima belas sentimeter dariku. "Who, De?"
"Aku duluan ya, Sal. Jangan lupa dateng," pamitku, namun lekas dia cegah karena tangannya sudah lebih dulu melingkari pergelanganku. Yang jelas kali ini benar-benar membuatku harus susah payah menelan ludah, karena merindukannya dengan terlalu.
"Wait, I think you give me this invitation to make me your plus one. But turns out, it's a big no?Mau bercanda ya kamu?"
"Aku nggak pernah bercanda, Sal," jawabku seraya melepaskan genggamannya di pergelanganku, demi menjaga agar kewarasanku tetap ada dan tidak serta merta memeluk dan menciumnya karena rindu yang mendera.
Lekat aku menatapnya tanpa ada kedipan. Aku tak mau kehilangan satu detik momen pun untuk mengabadikan sosoknya dalam jangkauan, dan juga ingatan.
"Sal, kalau kamu inget dan seharusnya kamu tahu, aku nggak pernah ke mana-mana, kamu yang pergi ke mana-mana."
Dia diam, masih menatapku dengan tatapan yang kali ini sulit untuk kuartikan, karena terlalu banyak hal yang sepertinya juga ia pikirkan. Satu kali, satu kali sebelum aku benar-benar keluar dari ruangan yang sudah hampir menghabisi oksigenku ini, aku kembali mengulas senyum padanya.
"He just my fiancé, Sal. Be fast, if you still believe it's me,karena udah waktunya aku yang pergi kalau kamu juga terus-terusan pergi."
Satu pernyataan itu akhirnya kuucapkan, walau sebenarnya aku mati-matian menahan kelu yang seketika mampir setelah aku merangkai kata demi kata itu di telinganya.
Gennadios Armen Salazar.
'Untuk kali ini, bolehkah aku meminta tolong agar kamu mau perjuangkan aku, seperti kamu perjuangkan impianmu untuk bersinar di atas panggung? Karena sungguh, selepas pergimu, duniaku yang sudah hancur justru semakin berantakan.'
- FIN.
42 notes · View notes
Text
Tadi iseng cek google photos-ku dengan keyword "gym". Terus... pas aku scroll ke barisan paling bawah, gak sengaja lihat beberapa foto dia lagi mirror selfie di tempat gym.
Seketika aku menyadari kalau aku sudah "biasa aja". Padahal dulu kalau gak sengaja lihat medsos dia atau nemu foto dia, aku kayak kena serangan panik. Rasanya takut banget mau lihat hp.
Tapiiiii hari ini gatau kenapa semua perasaan itu hilang, bahkan aku bisa banget zoom fotonya dan melihat dia kayak orang asing lalu menekan tombol hapus.
Rasanya semelegakan itu ternyata.
23 notes · View notes
bethanurina · 2 years
Text
"Karena Ada Kepentingan"
Karena ada kepentingan maka pasti ada yang diusahakan, betul kan ya?
Kalau beda kepentingannya maka pasti ada perbedaan, bener kan ya?
Kalau ada perbedaan kenapa susah disatukan? Ini salah kan ya?
Hehe, 3 pertanyaan di atas hanya kalimat tanya yang dipaksakan karena pemilihan kata ya.
Walau bukan hal yang baru, tetapi kenapa selalu tidak bisa tenang dan adaptasi cepat di tengah kondisi perubahan dan pergantian posisi jabatan tertentu.
Kalau misal yang lain fokus 2024, di sini mah sejak tahun ini banyak yang harus ganti. Misalnya posisi koordinator program studi.
Hahaha, iya saya targetnya, entah jadi subyek atau obyek sih tepatnya. Saya sudah merasakan proses jadi korprodi sejak Nov 2019 sampai selesai masanya di Nov 2022 kemarin lalu diangkat jadi Plt sampai terpilih koprodi definitif.
Keputusan akhirnya saya maju lagi di event 4 tahun an, periode 2023 - 2017, lalu hasilnya terpilih lagi. Tahu ga kenapa, ya karena ada kepentingan. Walau mindset udah lumayan berubah, niat juga makin progresif. Kalau pas 2019 visi misinya ke arah akreditasi 2022 karena habis masanya, dan alhamdulillah tuntas dapat nilai SANGAT BAIK dan poin 348 (ih kurang 13 poin buat UNGGUL, keren kan ^_^). Capaian ini yang membuat saya bersyukur. Alhamdulillah, selama 3 tahun itu semua pihak bisa mendukung, konflik dan masalah bisa diatasi, pimpinan yang baik dan mendukung. Intinya fase sempurna untuk meraih capaian yang terbaik, walau banyak kekurangan yang belum bisa dipenuhi di beberapa aspek.
Periode ini niatnya mau lanjut sekolah, bukan karena iri lihat temen2 yang background fotonya ga editan tapi asli berada di belahan bumi lain, atau bukan karena pingin kabur dari kerjaan administratif atau capek jadi customer service tiap hari. Niatnya ya pingin belajar lagi jadi lebih baik, merasa banget masih jauh sekali updatenya belum sempet. Cuma karena ada prioritas dan kepentingan yang lebih besar jadinya harus menata lagi, menyusun kesiapan diri agar bisa tepat pada waktunya.
Sebenarnya tadi di awal maunya nulis tentang bagaimana caranya menyamakan persepsi untuk sepakat memilih prioritas yang lebih besar dan berharga, tidak hanya dinilai di dunia tapi di akhirat. Politik kampus ternyata tidak berakhir di tataran mahasiswa tiap tahun milih ketua himpunan, lembaga eksekutif dan legislatif mahasiswa. Lebih panas lagi kalau sudah di level atasnya. Hehe, ternyata dosen juga masuk di putaran ini, kadang mikir kok ya sempet, eh ternyata memang ada yang suka. Hehe, beneran njomplang, sebagai kaprodi muda yang sangat dedikasi gini kali ya fokusnya yang dipikirkan gimana IKU 1 tercapai, alumni bekerja sebelum 6 bulan dengan pendapatan yang sesuai. Lanjut mundur selangkah, mikir gimana biar 50% mahasiswa lulus tepat waktu. Napas bentar, mikir gimana IKU 2 yang MBKM dan prestasi. Minum dulu, eh kepikiran konversi mata kuliahnya masih jadi bahasan dosen. Ya weslah, dijalani aja dengan sekuatnya.
Karena ada kepentingan, judul tulisan ini bisa beragam maknanya. Kalimat itu bisa diarahkan ke positif dan negatif, tergantung yang ngomong dan tergantung tujuannya kemana. Jadi sedih saja, di saat merasa kita ga mau ikutan, kepentingannya maka cari aman, ya diem. Tapi saat yang lain tidak melihat gitu, jadi muter urusannya, dicapnya apatis, ga peduli dan ga kompak. Padahal semua kan kita punya hak suara, mau diam atau bersuara ya. Wkwkwk, kadang gemes sih. Kebalikannya, saat kita merasa harus lantang nih, karena udah besar scope dan manfaatnya, eh kalimat tadi dipakai buat nyindir, ya karena ada kepentingan nih. Ya Allah, memang manusia unik dengan beragam sifat dan karakternya.
Kadang karena di sini ga banyak teman saya, jadi nyaman aja nulis panjang gini. Jadi pingin gitu, kalau ada di tempat lain konflik serupa menjelang kontestasi politik, biar tetap damai sejahtera gimana.
Gitu dulu ya,
Makasih mau baca curcol ini.
3 notes · View notes
safiralutfiani · 2 years
Text
Cerpen : Kerani
Di sudut ruangan, beberapa menit lalu harapanku melambung tinggi. Aku optimis kau akan memilih tempat tepat di sebelahku. Sebagaimana yang direncanakan sebelumnya. Namun, aku keliru. Mereka yang lebih ceria lebih asyik sepertinya menjadi teman berbicara.
Kau berjalan santai seperti gayamu sehari-hari. Meletakkan leptop di atas meja tepat di dekat dua teman perempuanku yang usianya lebih muda. Kau mengambil posisi di tengah. Beruntung, aku masih bisa melihatmu dari jarak ideal. Meski di dalam sini tak nyaman sekali.
Rasanya tak adil. Seharusnya bukan di sana tempatmu berada. Apa semua tanda itu tak bisa kau kenali? Atau sengaja kau abaikan karena banyaknya orang-orang? Berbeda saat kita hanya berdua?
Salahku memang tak mendekatimu. Salahku tak berani bergabung dalam obrolan kalian. Tapi, jauh di dalam sini masih berharap kau lebih peka. Agar kau datang dengan sendirinya.
Tadi pagi, di lain ruang kau tampak berbeda. Kebetulan kedatangan kita hampir bersamaan. Senyum mengembang itu tak pelak membuatku senang. Terlebih saat langkahmu membelok ke tempatku. Hati ini kian berdebar.
"Gimana? Sudah beres semua?" tanyamu sambil mendekat. Mengulurkan telapak tangan.
Aku terdiam. Biasanya tak pernah seperti ini. Seumur-umur tak pernah kau berani melakukannya.
"Kurang satu laporan," jawabku sambil menjabat tanganmu.
"Kok bisa? Kemarin sore belum diprin?"
Aku mengangguk kecil untuk kemudian kembali melihat ke depan. Jantungku seperti bergeser dari posisi semula saat sebentar sekali tatapan kita bertemu.
"Nggak sempat," jawabku.
"Hmmm. Ya udah sini aku bantu."
Aku menggeleng. Bagiku tidak perlu.
"Yakin?"
Tangan itu masih setia. Terasa sedikit penekanan di telapak tanganku. Kau menjabat dengan sepenuh hati. Seolah kita rekan sejati.
"Iya. Persiapan buat presentasi, aja."
Kau pun mengangguk seraya melepas jabat tangan pertama kita. "Oke. Aku langsung ke ruang seminar, ya."
"Iya."
Kembali langkahmu terayun meninggalkanku. Memperlihatkan cara berjalan yang sedikit membungkuk. Sungguh biasa. Tidak istimewa bahkan. Tapi aku … suka.
Seminar berlangsung. Seperti yang sudah-sudah, kau mampu membungkam para peserta kelas dengan sangat baik. Bahkan, aku yang sering mendampingimu menyiapkan banyak hal tetap saja terpukau. Riuh tepuk tangan pun terdengar.
"Baik, apa ada pertanyaan tentang penggunaan platform pendidikan ini?" tanyamu di tengah forum.
Beberapa peserta tampak saling melempar pandang. Ada yang mulai mencatat di bukunya. Ada juga yang lebih memilih memainkan ponsel. Masing-masing menampakan reaksi yang berbeda. Aku tersenyum kecil. Harusnya ada banyak pertanyaan. Aku pun ikut mengamati pergerakan mereka karena dengan cepat harus mencatat jika ada yang bertanya. Itu tugas yang kau berikan hari ini.
Lengang.
Satu pun tak ada yang berniat mengangkat tangan.
"Bu Rifa, mungkin bisa dibantu?" tanyamu lembut.
"Ya, Pak."
"Bisa dipandu, ya?"
Aku pun mengangguk. Senang sekali mendapat kesempatan. Segera aku berdiri. Berjalan anggun ke arahmu. Sebaik mungkin aku melakukannya.
"Baik, Bapak, Ibu, ada yang mau ditanyakan?" tanyaku mengulang pertanyaanmu. Hanya saja kutambahkan senyum ramah. Kuyakinkan pada mereka tidak ada yang salah dari bertanya.
"Baik, Mbak Diyan?" tanyamu. Kau lebih cepat melihat pergerakan itu.
"Begini, Pak. Saya sudah coba donwload, tapi kok nggak bisa, ya. Apa memorinya penuh atau bagaimana?"
Kau tersenyum. Ya. Tersenyum seperti biasa dan untuk siapa saja.
"Coba saya lihat hpnya, ya," katamu sambil berjalan ke arah Dian. Perempuan yang tadi kau ajak bicara.
Memang begitu sikapmu. Baik pada siapa saja. Di acara seminar seperti ini kadang aku lupa diri. Kau adalah aktor yang harus memainkan peran dengan penuh penghayatan. Kau memang harus bersikap seperti itu. Meski di dalam sini tak rela saat setiap kali acara menyaksikannya.
"Makasih, ya, Pak. Sudah bisa ini."
"Makanya jangan penuh-penuh, Mbak. Dihapus dulu itu foto-fotonya," ujarmu. Mungkin kau sedang berusaha melucu.
"Ah, Bapak bisa, aja."
Dian. Adik tingkatku waktu kuliah. Beda prodi tapi satu fakultas. Akan kutandai setiap ia mengikuti kelas. Aku tidak suka dia terlalu menunjukkan ketertarikan padamu.
Kau kembali mengambil alih panggung. Melanjutkan materi dengan tema lain. Mau dengan gaya apa pun, tetap sama. Selalu memesona. Dan sayangnya, dua perempuan lain di ruangan ini juga mengakui. Biasanya hanya aku saja karena kelas yang kau buka lebih banyak peserta laki-lakinya.
Seminar selesai. Kukira kau akan langsung keluar dari ruangan ini, namun kau masih menjawab beberapa pertanyaan lanjutan dari Dian dan temannya. Aku pun tak melibatkan diri.
"Tunggu di kantor, ya," ujarmu.
Aku mengangguk.
"Mbak Rifa sombong amat. Sini dulu, lah, gabung sama kita," seloroh Dian.
Aku tersenyum tipis sambil mengangkat tangan. Malas.
Ruang kerja terasa lebih sepi. Seorang diri aku menunggu. Mungkin Dian dan temannya menahanmu di sana. Dan kau, menanggapi seperti yang sudah-sudah juga. Akhirnya kusibukkan diri dengan merapikan beberapa berkas.
Pintu terbuka. Kau melangkah dengan penuh wibawa. Di mataku. Kau mendekati meja kerja yang menghadap langsung ke pintu.
"Aku balik dulu, ya," ujarmu lembut.
"Tumben?" tanyaku sambil melirik jam.
"Ada acara."
"Sama?"
"Sama istri sama anak, lah, siapa lagi?" jawabmu dengan senyum menghias di bibir.
Pada tahap ini seharusnya aku sadar diri. Tak semestinya aku menempatkan perasaan itu padamu. Tadi saat dengan peserta kelas perempuan saja aku tak nyaman, sekarang ditambah dengan seseorang yang jelas tidak mungkin bisa kukalahkan.
"Hati-hati."
"Pasti, Rifa. Kamu pulang naik motor?"
Aku mengangguk. Memang itu satu-satunya kendaraan yang bisa membawaku.
"Lain kali aku antar, ya."
Aku tersenyum getir. Untuk apa?
Ponselmu bergetar. Sebuah panggilan video tampak di layar. Dengan bangga kau menggeser tanda hijau. Membiarkan panggilan itu berlangsung.
"Iya, bentar, Dik," ujarmu.
"Nanti telat, Mas! Udah siang ini!"
"Bentar lagi. Ini kasihan Bu Rifa beresin sendirian."
"Oh sama Bu Rifa? Mana orangnya?"
Ya. Istrimu kerap begitu. Mengakrabkan diri dengan rekan-rekanmu termasuk aku.
Sedikit memaksakan diri, aku menyapa seseorang yang tidak mungkin kukalahkan tadi.
"Iya, Bu. Ini sudah mau pulang."
"Maaf ya, Bu Rifa. Dirusuhin suami saya terus, ya? Maaf nih, nggak bisa bantu buat hari ini."
"Iya, Bu. Ndak apa-apa."
Meski dalam hati kesal setengah mati. Jam kerja suaminya belum selesai. Harusnya masih bisa bersamaku sebentar lagi.
"Ya udah, Dik. Mas siap-siap dulu, ya. Tunggu di rumah."
Sapaan itu … yang kuinginkan. Sapaan itu … yang kuharapkan darimu. Tapi, jelas tidak mungkin. Aku sendiri tak yakin dengan apa yang kurasakan.
"Aku balik dulu, ya."
"Iya."
"Lain kali ngobrol panjangnya."
"Iya."
Kau tersenyum tipis. Kembali mengulurkan tangan. Buat apa?
"Aku balik dulu," ulangmu.
"Iya." Kali ini tak kuraih. Aku memilih berjalan meninggalkan ruangan.
Setelah mobilmu meninggalkan area kantor, aku kembali ke posisiku. Menyelesaikan beberapa laporan juga menyusun jadwalmu besok. Seperti ini terus setiap hari.
Setelahnya aku mengambil ponsel. Mengetuk nomormu. Memandangi foto profilmu. Berdua dan tampak mesra. Berbeda denganku yang setia menjadi bayang tanpa pernah mendapat pengakuan.
Kusingkirkan benda pipih itu seraya meluruskan punggung di sandaran kursi. Sejenak memejamkan mata. Satu atau dua jam ke depan kau akan merajut status WA. Memperlihatkan dengan pasti kebahagiaan keluarga kecilmu itu dan aku … tidak suka.
6 notes · View notes
kszakiah · 2 years
Photo
Tumblr media
Lagi liat2 gallery nemu foto dan video ini 🥰 Klo kita liat di cermin emang semua begitu rapi, tertata dan indah. Dan hasil dari fotonya pun begitu. Cantik dan indah tentunya dgn hijab dari @orbellestore 😍 Dibalik keindahan itu ada sebuah proses yg menguras energi, keringat dan usaha dari org2 yg memperjuangkan agar hasilnya pun maksimal. Setiap dari kita punya proses nya masing2, yang mungkin bikin kita cape, kecewa, ga terima atau bikin kita down.. Hanya mreka yg bisa berdiri utuh kembali, adalah pemenang atas perjuangan hidupnya. Kita pun tdk pernah bisa menyamakan proses kehidupn kita dengan proses kehidupan org lain. Kita berjuang pada jalan kehidupan kita sendiri. Apa yg terlihat seperti “keren/bagus/luar biasa/hebat” dari kehidupan seseorang tidak menjamin semuanya seperti apa yg kita lihat, mereka hanya sedang memilih utk memperlihatkan hal baiknya saja pada sekitar, agar yg tertransfer cukup energi positifnya. Atau mungkin cara mereka dlm bersedih/berkeluh kesah adalah dgn mengadu pada Sang Maha Pemilik segalanya. Percayalah ada sebuah perjuangan hebat dari mereka yg berada di titiknya skrg. Just focus on yourself.. stop utk melihat kehidupan org lain klo itu cuma bikin melemahkan tujuan dan semangat kita. Dan ingatlah, Allah tdk pernah membiarkan hamba-Nya sendirian, akan selalu ada orang2 baik yg tulus menyayangimu, mendukungmu penuh dan tak pernah terlewat dalam mendoakanmu, bersyukurlah, itu salah satu cara Allah mencintai setiap hamba-Nya. #refleksidiri #grateful #selfreminder #btsphotoshoot https://www.instagram.com/p/ClviKiISb1l/?igshid=NGJjMDIxMWI=
3 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
Nostalgia dan Klise
Tumblr media
Foto pertama dari klise negatif yang dicuci. Pada foto tersebut, aku mempotret kekasihku dari belakang. Hasil fotonya memiliki lightleak yang membuat foto itu seperti visualisasi potongan ingatanku.
Malam ini (8/11/22) aku datang untuk ketiga kalinya dalam rentang seminggu terakhir ke Bersoreria, salah satu tempat cuci film di daerah Prawirotaman. Aku datang pukul 20.18, parkir, masuk, kemudian menyapa seorang lelaki umur 40-an akhir yang walaupun jenggotnya panjang dan beberapa helai rambutnya mulai putih masih memancarkan aura anak muda.
"Mau ambil atau cuci film, mas?" Tanyanya.
"Enggak, mas. Ini, saya mau memastikan film yang kemarin saya cuci," sambil mengeluarkan gulungan klise film negatif.
Sabtu kemarin (5/11/22), aku dan kekasihku habis mengikuti workshop merangkai bunga. Di sana kami menghabiskan sisa exposure dari film yang sudah hampir setahun bersarang di kamera analog tipe rangefinder-ku, Ricoh 500GX. Selesai workshop berangkatlah kami ke Bersoreria untuk mencuci film itu.
"Jadinya besok ya, mas," kata seorang perempuan berhijab umur 20-an yang jaga di meja kasir, "Nanti kalau file digitalnya udah dikirim lewat drive, berarti klisenya udah bisa diambil," lanjutnya. Pulanglah kami dengan perasaan penuh debar, mengantisipasi hasil jepretan kami akan seperti apa.
Minggu siang (6/11/22), masuklah email dan link menuju drive tempat hasil scan klise film negatif yang kami cuci. Rasanya seperti nostalgia karena film itu mulai masuk kamera di kencan pertama kami setelah beberapa bulan terpisahkan oleh jarak. Ada juga beberapa foto pada waktu tertentu yang menunjukkan rambut gondrongku waktu itu.
Namun, ketika kulihat-lihat foto yang ada di drive rasanya ada yang kurang. Ternyata beberapa foto terakhir yang kami ambil di acara workshop itu tidak ada. Kebingungan, sore itu aku pergi ke Bersoreria untuk mengambil klise dan menanyakan jumlah fotonya.
"Sudah bener kok, mas," kata kasir itu.
"Mungkin itu karena underexposure, mas. Makanya gak bisa di-scan," sambut lelaki itu.
Penjelasan yang masuk akal pikirku, sebab aku baru sadar ISO film itu 200 dan bukan 400 setelah film dikeluarkan dari kamera yang aku setting untuk ISO 400. Langit sore itu sudah gelap, maka aku putuskan menerima penjelasan itu dan melaju pulang sambil berharap tidak kehujanan.
Aku kemudian sampai kos sekitar pukul lima sore dengan kabar baik dan buruk. Kabar baiknya adalah aku tidak kehujanan. Tepat saat hujan tiba-tiba deras dan angin bertiup kencang, tepat pula aku parkir di garasi. Kabar buruknya adalah setelah kuhitung dan urutkan klise filmnya, ternyata klise foto terakhir hilang.
Film yang kupakai adalah Kodak Color Plus ISO 200 36 Exposure, artinya nomor terakhir yang ada di gulungan klise harusnya 36, tapi di sana cuma sampai 31. Berangkat dari keraguan dan kebingungan itu, malam ini aku berangkat lagi ke Bersoreria.
"Oh iya, saya lupa jelasin lebih lanjut kemarin. Jadi karena gak bisa di-scan itu, saya potong. Salah saya, mas, harusnya klise yang terakhir tetap saya masukkan. Saya masih ingat, klise terakhir itu kosong soalnya. Maaf tapi mas, kayanya udah saya buang. Nanti saya coba cari, mudah-mudahan ada," lelaki itu menjelaskan, "Jadi pelajaran juga buat saya, mas. Saya gak kepikiran bakal ada masalah kaya gini. Ke depannya kalau ada yang kosong gitu juga, paling enggak saya ikutkan di gulungan klisenya".
Baiklah... Mau bagaimana lagi?
Setelah itu, aku sempat mau langsung pulang, tapi entah dari mana, aku rasanya ingin mengobrol dulu dengan lelaki ini. Basa-basilah aku bilang kalau mulai main analog karena baca Majalah Hai edisi khusus yang membahas hype kamera analog. Setelah ngubek-ngubek gudang dan ketemu kamera pocket milik bapakku, cobalah main analog dan keterusan sampai 2018 beli kamera rangefinder dengan pinjam uang teman dulu.
"Sambil duduk aja kali ya, mas?" Aku bilang ke lelaki itu. Lalu terlibatlah kami dalam pembicaraan seru soal bisnis kamera analog. Dia bilang harga mahal sekarang itu karena ada "mafia" yang pegang stok barang banyak. Sengaja dibikin langka supaya harga melambung, barulah barang dikeluarkan.
"Persis kaya kasus minyak goreng kemarinlah, mas," katanya.
Di saat itu, aku bersyukur sempat menggeluti jurnalisme jadi tipis-tipis punya kemampuan bertanya dan menjaga obrolan tetap berjalan. Pelan-pelan aku bertanya soal proses cuci film, stok barang, bisnis Bersoreria dan lainnya.
"Kalau lagi gak ada bos sih, pas saya cuci film boleh kalau mau liat prosesnya, mas," tawarnya, "Soalnya kalau pas ada, saya bisa dimarahin," ucapnya sambil nyengir. Aku tentu diam-diam berharap kesempatan bakal datang dan bisa melihat proses cuci film suatu saat nanti.
Dia juga cerita soal kelakuan-kelakuan lucu konsumen yang baru pakai analog. Suatu waktu ada dua perempuan dari Jakarta lagi wisata ke Jogja. Perempuan yang satu cakepnya luar biasa, tapi yang satu biasa aja katanya. Mereka jalan bareng, jepret foto bareng, cuci film bareng juga. Sewaktu hasilnya sudah jadi, perempuan yang cakepnya biasa ini protes, "Jangan mentang-mentang saya jelek, tapi temen saya cakep jadi hasil temen saya dibikin lebih cakep dong, mas," protes perempuan itu.
"Ya, saya diam aja, mas. Mau jelasin apa lagi coba? Permasalahannya bukan karena perempuan yang satu lebih cakep, tapi emang kameranya yang satu lebih cakep. Kan mau gak mau hasilnya tentu beda, ya?" terangnya, "Ya sudah saya ketawa aja sehabis kejadian itu. Kan kesalahan bukan di saya, tapi di kebodohan dia yang gak ngerti alat. Biasa saya dimaki-maki kaya gitu sama orang yang baru main analog dan ngeyel harusnya hasilnya bagus. Gak saya masukin hati yang kaya gitu, mas. Repot entar".
Aku bertanya beberapa hal pribadi juga. Ternyata lelaki itu asli Semarang dan sempat kuliah fotografi di IKJ walaupun gak selesai. Sudah hampir 30 tahun dia bekerja di bisnis fotografi, terutama analog. Baru sekitar awal 2021 dia pindah ke Jogja setelah ditawari mengurus cabang Bersoreria di Jogja.
"Suntuk saya di Jakarta, mas," ucapnya, "Apalagi setelah istri saya gak ada. Jadi ya, mlipir dulu lah ke jogja biar dapet suasana baru. Anak saya juga kuliah di UNY ikut mbahnya kok".
"Ini berarti masnya tinggal di toko ini?"
"Iya, di situ," menunjuk kamar kecil di samping ruang gelap tempat cuci film.
"Sendiri, mas?"
"Iya. Mbak kasir yang itu kan part-time, jadi kalau udah jam enam sore dia pulang," ucapnya. Menarik menurutku part-time di Bersoreria, kalau ada bukaan lagi aku akan coba daftar juga sepertinya. "Wah, tapi saingannya anak-anak Fotografi ISI, mas. Tapi ya keputusan di bos, bukan di saya kalau soal part-time," katanya.
Diam-diam aku menyadari kalau kemungkinan lelaki ini cuma lelaki biasa yang kebetulan sedang mengalami mid-life crisis. Tinggal sendiri, suntuk dengan suasana yang itu-itu saja, dan istri yang dicintainya sudah tidak ada lagi.
Tanpa terasa ternyata sudah pukul 21.15.
"Oh udah lewat jam sembilan, mas. Tutup jam sembilan kan ya, siapa tau masnya mau istirahat," ucapku sambil pamit.
Sambil berdiri aku berkata, "Oh iya, sorry, mas. Nama mas siapa ya?"
"Nama saya Yono," ucapnya sambil menyodorkan tangan berkenalan. "Saya Rizal, mas," balas saya kemudian menjabat tangannya.
"Saya pamit dulu ya, mas."
"Iya, maaf ya mas klisenya malah kebuang. Nanti kalau ketemu saya kasih tau," ucapnya lagi.
"Gapapa, mas. Santai," kataku sembari keluar dari toko.
4 notes · View notes
arestyuday · 2 years
Text
Tumblr media
Hari 20 dari 30 hari berbagi foto.
Catatan terlebih dahulu, ini bukan kucing peliharaanku. Ini kucing punya orang yang kebetulan nurut pas aku duduk. Ya sudah, kuambil fotonya.
Baca juga: Ceritaku dan Alasan Kenapa Adopsi Kucing Jalanan
Not gonna lie, agak gimana lihat dia mau pake galung. Sedangkan di rumah Gahar sama sekali gak suka pakai kalung. Lucu sih lihat kucing pakai kalung apalagi kalau ada loncengnya. Berisik emang tiap wira-wiri tapi tetep gemes aja dilihatnya.
Baca juga: Sharing Is Caring dengan Street Feeding untuk Kucing
—restyu, 200922.
3 notes · View notes
nngfra · 3 days
Text
Cakep Amat Aku
Mau mengabadikan di Instagram sesuai tagline bio "Album of Memories" tapi kok kayaknya lebih puas di tumblr aja. Soalnya bisa buanyaak dan ga banyak orang lihat (i believe). Dilihat dari judul dan foto fotonya, agak narsis ya hehehe (isokeeeeyyy)
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Ga senyum aja cakeeup. Emang make up bagus bisa bikin happy adalah kunci.
Tumblr media
Apalagi senyum begini ya kaaaaan. luv mba lulula yg udah buat bikin canti begini :")
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Tidak lupa mandatory pose pamer buku nikah dan pamer cicin hehehehe Pengen dimakeupin lagi (tapi jelas ga jam 3 pagi yah) tapi acara apaan yeaaaa
0 notes
destihanafiyanti · 8 days
Text
Makasih Yah
Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang perceraian dari kasus A-Z, salah satunya KDRT dimana hingga FYPnya sampai diaku. Diwaktu bersamaan kemarin suami pas di rumah ambil cuti. Langsung aku peluk suami, mesti tidak ku katakan secara langsung “ Makasih yah sayang kamu udah sesabar itu sama aku, ga pernah main tangan meski aku ngambekkan terlebih nyebelin, klau udah diam hmmm. Terimkasih udah menjadi suami yang ga pernah kasar sama aku dan udah sesayang itu selama ini .... “
(Selebihnya)
Aslinya mau ngomong aku sayang sama kamu banget-banget tapi tapi malu soalnya mesti bakal mewek dipelukkanya. Klau ga dipeluk yah aku yang meluk, setiap kali di cium keningnya sehabis sholat sambil cium tangannya mesti sambil berkaca-kaca. Aku sering mau bilang makasih yah sayang tapi tak sampai hihihii
Aku juga mau bilang terima kasih sama bapak ibuku meski aku ga pernah mengatakan secara langsung, makasih ya pak buk udah jadi suport sistem selama ini. Selalu mendukung dalam setiap keputusan yang aku ambil, entah sekolah, karir dan berumah tangga. Keluarga aku makasih sudah pilihan suami seperti mas yang ga pernah main tangan. Meski dia bukan sosok lelaki yang aku inginkan, bukan juga sosok yang terlintas di pikiranku bahkan tidak pernah berharap menikah dengan x-sejahwat, sebab pertemuan aku sama mas sangatlah singkat. Tidak mengenal sama sekali tbtb di lihatin fotonya sama abi yang sebenarnya itu foto ketika dia masih kuliah. Mungkin dia jauh dari orang-orang yang aku temui sebelumnya. Namun, Qodarullah atas kehendak allah meski pernah di hari sebelum menikah aku berniatan untuk lari dari takdir sebab tidak sesuai dengan apa yang aku istikharahkan, terlebih background mas sebelumnya. Percayalah ketika semua sudah menjadi takdir dan allah sendiri yang mengerakan sejauh kamu lari bakal kembali, semua itu Allah yang mengerakan dari persiapan pernikahan yang dipermudah hingga semua tidak ada satupun yang menghalangi itu benar-benar diluar kendali aku sebagai manusia, apalagi semua terbilang mendadak. Begitu cepat allah membolak-balikkan hati hamba-Nya yang dalam kebimbangan saat itu.
Ingat banget pas mas pertama kali menemui bapak ibuku, yah mungkin itu salah satu alasan kenapa akhirnya aku menikah dengan dia karena hanya mas yang berani datang ke rumah menemui orangtuaku. Sebelum ditanya alasan kedatangannya dengan percaya dirinya mas mengutarakan keseriusannya. Aku yakin bapak ibu bakal menerima dia sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarga. Dan itu adalah pertemuan pertama mas dengan orangtuaku. Mereka mungkin tak tau banyak tentang mas, sebab memang ini adalah pertemuan tak terduga, namun cerita tentang mas ini memang disampaikan oleh salah satu kerabat bapak sendiri. Yah mungkin itu alasanya kenapa bapak ibu menerima dia, sebab tidak mungkin keluarga menjerumuskan darah dagingnya sendiri.
Sejauh ini yang aku tau orangtuaku tidak pernah ikut campur urusan rumah tanggaku, tidak menuntut mas dalam setiap perbuatan, perkataan maupun perlakuan terhadapku aku, tidak juga meminta apapun yang sekiranya memberatkan mas. Justru aku sendiri yang sering diberi nasehat, kata ibu sebab ibu tau karakter anak ibu. Jadi setiap kali mas ke rumah ibu, beliau selalu berpesan “ Sabar ya mas sama istrinya “ padhal harusnya kalimat itu di balik untuk aku dan bukankah aku adalah anak ibu yang harus selalu di dukung. Ini bukan berarti oragtua merelakan anaknya menikah sebab ingin lepas tanggung jawab, ternyata pertanggungjawabannya semakin besar setelah menikahkan anaknya. Kebahagian anak adalah kebahagian orangtua begitupun sebaliknya.
Orangtuaku sesayang itu dengan mas, hingga kadang membuat aku dan adikku jealous ! Di rajakan di rumah mertua, dia banget :/
Meski bapak ibu tidak memberikan pesan secara langsung dengan mas, namun ibu selalu berpesan sing sabar tak doakan langgeng.
Dan pas lihat video ayah cut Nabila peluk terus mengis. Ya Allah sepanjang video ikut merasakan kesedihan itu. Dan terimkasih Allah aku berada dalam pelukan orangtuaku yang begitu menghangatkan ketika ada apa-apa sigap. Meski sudah menikah aku masihlah anaknya dan aku tetaplah gadis kecil yang seperti ilalang.
Pulang ke rumah ibu adalah tempat ternyaman sampai kapapun. Hilang paling tenang adalah di kamar sendiri dan healing terbaik itu bareng suami.
Agustus 2024
0 notes
lukatsuci · 30 days
Link
0 notes
tinggitinggisekali · 1 month
Text
Tumblr media
Dear My Dearest Husband,
Terima kasih sudah menepati janji. Tidak pernah ada kata terlambat untuk sebuah niat baik.
Terima kasih untuk tidak pernah menyerah membersamai aku selama ini, walau banyak kurangku, luas emosiku, keras kepalaku. Sungguh, sejak dulu aku selalu berpikir, jika sekali saja kamu berucap menyerah, atau bahkan memiliki sedikit saja niat untuk menyerah, maka aku akan mundur segera, kita selesai. Tapi ternyata sedikitpun tidak pernah ada gelagatmu untuk itu, walau dalam hatimu aku tidak pernah tau sesungguhnya seperti apa, yang aku lihat hanya kegigihan dalam mempertahankan "Kita".
Kamu memang tidak sempurna, begitupun aku. Maka sering sekali kita berselisih. Aku yang ingin diam tidak diganggu, sementara kamu yang terus mengejar karena ketika bermasalah, harus selesai dengan segera. Aku yang ingin sedikit bicara saat marah, sementara kamu yang tidak bisa menerima penjelasan singkat. Aku yang selalu merencanakan sesuatu dengan sangat rinci dan terjadwal, sementara kamu yang berjalan begitu saja sesuai keadaan.
Intinya, begitu banyak hal yang bertolak belakang, tapi kamu selalu meyakinkan bahwa kita bisa saling melengkapi, dan pada akhirnya kita ada di titik ini. Memang mungkin bagi yang lain, terlalu awal untuk menyimpulkan, belum ada pun satu bulan kita menikah, tapi bagiku untuk sampai di titik ini pun sudah sebuah pencapaian, maka dari itu mari kita apresiasi.
Semoga ke depan, aku dan kamu tetap menjadi kita, berusaha bersama-sama menjaga apa yang saat ini kita perjuangkan. Apapun yang terjadi di depan sana, mari kita hadapi berdua.
Terima kasih, Suami, telah memilih aku sebagai Istri.
*P.S fotonya sudah kupilih foto yang paling tidak terlihat buncit 😜
0 notes